Ken merasakan sengatan matahari begitu keluar dari gedung pengajaran, sore hari ini terasa begitu panas.
Ken mampir ke toko minuman favoritnya dekat fakultas, membeli sebotol Lemon tea. Memikirkan minuman dingin itu saja sudah membuat Ken merasa segar. Ponsel Ken bergetar, ada pesan masuk dari Charlos. [Aku jalan-jalan dengan Sheila] Membaca pesan itu membuat Ken memutar matanya, menjawab dengan tidak peduli, yang lansung dibalas dengan stiker emoji seseorang yang mengirim Flying kiss, yang membuat Ken merasa mual. Kebiasaan untuk saling memberitahu posisi atau aktivitas apa yang dilakukan, entah itu Ken atau Charlos. Sudah biasa dilakukan semenjak mereka diberikan ponsel pertama mereka, yaitu saat di sekolah menengah pertama dan bertahan hingga sekarang. Bahkan meski rumah mereka bersebelahan, Charlos akan mengirim pesan atau menelepon Ken, ketika waktunya tidur atau hal sepele lainnya. "Apa ada yang salah di wajahku?" Ken akhirnya merasa tidak tahan, dan bertanya pada seorang lelaki yang dari tadi terus menatapnya, bisa ia rasakan dari saat masuk membeli minuman. Di cuaca panas ini lelaki itu mengenakan setelan jas yang rapi dan formal, terlihat mencolok di tengah kerumunan mahasiswa di toko yang berpakaian santai. Lelaki itu tersenyum tidak malu ketika diketahui menatap terus pada seseorang. "Maaf bersikap tidak sopan. Hanya saja, wajahmu sangat mirip dengan seseorang yang aku kenal sebelumnya." Ken terdiam dengan alasannya dan menatap senyum ceria lelaki itu, memutuskan untuk segera pergi saat pesanannya tiba. "Lain kali, tolong jangan menatap seseorang seperti itu. Itu membuat seseorang tidak nyaman." Ken memberi nasihat sambil pergi. Mirk menatap pada sosok belakang Ken, semakin tersenyum lebar. "Akhirnya aku menemukanmu juga, Master." Mirk berbisik sebelum terkekeh pelan dan bangkit meninggalkan toko. *** Kedua sudut bibir Sheila melengkung menggoda, mendekatkan tubuhnya lebih dekat pada Charlos. Charlos menatap dengan kilatan main-main di matanya, ingin melihat aksi apa yang akan dilakukan Sheila. Sheila benar-benar datang ke apertemen pribadi Charlos, dengan alasan kakinya lelah sehabis jalan-jalan. Charlos tentu saja tidak keberatan. Tangan Sheila menyelinap masuk ke dalam kaus Charlos, yang segera ditangkap oleh Charlos. Mencegahnya lebih awal dari memancing api. "Jangan memancing, Sheila," peringat Charlos dengan senyum lembut yang tidak sampai ke mata. "Kenapa? bukankah kau menyukainya?" Charlos hanya tersenyum sambil menyingkirkan tangan Sheila. Meski Charlos dikenal sebagai playboy. Ia tidak berhubungan intim dengan mereka semua, paling hanya sebatas ciuman bibir. Jika Charlos berani melakukan hal itu, mungkin kelaminnya yang dalam bahaya. Dipotong oleh ayahnya sendiri, dan kakinya ikut dipatahkan dengan restu sang ibu. Tidak peduli bagaimana rumor negatif tentangnya tersebar, Charlos tetap memegang teguh prinsipnya, apalagi dengan pengingat Ken tentang Sheila. Charlos berniat untuk memutuskannya hari ini, tapi entah kenapa Sheila terlihat sedikit berbeda hari ini. Seperti memberikan perasaan ... merinding padanya, suasananya sama sekali tidak benar sekarang. "Charlos, seharusnya kau tidak menolak." Kata Sheila menggoda, jarinya dengan lembut membelai pipi Charlos. lidahnya menjulur keluar menjilat sudut bibirnya sensual. Charlos diam-diam menelan air liurnya, jantungnya