DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 3
Aku mengusap wajah dengan gusar. Enak sekali dia, mengusir dan menceraikanku dalam semalam, lalu tiba-tiba saja datang menjemput. Apa dia pikir pernikahan ini hanya mainan? Tapi aku tak akan bersembunyi, mungkin ini saatnya dia harus menjelaskan siapa dia sebenarnya."Aku mandi dulu sebentar. Oh ya Ma, tak perlu menyuguhkan minuman, kalau Mama tak mau tersinggung oleh ulahnya."Mama tersenyum. "Justru Mama ingin lihat sendiri seperti apa dia."Aku hanya menggedikkan bahu. Mama memang harus melihat dengan mata kepalanya sendiri seperti apa Mas Haris yang sesungguhnya.Aku mandi cukup lama, seperti biasa. Tak kupedulikan dia yang menunggu di bawah. Dia harus tahu bahwa dirinya bukan lagi orang yang istimewa untukku setelah kejadian semalam. Setelah berganti pakaian, aku turun ke bawah, bersiap mendengar lagi suaranya."Nadya…"Kami saling tatap lagi. Kemudian, mataku terpaku pada gelas teh yang sudah tinggal setengah yang tergeletak di meja tepat di hadapannya. Dia duduk dengan santai, seolah merasa sangat nyaman berada di rumahku."Nah. Ini semua seperti yang Mama duga. Hanya salah paham."Aku terkejut mendengar kata-kata Mama. Apa maksudnya salah paham? Bukankah semua sudah ku jelaskan semalam?Mas Haris mengangkat gelas tehnya tanpa mengalihkan tatapannya dariku. Dia lalu meneguk isinya hingga tandas. Tak ada raut jijik di wajahnya seperti yang kulihat kemarin ketika melihat kopi yang kubuat tersedia di atas meja.Apa yang sebenarnya terjadi?"Nadya, ayo kita pulang. Papa dan Mama sudah menceritakan semua tentang dirimu. Maaf, kalau semalam Mas membuatmu salah paham."Aku menggeleng."Ini bukan tentang aku Mas. Tapi tentang dirimu. Kau yang menalak dan mengusir ku hanya karena aku memegang tanganmu. Apakah kau sudah lupa?"Mas Haris bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiriku. Tiba-tiba, dipegangnya tanganku."Seperti ini? Jangan mengada-ada Nadya. Bagaimanapun mungkin aku marah karena dipegang oleh istriku sendiri?"Tiba-tiba saja, aku menyadari siapa lelaki yang ada di hadapanku ini. Dia lelaki yang manipulatif dan suka memutar balikkan fakta. Dia bertingkah seolah dirinya tak bersalah di depan kedua orang tuaku."Nah, karena Haris sudah meminta maaf, sebaiknya kalian rujuk dan berbaikan. Apa kata orang kalau kalian sampai bercerai padahal baru dua hari menikah?" Ujar Mama.Aku muntab. Ku tarik tanganku dengan keras dari genggamannya."Seharusnya Mama tanya dia. Dia yang menceraikan aku." Lalu aku menoleh pada Mas Haris. " Dan asal kau tahu, aku tidak peduli jika jadi janda, daripada tersiksa batin hidup bersamamu.""Nadya, tolong. Tekan egomu. Aku sudah bersedia datang menjemput dan meminta maaf. Apakah menurutmu itu mudah?"Aku melengak. "Itu hal yang mudah saja, bagi lelaki normal yang menghargai wanita."Wajah Mas Haris memerah. Dia tentu mengerti maksudku. Ya. Aku mulai merasa bahwa dia bukan lelaki normal. Lelaki mana yang bisa menolak jika ada perempuan disampingnya, halal dan menunggu dijamah?"Papa. Mama. Aku tidak bisa menerimanya lagi. Mungkin jodoh kami memang hanya dua hari saja."Tanpa menunggu reaksi semua yang ada di sana, aku berlalu. Tapi kemudian kurasakan langkah kaki Mama mengikutiku."Nadya! Tunggu!"Aku menghela nafas. Sesungguhnya, hubunganku dengan Mama tidak sebaik dengan Papa. Mama yang egois dan kerap memaksakan kehendak seringkali membuat kami bertengkar. Dan pernikahan ini terjadi pun karena Mama."Mama mengenal Haris. Dia lelaki yang baik. Rujuklah dengannya."Aku terkejut. Bukankah semalam Mama sudah melunak? Beliau bahkan ikut marah mendengar bagaiamana Mas Haris memperlakukanku."Tidak. Cukup sudah dia menghinaku semalam Ma.""Itu hanya salah paham. Buktinya kau lihat dia minum teh yang Mama sajikan bahkan sampai habis."Aku tertawa sumbang. "Ternyata dia pandai bersandiwara.""Kau salah menduga maksud perkataannya semalam Nadya.""Sama sekali bukan. Dia lelaki dewasa dan sangat cerdas. Dia seharusnya tahu resiko dari kata-katanya.""Kau mau membuat keluarga kita malu?"Aku menatap Mama. Perempuan yang melahirkanku itu memasang wajah sedih dan mata berkaca-kaca."Mama mohon Nadya, seluruh rekan bisnis Papamu dan juga teman-teman Mama akan bergunjing jika kau menjadi janda hanya dalam waktu dua hari saja.""Jadi, Mama lebih suka aku menahan sakit hati dan kehilangan harga diri?" Tanyaku dengan suara bergetar. Mama, seperti biasa mulai melakukan segala hal agar aku menuruti keinginannyaTanpa kuduga, Mama tiba-tiba berlutut di kakiku. Aku terkejut, refleks mundur selangkah."Mama tolong jangan begini.""Mama akan tetap seperti ini jika kau tak mau rujuk dengan Haris."Aku menekan dadaku yang terasa mulai sesak. Dua puluh enam tahun menjadi anaknya, aku tahu bahwa Mama tidak main-main. Aku memandang ke ruang tamu yang tertutup kain gorden, dimana Papa dan lelaki itu masih bicara. Sungguh aku berharap Papa menolak keinginan Mas Haris dan Mama, yang hari ini sepertinya kompak memojokkanku.Aku mendesah dan berlari ke kamarku di lantai atas."Tidak. Tolong jangan paksa aku!"***Waktu rasanya berjalan begitu lambat. Dari jendela kamar, aku dapat melihat mobil Mas Haris yang tak juga pergi meski siang telah lewat. Apa yang dia lakukan disini? Mengambil simpati orang tuaku?Tok tok tok"Nadya!"Itu suara Papa. Aku mendesah lega. Aku harap Papa berhasil meyakinkan Mama dan juga Mas Haris bahwa perpisahan kami adalah yang terbaik. Sungguh, mereka tak perlu cemas akan statusku. Aku akan menanggung resikonya sendiri.Aku membuka pintu dan tanpa sengaja, melalui pagar pembatas mataku langsung tertumbuk pada sosok Mama di lantai bawah, tak beranjak dari tempatnya semula, bertahan di posisinya. Aku terbelalak."Papa mohon, beri kesempatan Haris sekali ini saja. Demi Mamamu."Aku menatap Papa tak percaya. "Tapi Pa?""Kau ragu karena Haris sudah mengucapkan talak? Papa akan memanggil ustadz Aji untuk menikahkan kalian lagi."Hatiku remuk mendengarnya. Tapi Lagi-lagi, mataku terpaku pada sosok Mama, yang masih berlutut di lantai bawah, di ruang tengah. Tak peduli ART kami yang notabene orang lain melihatnya."Sekali ini saja Nadya, turutilah permintaan Mama. Jika nanti sesuatu terjadi, Papa tak akan lagi memintamu mengerti. Papa akan serahkan semuanya padamu."***AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 20 (ENDING)Dengan perasaan ngeri, aku melihat Surya menggenggam revolver itu, menelitinya sesaat dan tersenyum. Dengan wajah menggila, dia menciumi senjata itu. Aku memandangnya dengan benci. Ternyata, dia tak pernah berubah. Dia masih menjadi budak Sindy."Tembak mereka berdua. Farrel lebih dulu. Aku ingin menikmati saat-saat Intan menjadi gila karena kehilangan suaminya.""Kalian memang pasangan gila." Aku lalu menatap Surya, pada matanya yang kini fokus padaku."Aku tak pernah menyangka. Ku pikir penjara akhirnya akan membuatmu sadar. Permintaan maafmu itu palsu belaka. Dan kau pernah memohon padaku untuk melihat anakmu. Lihat itu!" Aku menunjuk Axel yang berada dalam bekapan tangan Anis, "Itu anakmu, Surya. Anak yang ada dalam perutku saat kau menenggelamkan aku di danau ini."Surya tampak terguncang. Matanya mengawasi Axel, yang tak lagi meronta. Dia tengah menyimak pembicaraan kami."Dia kerap bertanya, apakah benar Ayahnya seorang pembunuh? Kini, kau in
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 19Mas Farrel dapat merasakan tatapanku yang membeku, terpaku pada mobil berbody besar yang tengah memasuki halaman parkir hotel. Dengan dada berdebar kencang, aku menunggu sampai mobil itu benar-benar berhenti. Lalu sepasang kaki jenjang memakai stoking hitam turun. Sepatunya mempunyai heels setinggi lima sentimeter, masih tampak luwes jika dibawa berjalan cepat. Naik ke atas, ada rok span dari kulit yang juga berwarna hitam, dipadu jaket dengan bahan dan warna sama. Aku bersiap melihat wajah Sindy disana. Tapi kemudian aku terkejut.Wanita itu bukan Sindy. Meski ada kacamata hitam besar yang menutupi hampir separuh wajahnya, aku tahu dia bukan Sindy. Wajah Sindy telah melekat dalam ingatanku bertahun-tahun lamanya. Terakhir kali aku melihatnya di depan sekolah Axel beberapa hari yang lalu, wajahnya juga tak berubah. Namun, wanita ini, meski aku tak mengenalnya, ada bagian dari dirinya yang mengingatkanku pada seseorang. Entah siapa.Wanita itu menurunkan kaca
