Share

Kedatangan Bima

"Kiara, bilang kepada Ayah dan Ibumu, aku  beserta dengan keluargaku akan berkunjung ke rumahmu ba'da Isya."

Kubaca lagi pesan yang dikirimkan Pak Bima beberapa jam yang lalu. Aku melirik jam yang terletak di atas nakas. Semakin malam, perasaanku justru semakin kalut. Aku tidak bisa membayangkan reaksi ayah, jika nanti orang tua Pak Bima menceritakan kejadian di kantor siang tadi. Meskipun itu hanyalah kesalahpahaman semata, namun aku yakin, Ayah dan Ibu pasti marah padaku. Aku tidak memiliki bukti yang kuat untuk menyangkal semuanya, sebab satu-satunya bukti yang bisa kuperlihatkan juga bisa bersuara. Tidak bisa membantuku menjelaskan kejadian sebenarnya kepada orang-orang.

Ruang tamu sudah tertata rapi, jamuan untuk para tamu juga sudah tersaji. Ibu sepertinya sangat senang, mengetahui anak gadisnya akan dilamar oleh orang. Segala hal yang berkaitan dengan penyambutan tamu sudah ibu siapkan dengan baik, meskipun acara lamaran ini sangat mendadak sekali.

Sejauh ini, ayah dan ibu tidak menyimpan tanda tanya terkait dengan acara yang akan berlangsung beberapa jam lagi. Mimik muka sumringah terpancar dari wajah kedua orang tuaku. Ya, setidaknya ayah dan ibu sudah tidak mengkhawatirkan jodohku yang tidak kunjung datang.

Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Aku terkesiap ketika derum suara mobil berhenti di depan rumah. Kusibakkan tirai jendela di kamar, berharap bahwa mobil yang ada di depanku bukan milik keluarga Pak Bima. Mulut jahatku merapal doa-doa buruk untuk mereka, 'semoga ban mobil mereka bocor, dan pada akhirnya mereka batal untuk berkunjung ke rumah ini.'

"Kak Kiara, tamunya sudah datang." 

Seruan adikku membuat jantungku berhenti berdetak sepersekian detik, sesak. Aku memegang dadaku yang debarannya terasa sampai ke ubun-ubun. Tanganku dingin, perutku juga terasa melilit, bukan karena aku sedang sakit, tapi karena aku gugup.

Aku sehat tapi jalanku seperti agak limbung. Aku menegakkan badan agar tidak semakin pusing. Riuh teras rumah membuat pikiran kalutku menjadi semakin berisik. Aku memberanikan diri untuk keluar dari persembunyianku. Dengan langkah patah-patah aku menampakan diriku di depan semua tamu. Aku mencari-cari keberadaan calon suamiku di tengah hiruk pikuk tamu yang sedang berjubel menyalami tangan Ayah. Eh tunggu, Calon suami? Pak Bima maksudnya hehe.

Jantungku berdesir ketika menemukan bayang Pak Bima di antara para tamu, seperti ada yang mengiris lambung dengan pisau yang sangat berkarat, ngilu. Aku mengalihkan pandangan sejenak dan ketika mata kami saling bertemu, tulang-tulangku serasa rontok semua. Malam ini , Pak Bima mengenakan batik slimfit berwarna coklat muda. Wajahnya terlihat lebih cerah daripada biasanya. Rambutnya tersisir rapi, dan senyumnya membuat dadaku bertalu-talu seperti genderang perang. Bibirku refleks melengkung secara sempurna. Malam ini, Pak Bima tampan sekali dan aku terpesona.

Setelah acara salam-salaman selesai, semua orang yang ada di teras menempatkan diri untuk berpindah tempat ke ruang tamu. Meski sedikit sesak, namun ruangan ini mampu untuk menampung semuanya. Aku masih berlindung di balik tubuh ibu. Kepalaku menunduk, takut untuk melihat suasana sekitar.

Acara dimulai dengan perkenalan keluarga. Ayah Pak Bima memperkenalkan dirinya beserta dengan sebagian kecil pasukan yang dibawa, sedangkan ayah juga memperkenalkan aku beserta dengan keluargaku. Aku menghela napas lega, setidaknya belum ada kekacauan yang terjadi di ruangan ini.

"Jadi maksud kedatangan kami kemari, untuk menanyakan ketersedian putri Bapak dipersunting oleh putra kami, Abimanyu Akif Nawasena ..." Kalimat yang diucapkan oleh Pak Hans terdengar janggal, seperti sengaja dibuat menggantung.

Aku memberanikan diri untuk mengangkat wajahku yang sedari tadi menunduk. Tepat ketika aku bermaksud untuk melihat Pak Hans, pandangan Pak Bima sedang fokus ke arahku. Di tengah desiran ngilu yang menyusup ke dalam hati, aku mencoba mengangkat alisku untuk memberi kode kepada Pak Bima. Ruangan seketika hening, menunggu Pak Hans melanjutkan perkataannya. Sedangkan Pak Bima hanya menggeleng lemah, seolah pasrah dengan apa yang saat ini sedang terjadi.

"Namun, sebelum kami melamar putri Bapak, kami ingin menanyakan satu hal kepada Bapak dan juga ibu ..." Pak Hans diam lagi.

Perasaanku tiba-tiba tidak enak. Buliran keringat yang tadi tidak nampak, kini mulai berjatuhan membasahi dahiku. Aku meremas tangan ibu secara refleks. Tanganku dingin. Ingin kabur rasanya dari sini.

"Silakan, Pak. Akan kami jawab semampu kami," jawab ayah sambil tersenyum.

"Apakah Bapak mengetahui kejadian tadi siang di kantor?" tanya Pak Hans dengan senyum yang tersungging di bibirnya.

'deg'

Wajahku pasti pucat sekali. Dadaku kian menyempit, sesak! Akhirnya apa yang kutakutkan pun terjadi, Pak Hans membongkar kejadian si kantor siang tadi. Aku melirik Pak Bima, dia pun juga sama pucatnya denganku. 

'Tuhan, beri aku napas agar kewarasanku tetap ada,' harapku saat ini.

"Kejadian apa? Saya tidak tau, Pak." Ayah menggelengkan kepala, sedangkan ibu menoleh kepadaku.

"Kiara tidak cerita, ya?" tanya Pak Hans lagi.

"Sepulang saya bekerja, Kiara hanya bilang bahwa akan ada teman kantornya yang datang untuk melamarnya malam ini. Selebihnya, tidak ada omongan apa-apa," jelas ayah, "atau Ibu tau sesuatu?" Ibu hanya menggeleng.

"Tadi siang saya kebetulan berkunjung ke kantor Bima. Namun, ketika saya sampai di depan ruangannya, saya mendengar ada erangan gadis dari arah dalam. Hati saya rasanya tidak tenang, maka saya memutuskan untuk membuka paksa ruangan milik anak saya ..." Pak Hans menghela napas, berbeda dengan aku yang saat ini sedang kesulitan untuk bernapas. Badanku rasanya dingin, gemetaran.

"Saya sebenarnya tidak mau mengatakan hal ini kepada Bapak. Tapi, saya merasa resah ... Anak Bapak sedang melakukan adegan tidak senonoh dengan Bima. Untuk itu, malam ini saya kemari untuk bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh anak saya, terhadap putri Bapak." Pak Hans mengakhiri omongannya dengan desah napas panjang, seolah beban yang ada di pundaknya luruh.

 

Ayah menoleh ke arahku, kemudian menatapku dengan tatapan mengintimidasi. Getaran di tubuhku semakin kuat, bahkan mampu mendesak buliran air yang sudah berkumpul di ujung mata.

"Ayah, semua yang terjadi di kantor tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan orang-orang. Aku tidak melakukan apapun dengan Pak Bima." Aku menjelaskan dengan suara parau.

"Lalu?" Baru kali ini, aku mendengar suara ayah dengan nada yang agak tinggi.

"Semua hanya salah paham. Pak Bima sedang membantu mengobati luka yang ada di kakiku."

"Tapi, erangan itu? Desahan itu? Posisi Bima yang ada di kedua pahamu? Apakah itu hanyalah kebetulan?" Pak Hans memotong ucapanku.

"Kinar, Ayah kecewa denganmu!" Ayah membentakku, "Ayah tidak pernah mengajarkan kepadamu untuk melakukan hal di luar norma dan batas kewajaran!"

Nyaliku yang awalnya sebesar gunung, kini menciut menjadi butiran pasir. Aku takut menyangkal ucapan ayah. Ibuku beringsut mundur, lalu terisak di balik tirai ruang tamu.

"Ayah ..." Wajahku sudah basah tergenang air, bibirku gemetar.

"Kamu!" Ayah menunjukkan telunjuknya padaku, "sama seperti jalang! Ayah menyesal telah percaya padamu!" Ayah semakin marah. Aku pun mulai terisak menahan sendu.

"Jangan hakimi Kinar lagi. Dia adalah wanita yang sangat baik. Jika kalian mencari siapa yang salah dalam kasus ini, maka aku yang berhak kalian salahkan." Pak Bima akhirnya angkat bicara.

Aku berharap Pak Bima mau membelaku, menceritakan keberanaran yang sebenar-benarnya.

"Kamu!" Ayah menghantamkan tangannya ke lantai sambil menatap Pak Bima dengan kegeraman. "Kenapa harus Kinar, hah? Apa karena dia orang miskin makanya kamu seenaknya saja memperlakukannya?" Suara Ayah serak.

"Kinar, apa yang kamu lakukan ini sangat memalukan! Bapak ingin kamu segera menikah, tapi tidak begini caranya!" bentak Ayah. Aku beringsut mundur, memainkan jemari untuk mengurangi ketakutanku.

"Saya ingin membahagiakan anak, Bapak," ucap Pak Bima.

"Persetan dengan kebahagiaan. Kalian berdua sudah melukai hati banyak orang!" Baru kali ini aku melihat Ayah mengucapkan kata-kata kasar

"Sudah, Pak, besok pagi kita nikahkan saja mereka." tawar Pak Hans.

"Ini bukan soal menikah atau tidak! Sekali lagi bukan karena itu. Tapi, cara mereka keliru, Pak!"

"Saya tahu, Pak. Saya juga kecewa dengan mereka. Kalau bisa memilih, tentu saya tidak akan suka dia menikahi putri Anda. Tapi kejadian siang tadi membuat hati nurani saya terketuk untuk menurunkan ego saya."

Ayah membuang muka, "Kalau begitu, nikahkan saja mereka saat ini juga!" tegas ayah.

Aku menggelengkan kepalaku sebagai isyarat bahwa aku menolak pernikahan ini. Air mataku deras menetes, sampai-sampai aku kuwalahan untuk menghapusnya. Aku mengiba pada Pak Bima, meminta dia untuk menceritakan hal yang sebenarnya. Namun, tak ada satu patah katapun yang keluar dari mulutnya 

Semua orang yang ada di ruangan ini setuju agar pernikahan antara aku dan Pak Bima dilangsungkan malam ini juga. Sekuat apapun aku tidak menyetujui, pada akhirnya aku hanya bisa menerima keputusan terbanyak dari orang-orang yang ada di sini. Mungkin aku masih beruntung tinggal di daerah perkotaan, jika aku hidup di desa, pasti aku dan Pak Bima sudah diarak keliling kampung tanpa busana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status