berdebar kencang. Matanya melebar saat melihat kedua mata Sheila. Bahaya. *** Ken mengakhiri panggilan telepon dari Caroline, segera memakai jaket dan menggendarai mobil. Entah kenapa panggilan dari bibinya, membuat hati Ken berdebar-debar cemas, saat menanyakan tentang keberadaan Charlos yang tidak bisa dihubungi. Ken menginjak pedal gas dengan kuat saat kepanikan menguasai dirinya. Menambah kecepatan laju mobil dengan gila, sejenak melupakan aturan lalu lintas. Pikirannya saat ini penuh dengan bayangan-bayangan buruk yang bisa saja terjadi pada Charlos. "Dia pasti baik-baik saja. Pasti." Ken bergumam untuk menenangkan dirinya, namun tetap merasa cemas. Tangannya berkeringat dingin dan mengepal erat pada kemudi, tubuhnya tanpa sadar kau dan duduk dengan tegak. Ken segera sampai di apartemen Charlos dan buru-buru lari menuju lift ke lantai delapan. Ken hapal kata sandi apartemen Charlos dan masuk ke dalam, segera mendengar suara gaduh di kamar Charlos. Ken baru saja membuka pintu kamar, ketika Charlos terbang keluar menabraknya. Mereka berdua terjatuh, dengan Ken tertindih oleh Charlos. Membuat bunyi gedebuk keras dan Ken mengerang kesakitan. "Ken, lari!" Charlos melihat Ken, bukannya gembira tapi menjadi khawatir. Adrenalin dalam tubuhnya memuncak, mengabaikan rasa perih dari luka cakaran besar di lengan kirinya. Dengan panik Charlos buru-buru bangkit, membantu Ken untuk berdiri dan segera lari. Ken sejenak tercengang dan bingung, mendengar ucapan Charlos dan segera berdiri dengan tarikan tergesa-gesa dari Charlos. Apa yang terjadi? Matanya otomatis melihat ke dalam kamar yang berantakan, barang-barang pecah berserakan di bawah. Sheila berdiri di sana dengan kedua sudut bibir lebar mencapai telinga, dan seluruh matanya berwarna hitam. Tentakel hitam muncull dari balik punggung Sheila, dengan cepat meraih dan melilit kaki Charlos dan Ken saat mereka baru mencapai ruang tamu. Rasa panik menyerang Ken saat merasakan tentakel yang dingin dan licin melilit pergelangan kakinya. Rasa dingin itu membuat tubuhnya tegang dan kakinya membeku. Jantungnya berdetak dengan kecepatan yang gila, seperti ingin melompat keluar dari tenggorokannya. Mereka berdua diangkat terbalik ke atas, terdengar tawa Sheila yang menyeramkan dan serak membuatnya merinding. "Sial, kau membawa monster, Charlos!" Ken tidak bisa menahan mengutuk. Merasakan pusing ketika rasanya semua darah mengalir ke kepalanya, membuat pandangannya berkunang. "Aku juga tidak tahu." Charlos menjawab dengan suara gemetar, meratapi kesialan itu dalam hatinya. Saat Sheila mendekati dirinya di dalam kamar, Charlos dengan matanya sendiri menyaksikan mata Sheila berubah menjadi hitam seluruhnya. Terkejut, Charlos mendorong Sheila menjauh darinya dan berniat mengambil jarak darinya. Ia tidak siap saat tiba-tiba tangan Sheila mencakar bahu kiri Charlos. Luka cakaran itu benar-benar menancap ke dalam dan membuat dagingnya menganga, lansung membuat Charlos merasakan perih berdenyut disertai gelombang panas. Darah mengalir deras dan nafasnya menjadi berat saat rasa perih menghantamnya. Namun ia menjadi waspada di tengah ketakutan yang merayapi hatinya. Tentu Charlos membalas dengan meninju wajah Sheila, tapi tidak mengharapkan bahwa tendangan balasan dari Sheila begitu kuat, membuatnya terbang langsung menuju pintu kamar. Sheila keluar dari