Share

Bab 2

CINTA IBU SAMBUNG

BAB 2

Tuling

Satu pesan diterima. Aku menatap layar ponsel lalu menggeser aplikasi berwarna hijau. Benar saja, aku mendapatkan gambar-gambar ibu sambungku bersama seorang laki-laki. Tapi siapa laki-laki itu? Tapi tunggu sebentar, nomor siapa ini? Nomor yang tidak tersimpan dalam kontakku. 

Segera aku menghubungi nomor tersebut. Namun sayang, sudah tidak tersambung. 

"Siapa orang ini?" gumamku pelan. 

Tok … tok … tok

Terdengar suara ketukan pintu, membuatku meletakan benda pipih itu di meja. 

"Masuk!"

"Sibuk ya?" tanya wanita berhijab setelah terlihat menyembulkan kepalanya.

"Enggak, masuk aja!" Wanita itu kemudian masuk dan segera duduk di sofa yang disediakan untuk tamu. 

"Kenapa?" tanya Karin, teman dekatku. Setelah melihatku sedikit tak bersemangat.

"Lihat deh, ini!" Aku menyodorkan ponsel kepadanya.

"Ini kan Ibu sambung kamu? Sama cowok? Siapa? Fotonya keknya di sengaja muka cowoknya nggak kelihatan. Pasti yang ngirim ini pengen buat kamu penasaran. Tapi bentar deh, sepertinya aku kenal siapa cowok ini? Tapi siapa ya?"

"Memang sepertinya tujuannya begitu!"

"Siapa?"

"Tapi kalau dilihat-lihat begini, Ibu sambung kamu memang hot sih. Jadi siapa aja bisa gandeng dia. Dia cantik, masih muda. Seksi lagi," ucap Karin membuatku menoyor kepalanya.

"Eh, dia itu bini bokap Gua. Jangan ngaco deh!"

"Oh, ya. Satria gimana? Bukannya kalian bentar lagi nikah ya?"

"Ya gitu deh," jawabku dengan menaikan bahu. Entah mengapa aku merasa hubunganku dengan Satria akhir-akhir ini begitu hambar. Ya, Satriya tunanganku, alias calon suami. Dia baik, tampan nan mapan. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini dia sedikit membosankan. Apakah ini salah satu ujian untuk hubungan kami atau apa, aku tidak mengerti. Yang pasti aku sedikit ragu meneruskan hubungan ini. Tapi jika dibatalkan tidak mungkin rasanya. 

"Kenapa? Sepertinya lagi banyak masalah?"

"Entahlah? Aku sendiri juga bingung. Semalam aku dengar wanita itu mende*ah di kamar."

"Wah, bakal punya punya adik ini?" ucapan Karin baru saja malah membuatku merinding.

"Tapi ternyata Ayah lagi nggak ada dirumah."

"Waduh, terus sama siapa dong?"

"Makanya itu aku bingung. Dan barusan ada yang kirim foto itu. Aneh, nggak sih?" 

"Kamu dah telpon bokap belum?" Aku menggeleng. Semenjak kejadian Minggu lalu. Aku seakan enggan menghubungi lelaki tua itu. Rasanya ada gundukan kecewa padanya. Entah, apakah ini hanya perasaanku saja atau tidak. Namun yang pasti Ayah berubah, semanjak wanita ja*ang itu menjadi istrinya.

Minggu lalu Aku dan Ayah bertengkar hebat. Kali pertama kami melakukan itu. Karena suatu hal sepele bagiku. Aku melempar pakaian tepat di wajah istrinya. Membuatnya Ayah naik darah. Entah cerita apa yang Alma ceritakan pada Ayah. Hingga dia begitu marah besar. Ayah berteriak, berkata kasar dan juga mengatakan bahwa aku tidak mempunyai sopan santun.

Ah, mengingat kejadian Minggu lalu rasanya aku ingin pergi meninggalkan rumah itu. Sepertinya ini waktunya aku pergi. Menjadi mandiri hidup di rumah sendiri. Tanpa ada bayang-bayang Ibu sambung seperti Alma.

Ibu, aku rindu. Aku sangat rindu Ibu. Tidak ada yang mengusap rambutku saat bangun tidur. Tidak ada yang memelukku saat aku kesepian. Kini aku sendiri, Bu. Ayah berubah, ayah sudah berubah.

Ibu pergi untuk selama-lamanya lima tahun lalu. Sebuah kecelakaan merenggut nyawanya. Ayah mampu hidup sendiri lima tahun lamanya, hanya bersamaku. Namun entah dari mana datangnya Alma. Dia datang membuat perubahan besar. Aku awalnya tidak merestui, namun melihat senyuman Ayah kembali. Rasanya egois jika aku menolaknya. Akhirnya aku merestui, tapi entah mengapa wanita itu begitu licik. Dia begitu baik paripurna di depan Ayah. Tapi tidak di depanku. Dia berubah menjadi serigala berbulu domba.

Aku melanjutkan aktivitasku hari ini. Kerja dan kerja mampu mengalihkan pikiranku dari hal-hal yang nggak penting.

"Surprise," ucap seseorang yang tiba-tiba membuka pintu. 

