POV ROEL
Sepulang dari Dokter Intan, aku meminta Rani untuk meminum obatnya. Sesuai petunjuk, obat mual dulu baru setelah itu makan kemudian berlanjut minum obat darah tingginya. Sedikit ketar ketir, sebab Dokter Intan bilang masalah hipertensi dalam kehamilan bisa berujung serius pada kandungan dan janin. Jelas aku sebagai suami juga merasa cemas.
"Jangan terlalu khawatir, Bang. Ini normal terjadi kok. Aku aja santai. Lagipula kan udah ditangani sama Dokter. Ini juga udah bisa makan, udah nggak mual banget," ujarnya sambil mengunyah makanan.
"Makanya, jangan suka menunda makan. Kamu juga punya penyakit asam lambung," kesalku mengkhawatirkannya.
"Iya Abang, maaf," ujarnya.
"Sudah makan yang banyak."
POVRANI"Bang, tadi kamu diam saja. Kenapa?" Aku coba bertanya pada Bang Roel yang masih terdiam."Nggak apa-apa, Sayang," jawabnya."Yang bener?""Bener. Serius.""Bukan karena mikirin Tari?" tanyaku."Untuk apa mikirin orang lain? Mending mikirin istri sendiri dan si dedek yang sebentar lagi lahir," ucap Bang Roel."Tapi Abang tadi diam aja di toko," selidikku."Memang Abang suruh ngapain?" Bang Roel motik ke arahku."Ya mungkin mau ngobrol sama Tari? Aku lihat dia suka ngelirik Abang diam-diam."
POV RANISetelah selesai mandi dan bersiap, aku dan Bang Roel segera keluar kamar menyambut semua keluarga yang sedang berkumpul. Betapa senangnya aku melihat mereka berkumpul dan berbincang sangat akrab. Setelah menyalami mereka semua, aku pun duduk diantara Mama dan Mbak Winda. Sementara Bang Roel diantara Mas Fahri dan Papa mertuaku."Jam segini baru pada bangun," ucap Mama."Iya, kecapekan. Tadi setelah shalat subuh kami kembali tidur. Jadi kebablasan. Bang Roel juga beberapa hari ini sibuk ngirim. Jadi kelelahan," jelasku. Semua orang mengangguk."Mbak dari kapan disini?" tanyaku pada Mbak Winda.
POV Mama Rani"San, gimana keadaan Roel?" tanyaku dengan suara yang sedikit dipelankan. Ya, menantuku itu mengalami kecelakaan pada saat jalan pulang. Mobilnya ditabrak truk bermuatan yang mengalami rem blong. Jangan dibayangkan, jelas saja mobil menantuku itu sampai ringsek. Butuh waktu lumayan lama juga untuk mengeluarkan Roel dan Dion dari dalam mobil. Seperti itu menurut informasi dari besanku lewat pesan pagi tadi. Ia juga mengirim foto mobil Roel. Dapat kurasakan kecemasannya sebagai seorang Ibu saat ini. Begitulah musibah. Terkadang dari diri kita sudah berhati-hati, tapi ada saja dari orang lain."Roel masih berada di ruang ICU. Keadaannya kritis dan belum siuman. Sementara Dion, dia meninggal di tempat kejadian," ucap Bu Marta besanku itu. Suaranya terdengar serak sepertinya habis menangis."Inalillahi wainailaihi rojiun," lirihku.&n
POV ANTONAku baru tahu kabar meninggalnya Bang Roel, itupun karena saat ini aku ke Jakarta untuk berbelanja. Kaget, sangat kaget. Wajar aku tidak tahu karena aku pun kehilangan nomor mereka. Saat Vina mengirim pesan, Juwita salah paham. Dia tuduh aku mau kembali pada Vina. Alhasil ponselku diambil dan di lempar ke sungai dekat rumah. Sedangkan kartu yang menyimpan kontak mereka juga ada di ponsel itu."Turut berdukacita ya, Yudh. Aku bener-bener nggak tahu," ucapku pada Yudha. Hari ini aku berada di toko Bang Roel. Aku salah satu langganan dia sekarang. Semenjak aku buka usaha sendiri, barang Bang Roel lah yang paling banyak aku jual terutama daster. Itu sangat laku keras."Terimakasih Bang Anton. Tak apa, ini sudah tiga bulan kepergiannya.""Umur orang kita memang tidak pernah tahu, Yudh." Sambil menunggu Yudha menyiapkan barang, aku kembali termenu