kamar, penampilannya yang semula cantik kini berubah mengerikan. Tubuhnya meregang menjadi semakin tinggi dan kurus, tulang-tulangnya menonjol dari kulitnya yang sangat pucat. Aroma amis yang sangat kuat menguar dari tubuhnya, membuat Ken dan Charlos mual dan semakin ketakutan. Lidahnya yang panjang, menjilat gigi bergeriginya yang berderet menjajar. Ada cakar panjang berwarna hitam di setiap jari. "Kalian pikir bisa melarikan diri ke mana?" suara Sheila serak dan berat, mengirimkan merinding lagi di tulang punggung Ken dan Charlos. Tindakan tidak terduga dari Sheila adalah membantingkan Ken dan Charlos ke jendela prancis yang lebar, jendela di ruang tamu untuk bersantai dan menikmati pemandangan kota malam dari sana. Charlos dan Ken segera otomatis melindungi kepala mereka ketika membanting kaca, kekuatan dari Sheila sangat kuat sampai memecahkan jendela tersebut. Membuat Ken dan Charlos meluncur keluar dari lantai delapan ke bawah. Keduanya menjerit merasakan perasaan tubuh mereka yang melayang terjun bebas dengan cepat, menukik ke bawah dengan tajam dan suara angin yang menggema terdengar jelas di telinga mereka. Jantung Ken dan Charlos berdebar kencang, detik-detik yang berlalu serasa menyedot kehidupan dalam tubuh mereka. Tiba-tiba ada cahaya hijau bersinar dari anting di telinga kiri Charlos. Cahaya itu menyelimuti Ken dan Charlos seperti sebuah gelembung, membuat keduanya melayang. Keduanya mendarat dengan lembut, saat gelembung hijau hilang mencapai tanah dengan selamat. Nafas Charlos maupun Ken terengah-engah, kombinasi dari ketakutan dan syok membuat tangan mereka gemetar. Mereka sekarang bisa mendengar dengan jelas, suara detak jantung mereka. Ada beberapa luka gores akibat pecahan kaca jendela, tapi mereka tidak peduli. Masih gemetar ketakutan dari pengalaman nyaris mati. "Apa itu tadi?" Charlos bertanya menatap Ken kosong. Ken menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu, ayo cepat lari." Kaki Ken terasa seperti jeli, gemetar dan lemas seolah kekutannya terkuras habis. Namun ia memaksakan untuk berdiri, memikirkan tentang maut yang mengintai nyawanya jika mereka tetap di sini. Charlos yang sejenak kebingungan juga tersadarkan, naluri bertahan hidupnya aktif dan buru-buru berdiri. Memaksakan tubuhnya yang menolak bergerak, untuk melangkahkan kakinya yang lemas. Segera bangkit dan menjauh dari monster. Bagaimanapun juga Charlos tidak mau mati jika seperti ini, ia masih harus selamat dan kabur secepatnya. Bahkan jika ia tidak selamat, biarkan Ken tetap hidup untuk membayar kesalahannya karena membiarkan Ken terlibat dengan Sheila yang berbahaya. Charlos lebih dari rela jika seperti itu. Setiap langkah yang keduanya ambil terasa berat. seperti berjalan di atas berlumpur, tapi adrenalin yang terpacu memicu Ken dan Charlos bergerak. "Charlos, cepat." Ken menarik tangan Charlos erat dengan tangan yang terus bergetar. Menyeretnya untuk mempercepat kecepatan berjalan, walau dirinya sendiri pun masih terhuyung. Ken menggertakkan gigi untuk bertahan, ia harus membawa pulang Charlos dengan selamat pada bibinya, yang sudah pasti sedang cemas di rumah. Tidak akan membiarkan paman dan bibinya merasakan sakit karena kehilangan orang tersayang mereka, sama dengan Ken dan yang kehilangan ibunya. Rasa sakit itu begitu mencekik dan memuatnya tidak berdaya, bahkan hingga sekarang. Cukup