Malam Ravenstale terasa seperti kuburan yang menunggu pecahnya perang.
Di ruang taktis, hanya napas berat dan detak mesin yang jadi saksi tiga alpha itu—siap membakar siapa pun yang berani menyentuh yang mereka lindungi. Malam yang menekan, dingin dan menggigit menembus baja dinding-dinding itu. David berdiri tegak, tangan di belakang punggung. Kevin di sampingnya, rahang mengeras. Di layar, wajah Dendy membeku. Hening panjang setelah sinyal Deborah menghilang. Hanya suara detak mesin dan napas berat mereka tersisa. David menyipitkan mata, suaranya serak menahan amarah. “Deborah. Kalau ini permainannya, aku pastikan dia tak sempat lempar dadu kedua.” Dendy menunduk sejenak, menahan gelap di dadanya. “Aku yang akan cari dia. Jangan kau ragukan itu, David. Dia bukan darah yang aku akui lagi.” Sorot mata Dendy sekilas redup, seperti ada bayang luka lama di sana. TapiMereka tidak berbicara. Tapi langkah mereka cukup untuk membuat semua menunduk.Blackstone.Pintu besi tua berlapis titanium membuka dengan desisan halus. Di ujung lorong baja yang diterangi lampu senyap—dua bayangan muncul.David Morgan dan Dendy Alexander.Langkah mereka nyaris serempak. Senyap. Tapi setiap langkah menghentak lantai logam dengan presisi seperti dentum palu paladium.Tak ada kemenangan. Tak ada perayaan. Yang mereka bawa pulang bukan cerita—tapi mayat, darah, dan pesan.Pakaian mereka berdebu bara, arang menempel samar di kerah jaket.Sarung tangan Dendy masih bau mesiu.Tatapan David menyapu lorong seperti dewa penghakim yang pulang dari neraka.Petugas jaga langsung berdiri tegak. Bahkan napas pun tertahan—seolah dua malam baru pulang dari perang.Seorang teknisi hendak melapor, tapi sorot mata Dendy cukup untuk membuat lidah
Beberapa luka tak dijahit dengan jarum—hanya dipeluk… dan dibiarkan berdarah bersama.Lampu di ruang pemulihan Blackstone temaram. Hanya satu bohlam menggantung dari langit-langit, berkedip pelan.Mesin monitor berdetak tenang—irama yang menenangkan, tapi juga mengingatkan Helena bahwa jantung Kevin masih berdetak.Helena masih terduduk di sisi ranjang. Tangannya belum melepaskan jaket Kevin.Tatapannya menyapu tubuh lelaki itu yang terbaring diam, selang menancap, mesin berdengung. Tapi wajahnya tenang—datar seperti biasa.Kevin Xavier.Bahkan saat sekarat, pria itu tetap tampak seperti legenda yang tak bisa disentuh.Air matanya turun lagi. Tapi kali ini tidak meledak. Tidak keras. Hanya tetes-tetes pelan, menuruni pipi. Luka yang sunyi.Pelan, Kevin membuka mata. Samar. Tapi cukup untuk mengenali helai rambut itu. Aroma tubuh Helena menyapa pelan.“Lena…”
Ada cara membunuh tanpa suara. Dendy Alexander tak pernah butuh gema untuk bicara.Gudang tua di Pelabuhan Sablecross berdiri sekarat di ujung dunia—atapnya bolong, dindingnya berkarat, dan lantainya berlumur solar dan abu logam.Tapi malam ini, bukan atap yang bocor yang berbahaya.Dendy Alexander sudah masuk.Dan ia tidak datang untuk bernegosiasi.Ia merayap turun dari lantai dua—punggungnya merapat pada tembok, kaki menapaki rangka besi dengan presisi senyap.Kacamata thermal-nya menyala.Tiga titik panas.Di bawah, dua penjaga.Satu bersandar, tertidur dengan senapan masih menggantung di lututnya.Satu lagi, bersandar di dinding, memainkan ponsel.Dendy tak menarik napas.Tangannya sudah di pisau.Ia turun cepat, tubuhnya satu garis bayangan. Begitu mendarat—tak ada bunyi.Langkah mendekat, satu... dua... tiga...
Tak semua doa dinaikkan ke langit. Ada yang dibisikkan ke darah… lalu dibayar dengan mayat.Helena duduk di lantai dingin, punggung bersandar pada dinding baja yang membisu.Di balik pintu logam tebal itu, Kevin masih di meja operasi. Mesin-mesin menyala lirih. Bau antiseptik menusuk hingga tulang.Jaket Kevin ada di pangkuannya—masih berlumur darah. Jemarinya mencengkeram kerahnya erat-erat, seolah itu satu-satunya yang menahan jiwanya tetap utuh.Langkah sepatu berat mendekat.Dendy.Pria itu tak bicara. Ia hanya berdiri di sisi ruangan, diam bagai pilar batu. Matanya menatap pintu seolah bisa menembus dinding besi, mencari detak jantung Kevin di baliknya.Helena tak mengangkat wajah. Suaranya keluar serak.“Dia selamat, kan?”Dendy menoleh perlahan. Tatapannya tetap dingin, tapi nada suaranya berubah.“Dia Kevin Xavier. Dia nggak mati semudah
Di bawah tanah, semua bau mematikan: tembakau, logam, darah.Ruang taktis bawah tanah itu dipenuhi aroma tembakau mahal dan bau logam dingin dari senjata yang tersusun rapi.Lampu redup menggantung rendah, memantulkan bayangan panjang dua lelaki misterius yang duduk di kursi kulit tua, membelakangi deretan monitor yang menampilkan rekaman pelabuhan Velmora Barat.Joshua Brown melangkah masuk, bajunya berlumur darah dan debu, napasnya masih memburu sisa kegagalan.Sepasang matanya liar, gelisah, tapi di hadapan dua lelaki itu, keberaniannya terkikis.Di depan meja kayu hitam itu, kedua lelaki hanya menatap layar—tak menoleh, tak bicara.Satu di antaranya, Salvatore Xavier, lelaki tua dengan topi fedora rendah menutupi separuh wajahnya, mengangkat cerutu, mengepulkan asap tebal yang mengaburkan sinar lampu.Di sampingnya, Immanuel Morgan, paman Helena, menyilangkan kaki, ujung sepatunya m
Velmora Barat tak butuh peluru untuk mengancam. Cukup gelap. Cukup sunyi. Cukup satu langkah salah, dan maut menanti tanpa belas. Mobil Kevin berhenti mendadak. Deru mesinnya padam. Ia turun seorang diri. Angin laut menampar wajahnya, bau karat dan garam menyengat hidung. Matanya menyisir gelap. Begitu Kevin turun, suara Dendy di earpiece bergema. “Kevin, pastikan posisi. Kami dekati radius. Jangan bikin aku harus ngubur kau di sini.” Disusul suara David singkat dan tajam. “Konfirmasi sinyal. Support disiapkan. Jangan gegabah, Kevin.” Kevin sentuh earpiece, rahangnya mengeras. “Tak ada waktu. Aku selesaikan ini semua sendiri.” Klik.Jalur mati. Kevin ingin ini menjadi urusannya. Helena tetap di dalam. Kevin mengunci pintu dari remote—satu langkahnya penuh waspada, bagai bayangan hitam di alta