Share

DESAHAN IBU SAMBUNG
DESAHAN IBU SAMBUNG
Author: Pena_kinan

Bab 1

BAB 1

"Ah …." Terdengar erangan dari kamar atas, tepatnya kamar Ibu sambungku. Niatku ingin mengambil minum, sengaja aku urungkan. Suara erangan itu justru menarik perhatianku. 

Segera aku melangkah naik ke kamar atas, memastikan beliau baik-baik saja. Namun lagi-lagi, ada rasa takut dan juga gugup. Hingga membuat kakiku sedikit gemetar. 

Pikiran negatif meracuni pikiranku. Entah karena aku terlalu sering membaca novel-novel yang akhir-akhir ini sedang naik daun, atau pikiranku lah yang terlalu lebay.

Aku kembali menuruni tangga. Karena tidak mau melihat sesuatu yang menurutku bukan ranahku. Apalagi Ayah ada dirumah. Tak baik buat kesehatan jika melihat adegan panas orang dewasa.

"Ah …." Lagi-lagi aku menghentikan langkahku ketika indera pendengaran ini kembali mendengar sesuatu.

"Naik enggak ya?" gumamku pelan. Bertanya pada diri sendiri karena memang tidak ada siapapun disini kecuali aku. 

Aku Tania Baskoro, putri dari Anton Baskoro. Pemilik Showroom mobil yang cukup terkenal di kota ini. Ibuku sudah lama meninggal, sedangkan Ayah sudah kembali membina hubungan. Alma Tiana, Ibu sambung yang umurnya tak jauh dariku. Dia tidak terlihat seperti Ibu sambungku tetapi terlihat seperti saudara kembarku. Cara berpakaian dan juga cara merias wajah, dia jauh dari kata tua. Justru kekinian bak anak muda jaman sekarang.

Ibu Sambung yang datang pada kehidupanku dua bulan lalu. Ayah bilang dia jatuh cinta pada pandangan pertama, seperti pada Almarhum mendiang Ibu. Namun bagiku, Ibu tetaplah Ibu. Bukan seperti bahkan mirip sekalipun.

Aku menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Segera aku urungkan niat dan tetap melangkah menuruni tangga meskipun pada kenyataannya. Aku penasaran, penasaran apa yang sedang dilakukan Ibu sambungku dikamarnya. Hingga erangannya cukup jelas, terdengar di indera pendengaranku.

****

"Pagi, Tania Sayang. Sarapan sini, Ibu sudah siapkan sarapan kesukaanmu. Nasi goreng spesial dengan telur mata sapi," tutur wanita berpakaian sedikit terbuka itu. Rambutnya yang panjang dan berwarna pirang itu sengaja tidak diikat dan dibiarkan terurai begitu saja. Tangannya begitu sibuk menyiapkan nasi diatas piring kosong. Sedangkan mataku tak lepas dari jepit berwarna merah itu yang menempel pada rambutnya. 

Style nya ala-ala Korea, pantas saja jika Ayah tergoda dengannya. Paha mulusnya jelas terpampang nyata. Sepagi ini dia sudah mengenakan dress mini bermotif bunga.

"Ayah mana?" tanyaku pada wanita yang tengah duduk dihadapanku. Aku tak pernah sekalipun memanggilnya Ibu. 

"Ayah? Dia belum pulang dari luar kota!"

"Lha mobilnya kan ada didepan?" 

"Lha kan Mas Anton pakai mobil hitam bukan putih seperti biasanya," jawab wanita itu sembari mengoleskan selai pada roti tawar.

'Lha kalau bukan Ayah, semalam wanita ini dengan siapa?' Aku bermonolog dalam hati. 

Ingin bertanya rasanya tidak sopan, namun pikiran dan juga hati semakin penasaran. Jangan-jangan Ibu sambungku ini bermain api dibelakang Ayah? Jika itu terjadi, tidak akan aku biarkan dia hidup dengan bahagia. Akan aku buat dia menyesal seumur hidupnya telah mengkhianati Ayah. 

"Sepertinya Ayah tidak akan pulang hari ini, katanya sibuk. Banyak yang harus di urus di sana!"

"Hem," jawabku singkat. Bukan karena apa, berbicara pada wanita ini tak pernah aku lakukan kecuali dalam keadaan mendesak. Melihatnya saja rasanya ingin munt*h, apalagi mendengar kata-kata manjanya saat bersama Ayah. Entah susuk apa yang ia gunakan, atau terlalu ampuh pelet yang ia tujukan pada Ayah. Hingga setiap ucapannya, Ayah hanya bisa berkata, ya.