ia seorang yang engalami hal itu. Bagaimanapun caranya, mereka berdua harus pergi bahkan jika perlu merangkak, atau ini akan menjadi akhir dari hidup mereka. satu langkah sama dengan menyelamatkan nyawa dari cengkraman monster gila. Tawa keras menyeramkan Sheila terdengar dari belakang, Ken dan Charlos melirik. Punggung mereka menjadi semakin dingin, sama seperti tersengat es begitu melihat Sheila turun dengan mudah. Menggunaan bantuan tentakel hitamnya yang menjijikkan memegang erat dinding. Meninggalkan garis panjang hitam, sama seperti tali yang tidak akan membiarkan mereka lolos dengan mudah. Nafas keduanya semakin cepat dan pendek, otak mereka memanas dengan rasa urgensi. ***Setelah menyadari bahwa semua yang dilihatnya hanyalah ilusi, Ken tidak merasa lega. Sebaliknya, tubuhnya menjadi semakin berat, semua tenaganya terkuras oleh kenyataan yang baru saja menghantamnya. Ia menatap kosong ke lingkungan sekitarnya, matanya tidak fokus seolah pikirannya masih terjebak dalam ilusi. Kepalanya dengan kaku menoleh kepada Charlos, dan bertemu dengan mata ungu yang menatapnya khawatir. "Lihat, Ken? Apa yang aku katakan benar, bukan? Semua yang kau lihat sebelumnya adalah ilusi," jelas Charlos dengan lembut, menatap ke mata Ken yang kosong, lalu pada wajahnya yang seputih kertas. Charlos juga mengamati helaian rambut Ken yang basah oleh keringat dan menempel di pipinya, seperti hewan malang yang kehilangan arah di tengah hujan badai. Ia dengan penuh kehati-hatian mencoba membimbingnya kembali ke kenyataan, sepenuhnya memperlakukan Ken seperti porselen yang rapuh. Ken merasa dadanya masih sesak, napasnya tersengal dengan ritme yang tidak beraturan. Seakan paru-p
Untuk sesaat, Asila panik melihat tatapan gila di mata Charlos. Namun mengingat rekannya yang masih terjebak dalam ilusinya, perlahan ketenangan menggantikan kegelisahannya. Asila membalas tatapan Charlos dengan percaya diri. Meski sedikit mengerutkan kening karena sakit, sikap sombongnya tetap tidak hilang. Darah yang mengalir dari sudut bibirnya tidak menghalangi Asila untuk menyeringai mengejek pada Charlos. "Dengan melepaskan saudaramu, kau pikir aku bodoh, hah?" Charlos juga sadar bahwa Asila memegang kendali terhadap Ken, wajar dia masih begitu sombong meski diinjak dengan keras olehnya. Tidak ada gunanya jika ia terus memaksa, semakin cemas dirinya, Asila akan semakin sombong. Succubus itu pasti akan semakin menjerumuskan Ken ke dalam ilusi, membuatnya berbahaya bagi keselamatannya. Maka, Charlos memaksa dirinya tetap tenang. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menatap Asila tanpa ekspresi. "Baiklah, memang bodoh jika aku meminta hal itu padamu." Lalu sebuah senyum muncu
Bayangan ayahnya muncul kembali, ia selalu menyembunyikan luka di balik senyum yang ditunjukkan padanya. Ken selalu tahu bahwa keberadaannya selalu mengingatkan Gerald pada ibunya. Namun, tidak pernah sekali pun ayahnya mengucapkan kata-kata yang menyalahkan dirinya. Tapi justru itu yang membuat luka di hatinya semakin dalam. Darah di sekitar membuat tubuhnya semakin dingin, bisa dibayangkan betapa sakit ibunya saat berkorban untuknya. "Ibu ... tolong maafkan aku," mohon Ken, suaranya keluar dengan pecah dari tenggorokannya. Di dalam tubuh Ken, Keres mencoba mendobrak penghalang yang menghalanginya untuk terhubung dengan Ken. Ia meraung dengan marah. "Dasar Succubus sialan!" Tidak peduli seberapa keras Keres berusaha, hasilnya nihil. Ia hanya bisa menyaksikan tanpa daya Ken yang terpuruk. Sementara di sisinya, semua sulur bergetar dan meliuk-liuk dengan cemas. 'Papa, sedang kesakitan.' 'Wuwuwu ... kenapa kita tidak bisa membantu papa?' Baik Keres maupun sulur bisa merasakan be
Memasuki ruangan yang gelap, mata Ken menyipit untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan. Baru kemudian ia menyadari, bahwa apa yang ia injak adalah genangan darah. Ken mengerutkan kening, lalu mengeluarkan sulurnya, bersiap untuk menghadapi musuh. Ken melanjutkan langkahnya dengan mantap dan mulai melihat sosok yang meringkuk dengan kepala tertunduk. Detik berikutnya, orang itu mengangkat kepalanya dan menatapnya. Langkah Ken langsung terhenti dengan tubuh yang membeku, matanya melebar dengan tidak percaya melihat sosok itu. Sementara di luar ruangan, Bellis memperhatikan Ken dan Charlos yang masing-masing memasuki ruangan yang berbeda. Ia tidak berani mendekati Ken maupun Charlos, apalagi Mirk, sehingga Bellis memilih menjauh. Tubuhnya remuk hampir tak berbentuk, napasnya berat seolah menghirup pecahan kaca tajam daripada udara. Setiap tarikan napasnya terasa menyakitkan, seperti menggores paru-parunya. Sehingga ia memilih untuk langsung duduk di lantai yang rusak, memanfaat
Saat keluar dari penginapan, resepsionis paruh baya itu mengintip ke arah rombongan Ken. Ia ingat dengan jelas bahwa jumlah mereka adalah bertiga, namun sekarang ada tambahan satu orang lagi. Dari gerak-gerik tubuhnya yang tidak wajar, ia tentu mengerti bahwa gadis itu menderita penyiksaan. Dalam hati paruh baya itu, ia menghela napas kasihan atas nasib buruknya. Kemudian tatapannya bersentuhan dengan pupil merah seseorang, tubuhnya langsung membeku dengan hawa dingin yang membelai punggungnya. Lelaki itu hanya menoleh sekilas, dan memberikan senyuman padanya. Terlihat ramah dan tidak berbahaya. Namun membangkitkan gelombang ketakutan dari lubuk hatinya, ia langsung mengerti makna di balik senyum itu. Sebuah ancaman, peringatan untuk tidak mengawasinya, atau kau akan menyesalinya. Dengan kaku, ia perlahan menarik tatapannya. Untuk sementara ia merutuki kecerobohannya, dan hampir saja melayangkan nyawanya sendiri. Pada pandangan pertama, orang-orang itu jelas sangat berbahaya. Be
Duri-duri kecil menusuk lebih dalam pada kulit lehernya, meninggalkan garis-garis ungu yang perlahan berubah menjadi tetesan darahnya. Secara naluriah, Bellis meronta saat lehernya dicengkeram lebih erat lagi. Napasnya tersengal saat mencoba mengirim lebih banyak oksigen pada paru-parunya. Ken tidak tergesa-gesa, ia menatap Bellis dengan dingin tanpa emosi. Seolah-olah Bellis tidak lebih dari serangga yang bisa ia remukkan dengan santai. Tidak ada rasa kasihan, ia hanya merasa jengkel karena mengganggu istirahatnya. Jemarinya bergerak sedikit, dan detik berikutnya sulur menarik tangan dan kaki Bellis. "Ahhh!" Jeritan melengking memenuhi ruangan, ketika tulang di pergelangan tangan Bellis patah dengan mudah, semudah seperti mematahkan cabang tipis di pohon. Air mata dengan cepat memenuhi mata Bellis, jari-jarinya menegang lalu terkulai lemas tak bisa lagi digerakkan. Rasa sakitnya begitu mendalam hingga otaknya tidak bisa memproses. Keringat dingin mengalir dengan cepat menetes ke