POVYudha"Abang….!" teriaknya berlari menghampirinya di depan pintu. Beberapa kali aku mengucek mata ataupun menampar pipiku sendiri. Bang Roel berdiri di depan pintu persis. Ini memang dia atau hanya halusinasiku?"Bang!" panggilnya lagi dengan tangis. Mereka berpelukan. Bagaimana mungkin ini terjadi? Bang Roel menangis memeluk istrinya dan mengecupi pipinya. Tangis mereka tumpah di sana. Aku berteriak memanggil Mama dan Papa. Ini seperti mimpi. Bagaimana mungkin orang yang sudah dikubur bisa hidup kembali dalam keadaan sehat, bugar seperti ini? Hanya saja masih ada perban di kepalanya. Kak Rani terus menangis dan memegangi pipi suaminya itu. Meraba setiap inci wajahnya. Setelahnya, perempuan itu kembali masuk ke dalam pelukan pria itu. Tangis keduanya tumpah hingga mereka sama-sama bersimpuh.
POV ROELFlashbackAku kaget saat siuman seorang perempuan cantik tengah menggenggam tanganku. Perlahan aku pegang kepala yang terasa sakit. Oh iya, aku baru sadar saat itu ada truk bermuatan besar yang oleng. Sehingga menyebabkan kecelakaan beruntun. Dari arah yang berlawanan, truk itu menghantam mobilku dan juga pengendara sepeda motor. Mungkin juga kendaraan di belakangku. Hantamannya sangat kuat. Saat kepalaku terbentur kaca, saat itu juga sesuatu mengalir deras di kepalaku dan semua terasa gelap. Aku tidak sadar lagi setelahnya."Kamu siapa?" tanyaku saat itu."Ini aku, Sayang. Istri kamu," lirih perempuan itu dengan bibir gemetar."Istri?" tanyaku. Perempuan itu mengangguk sambil menangis. Wajahnya terlihat t
POV RANITiga minggu berlalu, kami kembali menjalani kehidupan dengan normal. Namun, entah kenapa, aku teringat akan orang tua kandung suamiku. Tersirat di benakku untuk mengajaknya silaturahmi ke tempat mereka. Meski bagaimanapun, mereka tetaplah orang tua kami. Kami tidak boleh menyimpan dendam. Mungkin mereka ingin singgah kesini tapi ada perasaan segan. Tidak ada dendam sih, waktu itu suamiku juga bilang akan tetap menjaga silaturahmi dengan mereka. Mungkin suamiku lupa dengan janjinya. Ah, dia pun juga manusia biasa yang perlu diingatkan. Atau larut pada kebenaran tentang Dion yang telah meninggal dunia. Ya, semenjak dia tahu karyawannya itu meninggal dalam kecelakaan, ia merasa sangat bersalah."Bang, hari ini kita pergi ke rumah Ibu dan Ayah yuk. Kasihan mereka masih dalam suasana berduka. Kita juga t
POV RANIPagi ini kami sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Ini kali pertama aku masak di tempat mertuaku. Ya, mereka juga mertuaku. Karena merekalah Bang Roel terlahir. Cintia pagi ini terlihat sangat manis dan penuh senyum. Wajahnya yang teduh lagi ayu, membuat kedamaian sendiri bagi orang yang menatapnya."Yudha sama Afi mana?" tanya Bang Roel."Mungkin sebentar lagi turun dari kamar," jawab Cintia. Wanita itu mulai menyusun piring di meja makan."Bagaimana keadaan dia?" tanya Bang Roel."Alhamdulillah baik. Semalam sebelum tidur juga mau menghabiskan susunya. Dibujuk oleh Mas Yudha," ujarnya lembut. Tutur suara perempuan itu terdengar halus lagi menenangkan.