"Kamu itu yang sopan dong, bagaimanapun aku ini Ibumu. Meskipun gelar Ibu tiri yang aku sandang, tetap saja aku ini Ibumu. Ibu yang seharusnya kamu hormati, bukan malah kamu sepelekan seperti ini!" Nada bicaranya mulai meninggi. Membuatku enggan menanggapi, mataku masih saja fokus pada benda pipih di meja. Sedangkan tanganku sibuk mengaduk Nasi goreng di piring. 

"Tania, kamu denger nggak sih?"

Aku menghentikan aktivitasku lalu menatapnya dengan seksama. Sekilas ada guratan amarah yang terlihat dari ekspresi wajahnya saat menatap.

"Apa?"

"Kamu bisa sopan nggak sih? Apa kamu nggak pernah diajari sopan santun sama Ibumu?" teriak Alma membuatku semakin tak menyukainya.

"Jangan pernah bawa-bawa Ibuku, dia jauh lebih baik dari kamu!"

"Baik? Baik itu tidak meninggalkan suaminya saat sedang kesusahan. Baik itu tidak mengkhianati suaminya!"

"Tutup mulu*mu, Ja*ang!" Aku berteriak tak kalah keras. Hingga terdengar Mbok Jum berlarian dari dapur menghampiri kami. Tatapan kami saling mengunci. Sedangkan terlihat dari seberang, sudut bibir Alma terangkat sebelah. Menandakan wanita itu begitu licik nan picik.

"Huuu … marah? Bukankah sudah menjadi rahasia umum, jika Ibumu mengkhianati suaminya? Ha? Kamu tidak tahu atau pura-pura tuli?" Alma melipat tangannya di depan dada. Sedangkan aku, aku sudah cukup Manahan amarah dan bersiap meledak.

"Cukup … cukup, Mbak Tania. Sabar, eling. Bapak lagi nggak ada, nanti kalau Mbak Alma ngadu sama Ayahnya Non, bisa fatal. Mbak Tania lupa kejadian dua Minggu lalu?" (Eling= ingat)

Aku membuang napas lalu berusaha tenang. Benar apa kata Mbok Jum. Jika tidak ada Ayah, wanita ini bisa mengadu yang tidak-tidak padanya. Bisa-bisa aku kena masalah lagi seperti Minggu lalu.

"Mbok, suruh Pak Udin menyiapkan mobil Tania ya, Mbok. Tania mau pergi sekarang!" Pandanganku tak lepas dari wanita yang ada dihadapanku. 

"Iya, Non!" Simbok bergegas menuju garasi mobil. Meminta Pak Udin menyiapkan mobil milikku.

"Pergi sana! Kalau perlu susul Ibu kamu!" 

Aku dengan sekuat tenaga menahan amarah, Ayah harus tahu. Sikap kasarnya kepadaku jika tak ada beliau. Akan aku buat dia angkat kaki dari rumah ini dengan mudah.

Aku meninggalkan wanita itu yang masih duduk di meja makan. Pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Mengendarai kereta besi membelah jalan raya menuju butik dimana aku bekerja. Ya, aku seorang desainer baju pengantin. Memiliki butik milik sendiri meskipun tak terlalu besar. Tapi aku senang itu hasil jerih payahku sendiri. 

Aku menjatuhkan bobot tubuhku pada kursi di ruangan kerjaku. Pikiranku menerawang jauh, memikirkan suara erangan semalam. Dengan siapa wanita itu melampiaskan h*sratnya? Aku harus segera mencari tahu, dengan cepat aku mengambil benda pipih yang berada di dalam tas. 

"Hallo, Mbok. Semalam ada tamu yang datang?" tanyaku langsung pada intinya kepada Mbok Jum. Orang yang bekerja di rumah sudah puluhan tahun.

"Nggak ada tu, Non. Memangnya kenapa?" Pertanyaannya membuatku ragu akan menceritakan apa yang aku dengar semalam. Karena belum ada bukti, takutnya aku yang salah. Bisa-bisa Ayah marah besar nantinya.

"Nggak papa, Mbok. Ya sudah, aku tutup teleponnya." Akhirnya aku memutuskan sambungan telepon. 

Tuling

Satu pesan diterima. Aku menatap layar ponsel lalu menggeser aplikasi berwarna hijau. Benar saja, aku mendapatkan gambar-gambar ibu sambungku bersama seorang laki-laki. Tapi siapa laki-laki itu? Tapi tunggu sebentar, nomor siapa ini? Nomor yang tidak tersimpan dalam kontakku. 

Bersambung


Comments (3)
goodnovel comment avatar
Tuti Alawiyah
kaya nya seru Nic lanjut ah
goodnovel comment avatar
Aripin Izim Wazura
Seru kali ceritanya, teruskan.
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
absen thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status