Sebagai putri sulung salah satu pebisnis ternama Nusantara, tak pernah Evelyn kira dirinya akan terjerembap dalam skandal cinta satu malam dengan seorang pria yang bahkan tidak dia kenal! Tak hanya itu, berujung hamil membuatnya tersingkir dari posisi pewaris utama dan diusir oleh sang ayah. Beberapa tahun silam sejak kepergiannya ke negara asing, Evelyn kembali ke Nusantara untuk hidup dengan dua bocah kembarnya. Namun, siapa yang menduga bahwa masa lalu kelamnya akan kembali terkuak ketika dirinya bertemu dengan Adam Dean, pria yang menghancurkan hidupnya tanpa sadar dan juga pebisnis terkaya di Capitol! Oh tidak, sekarang pria itu juga atasan Evelyn di kantor! - "Pak Adam, tolong jaga sikap Anda di kantor!" tegas wanita itu dengan mata nyalang. Teguran wanita tersebut membuat pria itu menyeringai. "Ini kantorku, siapa yang bisa menghentikanku?"
View More“Urgh ….” Suara lenguhan terdengar dari sesosok gadis muda yang terduduk dari tempat tidurnya. Dentuman di kepala gadis tersebut membuatnya mengernyit selagi memperhatikan pemandangan sekeliling ruangan yang terlihat asing.
Tidak merasa familier dengan ruangan tempatnya berada membuat jantung gadis itu berdetak semakin cepat. Maniknya bergerak cepat ke arah lain dan berujung membesar di saat pandangannya bertemu dengan keberadaan seorang pria tak berbusana di sisinya. Bukan, bukan hanya sembarang pria, melainkan seorang pria dengan tubuh yang dihiasi otot indah dan menggoda.
Menyadari ada yang salah, gadis itu dengan cepat mengalihkan pandangan ke bawah.. ‘Sial!’ maki gadis itu dalam hati ketika menyadari bahwa dirinya juga tidak berbusana.
Di saat gadis itu masih bergelut dengan keterkejutannya, suara getaran menarik pandangannya pada nakas tempat ponselnya berada. Dia langsung meraih ponsel tersebut dan menemukan sejumlah panggilan tidak terjawab beserta pesan yang belum terbaca dari adiknya.
“Kak Evelyn, Kakak di mana?! Kakak harus pulang secepatnya, Papa sudah marah besar!” kurang-lebih itulah bunyi semua pesan dari sang adik, Risa.
Gadis Bernama Evelyn itu bergegas turun dari tempat tidur. Dia meraih gaun pestanya yang berada di lantai dan mengenakannya dengan cepat. Manik hitam segelap malam miliknya sesekali dilemparkan ke arah ranjang, tempat pria berparas rupawan tertidur dengan pulas.
Memperhatikan sosok pria itu, perlahan ingatan bagaimana tubuh kekar tersebut mendominasi dirinya di malam yang lalu mulai kembali.
Malam itu, ayah Evelyn—Reyhan Aditama—mengadakan perjamuan untuk merayakan ulang tahun perusahaannya yang ke sekian. Sebagai putri sulung dan juga penerus utama bisnis sang ayah, Evelyn tentunya patut hadir dan bertugas menjamu para tamu. Hanya saja, di tengah pesta Evelyn merasa ada yang aneh dengan dirinya.
“Kak, mending Kakak istirahat dulu deh. Itu wajahnya pucat banget loh,” celetuk Risa, anak kedua Reyhan dan adik satu-satunya Evelyn. Gadis itu menyelipkan sebuah kartu kamar hotel ke tangan sang kakak selagi menambahkan, “Ini kartu kamarnya, Kakak balik duluan aja.”
Walau berniat menolak karena tidak ingin meninggalkan tugasnya, tapi Evelyn berujung menerima tawaran sang adik. “Kamar 1001, 1001,” ulang Evelyn selagi mencoba untuk tetap fokus. Bulir-bulir keringat terlihat jelas menghiasi dahi gadis itu, dan pandangannya pun semakin lama semakin buram. Semua itu ditemani jantung Evelyn yang berdetak cepat dan napasnya yang semakin pendek.
Ketika samar-samar melihat nomor kamar yang dia cari, Evelyn menempelkan kartu pada pemindai di bawah pegangan pintu. Namun, alih-alih mendengar suara mesin terbuka, pintu tersebut malah terdorong dengan mudah. ‘Kok kebuka?’ batin Evelyn. Namun, tidak sabar untuk segera membaringkan tubuhnya di tempat tidur, Evelyn hanya menganggap hal tersebut sebagai kelalaian sang adik dan melenggang masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar, tubuh Evelyn semakin lama menjadi semakin panas. Tak hanya itu, kegelisahan yang tadi dia rasakan tidak kunjung menghilang dan malah membuat napasnya sedikit sesak. Mengira gaunnya terlalu ketat, Evelyn pun melepaskan gaun merah yang menyelimuti tubuh rampingnya, menyisakan pakaian dalam berwarna hitam yang kontras dengan kulit putihnya.
