"Awww!” pekikku ketika tubuh ini tiba-tiba terseret ke pinggir jalan dengan cepat.
Seperti sebuah dejavu, kini dia menyemalatkanku lagi untuk kedua kalinya. Kami seolah sedang saling berpelukan meski tidak terjatuh.
Beberapa menit kami saling terdiam dan mengumpulkan kesadaran. Tiba-tiba sebuah hantaman keras dari belakang membuat lelaki yang tadi menolongku terhuyung. Dia terjerembab ke sebelah samping.
“Kurang ajar!!!”
Sebuah hantaman melayang kembali tepat di pelipisnya. Aku terkesima, sejenak tidak mengerti harus berbuat apa.
“Berani-beraninya mengganggu wanitaku malam-malam!” pekik orang itu lagi sambil melayangkan kembali sebuah pukulan tetapi kali ini kesadaran Si Abang ketoprak itu sudah pulih. Pukulan itu di
Aku terdiam. Benar perkataannya. Aku tidak tahu apa-apa tentang dia. Bahkan namanya saja aku lupa. Tadi sore kalau tidak salah si Kakek menyebutkan namanya, tapi aku benar-benar lupa.Langkah panjangnya berderap cepat. Aku cukup tersengal-sengal mengikutinya dari belakang. Entah ide gila dari mana ini. Aku tiba-tiba saja ingin ikut menjenguk padahal baru saja hari ini kami bertemu. Mungkinkah karena kakek itu tadi pagi terlihat ramah padaku? Ataukah karena memang aku ingin menghindari Dwi Rama yang membuat hidupku menjadi pusing tujuh keliling.Punggung lebarnya membelok memasuki satu ruangan. Ruang rawat kelas tiga. Kecurigaanku yang tadi sudah mecuat tentang jati dirinya kembali sirna. Ternyata dia mengambil ruang rawat kelas terendah di rumah sakit ini. Ya, aku mengerti mungkin kembali pada masalah keuangan.Namun ucapan yang penuh percaya diri darinya tadi membuatku tidak berani menawarkan ban
Aku berbalik hendak menuju kontrakan yang belum genap satu kali dua puluh empat jam kutempati. Namun cukup terkejut ketika kulihat dua orang tengah berdiri di depan gerbang dengan tangan bersilang di dada. Tidak salah lagi mereka itu Elha dan Ira. Apakah mereka sedang menungguku?“Din, bukannya kamu pulang duluan tadi?” Elha menyapaku dengan wajah tak ramah ketika jarak kami hanya tersisa beberapa langkah.“Iya, kenapa?” tanyaku sambil menghentikan langkah.Ira yang perawakannya terlihat tomboy maju melangkah mendekat. Wajahnya yang tadi terlihat halus dan ramah kini sama-sama berubah.“Kenapa kamu pulang bareng Bang Danes?” Gadis itu mendorong bahuku. Aku yang tanpa persiapan mundur beberapa langkah ke belakang.
Ya Tuhaaan, aku harus balas apa?Akhirnya aku memutuskan untuk tidak membalasnya. Kulemparkan gawai ke atas kasur busa dan kubiarkan layarnya mati dengan sendirinya.Hari masih pagi. Namun tidak ada geliat semangat hari ini. Entahlah kenapa? Mungkin pikiranku terganggu atas pesan yang dikirimkan lelaki itu.Dwi Rama, sebetulnya dia adalah sosok ideal. Namun dalam waktu secepat ini aku bahkan belum bisa mengenali keinginanku sendiri di dunia baru ini. Apalagi bisa memutuskan perasaan ini akan berlabuh pada siapa?Aku berpindah ke ruang depan. Menyalakan televisi sambil memeluk bantal. Memantau berita tentang tajuk perekonomian negara dan industri strategies, tapi kho terasa hambar. Akhirnya aku merebahkan tubuhku, merasakan pegal-pegal pada kaki setelah perjalanan jauh tadi
Setelah selesai berurusan dengan orang kepercayaanku. Aku bergegas ke meja Pak Hilman---orang yang waktu itu mewawancaraiku. Dia adalah tipe atasan yang baik dan sangat membackup bawahannya. Mungkin karena itulah Cecilia tidak memberikan perintah itu pada Pak Hilman. Pastinya lelaki itu akan memberikan pekerjaan sesuai porsinya saja padaku dan bukan membuatku berada dalam posisi sulit.Jika itu terjadi maka tidak ada celah untuk Cecilia menjatuhkanku. Hingga pada akhirnya dia lebih memilih memotong jalur koordinasi.“Bu Cecil nyuruh kamu langsung?” Pupil mata Pak Hilman membesar. Tubuhnya yang tadi duduk tegak kini sedikit condong beberapa derajat dengan jemari membuat irama ketukan di atas meja.“Iya, Pak! Saya cuma mau info ke Bapak karena takut disangka ngelangkahin atasan nanti, Pak!” tuturku
Aku termangu menatap punggungnya yang menjauh. Apakah balasan Tuhan secepat ini? Baru saja aku membelikan Kakek dan Bang Danes makanan. Tuhan mengirimkan Pak GM untuk menggantinya saat ini juga.Namun saat ini bukan itu masalahnya. Kenapa aku jadi terharu atas perhatian Pak GM yang kurasa tulus, ya?Hingga mobil itu lenyap dari pandangan, aku masih termangu sambil memegang dada. Ada rasa berkecamuk tak karuan. Entah sedih, bingung atau bahagia? Aku betul-betul belum bisa mencernanya.Setelah mobil itu hilang dari pandangan. Aku memutar gagang pintu dan bergegas masuk. Wangi makanan yang diberikan Pak GM membuat perutku menjadi keroncongan.Aku bergegas sholat maghrib. Setelah itu kuambil sendok dan gelas minum. Kugelarkan karpet di ruang depan sambil menyalakan televisi.
Aku memasuki ruangan office dengan tergesa. Setibanya di kubikel tempatku bekerja, segera kukemasi barang-barang pribadiku. Ada satu pasang sepatu di bawah kolong meja yang biasa kupakai saat hendak dinas luar. Beberapa sachet kopi dalam laci. Pastinya kopi penghilang penat ketika deadline. Serta buku agenda yang kubuat untuk mencatat jadwal harianku.Kumasukan dalam satu kantong kecil yang kulipat dalam laci. Segera kubereskan berkas dan kubuat detail kerja yang masih pending serta yang sudah selesai untuk dilakukan handover.Sekitar lima belas menit area kerjaku sudah rapi. Kini tinggal nunggu Pak Hilman datang untuk berpamitan dan serah terima pekerjaan. Setelah serah terima tinggal ke bagian HRD mengurus data kehadiran dan mengembalikan Id card.Sambil menunggu penutupan meeting. Aku berjalan ke pantry mencar
Aku menjatuhkan tubuhku dan menyembunyikan wajahku diantara kedua kakiku. Sedang berusaha menenangkan pikiran hingga sebuah ketukan membuatku dengan malas berdiri dan membuka gagang pintu.“Kakek mau ketemu!”Bang Danes sudah berdiri di depan pintu. Ekspresinya masih selalu menjadi misteri. Wajah itu justru malah menjadi semakin membuatku penasaran sebetulnya. Aku tidak bisa menebak apa isi pikirannya.Kulirik Elha dan Ira masih berada di sana. Kali ini keduanya menatapku dengan tajam. Malas berbasa-basi dengan mereka. Malas juga melihat Elha yang sok akrab sekali dengan lelaki yang ada di depanku ini.“Nanti, sore aku ke situ!” ucapku sambil mendorong daun pintu untuk segera menutupnya.“
Tiba-tiba ada suara bariton menyahut dari luar.“Kenapa dia harus bantuin aku, Kek?” ternyata Bang Danes baru datang dengan berbagai belanjaan ditentengnya. Rupanya hendak mulai berjualan ketoprak lagi.“Dinda berhenti kerja, Nes! Kalau bantuin kamu, nanti kamu bagi hasil jualan buat dia per porsi seribu misalnya … kasihan selama menganggur pasti tidak ada pemasukan!” ucap Kakek begitu bijak membuatku terharu. Namun memangnya aku bisa bantu apa? Bikin ketoprak? Aku aja gak bisa.“Kenapa berhenti kerja?” Bukannya menjawab pertanyaan Kakek, lelaki itu malah bertanya padaku.“Bukan rejekinya disitu … mungkin nanti mau cari kerja lagi di perusahaan lain!” Malas aku menceritakan panjang lebar.&n