"Mas Satria? Ngapain?"

"Kok ngapain sih? Kan aku niatnya ngasih kejutan sama kamu. Kok kamu dingin gitu? Kenapa? Ada masalah lagi?" tanya lelaki itu sembari berjalan mendekat ke arahku.

"Nggak, cuma kok nggak papa. Ini bunga buat aku? Makasih ya, Sayang."

Mas Satriya memberikan sebuket bunga mawar berwarna merah kepadaku. Mengecup kening lalu menatapku dengan seksama. 

"Kamu cantik hari ini." Rayuannya masih sama. Masih mampu menggetarkan hatiku. 

"Mas, ada yang pengen aku bicarakan. Tapi janji kamu tidak akan marah?"

"Apa?" tanya lelaki itu dengan serius.

"Janji dulu jangan marah!"

"Iya, janji. Bicara apa ngomong aja!"

"Bagaimana kalau pernikahan kita di undur? Maaf, tapi sepertinya kalau tahun depan aku belum siap. Ini sudah bulan ke sepuluh."

"Kenapa? Kamu ragu sama aku? Atau jangan-jangan kamu-?" ucapan Mas Satriya sengaja tak dilanjutkan. Mungkin dia curiga kepadaku, karena mengambil keputusan ini dengan tiba-tiba. 

"Aku apa? Nggak ada apa-apa, cuma pengen kerja aja dulu. Kita kan masih muda," ucapku hati-hati agar tak melukai hatinya. Tapi tidak mungkin jika aku harus menceritakan semua kepadanya.

"Muda? Usia kamu sudah dua enam lho. Sedangkan aku, tiga puluh. Usia kita sudah tidak muda lagi. Lagian kenapa mesti ditunda-tunda sih? Makin lama, takutnya malah bubar lagi!"

"Lho kamu kok bicaranya begitu? Jangan berpikir yang enggak-enggak! Lagian niat aku mengundur pernikahan kita itu karena memang aku pengen buat cabang buat butik ini! Bukan yang lain."

"Kalau hanya itu permasalahan, kita kan bisa lakukan bersama. Apa salahnya?"

"Tapi Mas, aku pengen fokus dulu!"

"Ck, terserah kamu lah! Aku pulang dulu!" Mas Satriya pergi begitu saja. Meskipun aku berusaha mencoba memberinya pengertian. Namun sayang, dia terlanjur marah. Apakah aku salah? Mengundur pernikahan karena hatiku merasa ada yang tak benar. Aku harus menuntaskan dulu masalah di rumah. Aku tidak mau rumah tanggaku hancur karena ulah Ibu sambungku. Aku harus tau siapa lelaki yang sudah menghabiskan malam dengan wanita itu.

*****

Aku melirik jam yang melingkar di atas nakas. Jarumnya menunjukan angka sebelas tepat. Malam ini Ayah juga belum pulang. Dia juga tak menanyakan kabar putri satu-satunya ini. Mungkin masih menyimpan kecewa kepadaku. Aku pun berniat menghubunginya, takut jika keadaan ini aku biarkan. Memperburuk hubunganku dengan Ayah.

"Assalamualaikum," salam aku ucapkan kepada seseorang yang ada di seberang telepon.

"Waalaikumsalam," jawab Ayah.

"Ayah, apa kabar? Kok nggak ngabarin Tania? Kapan pulang, Yah?" 

"Iya, Sayang. Maaf, Ayah sibuk. Ow ya, kamu sudah makan?"

"Sudah, Ayah sudah makan?" 

"Tania." Ayah tidak menjawab pertanyaanku. Justru dia memanggil namaku. Sepertinya ada hal serius yang ingin dibicarakan.

"Ya, Yah."

"Ayah, harap kamu bisa dekat dengan Alma, Ibu sambung kamu. Bagaimanapun dia Ibumu. Meskipun umur kalian tidak terlalu jauh, tapi Ayah harap kamu bisa menghormati dia. Seperti kamu menghormati Ayah. Bisa kan? Ayah mohon kali ini!"

"Baik, Yah." Aku terpaksa menyanggupi permintaan Ayah. Jika aku menolak atau berkata buruk tentang Alma. Aku yakin beliau akan jauh lebih marah. Aku harus mengumpulkan bukti-bukti terlebih dahulu. Lalu membongkarnya di depan Ayah. Hingga wanita ja*ang itu angkat kaki dari rumah ini. Cukup lama aku berbincang dengan Ayah dari ponsel. Hingga aku memutuskan menyudahi pembicaraan setelah kerongkonganku terasa kering.

Aku berjalan menuju dapur. menuangkan air ke dalam gelas lalu meneguknya hingga tandas. Mengumpulkan keberanian untuk naik ke kamar atas. Rasa penasaranku semalam membuatku ingin memastikan bahwa malam ini Alma tidak lagi mengeluarkan de*ahan yang menjijikan. Langkahku terhenti di depan pintu ketika erangan itu kembali terdengar.

Dor … dor … dor

"Buka pintunya, Ja*ang!"

Bersambung…..

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
jangan" itu foto alam sama satria
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status