Tak sampai sepersekian detik, Evelyn pun membanting tubuh setengah telanjangnya ke atas kasur. ‘Akhir—!' Baru saja punggung Evelyn menabrak kasur, sesuatu mencengkeram kedua tangannya erat. “Ah!” Dalam hitungan detik, kedua tangan Evelyn telah berada di atas kepala.
“Jalang kecil …,” ujar suara dalam milik pria yang sekarang berada di atas tubuh Evelyn. Bau alkohol pekat menyelimuti pria tersebut, pertanda dia tidak dalam kesadaran penuh. “Siapa … siapa yang mengirimmu?” tanyanya dengan nada mengintimidasi.
Ketika seharusnya merasa terancam, mata sebiru lautan juga tubuh kekar menggoda yang terpampang di hadapannya membuat sesuatu dalam tubuh Evelyn berdesir. Ingin gadis itu meminta sang pria asing melepaskannya, menjelaskan alasan bagaimana pria tersebut bisa berada di kamar ini. Namun, di sisi lain, cengkeraman tangan pria itu membuat kulit Evelyn tergelitik dan ingin meminta lebih, terlebih ketika lekukan otot pada tubuh setengah telanjang pria itu seakan mengundang untuk disentuh.
“Lepas!” seru Evelyn, berusaha untuk melawan akal sehatnya yang membuyar. Usaha Evelyn untuk melepaskan diri membuat gadis itu menggeliat, tanpa sengaja menyentuh sesuatu yang membangkitkan gairah sang pria.
“Hah ….” Lenguhan tertahan sang pria membuat inti tubuh Evelyn terbakar gairah. Entah setan apa yang merasukinya, tapi Evelyn langsung menarik pria itu ke dalam sebuah ciuman.
Terkejut, pria asing itu sempat terbelalak, bahkan berniat mendorong Evelyn menjauh. Namun, pagutan menggemaskan pada bibirnya menguak hasrat yang sedari tadi telah dia tahan. Tak lagi mampu menahan nafsu, pria itu pun membalas ciuman Evelyn dengan panas. Kedua tubuh itu bergulir dengan liar di atas tempat tidur, seakan berusaha menerkam satu sama lain.
Ketika bibir mereka terpisah, ciuman sang pria bermata biru berpindah pada leher Evelyn, membuat gadis itu mendesah hebat. “Hah ….” Roh jahat dalam diri Evelyn pun kembali beraksi, membuatnya menarik tangan sang pria untuk menyentuh tubuhnya. “Sentuh aku …,” racaunya dengan nada melantun.
Mata tajam sang pria terarah kepada wajah Evelyn yang kentara menginginkan lebih. Sesuai permintaan, tangannya pun menggerayangi inti tubuh Evelyn, membuat gadis itu mengerang dan mendesah penuh kenikmatan.
Menyambut desahan Evelyn, pria itu menunduk, melumat bibir ranum gadis itu. Tangan kanan sang pria menekan tubuh gadis itu mendekat, mempertemukan hasrat yang mengalir di antara keduanya. Tak lupa juga tangan kiri kekarnya menekan kepala Evelyn, memperdalam ciuman panas yang berlanjut tanpa henti.
‘Aku ingin lebih!’ teriak Evelyn dalam hati, tak lagi mampu menahan gairah yang sempat terbendung.
Dengan lincah, kaki Evelyn melilit pinggang sang pria. Kemudian, tangan gadis tersebut mendorong tempat tidur, mengerahkan tenaga untuk membalikkan posisinya yang berada di bawah menjadi terduduk di atas tubuh sang pria.
Mata Evelyn menggerayangi lawan mainnya. Jari-jari gadis itu menyisir rambut hitam legam sang pria, lalu turun menyusuri hidung tinggi dan bibir tipis pria tersebut.
Evelyn menjilat bibirnya, merasakan sisa alkohol yang berpindah dari bibir sang pria padanya. Jari-jari lentik gadis itu lanjut menyusuri dada sang pria, terus turun ke bawah, sampai akhirnya dia mencengkeram pinggir celana pria tersebut.
Mata hitam Evelyn diselimuti oleh kabut nafsu, dan bibirnya pun mengutarakan, “Puaskan aku.”
Tidak perlu orang cerdas untuk mengetahui apa yang terjadi setelah itu. Yang jelas sekarang setelah dirinya terbangun dari kegilaan, Evelyn sadar dia telah mengacau. Kesucian yang telah dia jaga selama ini hilang begitu saja di tangan seorang pria asing yang tidak dia kenal. Tak hanya itu, dia sendiri yang menyerahkannya!
Ketika dia meraih ponselnya yang berada di nakas, Evelyn membeku di tempat. Fokus gadis itu sepenuhnya mendarat pada dua kartu hotel yang tergeletak di atas nakas.
‘1010 dan … 1001?’
Memikirkan kemungkinan terburuk, Evelyn meraih kartu kamar 1001 dan dengan cepat berlari keluar. Dia pun berdiri di hadapan pintu kamar bagian luar untuk menatap ukiran di atasnya.
‘1010?’ Tubuh Evelyn bergetar hebat, menyadari bahwa dirinya kali ini sungguh tertimpa sial. ‘Bagaimana mungkin aku salah kamar?!’
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments