DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 2
Aku tertegun sejenak mendengar kalimatnya. Sementara mata kami bertatapan, saling mengunci, tak seorangpun mau mengalah. Meski jantungku terasa luruh mendengar kata-katanya, harga diriku terusik dan hatiku yang berdarah menahanku agar tidak mengeluarkan air mata di hadapannya. Tidak. Aku bukan perempuan lemah seperti yang mungkin dia kira. Dan dia, sebagai lelaki yang mengaku berilmu tinggi, tak tahukah dia bahwa kata-katanya barusan sudah merupakan ucapan talak bagiku?Aku meneguk ludah, membasahi kerongkongan yang tiba-tiba terasa kering. Kutatap matanya lekat lekat."Kau menyuruhku pulang? Artinya kau menceraikanku. Baik. Aku akan pulang. Tapi sebagai lelaki yang meminta diriku secara resmi pada orang tuaku, kau harus mengembalikan aku secara baik-baik pula Mas. Sekalian kita selesaikan semuanya."Mas Haris terlihat menghela nafas dengan kasar. Dia lalu memalingkan wajah, menghindari tatapanku."Tidak Nadya. Pulanglah sendiri.""Apa kau sudah gila? Kita baru menikah dua hari dan kini semuanya kandas. Kau harus menjelaskan sendiri pada orang tuaku.""Tidak!" Mas Haris bersikeras. "Aku tak punya waktu untuk mengantarmu. Apalagi menjelaskan apapun. Pulanglah sendiri."Lalu Blam! Dia masuk ke kamar tamu dan membanting pintunya tepat di depan wajahku.Aku menggigit bibir, menahan sesak didada agar tak lantas menjadi gerimis. Ini memang rumahnya. Sebagai seorang dosen bergelar Doktor, dan sering kali diundang menjadi pembicara di berbagai seminar penting, dia tentu lebih dari mampu membeli rumah semewah ini. Tapi, hal ini tidak lantas membuatnya berhak mengusir ku begitu saja. Dia telah mengucap ijab kabul, yang berarti menyanggupi diri menjadi imam bagiku. Lalu, dimana tanggung jawabnya malam ini?Dengan langkah lebar, aku berjalan menuju kamar. Kamar pengantin kami yang masih bersih dan rapi. Ku tarik koperku keluar dari dalam lemari dan mulai memasukkan baju bajuku ke dalamnya. Baju baju yang baru tadi pagi kutata dan kurapikan. Jika menuruti kata hati, ingin rasanya aku menangis. Tapi tidak, tak akan kubiarkan dia merasa menang atas keangkuhannya malam ini.Setelah selesai memasukkan barang barangku ke dalam koper, aku menyeret koper itu ke depan. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika aku memesan taksi online karena mobilku masih di rumah Mama. Sungguh, jika harus menyesal, aku memang menyesal. Tiga bulan berkenalan, kami hanya bertemu dua kali sebelum menikah. Semua diatur oleh keluarganya dan keluargaku. Bagaimana aku tahu bahwa dia seperti ini?"Nadya!"Gerakan tanganku yang tengah menjangkau gagang pintu depan terhenti. Tanpa menoleh, kutunggu dia meneruskan kata-katanya."Jangan katakan bahwa aku menyuruhmu pulang. Bilang saja kalau kau ingin pulang karena tidak betah disini."Aku tertawa getir. Kubalikkan badan hingga bisa menatapnya. Dia berdiri beberapa meter dariku, menjaga jarak."Aku sungguh tidak menyangka. Doktor Haris yang terhormat ternyata seorang pengecut."Dia bergerak gelisah."Turuti saja kata-kataku Nadya. Demi kebaikan keluargamu.""Apa kau mengancamku? Sebaiknya kau pikirkan keluargamu dan nama baikmu sendiri."Aku meneruskan gerakan membuka pintu depan. Udara malam bulan Januari yang dingin menyambutku, membuatku menggigil. Dari sudut mata, aku melihat dia melangkah, menatapku sekian detik sebelum menutup pintu depan dan menguncinya, membiarkan aku berdiri sendirian di teras menunggu taksi online. Sungguh, dia lelaki yang tak punya hati. Bahkan, dia tak pantas disebut lelaki karena memperlakukan wanita seperti ini.Sebuah mobil berhenti di depan pagar. Aku bergegas mendekat dan memeriksa kendaraan itu. Terkejut, melihat sebuah Velfire putih menunggu di depan. Aku melangkah dengan ragu. Tak mungkin mobil semewah ini digunakan untuk taksi online. Aku memeriksa aplikasi, dan terkejut ketika menyadari bahwa mobil ini benar taksi online yang kupesan.Kaca jendela terbuka. Seorang lelaki berpakaian rapi menoleh sambil tersenyum padaku."Mbak Nadya?"Aku mengangguk. Lelaki itu turun dan meraih koper dari tanganku, lalu memasukkannya ke bagasi."Apakah ada lagi?" Tanyanya."Tidak. Tidak ada." Jawabku. Kutepis rasa ragu dalam hati. Bukankah memang banyak anak orang kaya yang iseng iseng jadi sopir taksi online?Aku memilih duduk di tengah, di kabin yang luas dan wangi. Seandainya saja hatiku sedang baik baik saja, tentu aku akan menikmati pengalaman ini. Aku menatap pintu rumah yang tertutup rapat dan menjauh ketika mobil mulai bergerak.Di dalam mobil, tanpa dapat kucegah, air mataku mengalir. Sekuat mungkin kutahan isakan agar sopir di depan tak mendengarnya. Sungguh, hal yang sangat memalukan dan hina, ketika seorang istri diusir suaminya di tengah malam seperti ini. Bahkan di hari kedua pernikahan.Mendekati rumah, aku sudah mulai menguasai diri. Aku tak mau Papa dan Mama melihatku menangis. Aku adalah permata hati Papa. Mana mungkin dia membiarkan diriku terhina seperti ini."Nadya?"Wajah Mama tampak datar ketika membuka pintu dan mendapati diriku berdiri sambil memegang koper."Kau benar-benar pulang?"Aku mengerutkan kening. "Apa maksud Mama?""Haris baru saja menelepon. Katanya kau memaksa pulang karena tak betah tinggal di rumahnya."Dia benar-benar lelaki pengecut yang bersembunyi di balik wajah alim dan gelar terhormat."Tolong jangan membuat Papa dan Mama malu Nadya. Kau ini seorang istri sekarang. Kewajibanmu adalah taat pada suami."Aku menggigit bibir. Belum juga menapakkan kaki di dalam rumah, Mama sudah menceramahiku."Nadya sudah datang?"Aku menarik nafas lega mendengar suara Papa. Tubuh lelaki tercinta itu muncul dari balik punggung Mama dan langsung menarik tanganku."Suruh masuk dulu anakmu Ma." Tegur Papa. Beliau langsung menggandeng sebelah tanganku yang bebas, dan membawaku duduk di sofa. Tanpa kata-kata, Papa langsung memelukku."Putri kesayangan Papa, istirahatlah. Kau bisa menjelaskan semuanya besok."Aku menggeleng. "Tidak Pa. Papa dan Mama harus tahu yang sebenarnya malam ini juga. Aku tak ikhlas jika lelaki itu memutar balikkan fakta." Ujarku sambil menatap Mama yang berdiri sambil bersidekap."Mas Haris telah menalakku dan mengusirku dari rumahnya malam ini, dengan alasan yang sangat lucu dan tak masuk akal."Papa dan Mama terkejut. Mama bahkan kini duduk tegang di depanku. Aku menahan diri untuk tidak menangis meski rasanya sakit sekali. Namun, sentuhan lembut Papa, yang lantas memelukku membuat tangisku pecah.Malam ini, aku telah menjadi janda. Janda yang belum tersentuh.***Aku bangun kesiangan keesokan harinya. Semalam usai menceritakan semua detail pada Papa dan Mama, aku tak bisa langsung terlelap. Benakku melayang pada lelaki itu, yang tampak aneh di mataku. Dia bahkan bergeming saat aku memakai baju tidur yang seksi, atau saat kimonoku tersingkap. Dia seperti tak memiliki hasrat. Apakah dia seorang… gay?Suara ketukan di pintu membuatku bergegas bangkit. Di ambang pintu, Mama berdiri dan menatapku lama sebelum membuka mulut."Turunlah. Ada Haris di bawah. Dia datang menjemputmu."***AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 20 (ENDING)Dengan perasaan ngeri, aku melihat Surya menggenggam revolver itu, menelitinya sesaat dan tersenyum. Dengan wajah menggila, dia menciumi senjata itu. Aku memandangnya dengan benci. Ternyata, dia tak pernah berubah. Dia masih menjadi budak Sindy."Tembak mereka berdua. Farrel lebih dulu. Aku ingin menikmati saat-saat Intan menjadi gila karena kehilangan suaminya.""Kalian memang pasangan gila." Aku lalu menatap Surya, pada matanya yang kini fokus padaku."Aku tak pernah menyangka. Ku pikir penjara akhirnya akan membuatmu sadar. Permintaan maafmu itu palsu belaka. Dan kau pernah memohon padaku untuk melihat anakmu. Lihat itu!" Aku menunjuk Axel yang berada dalam bekapan tangan Anis, "Itu anakmu, Surya. Anak yang ada dalam perutku saat kau menenggelamkan aku di danau ini."Surya tampak terguncang. Matanya mengawasi Axel, yang tak lagi meronta. Dia tengah menyimak pembicaraan kami."Dia kerap bertanya, apakah benar Ayahnya seorang pembunuh? Kini, kau in
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 19Mas Farrel dapat merasakan tatapanku yang membeku, terpaku pada mobil berbody besar yang tengah memasuki halaman parkir hotel. Dengan dada berdebar kencang, aku menunggu sampai mobil itu benar-benar berhenti. Lalu sepasang kaki jenjang memakai stoking hitam turun. Sepatunya mempunyai heels setinggi lima sentimeter, masih tampak luwes jika dibawa berjalan cepat. Naik ke atas, ada rok span dari kulit yang juga berwarna hitam, dipadu jaket dengan bahan dan warna sama. Aku bersiap melihat wajah Sindy disana. Tapi kemudian aku terkejut.Wanita itu bukan Sindy. Meski ada kacamata hitam besar yang menutupi hampir separuh wajahnya, aku tahu dia bukan Sindy. Wajah Sindy telah melekat dalam ingatanku bertahun-tahun lamanya. Terakhir kali aku melihatnya di depan sekolah Axel beberapa hari yang lalu, wajahnya juga tak berubah. Namun, wanita ini, meski aku tak mengenalnya, ada bagian dari dirinya yang mengingatkanku pada seseorang. Entah siapa.Wanita itu menurunkan kaca
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 18Nadya memelukku erat, berusaha meredam getaran tubuhku. Dia tadi langsung naik taksi ke sekolah dan mengambil alih mobil. Kami akhirnya pulang ke rumahku. Dia lalu menyuruhku merebahkan diri di atas sofa, menyelimuti tubuhku dan meminta Bik Marni membuatkan teh hangat."Bagaimana Sindy bisa berkeliaran di luar? Dan dia tahu anak-anak ada di sekolah yang sama.""Mungkin hanya kebetulan In. Tenanglah.""Apa kau percaya kebetulan, Nad? Bukankah tak pernah ada kebetulan dalam hidup kita selama ini?"Nadya terdiam. Aku memejamkan mata. Bayangan wajah Sindy tak juga mau hilang dari benakku. Bibirnya yang tertawa lebar tanpa suara itu seakan menantangku, mengatakan bahwa penjara tak mampu membuatnya terkurung."Bagaimana kabar keluarga Salma?"Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Bik Marni datang membawakan dua gelas teh hangat dan sepiring bakwan yang masih panas. Aku segera meraih gelas itu, menghangatkan tanganku yang masih terasa dingin."Salma masih di Malays
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH (17)PoV INTANAku meletakkan tas di tas meja dengan hati kalut. Kematian Mantan Ibu mertuaku, yang tanpa sengaja kutemukan di dalam rumahnya akan menjadi babak baru. Bagaimana bisa aku masuk ke dalam rumahnya tepat saat Ibu tiada? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku beruntung karena tak menyentuh Ibu sedikitpun, begitu pula Mas Farrel. Meski begitu menghadapi interogasi polisi ternyata sangat melelahkan. Terutama ketika fakta bahwa aku adalah korban percobaan pembunuhan yang pernah dilakukan oleh si pemilik rumah."Aku akan menelepon Om Helmi, bersiap jika kita butuh pengacara." Mas Farrel memelukku. Kami baru saja pulang dari pemakaman Ibu.Aku mengangguk, menyandarkan kepala ke sandaran sofa sambil memejamkan mata. Setelah sekian lama waktu berlalu, bukankah seharusnya semua akan baik-baik saja? Tapi kenapa aku justru seakan menghadapi hidup yang penuh misteri. Waktu empat belas tahun yang telah berlalu seakan hanya sebuah jeda, sebelum aku akhirnya tiba pada a
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 16POV SURYA"Kita adalah partner paling hebat. Dulu, sekarang, kelak. Aku akan memaafkanmu karena mengabaikanku di penjara. Tapi mulai saat ini, tetaplah disini. Kita lanjutkan semua yang dulu terpaksa terjeda."Suaranya masih seperti dulu, penuh desah dan merayu. Aku menatap matanya dan seketika kenangan itu terlempar ke masa empat belas tahun silam. Di ruang pelantikan, ruangan yang tadinya akan menjadi tempat pelantikan ku, aku merangkak di kaki Intan, memohon ampun. Bukan untuk memintanya mencabut segala tuntutan karena itu tak mungkin lagi. Aku berlutut meminta maaf darinya, meski aku tahu kesalahanku tak termaafkan.Selain itu, aku telah menyadari bahwa sebulan tanpa dirinya adalah siksaan. Aku benar-benar sakit, sampai nyaris bunuh diri. Semua orang melihatku yang sangat terpukul karena kehilangan istri. Namun, yang terjadi adalah, aku tengah dihantam gelombang rasa sesal dan bersalah. Rasa yang ternyata sangat menyiksa."Aktingmu luar biasa. Kau layak
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 15POV SURYAAku terbangun dengan kepala pusing seperti biasa. Terlalu banyak tidur hingga kehilangan orientasi waktu. Entah sudah berapa lama aku disini. Seminggu? Dua minggu? Sebulan? Dua bulan? Rasanya aneh sekali. Bangun, makan, lalu tidur. Bangun, makan dan tidur lagi. Ku pandangi tubuhku. Perlahan tapi pasti, tulang tulang yang kemarin hanya terbungkus kulit, kini berisi. Aku tak pernah kelaparan disini seperti saat di rumah. Jika Mbak Wulan hanya memberiku sepiring nasi ditabur garam setiap hari, disini, segala rupa makanan mewah terhidang dalam jumlah banyak. Aku bisa makan sepuasnya.Tiba-tiba saja aku teringat Ibu. Dadaku langsung berdebar kencang. Ada rasa yang ngelangut disini, sebuah rasa yang tak nyaman. Wajah tua itu membayang, berkerut dan nyaris lupa cara tersenyum. Setelah aku menghancurkan keluarga karena ulahku sendiri, Ibu pasti sangat menderita. Kini, di usianya yang melewati tujuh puluh tahun, Ibu tampak sepuluh tahun lebih tua. Bungkuk,