Tiga dinasti kriminal. Dua pria mematikan. Satu gadis yang jadi kunci perang. Ketika David Morgan menghilang, Helena tak lagi bisa bersembunyi. Antara Kevin—musuh yang mencintainya, dan Dendy—pelindung yang mencintainya dalam bayangan, Helena harus memilih. Dalam dunia penuh darah, cinta tak menyelamatkan. Hanya yang tega… yang bisa bertahan.
Lihat lebih banyakBeberapa anak tumbuh dengan lagu pengantar tidur. Helena Morgan tumbuh dengan suara peluru.
Bagi sebagian anak, malam adalah tempat mimpi, tapi bagi Helena, malam adalah tempat dunia runtuh... satu dentuman dalam satu napas. Langit Velmora malam itu hitam pekat, seolah menyerap semua cahaya dan harapan. Bintang-bintang lenyap di balik asap mesiu, dan langit tak menawarkan ketenangan—hanya gema dentuman dari wilayah perbatasan antara Morgan dan Xavier. Di ruang bawah tanah yang sempit dan lembap, bau besi, tanah basah, dan peluh menyatu dalam udara yang nyaris tak bisa dihirup. Helena kecil duduk gemetar, memeluk boneka lusuh yang sudah kehilangan sebelah matanya. Tubuh mungilnya bersandar pada tembok dingin, tapi bahkan dinding itu tak cukup untuk meredam suara ledakan dari atas tanah. Dentuman peluru terdengar lagi. Dan saat itu terjadi—sesuatu di dalam dirinya retak. Tangannya mencengkeram boneka makin erat. Tubuhnya mulai berkeringat dingin. Nafasnya memburu. Dengung aneh memenuhi telinganya, seperti dunia menyempit dalam satu nada tinggi yang menusuk. Dunia tiba-tiba jadi terlalu sempit. Udara terasa terlalu tipis. Suara teriakan dan tembakan menumpuk jadi satu dan meledak di dalam kepalanya. "Kak... kak... aku nggak bisa napas... Aku nggak bisa—” David langsung bergerak. Ia menjatuhkan sangkurnya ke tanah, lalu berlari ke arah Helena. Ia berlutut, memeluk tubuh mungil itu erat-erat—tangannya menyentuh wajah adiknya, suaranya pelan namun tegas. “Helena. Lihat aku. Tarik napas. Fokus ke mataku. Aku di sini.” Helena membuka mata sedikit—matanya merah, basah. Tapi napasnya mulai terseret-seret perlahan, mengikuti irama suara kakaknya. "Jangan tinggalin aku, Kak... jangan tinggalin aku..." bisiknya. David mengangguk pelan. “Aku nggak akan pergi. Aku di sini. Sampai kamu kuat.” David menyandarkan punggungnya ke tembok, masih memangku Helena yang setengah bersandar padanya sambil memeluknya. Tangan kirinya sedikit gemetar, tapi sorot matanya tetap tajam seperti baja. Napasnya masih terputus-putus, dan darah yang belum kering menetes dari ujung jaketnya. David belum genap tujuh belas tahun malam itu, tapi cara dia menahan napas... sudah seperti orang yang tahu dunia tidak akan memberinya pilihan lain. “Kak… kau berdarah?” David menggeleng. “Bukan darahku.” Ia mengangkat kepalanya sedikit. Matanya mengamati wajah Helena yang masih pucat. Lalu, dengan gerakan pelan, ia menyentuh rambut adiknya—menyisir debu dan serpihan tanah. “Kenapa mereka teriak seperti itu?” bisik Helena. “Kenapa semua orang marah?” David tak langsung menjawab. Ia memungut daun kering yang nyangkut di kepala boneka milik Helena. “Mereka bukan marah. Mereka takut.” “Kalau takut... kenapa mereka saling bunuh?” David terdiam. “Aku nggak suka suara tembakan. Aku nggak suka tempat ini.” David menatapnya. Pandangannya tak goyah, tapi ada gemetar samar di ujung napasnya. “Kak... aku boleh pegang senjatamu, nggak?” “Nanti,” jawabnya pelan. “Kalau kamu sudah lebih kuat dari aku.” “Kalau aku kuat... aku bisa jaga kakak?” David tersenyum. Tapi bukan senyum lega. Itu senyum luka. Senyum seorang anak yang tak sempat jadi anak-anak. “Ya. Tapi aku harap... kamu nggak perlu.” Helena mengangguk. Lalu ia memeluk lebih erat ke tubuh David. “Kalau aku mati... kakak marah nggak?” David menahan napas. Lalu menjawab, “Kalau kamu mati... dunia ini akan kubakar habis.” Ia menoleh sedikit. Di lengan kiri David—tersembunyi di balik darah dan sobekan jaket—terlihat bekas luka lama, melingkar hitam dengan bentuk mahkota di atas pedang, dan akar yang menjalar ke bawah. Lambang itu. Lambang Morgan. Ia menunduk, menyentuh dada kirinya sendiri, tempat yang kadang masih terasa nyeri di malam-malam dingin. Tanda yang sama, tapi lebih kecil, tertanam di sana sejak ia bayi. Ia tak mengingat prosesnya. Tapi David pernah bercerita... ia menangis seharian waktu melihat alat besi panas itu mencap kulit adiknya yang baru lahir. "Darah kita bukan diwariskan. Tapi dibakar ke dalam daging," ujar David waktu itu. Malam ini, untuk pertama kalinya, Helena merasa... cap itu mulai berarti sesuatu. Bukan hanya tanda keluarga. Tapi sumpah. Sumpah bahwa dunia boleh terbakar—asal mereka tak kehilangan satu sama lain. Dan di tengah dunia yang mengoyak malam, dua anak dari garis berdarah saling berjanji dalam diam. Janji yang tak pernah mereka ucapkan dengan lantang. Tapi terekam dalam suara detak jantung mereka yang saling menggantungkan hidup. David mengatur napasnya perlahan, memastikan detak jantung adiknya mulai mereda. Dunia di luar masih hancur, tapi dalam pelukan itu... mereka sempat mencuri sepotong keheningan. Helena akhirnya tertidur di pelukan David, tubuhnya tenang, tapi dunia di luar masih berdarah-darah. Dan di kepala David... suara lain masih bergema—suara yang tak pernah bisa ia lupakan. Karena tidak semua luka datang dari musuh. Tapi luka tidak pernah berdiri sendiri. Seperti Helena, David juga pernah kehilangan... di malam yang bahkan tak bisa ia lupakan walau sudah tumbuh jadi pria dewasa. . . . David Morgan tak pernah benar-benar tahu arti cinta—hingga malam ketika ayahnya memerintahkannya membunuh seorang wanita. Wanita itu bukan siapa-siapa. Hanya bagian dari strategi bisnis Charles Morgan, seperti pion di papan catur. Tapi setelah seminggu mengawasi gerak-geriknya, David mulai goyah. Wanita itu kuat. Jujur. Tatapannya tak gentar menghadapi ancaman. Tapi yang membuat David diam-diam tersiksa... adalah senyumnya. Senyum yang terlalu mirip Helena. Senyum yang seolah berkata: aku tahu dunia ini kejam, tapi aku masih memilih untuk tidak takut. Saat eksekusi dijadwalkan, David mencoba menangguhkan misi. Charles menolaknya mentah-mentah. “Kalau kau lemah, aku yang bereskan urusanmu. Dalam dunia ini, jangan pernah pikirkan perasaan,” ujar Charles dingin. Mata tajamnya seolah mengiris ruang antara mereka. Dan benar saja—Charles sendiri yang menarik pelatuk. Tepat di depan mata anaknya. Darah memercik ke sepatu David. Tubuh wanita itu ambruk perlahan, seolah sempat meliriknya... dan memaafkannya. David tidak menangis. Tidak juga marah. Ia hanya diam. Terlalu beku untuk meledak. Terlalu dalam untuk bisa diselamatkan. Malam itu, dengan tangan sendiri, ia menggali lubang—lalu mengubur wanita itu di tempat tak bertanda. Di antara akar, tanah basah, dan sumpah yang belum terucap. Aku tidak sempat menyelamatkanmu. Tapi aku tidak akan gagal... lagi. Sejak malam itu, David bersumpah Tak ada lagi yang akan mati karena keraguannya. Ketika Helena tumbuh menjadi wanita yang berani—bukan hanya secara fisik, tapi dengan pikirannya yang tajam dan tekad yang keras— David tahu... Helena akan jadi satu-satunya alasan dia bertahan. Dan satu-satunya alasan dia akan menghancurkan siapa pun yang berani menyentuhnya. Sejak malam itu... bukan kekuasaan yang ia jaga. Tapi seseorang yang jadi satu-satunya alasannya untuk tetap manusia.Kadang luka bukan untuk disembuhkan. Kadang luka hanya menunggu cukup lama… untuk tumbuh jadi perang.Malam itu di Drosnya. Bunker tua itu berbau lembap dan besi karat.Lampu kuning redup menggantung dari kabel kusut, menerangi peta besar di meja beton.Setiap titik merah di peta adalah darah yang belum tumpah, tapi sudah dijanjikan.Ronald Xavier berdiri tegak, jas hitamnya rapi meski lantai dipenuhi abu rokok dan serpihan kaca.Wajahnya separuh bayangan, separuh cahaya. Matanya… bukan mata manusia yang bernafas, tapi mata binatang yang tahu waktunya berburu sudah dekat.“Montavaro… Dresvane… Gravemount…” suaranya berat, pelan, nyaris seperti mantra.“Semua retak. Tinggal menunggu jatuh.”Salvatore Xavier masuk, langkahnya ragu.Tubuhnya besar, tapi sorotnya penuh kegelisahan. Ia berdiri di sisi meja, menatap peta itu dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan keraguan.“Kau terlalu lama menunggu, Ronald,” katanya, suaranya dalam tapi tegang. “Sementara kau diam, Kevin menghancurka
Beberapa binatang tidak pernah mati. Mereka hanya menunggu bau darah yang tepat untuk keluar dari sarang.Blackstone masih bergetar. Sirene merah bergulir, asap mesiu belum benar-benar hilang.Bau besi darah bercampur dengan debu beton yang runtuh, membuat udara seperti luka yang belum ditutup.Helena berdiri dengan pistol yang masih hangat di tangannya, Kevin di sisinya, Dendy di seberang, Wolf menjaga pintu.Jari-jarinya masih menegang di atas pelatuk, seolah ototnya belum mengerti bahwa tembakan barusan sudah berhenti.Helena menarik napas panjang, tapi rasanya dada masih terikat besi. Ia bisa mendengar jantungnya sendiri berdetak lebih keras daripada sirene.Setiap kedipan matanya menyalin bayangan gudang lama—darah Falcon, teriakan Kevin, tatapan David. Semua bercampur jadi satu luka yang tidak sembuh.Malam ini, ia tidak lagi berdiri sebagai adik yang menu
Kadang peluru bukan hanya membunuh. Kadang ia mengingatkan siapa yang masih hidup—dan siapa yang berhak berdiri di meja.Blackstone.Lampu darurat merah terus berputar, memecah wajah mereka jadi potongan-potongan bayangan.Helena berdiri paling dekat ke pintu. Suara langkah dari luar makin keras—berat, lambat, tapi pasti.Kevin merapatkan tubuhnya ke Helena, bahunya menempel, pistol di genggaman sudah terangkat.Jemari Kevin masih menahan tangan Helena, seolah genggaman itu adalah tali terakhir yang menjaga kewarasan.“Lena…” suaranya serak, nyaris seperti bisikan doa. “Kau tetap di sini. Apa pun yang terjadi.”Tapi Helena menoleh cepat. Mata hitamnya terbakar.“Aku tidak bisa hanya berdiri lagi, Kev.”Suara itu membuat Kevin terdiam sepersekian detik.Bukan rengekan. Bukan ketakutan. Itu pernyataan.Wolf menoleh sekilas,
Kadang musuh paling mematikan bukan yang menembak dari kejauhan… tapi yang duduk di meja yang sama denganmu.Gudang generator Blackstone meraung pelan, tapi tak cukup memberi cahaya penuh. Ruang taktis hanya disinari lampu darurat merah, membuat semua wajah tampak seperti dipulas darah.Pintu baja bergetar—dari luar, seseorang memaksa sistem manual.Wolf sudah mengangkat senjata, tubuh tegak di samping pintu. Matanya tak bergerak, seperti anjing pemburu yang mencium darah.“Ini bukan serangan luar,” katanya datar.“Seseorang pakai akses dalam.”Kevin berdiri tegak di depan Helena, pistol sudah terarah. Jemarinya masih menahan tangan Helena, seolah memastikan perempuan itu tak akan direbut sekali pun oleh kegelapan.“Kalau mereka bisa sampai pintu ini,” gumamnya dingin, “artinya racun sudah menetes jauh ke dalam.”Dendy tidak bergerak.Tapi justru diam itulah yang membuat udara makin berat. Ia berdiri di ujung meja taktis, cahaya merah menorehkan garis keras di wajahnya.“Buka pintu,”
Ketika meja taktis berubah jadi altar, darah yang menetes bukan hanya dari musuh—tapi dari orang yang seharusnya berdiri di sisi kita.Lorong Blackstone masih bergetar oleh sisa langkah.Hujan di luar menetes ke kaca baja, tapi di dalam, udara lebih berat dari kabut di Belegrive.Malam itu, Blackstone terasa lebih senyap dari biasanya. Senyap yang tidak menenangkan—senyap yang menunggu dentum pertama. Bahkan bayangan di dinding seolah menyimpan rahasia yang bisa menusuk dari belakang.Kevin berjalan paling depan, mantel hitamnya masih basah, Helena tepat di sisinya. Ia menggenggam jemari Helena seolah takut dunia bisa mencuri perempuan itu kapan saja.Tidak ada lagi ruang tarik-ulur. Malam Belegrive sudah memutus semua keraguan—Kevin Xavier berdiri di samping Helena Morgan bukan sekadar perlindungan, tapi klaim.Helena merasakan tekanan jemari Kevin. Bukan sekadar genggaman, melainkan
Mereka pikir peluru yang mematikan—padahal, yang lebih berbahaya adalah rasa yang tak pernah mati.Udara di luar gudang B-12 masih terasa berat.Helena berjalan keluar lebih dulu, napasnya teratur tapi dadanya bergetar.Tangannya masih dingin karena menggenggam pisau tadi, namun yang benar-benar membakar bukan darah di pipi Sylvania—melainkan getaran Kevin yang masih menempel di kulitnya.Kevin menyusul di sampingnya, diam, tapi matanya terus mengawasi setiap gerakannya.Aura protektifnya begitu pekat hingga membuat para pengawal Caspian menahan diri untuk tidak mengejar.Dendy keluar terakhir, langkahnya presisi, pistol masih tergenggam seolah perang berikutnya bisa meledak kapan saja.Jalan beton di luar basah oleh hujan sisa, lampu jalan memantulkan cahaya pucat.Hening. Sampai akhirnya Kevin berhenti, menatap Helena lurus.“Kau terlalu berani,” suaranya rendah, lebih mirip geraman.Helena mendongak, tatapannya menyalak. “Kalau aku tidak berani, kita semua sudah jadi catatan kaki
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen