Tengah malam, Rafan duduk terdiam di balkon kamarnya. Masih memikirkan perkataan ibu panti, yang menyuruhnya untuk mengubah prinsip. “Berubah ya? Baiklah.” Rafan merebahkan diri, karena rasa kantuk mendatanginya. Setelah, mengalami insomnia lagi.
Keesokan harinya, seperti biasa bersiap pergi sekolah setelah dua minggu menghilang tidak ada kabar. Kali ini agak terlihat berbeda, biasanya Rafan malas-malasan sekarang tidak lagi.
Cepat juga berubahnya.
Refan agak terkejut, terus menatap Rafan sudah tidak malas lagi saat berangkat sekolah.
Rafan mengabaikan tatapan Refan, lalu bangkit dan keluar dari rumah. Mereka hanya sarapan berdua, karena orang tuanya pergi dalam waktu tiga hari karena urusan.
“Kakak tungguin!” teriak Refan kesal, sambil mengejar Rafan—karena ditinggal terus.
Rafan kembali mengabaikan, lalu melirik ke arah Refan yang berjalan di sebelahnya sambil cemberut.
“Apa?&rdq
Setelah pulang dari hutan, terlihat Rafan duduk diam dengan raut wajah yang mendadak datar—bahkan terkesan dingin sekali. Sesekali menghela napas gusar, seakan mencoba untuk menenangkan diri, tetap saja agak sulit.Rafan mengumpat kesal, langsung melemparkan dirinya ke tempat tidur. Lalu mengusap wajahnya dengan kasar, sepertinya ada sesuatu yang terjadi?Rafan mulai menarik napas, dan membuangnya perlahan. Sepertinya sudah agak tenang, terbukti matanya sudah terpejam dan tertidur pulas.Pagi harinya, seperti biasa si kembar sudah siap berangkat ke sekolah. Mereka terlihat sedang sarapan, tapi ada hal aneh. Lebih tepatnya, tingkah Refan yang terus menatap aneh ke arah Rafan. Sepertinya, merasa janggal dengan sesuatu?Sedangkan Rafan, terdiam—melamunkan sesuatu dan itu yang membuat Refan janggal. Sepertinya, efek semalam terus memikirkan sesuatu hal yang membuatnya hampir emosi lagi. Meskipun, berhasil menenangkan dirinya.“Kakak!&
Refan bosan di rumah, akibat Rafan pergi. Lalu memutuskan untuk bertemu ketiga temannya yang kebetulan berada di Time Zone. Hari Sabtu dan sekolah libur, selalu dimanfaatkan ketiga teman Refan untuk mencari hiburan. Refan biasanya malas ikut, sekarang bergabung dengan mereka yang kebetulan sedang bermain basket.“Tumben tiba-tiba ingin ikut ke Time Zone,” celetuk Kevan, kembali melakukan shoot ke arah ring.“Bosan saja.” Refan membalas singkat, terus mengamati ketiga temannya.“Masih memikirkan apa yang disembunyikan Rafan ya?” sahut SeanRefan mengangguk pelan.“Tenanglah, tidak lama lagi pasti kau akan tau apa yang disembunyikan Rafan,” celetuk Vero.“Iya,” balas Refan, dengan nada malasnya.“Waktu itu tidak ada yang aneh kan?” sahut Sean lagi.“Tidak, bahkan waktu itu kakak mengajakku ke hutan.”“Masa sih?!”
Refan kesal lagi, karena Rafan masih tidak mau mengatakan apapun, mengenai masalahnya dengan mafia yang dimaksud Raskal tadi. Sedangkan Rafan, mengabaikan tatapan kesal Refan, mulai menyandarkan tubuhya di sandaran bangku dan terpejam—sesekali menghela napas pelan. Yang diinginkannya saat ini, adalah ketenangan. Sebelum hal tersebut, benar-benar terjadi.Refan semakin kesal sekaligus penasaran, memaksa Rafan untuk menjawab lagi. “Kakak!”“Apa? Jika bertanya hal itu lagi, aku belum bisa menjawabnya!” Rafan langsung membalas cepat.Refan bungkam, setelah mendengar ucapan Rafan.Tak terasa hari sudah sore, terbukti semua rekan kerja bergegas pulang. Rafan masih betah duduk di halaman belakang, sedangkan Refan memilih masuk—sudah amat kesal dengan Rafan.“Kenapa disembunyikan terus sih!” gerutu Refan kesal.Rafan melirik sekilas, meskipun masih terdengar jelas gerutu Refan terhadapnya.
Ketiga teman Refan, terlihat sedang duduk di taman komplek. Kevan mulai menceritakan keanehan Refan hingga selesai, pada Sean dan Vero.“Kau mengantar pulang, sampai depan rumahnya ‘kan?”“Iyalah, aku juga panik!” balas Kevan, lalu tersentak saat Rafan muncul di hadapannya. “Ka-kau!”Rafan mengabaikan keterkejutan Kevan. “Jadi gitu ya.” Kala menangkap keberadaan mereka, Rafan memutuskan menyembunyikan diri sembari mendengar cerita Kevan. Detik itu juga, mulai yakin dengan dugaannya.“Apa Refan panik lagi?” tanya Kevan, mulai penasaran.“Ya, terima kasih sudah mengantarnya pulang.” Rafan langsung meninggalkan mereka bertiga.Mereka bertiga hanya bengong, melihat Rafan pergi.Rafan terus melakukan parkour cepat ke rumahnya, tetapi terhenti di atap ruko. “Jadi, sudah mulai menampakkan diri ya? Di hadapan Refan,” gumam Rafan.Manik hitamnya, k
Rafan terus berlari dan melalukan parkour cepat menuju tempat tujuannya, tetapi saat sampai terlihat kosong. “Sudah selesai kah?” Rafan langsung pergi dan mencari lagi sesuatu yang mengganjal pikirannya, atau mungkin sebuah firasat buruk?Sejak berangkat ke sekolah, sudah merasakannya. Akan tetapi, selalu ditepis olehnya dan berusaha agar tidak memikirkan hal yang negatif. Namun, saat di sekolah semakin terasa dan terus mengganjal pikirannya.“Sial! Mereka benar-benar melakukannya!” Rafan mengumpat kesal, terus berlari dan melakukan parkour cepat.Di sisi lain, terlihat mobil hitam milik Rivo melintasi jalan raya, karena rapat yang diadakannya tadi—selesai cepat. Rivo memilih pulang, karena sudah tidak hal lagi yang perlu diurus. “Untung sudah selesai, pusing juga memikirkan banyak urusan penting,” gerutu Rivo, terus fokus menyetir.Saat melewati melewati tikungan tajam, tiba-tiba ada truk yang melaju kencan
Kediaman keluarga Alexander, terlihat ramai karena kedatangan beberapa rekan kerja untuk bertanya mengenai kejadian yang menimpa Rivo.“Anda baik-baik saja ‘kan?” tanya Kean, terkejut saat mendengar berita kecelakaan yang menimpa Rivo.“Hanya luka lecet saja.”“Sebenarnya, masalah apa yang terjadi?” sahut Avian.“Entahlah, karena anak sulungku belum mau menjelaskan masalahnya.”“Begitu. Mungkin saja, anakmu tidak ingin keluarganya khawatir dan berusaha untuk menyelesaikannya sendiri," tutur Avian mencoba menebak.“Ya, tetap saja diberitahu atau tidak diberitahu membuat semuanya khawatir.” Kean kembali menyahut.“Anda benar, sudah dipaksa tetap saja anakku tetap tidak mau memberitahu.” Rivo menghela napas gusar, khawatir dengan anak sulungnya yang memiliki masalah dengan mafia.“Kemarin, Rafan yang menolong?” tanya Avian lagi.
Setelah membantai pembunuh yang disewa Bram, Rafan berjalan keluar dari gang sempit itu berniat kembali ke hutan. Namun langkahnya terhenti, merasa ada seseorang yang terus mengawasinya dari jauh.Rafan mulai menyadari, saat membantai pembunuh bayaran yang disewa Bram. Ada banyak sekali pasang mata yang melirik ke arahnya. Rafan kembali mengamati sekitar, setelahnya berjalan kembali. Lagi-lagi, mendadak terhenti saat seorang laki-laki paruh baya muncul—mulai tersenyum aneh ke arahnya.“Kau menakjubkan, bisa membunuh mereka sendirian.” Orion muncul setelah melihat aksi pembantaian yang dilakukan oleh Rafan.Rafan hanya melirik datar, kemudian berjalan lagi—melewati Orion begitu saja. Orion masih tersenyum aneh, lalu memberi sinyal agar anak buahnya mengejar dan menangkap Rafan. Bahkan, salah satu anak buah Orion langsung membidiknya. Namun meleset, karena Rafan cepat sekali menghindar, kemudian melakukan parkour.Rafan mengumpat kes
Di tengah kota, Orion semakin menatap licik Rafan. Sedangkan Rafan masih terdiam tidak mengatakan apapun, terus menatap Orion.“Kenapa diam? Kau tidak khawatir dengan orang tuamu kah?”Rafan tidak bergeming, tetapi semakin menatap diam Orion, yang terus saja mengoceh bahkan menatap licik dirinya.“Atau jangan-jangan ... kau tidak bisa memikirkan cara untuk menyelamatkan orang tuamu, kah?” sahut Orion lagi, mulai menatap remeh Rafan.“Cara ya?” Rafan akhirnya berbicara lagi, dengan nada agak pelan, bahkan mulai menatap dingin Orion.“Tentu saja. Bukankah kau ingin menyelamatkan orang tuamu?” balas Orion, semakin menatap remeh Rafan.Rafan terdiam lagi, tiba-tiba tertawa. Sepertinya depresi berat yang dialami Rafan, kembali terlihat. Hal itu membuat Orion bingung.“Haha!” Rafan terus tertawa gila, tangannya mulai memegangi kepalanya.“Apa-apaan kau? Orang tuamu dia