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 18Nadya memelukku erat, berusaha meredam getaran tubuhku. Dia tadi langsung naik taksi ke sekolah dan mengambil alih mobil. Kami akhirnya pulang ke rumahku. Dia lalu menyuruhku merebahkan diri di atas sofa, menyelimuti tubuhku dan meminta Bik Marni membuatkan teh hangat."Bagaimana Sindy bisa berkeliaran di luar? Dan dia tahu anak-anak ada di sekolah yang sama.""Mungkin hanya kebetulan In. Tenanglah.""Apa kau percaya kebetulan, Nad? Bukankah tak pernah ada kebetulan dalam hidup kita selama ini?"Nadya terdiam. Aku memejamkan mata. Bayangan wajah Sindy tak juga mau hilang dari benakku. Bibirnya yang tertawa lebar tanpa suara itu seakan menantangku, mengatakan bahwa penjara tak mampu membuatnya terkurung."Bagaimana kabar keluarga Salma?"Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Bik Marni datang membawakan dua gelas teh hangat dan sepiring bakwan yang masih panas. Aku segera meraih gelas itu, menghangatkan tanganku yang masih terasa dingin."Salma masih di Malays
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH (17)PoV INTANAku meletakkan tas di tas meja dengan hati kalut. Kematian Mantan Ibu mertuaku, yang tanpa sengaja kutemukan di dalam rumahnya akan menjadi babak baru. Bagaimana bisa aku masuk ke dalam rumahnya tepat saat Ibu tiada? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku beruntung karena tak menyentuh Ibu sedikitpun, begitu pula Mas Farrel. Meski begitu menghadapi interogasi polisi ternyata sangat melelahkan. Terutama ketika fakta bahwa aku adalah korban percobaan pembunuhan yang pernah dilakukan oleh si pemilik rumah."Aku akan menelepon Om Helmi, bersiap jika kita butuh pengacara." Mas Farrel memelukku. Kami baru saja pulang dari pemakaman Ibu.Aku mengangguk, menyandarkan kepala ke sandaran sofa sambil memejamkan mata. Setelah sekian lama waktu berlalu, bukankah seharusnya semua akan baik-baik saja? Tapi kenapa aku justru seakan menghadapi hidup yang penuh misteri. Waktu empat belas tahun yang telah berlalu seakan hanya sebuah jeda, sebelum aku akhirnya tiba pada a
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 16POV SURYA"Kita adalah partner paling hebat. Dulu, sekarang, kelak. Aku akan memaafkanmu karena mengabaikanku di penjara. Tapi mulai saat ini, tetaplah disini. Kita lanjutkan semua yang dulu terpaksa terjeda."Suaranya masih seperti dulu, penuh desah dan merayu. Aku menatap matanya dan seketika kenangan itu terlempar ke masa empat belas tahun silam. Di ruang pelantikan, ruangan yang tadinya akan menjadi tempat pelantikan ku, aku merangkak di kaki Intan, memohon ampun. Bukan untuk memintanya mencabut segala tuntutan karena itu tak mungkin lagi. Aku berlutut meminta maaf darinya, meski aku tahu kesalahanku tak termaafkan.Selain itu, aku telah menyadari bahwa sebulan tanpa dirinya adalah siksaan. Aku benar-benar sakit, sampai nyaris bunuh diri. Semua orang melihatku yang sangat terpukul karena kehilangan istri. Namun, yang terjadi adalah, aku tengah dihantam gelombang rasa sesal dan bersalah. Rasa yang ternyata sangat menyiksa."Aktingmu luar biasa. Kau layak
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 15POV SURYAAku terbangun dengan kepala pusing seperti biasa. Terlalu banyak tidur hingga kehilangan orientasi waktu. Entah sudah berapa lama aku disini. Seminggu? Dua minggu? Sebulan? Dua bulan? Rasanya aneh sekali. Bangun, makan, lalu tidur. Bangun, makan dan tidur lagi. Ku pandangi tubuhku. Perlahan tapi pasti, tulang tulang yang kemarin hanya terbungkus kulit, kini berisi. Aku tak pernah kelaparan disini seperti saat di rumah. Jika Mbak Wulan hanya memberiku sepiring nasi ditabur garam setiap hari, disini, segala rupa makanan mewah terhidang dalam jumlah banyak. Aku bisa makan sepuasnya.Tiba-tiba saja aku teringat Ibu. Dadaku langsung berdebar kencang. Ada rasa yang ngelangut disini, sebuah rasa yang tak nyaman. Wajah tua itu membayang, berkerut dan nyaris lupa cara tersenyum. Setelah aku menghancurkan keluarga karena ulahku sendiri, Ibu pasti sangat menderita. Kini, di usianya yang melewati tujuh puluh tahun, Ibu tampak sepuluh tahun lebih tua. Bungkuk,