Home / Romansa / Complicated Marriage / Ra, izinkan aku menikahimu.

Share

Ra, izinkan aku menikahimu.

Author: Fani Kons
last update Huling Na-update: 2021-03-26 23:15:12

'PLAK'

Suara tamparan menggema di langit-langit ruangan. Aku semakin beringsut mundur dari kursi yang sedang kududuki. Kakiku gemetaran, dan tubuhku pun rasanya sudah tidak karuan. Panas dan dingin bercampur menjadi satu. Kedua telapak tanganku reflek menutupi mulut yang saati itu sedang menganga karena kaget.

"Ini bukan hanya tentang menikah atau tidak menikah, tapi juga tentang harga diri keluarga yang kau jatuhkan begitu saja." Tangan Pak Hans mengepal di samping pinggangnya, "aku kecewa padamu, Bima."

"Lalu, selain menikahinya, apa yang bisa Bima lakukan, Yah?" Suara Pak Bima juga ikut meningggi, "Sedari dulu, sejak Bima masih anak-anak, Ayah selalu bilang bahwa Bima hanya bisa mengecewakan ... Itulah sebabnya kenapa Bima tidak pernah mendengarkan apa yang Ayah katakan."

'PLAK'

Tamparan kedua melayang di pipi kiri Pak Bima, hingga meninggalkan bekas tangan berwarna merah muda.

"Ayah pikir kamu bisa berubah, tapi Ayah keliru. Kamu tidak lebih baik dari seorang berandalan, yang selalu memberontak ketika diarahkan oleh orang tua!"

Pak Bima memegang pipi yang baru saja ditampar oleh Ayahnya. Aku yakin, tamparan yang kedua pasti rasanya lebih menyakitkan dari yang pertama. Bekasnya lebih kentara, dengan sedikit darah berwarna merah segar, yang keluar dari sudut bibir.

Ada rasa iba yang terbesit di dalam hatiku. Padahal, Pak Bima bisa menyangkal semua tuduhan ini, sebab kami memang tidak melakukan apa-apa di dalam ruangan ini. Aku ingin menjelaskan kepada semua orang yang ada di sini, tapi lidahku sudah terlalu kelu, susah untuk berbicara.

"Bima memang pemberontak, tapi setidaknya Bima bukan seorang penjilat seperti dia!" Pak Bima menunjuk orang yang ada di sebelah Pak Hans.

"Apa maksudmu, hah? Kau ingin cari masalah denganku?" Orang yang Pak Bima tunjuk marah. Dia melangkah maju mendekati Pak Bima, kemudian mencengkeram kerah baju milik Pak Bima.

Pak Bima hanya tersenyum, lalu mendorong orang yang ada di depannya.

"Santai saja, Bro! Selepas kejadian ini, kau bebas," ujarnya.

"Yah, kita selesaikan masalah ini di rumah. Ayah tidak ingin kan kejadian ini dijadikan tontonan gratis bagi orang-orang itu?" Telunjuk Pak Bima menunjuk para karyawan, yang sedang berlomba-lomba mencari posisi paling enak untuk menyimak drama siang ini.

"Mereka lebih memilih menonton pertengkaran kita, loh, daripada duduk anteng dimeja, menyelesaikan pekerjaan mereka," imbuhnya.

Selepas sindiran itu dilontarkan, semua karyawan yang sedang menguping berlari tunggang langgang menuju meja kerja masing-masing.

"Ayah tunggu di rumah ... Dan kau silakan pulang, sampaikan kepada orang tuamu bahwa aku datang melamarmu, bersama dengan anak tidak tahu diuntung ini!" Pak Hans menunjuk wajahku dengan ekspresi kemarahan yang belum padam. Setelah itu, beliau keluar dengan debaman suara pintu yang memekakkan telinga.

Aku mencoba untuk berdiri meski kakiku masih lemas karena gemetaran. Peluh yang ada di dahi menetes satu per satu membasahi seluruh wajah. Aku ingin ikut meneriaki Pak Bima dengan suara kemarahanku. Namun, bicara saja aku tak mampu, apalagi harus berteriak memaki orang yang ada di depanku.

Pak Bima mendekatiku kemudian berlutut di depanku. Dia bersimpuh sambil menundukkan kepalanya. Bahunya gemetar, mungkin dia sedang menahan emosi, atau mungkin terisak meluapkan tangis.

"Kiara, Maafkan aku," ucapnya parau. Dia mendongkakkan kepalanya ke atas. Mata indahnya menatapku dengan tatapan nanar. Manik mata itu berair, Pak Bima menangis di hadapanku.

Aku tidak tau harus merespon seperti apa. Aku marah tapi gejolak ini melunak seketika ketika melihat keadaan Pak Bima yang tidak karuan. Kupegang lengan kekar itu, "Berdirilah, Pak!" pintaku. Dia menunduk, seolah tidak mengindahkan ucapan yang keluar dari bibirku barusan.

Aku jongkok di depannya, lalu mengusap pelan bahunya, "Kita bicarakan ini baik-baik ya, Pak. Kita jelaskan kepada semua orang bahwa apa yang terjadi di sini hanyalah kebetulan. Kita sedang tidak sedang melakukan apapun," bujukku.

Dia menggeleng pelan, "Biarkan semua orang menganggapku sebagai orang brengsek. Maaf telah melibatkanmu dalam masalah ini ... Nanti malam, aku bersama Ayah akan datang ke rumahmu untuk melamar," jelasnya.

"Apa maksud, Bapak?" Aku mencengkeram lengan kekarnya, meminta penjelasan dari pernyataan yang baru saja dia sampaikan.

"Izinkan aku menikahimu, Ra," ucapnya lirih. Penuh pengharapan.

"Kita tidak saling mencintai. Bagaimana kita bisa menjalankan ikatan pernikahan tanpa sebuah cinta?" jawabku penuh emosi.

"Aku berjanji, aku akan membahagiakan mu semampuku ... jadi, mari kita membangun rumah tangga bersama."

Aku melempar lengannya dengan kasar, "Aku ingin pulang," kataku.

"Aku antarkan, ya, Ra?" tanyanya.

"Aku sedang ingin sendiri!" bentakku.

"Baiklah. Hati-hati di jalan, Kiara," pesannya padaku.

Aku tidak habis pikir dengan Pak Bima. Kenapa dia seolah membenarkan semua praduga salah yang ada di benak orang-orang. Dia kekeuh ingin menikahiku, padahal kita tidak saling mencintai.

Usiaku memang sudah hampir menginjak kepala tiga, aku juga mendambakan pernikahan, tapi tidak begini caranya.

Aku keluar dari ruangan, meninggalkan Pak Bima yang masih duduk bersimpuh dengan mata yang tergenang oleh tangis.

Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju ke stasiun kereta. Pikiranku kalut. Aku tidak tau harus bagaimana aku menjelaskan semuanya kepada Ayah dan ibuku. Semua kejadian ini diluar kendaliku, terjadi begitu saja tanpa aku minta.

Aku sengaja pulang menaiki kereta api. Harapanku stasiun masih ramai seperti tadi pagi, hingga membuat aku kesulitan mendapatkan tiket kereta untuk pulang. Namun, harapan hanyalah harapan. Nyatanya ketika kakiku menginjak stasiun ini, ramai yang kuimpikan lenyap bersama dengan rasa rinduku kepada rumah.

Pak Bima berkali-kali menghubungiku via telepon, tapi tak satupun panggilan yang kuindahkan. Pikiranku masih berkecamuk. Takut, sedih, kecewa, marah semua bercampur menjadi satu.

Sampai di depan rumah, adikku langsung menghambur ke arahku. Berlari mengelilingi tubuhku kemudian menatapku dengan ekspresi sedih, "Kakak enggak bawa oleh-oleh?" tanyanya.

Aku menggeleng pelan, ingin rasanya kujawab 'Oleh-oleh kakak adalah kabar buruk untuk keluarga kita, Dek,' keluhku dalam hati.

Aku ke dalam rumah dengan kehampaan tanpa obat. Ibu sedang menonton televisi, sedangkan Ayah masih belum pulang kerja. Aku diam seribu bahasa. Menyapa ibu dengan ciuman tangan takzimku."

"Kok pulang gasik, Nduk?" tanya ibu.

"Iya." Cuma itu kata-kata yang keluar dari bibirku. Aku mengunci diri di kamar, menunggu Ayah pulang kerja, sambil menghitung mundur waktu, sampai sore menjelang.

************************************************

"Ayah, nanti temanku akan ke sini beserta dengan orang tuanya," ucapku dengan sangat hati-hati.

"Datang ya tinggal datang to, Nduk. Bilang saja saja ibu, biar di buatkan masakan untuk makan malam," jawab Ayah diselingi tawa renyahnya.

"Mmmm .... Anu, Yah ... Mereka ingin melamar Kinar," jelasku terbata.

"Melamar? Temanmu? Siapa?" Mata Ayah terbelalak, menatapku dengan tatapan tajamnya.

"Pak Bima, atasan Kinar di kantor," ungkapku.

"Loh ... Atasanmu sik jarene nyebai kae tah, Nduk?" Ayah menghisap rokok kretek yang diselipkan diantara jemarinya. ("Loh ... Atasanmu yang katamu nyebelin itu to, Nduk?")

Aku mengangguk.

"Kok tiba-tiba melamarmu? Apa kalian pacaran?"

Aku bingung harus menjawab apa. Aku tidak pernah menjalin hubungan dengan Pak Bima, berurusan saja rasanya sudah malas sekali.

"Kami akan saling membahagiakan, Ayah," jawabku kemudian. Hanya itu yang bisa aku katakan kepada Ayah. Dan jika nanti kesalahpahaman itu akan dibicarakan oleh Pak Hans, aku ingin Pak Bima ikut menjelaskan semuanya kepada Ayah.

Aku hanya berharap, semoga acara nanti malam berjalan dengan lancar. Tidak ada teriakan, kemarahan, atau umpatan kebencian yang keluar dari bibir kami. Jika memang Tuhan memberiku jodoh lewat kesalah pahaman ini, semoga pernikahanku selalu dalam lindungan Nya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Faisal Julian
Entah kenapa malah baper aku pas baca
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Complicated Marriage   Kebenaran (I)

    "Baik,Ki. Aku akan pergi dari sini."Aku membenamkan kepala ke dalam dekapan Pak Bima. Rasa muak yang sudah kutahan beberapa waktu terakhir ini, akhirnya tumpah setelah melihat batang hidung milik Putri. Aku tidak menyangka bahwa dia memiliki nyali yang besar untk datang ke rumah ini."Duduk dulu, ya. Kamu butuh minum untuk meredakan emosimu."Jika biasanya aku selalu membantah perkataan Pak Bima, kali ini aku turuti semua saran darinya. Hal ini aku lakukan bukan karena aku ingin membuat Putri cemburu, tapi lebih kepada rasa lelah yang mengungkung hati dan juga pikiranku. Jujur, aku sudah capek dengan segalanya. Jika Pak Bima ingin menuntaskan semuanya saat ini juga, maka aku sudah menyiapkan hatiku."Minum dulu, Ki." Dia menyodorkan segelas air bening kepadaku. "Tarik napas dalam-dalam, kemudian keluarkan pelan-pelan."Pak Bima berjalan memutariku, kemudian memposisikan diri tepat di samp

  • Complicated Marriage   Usir Dia dari Sini!

    Aku menangis setelah berada di dalam kamar. Setiap kali membahas tentang Putri, rasa sakit akibat cemburu ini tidak bisa dikendalikan. Aku selalu terbayang bagaimana dulu Pak Suami menjamah tubuh Putri dan kini aku pun pernah melakukannya bersama dengan Pak Bima. Rasa-rasanya aku seperti sedang berbagi raga dengan sahabat baikku sendiri dan saat ingatan itu muncul, dadaku terasa begitu sesak."Ki, Kiara, jangan marah. Kita bicarakan baik-baik masalah ini, Ki." Pak Bima mengetuk pintu kamar dengan keras.Aku menutup kedua telingaku menggunakan telapak tangan. Suara dari Pak Bima mengetuk hati. Membuat rasa sakit yang bersemayam di dalam sana, menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhku."Kiara, saya minta maaf jika saya selalu mengecewakanku. Saya salah, tapi untuk kali ini biarkan saya menjelaskan semuanya kepadamu." Dia menaikkan ritme ketukan pada pintu kamar ini."Kiara." Dia memanggil namaku dengan suara

  • Complicated Marriage   Putri dan Bubur Ayam

    Sudah tiga hari ini aku berdiam diri kamar. Rasa sakit dan kecewa akibat kebohongan Pak Bima, masih terpahat rapi di sudut hatiku. Aku sudah berkali-kali menafikkan semua pikiran negatif tentang dia dan juga Putri. Namun, semakin kutolak, pikiran jelek tersebut semakin terpatri di dalam pikiranku.Aku beranjak dari kasur menuju meja rias. Setelah beberapa kali mengamati, ternyata wajahku lebih cocok dikatakan mirip Alien dari pada seorang wanita yang sedang patah hati. Mukaku terlihat sangat kuyu dengan tatapan mata sendu dan manik yang berkantung karena kurang tidur.Aku tidak tahu bagaimana keadaan Pak Bima setelah dia terjatuh dari tangga 3 hari yang lalu. Setelah aku masuk ke dalam kamar, aku tidak lagi mendengar panggilan darinya. Bisa jadi saat ini dia sedang meringis kesakitan, atau justru sedang tertawa karena dirawat oleh Putri. Ah, sial! Pikiranku selalu saja lari ke sana. Sadar atau tidak, ada rasa iri dan kesal ketika teringat akan sosok Putri. Kepolosan ya

  • Complicated Marriage   Jatuh dari Tangga

    Bima PoV'BRAK'Aku mengusap dadaku perlahan, gebrakan pintu di balik sana membuat jantungku melompat dari tempatnya."Telan semua alasan dan juga rahasiamu! Saya tidak butuh dan bahkan tidak peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan kehidupanmu!" Kiara kembali berteriak dari dalam kamar tidur. Suara melengkingnya membuat hatiku hancur. Aku tidak menyangka bahwa kesalahpahaman ini ternyata membuat dia semarah ini kepadaku.Dengan dada yang masih berdegub kencang, aku mulai beringsut mundur. Rasanya percuma aku berdiri terpaku di depan kamar seperti ini, sebab sekeras apapun aku berusaha untuk meyakinkan, Kiara tetap tidak akan mempercayaiku.Aku duduk termenung dengan kedua tangan menyangga kepala. Rasa sakit yang tadi bersemayam di dalam hati, kiri merembet naik ke kepalaku. Denyutan demi denyutan menjalar dari pelipis naik ke ubun-ubun. Jika seluruh bagian yang ada di kepalaku ini bisa berteriak, pasti ruangan ini sudah gaduh den

  • Complicated Marriage   Kiara Marah

    Sejujurnya aku masih tidak menyangka, bahwa ternyata dua orang yang paling aku percaya tega membiarkanku larut dalam ketidaktahuan. Aku kecewa dan tentunya marah kepada mereka. Dulu ketika Putri datang ke rumah dalam keadaan hamil dan meminta perlindungan, aku beserta dengan orang rumah membuka lebar pintu rumah kami, sebagai tempatnya untuk bersandar dan berpulang. Aku tidak tahu siapa orang yang tega memperlakukan Putri dengan cara yang tidak baik, merenggut kesuciannya, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa sebuah kejelasan. Putri pun selalu bungkam ketika kami menanyakan siapa orang brengsek yang berani menghamilinya dan tidak mau bertanggung jawab, atas bayi yang ada di dalam kandungannya. Tiga tahun sudah dia memendam semuanya sendirian, dan hari ini semuanya terbongkar. Aku akhirnya tahu bahwa si bejat tidak bertanggung jawab itu adalah Pak Bima, suamiku sendiri. Dengan hati yang sudah terkoyak dan jantung yang detakannya patah-patah, aku mencoba

  • Complicated Marriage   Kiara, Maafkan Saya!

    Aku mengumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa kemudian mendorong kuat-kuat tubuhnya yang masih mendekapku. Sebelum rasa nyaman menguasaiku, sebelum hatiku mulai melemah lagi, aku harus bisa menjauhkan diriku darinya."SAYA MAU PULANG!" Aku kembali membentaknya."Iya, Ki, iya. Kita pulang sekarang." Pak Bima menjawab bentakanku dengan begitu sabar. Suaranya lembut, seperti seorang Ayah yang sedang menghadapi anaknya yang sedang tantrum.Aku berjalan beberapa langkah di depan Pak Bima. Ku percepat langkahku agar dia tidak bisa menyejajarkan posisi kami. Pak Bima berulang kali menggaungkan namaku di koridor hotel, tapi tidak satupun panggilan darinya yang aku respon. Hatiku sudah terlalu sakit dan juga kecewa, tubuhku juga kembali menggigil. Hal ini bukan karena hawa dingin yang mulai menyusup kulit, tapi lebih kepada amarah yang sudah terlalu susah untuk dikendalikan.Pandangan mataku mengarah lurus ke depan tapi tatapan mataku kosong. Jaket yang tad

  • Complicated Marriage   Saya Mau Pulang!

    Tanganku gemetar tatkala memutar handle pintu kamar. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Pak Bima dan Putri bisa setega ini kepadaku. Kemarin aku sudah bertanya baik-baik perihal hubungan mereka. Namun, mereka sama-sama mengatakan bahwa sebelumnya tidak saling mengenal. Aku mencoba untuk berlari, menjauh sebisaku dari kamar hotel yang saat ini sedang aku tempati. Kejadian ini mengingatkanku pada keputusan yang dibuat oleh Ervan beberapa tahun yang lalu, sama-sama menyakitkan dan sama-sama mengandung sebuah kebohongan. Ah... Tapi setelah dipikir ulang, aku rasa kebenaran ini berkali-kali lebih menyakitkan dari pada apa yang pernah Ervan lakukan terhadapku. Aku bukanlah orang yang mudah menjatuhkan hati kepada orang lain, begitu pula terhadap Pak Bima. Namun, setelah aku mempercayainya dan menyerahkan seluruhnya kepada Pak Bima, dia tega berbohong bahkan menyembunyikan sesuatu yang sangat penting dariku, dari istrinya sendiri.Benarkah mereka pernah berhubungan? Jika iya, apa

  • Complicated Marriage   Tragedi Menyesakkan di Lembang

    "Ki, jangan lupa bawa jaket yang tebal, kalau perlu yang banyak deh." Pak Bima melirikku sekilas, kemudian fokus kepada benda kotak yang ada di dalam genggamannya. "Lebay amat! Emang kita mau liburan ke kutub?" Aku menjulurkan lidahku. "Dih, dikasih tau malah ngledek! Besok kalau sampai di sana kamu menggigil kedinginan, saya ceburin ke empang sekalian!" Pak Bima menatapku sengit. "Yakin nih mau nglempar saya ke empang?" Aku beranjak dari posisiku, kemudian berjalan mendekat ke arahnya. "Ya iya lah. Biar tau rasa kamu!" Dia melengos, bibirnya mengerucut ke depan. "Ahh ... Yakin?" Aku naik ke atas kasur, kemudian merangkak mendekatinya. Kebetulan siang ini aku sedang memakai kemeja tanpa motif dengan ukuran oversize, sehingga membuat Pak Bima bisa dengan mudahnya melihat isi kaosku. "Masa sih Bapak tega lemparin saya ke empang?" Dengan posisi seperti orang merangkak,

  • Complicated Marriage   Datang Bulan

    "Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq." Suara lantang milik Pak Bima menggema dengan mantap di langit-langit gedung ini. Aku tersenyum simpul ketika melihat raut wajah leganya setelah mengucapkan kalimat sakral itu. Meskipun ini bukan kali pertamanya dia menerima Ijab dari Ayah, tetapi rasa tegang itu tetap saja melekat padanya, ketika dia melafalkan kalimat kabul."Saahhh?" tanya Pak Penghulu"Saahhhhhh." Riuh sahutan dari saksi dan tepuk tangan mereka membuat debaran yang ada di dalam hati kami mereda.Aku mencium tangannya dengan perasaan bahagia, sedangkan dia mengecup keningku dengan perasaan suka cita. Kali ini kami benar-benar menjadi suami istri yang sah, baik sah secara agama ataupun negara.Setelah proses ijab kabul selesai, aku dan Pak Bima duduk di depan para tamu. Sebenarnya tidak ada acara yang 'wah' untuk pernikahan kami, hanya saja Ayah memintaku untuk mengadakan peng

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status