Terluka karena pengkhianatan sang tunangan, Lily melampiaskannya dengan menenggak tiga gelas cocktail hingga mabuk. Saat tersadar, Lily mendapati dirinya berada di kamar bersama seorang pria asing bernama Arsen. Kesal karena Arsen malah menganggapnya pelacur, Lily melayangkan tamparan ke pipi pria itu. Nahasnya dua hari kemudian dia malah bertemu lagi dengan Arsen di sebuah pesta. Pria itu ternyata memiliki hubungan dekat dengan tunangan yang sudah membuat hati Lily hancur. Lily semakin dibuat tak percaya saat Arsen tiba-tiba saja malah menawarkan sebuah pernikahan kontrak padanya. “Pernikahan kontrak? Kenapa kamu tiba-tiba menawarkan pernikahan?” tanya Lily. “Kalau bukan menikah denganku, pria yang pertama kali tidur denganmu, siapa yang akan menerimamu menjadi istri?” balas Arsen dingin.
View More“Apa yang terjadi?!”
Lily terbangun dengan jantung berdetak liar. Napasnya memburu saat matanya menyapu ruangan asing yang disinari cahaya matahari. Kepala masih berdenyut hebat akibat alkohol semalam, tetapi yang membuat tubuhnya benar-benar membeku adalah rasa sakit yang menusuk di bawah sana.
Dengan tangan gemetar, Lily meraih selimut yang melilit tubuhnya, perlahan-lahan menyingkapnya untuk memastikan sesuatu.
Dia tidak mengenakan apa pun.
“Tidak mungkin…”
Cepat-cepat, Lily menatap sekeliling dan seketika dia pun membeku.
Dia mendapati bajunya berserakan di lantai, dan sepasang sepatu pria yang tergeletak rapi di dekat meja kopi adalah bukti bahwa dia tidak sendiri tadi malam!
Ketakutan menyergapnya seketika. Lily buru-buru memegangi kepalanya, mencoba mengingat bagaimana semua ini bisa terjadi.
Semalam, Lily menyaksikan calon suaminya, Bryan, berbagi ciuman panas dengan wanita lain di apartemen miliknya sendiri. Dan lebih parahnya lagi, wanita itu adalah Sonia, gadis yang dulu paling sering merundungnya semasa sekolah.
Siapa sangka, gadis itu kini menjadi selingkuhan pria yang akan menikahinya?!
Seakan belum cukup menyedihkan, Lily bahkan mengetahui bahwa Bryan tidak pernah benar-benar mencintainya!
“Kalau dia bukan putri tunggal keluarga Mahesa, mana mau aku menikah dengan wanita membosankan sepertinya?”
Saat kalimat itu terucap dari mulut Bryan, dunia Lily runtuh seketika. Tubuhnya tidak bisa bergerak, dan dia hanya membeku di tempat sampai dua pengkhianat itu menyadari keberadaannya.
“L-Lily?!”
Bryan sempat ingin mengejarnya, tapi Lily langsung berbalik dan meninggalkan apartemen itu.
Dalam kemarahan dan kehancuran, Lily mengemudikan mobilnya tanpa tujuan dan berakhir di sebuah bar.
Lily tidak pernah minum alkohol sebelumnya. Namun, malam itu, dia menenggak minuman keras seperti air. Setiap tegukan terasa seperti membakar tenggorokannya, tetapi tidak ada yang lebih perih dari rasa sakit di hatinya.
Dia tidak ingat berapa banyak yang dia minum.
Yang dia ingat hanyalah sepasang mata tajam yang menatapnya dari kejauhan.
Lalu, seseorang membantunya berdiri. Seorang pria.
Bibirnya tersenyum samar. Saat itu, dia mengira pria itu adalah orang baik yang akan membawanya pulang dengan selamat.
Tetapi setelah memasuki kamar hotel…
Sentuhan panas itu. Bibir yang melumatnya rakus. Lengan kekar yang mengangkat tubuhnya dan membaringkannya di kasur.
Terlalu jelas.
Terlalu nyata.
Lily menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak. Tidak. Tidak.
Dia tidak ingin mengingat lebih jauh.
Perlahan, dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya langsung menegang. Rasa sakit itu…
Air matanya menggenang.
Dia telah melakukan sesuatu yang tidak bisa dia tarik kembali.
Dengan buru-buru, Lily memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai. Namun, saat masih membungkuk, suara gagang pintu kamar mandi yang berputar membuatnya membatu.
Pintu terbuka.
Lily menoleh, tubuhnya langsung merapat ke dinding, memegangi selimut di dadanya seperti perlindungan terakhir.
Detak jantungnya kacau.
Seorang pria keluar dari kamar mandi.
Tinggi. Dingin. Berbahaya.
Hanya mengenakan kemeja putih dengan beberapa kancing terbuka, pria itu tampak santai membetulkan jam tangan Richard Mille yang Lily tahu harganya setara dengan satu unit apartemen mewah.
Pria itu menatapnya lurus.
"Sudah bangun?"
Nada suaranya dalam dan tenang, seolah apa yang terjadi semalam bukanlah masalah besar.
Lily menelan ludah, tetapi tenggorokannya terasa kering.
Pria itu tidak mengucapkan apapun lagi. Dengan langkah tenang, dia berjalan menuju cermin, merapikan kerah bajunya seakan ini hanyalah pagi biasa baginya.
Namun, kalimat berikutnya membuat tubuh Lily menegang.
"Apa kamu tidak takut dimaki pelanggan?"
Pelanggan?
Kening Lily berkerut dalam. Apa pria ini baru saja menganggapnya wanita bayaran?!
Matanya membelalak.
Tidak. Ini pasti mimpi buruk.
Tapi saat melihat ekspresi santai pria itu, kenyataan menamparnya lebih keras.
Lily ingin membalas, tetapi bibirnya terlalu kelu. Dia hanya bisa memandangi pria itu—pria yang telah merenggut sesuatu yang paling berharga darinya.
Saat pria itu menoleh dan hendak berbicara, Lily langsung berlari menuju kamar mandi, mengunci pintu.
Punggungnya menempel di dinding, tubuhnya gemetar hebat.
Air mata yang sejak tadi tertahan kini jatuh begitu saja.
Apa yang telah dia lakukan?! Karena tindakan bodohnya pergi ke bar, sekarang Lily harus kehilangan kesuciannya kepada pria yang bahkan tidak peduli padanya!
**
Lily tidak tahu berapa lama dia berdiam diri di kamar mandi, memikirkan betapa malu dirinya jika orang tuanya tahu mengenai apa yang telah terjadi.
Dia hanya berharap ketika keluar, pria itu sudah tidak ada.
Namun, harapannya hancur seketika.
Saat dia membuka pintu, pria itu masih di sana.
Kini telah berpakaian lengkap, duduk di sofa dengan kaki bersilang, menatap layar ponselnya dengan ekspresi acuh tak acuh.
Lily menggigit bibir. Dia tidak ingin berlama-lama di sini.
Tanpa sepatah kata pun, Lily menyambar tasnya yang tergeletak di lantai, lalu berjalan melewati sang pria begitu saja menuju pintu.
Namun—
"Ambil bayaranmu."
Langkah Lily terhenti.
Hatinya bergetar hebat.
Perlahan, dia menoleh ke belakang.
Pria itu bahkan tidak melihatnya saat berbicara.
Tangannya bergerak santai, menunjuk sebuah tumpukan uang di meja kopi.
"Bayaran?" gumam Lily, tubuhnya membeku di tempat.
Saat itu, Arsen Sebastian Luis pun mengangkat pandangannya dan melihat Lily sekilas. Dia menautkan alis, lalu memutuskan untuk berdiri dan mendekati wanita di hadapannya itu.
Tinggi. Mendominasi. Berbahaya.
Lily bahkan harus mendongak untuk menatap wajah Arsen yang tajam dan tak terbaca.
"Apa kurang?"
Lily ingin menangis. Pria ini benar-benar berpikir bahwa dia…
"Aku tidak tahu berapa yang sudah dibayarkan temanku," lanjut pria itu seraya meraih tangan Lily, memaksanya menerima tumpukan uang itu. “Tapi ambil saja ini. Itu bayaran yang pantas untuk dirimu."
Darah Lily mendidih.
Dadanya naik turun menahan emosi yang meledak.
Tanpa berpikir panjang, Lily mengangkat tangan dan menamparnya keras!
PLAK!
“Jaga sikap Anda, dasar bajingan!”
Tanpa menunggu jawaban dari pria di hadapannya, Lily cepat-cepat pergi dari sana selagi menahan tangisan di ujung mata.
Di sisi lain,
Pria itu, Arsen bergeming. Dia tidak menyangka akan ditampar ketika ingin memberikan bayaran lebih kepada wanita panggilan yang dipesan oleh temannya itu.
Dalam hati, tak elak dia bertanya. Apa wanita panggilan zaman sekarang memang segalak ini?
Selagi menghela napas, Arsen berbalik untuk meraih jasnya agar bisa segera pergi. Namun, di saat itu tatapannya jatuh ke ranjang.
Pria itu pun membeku.
Bercak merah. Darah?
Arsen menatapnya lama, kemudian mengerutkan kening.
Wanita panggilan tadi ... masih perawan?
Lily terkejut, tetapi segera menjelaskan, “Tidak seperti itu. Pokoknya nanti Axel biar diantar saja.” Setelah bicara, Lily mengakhiri panggilan itu. Dia lantas pergi ke samping rumah untuk melihat Audrey dan Axel. Saat baru saja menginjakkan kaki di halaman samping, Lily melihat Audrey, Axel, dan Oddy yang sedang berjongkok di rerumputan dan mendengarkan percakapan ke tiga bocah itu. “Daddy dan Mommy ‘kan nggak sayang Axel, makanya Axel nggak mau sama mereka. Mereka berteriak-teriak terus, Axel ‘kan takut,” kata Axel. “Papa dan Mama Oddy juga nggak sayang Oddy,” timpal Oddy sambil menatap Audrey dan Axel yang kini memandangnya. "Oddy ditinggal di sini sama nenek." Mendengar obrolan anak-anak, Lily akhirnya mendekat lalu menyapa semuanya. “Axel, Axel mau pulang sekarang?” tanya Lily sambil menatap Axel yang mendongak menatapnya. Tiba-tiba bibir Axel berkerut, lalu detik berikutnya dia malah menangis karena pertanyaan Lily. “Axel tidak mau pulang.” Lily terkejut melihat Ax
Lily mencoba berpura-pura tak melihat keberadaan David, tatapannya tertuju ke arah guru Audrey tadi pergi sampai akhirnya dia melihat Audrey dan Axel keluar bersama dengan guru mereka. Lily melambai ke arah Audrey sambil memulas senyum, saat ekor matanya melirik ke arah David berada, Lily terkejut melihat David benar-benar mendekat ke arahnya. ‘Kenapa dia mendekat kemari?’ batin Lily, apalagi wanita bernama Ivy–mantan istri David melangkah mengikuti pria itu. Lily ingin menghindari David dengan segera mengulurkan tangan ke arah Audrey agar bisa membawanya pergi, tetapi siapa sangka Audrey malah menggandeng tangan Axel. David dan Ivy sudah ada di depan Lily, lalu tatapan David tertuju pada Axel. “Axel, ayo pulang,” ajak David ingin meraih tangan Axel tetapi ditolak. “Nggak mau, aku nggak mau pulang sama Daddy dan Mommy,” tolak Axel lalu segera menghindar dan berdiri di depan Audrey. “Axel, pulang sama Mommy saja,” perintah Ivy dengan nada suara sedikit tinggi. “Paman
Arsen mengajak Lily masuk ke ruang kerjanya. Dia langsung memberikan ponselnya ke Lily, lalu mengikuti istrinya itu yang berjalan menuju sofa. Mereka duduk di sofa berhadapan. Arsen diam menatap Lily yang sibuk mengecek galery ponsel miliknya. Arsen menyandarkan punggung ke sofa, bersedekap dada masih dengan mengamati wajah Lily yang cemberut. “Tidak ada,” gumam Lily. Dia terlihat salah tingkah lalu meletakkan ponsel Arsen ke meja. “Kamu pasti sudah menghapus foto itu,” gerutunya. Arsen hanya diam, wajahnya begitu datar. Lily semakin salah tingkah, tatapan yang suaminya itu berikan membuatnya sedikit grogi. “Aku tidak akan mengakui kalau aku salah,” kata Lily. “Istri mana yang tidak kesal ada foto seperti itu dikirim sekretaris suaminya? Ha! Wanita di foto itu memakai kemeja ketat dengan kancing yang seperti sedang bertahan sekuat tenaga untuk tidak keluar dari lubangnya.” Lily masih saja mengomel, dia semakin salah tingkah karena Arsen masih tak merespon. Lily ke
Lily yang awalnya lemas seketika menegakkan punggung. "Iya wanita itu, apa kamu kenal?" tanya Lily penasaran. Dia memegang ponsel Dini untuk mengamati foto wanita itu. Lily yang panik sekaligus kesal menjadi heran saat Dini malah tertawa terbahak. Sahabatnya itu meletakkan ponsel ke meja lalu menyantap kembali pastanya dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa. Dini sengaja membuat Lily bertanya-tanya. Dia geli melihat wajah bingung Lily. "Siapa wanita itu? Jawab aku!" Lily bicara setengah memaksa. Dini masih saja diam sampai Lily menggoyang-goyangkan tangannya. "Dini! Tega sekali," rengek Lily. Dini tertawa melihat Lily begitu frustrasi. "Namanya Ivy, dia BA baru untuk produk luxury ARS," jawab Dini. "Dia itu seorang model, bagaimana bisa kamu berpikir dia wanita yang pak Thomas siapkan untuk pak Arsen," imbuhnya lagi. Lily merasa tertampar. Ivy? Dia tidak pernah mendengar nama itu, atau mungkin memang tidak tahu. "Aku tidak pernah melihatnya," ucap Lily
Arsen merasa sikap Lily aneh. Meski begitu dia masih berpikir positif dan tidak macam-macam. Hari itu Arsen mencoba untuk mengajak Lily makan siang lagi, tapi istrinya itu menjawab sedang sibuk dan tanpa berpikir menolak ajakannya. "Aneh!" Gumaman Arsen barusan terdengar di telinga Thomas yang duduk di depannya menyusun berkas. "Aneh?" ulang Thomas. Dia memeriksa penampilannya, lalu menatap pantulan dirinya dari kaca meja. "Aneh? Apa yang aneh Pak?" tanya Thomas, wajahnya tampak bingung. Arsen menatap lurus pada Thomas, sadar bahwa sekretarisnya itu salah sangka. "Bukan kamu yang aku maksud, tapi Lily," balas Arsen. "Istri Anda? Kenapa?" Thomas bertanya seraya merapikan berkas-berkas yang ada di meja. "Entahlah, kemarin saat aku menjemputnya untuk makan siang dia masih baik-baik saja, tapi setelah itu dia menjadi berbeda, sedikit dingin," terang Arsen. Thomas mengangguk-ngangguk. "Pasti terjadi sesuatu," ucapnya menduga. "Aku pikir juga begitu, tapi apa alasan
Malam hari di kediaman Wisnu. Wisnu dan Soraya sedang duduk berdua di dalam kamar. Wisnu menceritakan rencana Teddy yang membuat Soraya sangat terkejut sampai membulatkan bola mata lebar. “Larang dia, jangan sampai Teddy melakukan tindakan aneh-aneh,” kata Soraya dengan cepat, “urusan kita hanya dengan Mahesa, kenapa jadi melebar ke mana-mana?” Wisnu malah membuang napas kasar, menatap Soraya yang cemas, Wisnu berkata, “Kamu saja yang mencegahnya. Kamu tahu sendiri, Teddy suka bertindak seenaknya, dan aku tidak pernah bisa mencegahnya.” Sonia kebingungan dan panik, dia tentu tak mau jika Teddy terkena masalah lebih banyak. Saat itu, terdengar suara ketukan pintu yang membuat Wisnu dan Soraya menoleh bersamaan ke arah pintu. Soraya bangun dari sofa, lalu melangkah menuju pintu dan membukanya. “Nyonya, ada surat untuk Anda,” kata pelayan sambil memberikan dua amplop berwarna beda pada Soraya. Soraya menerimanya. Di amplop bagian atas, tertulis nama panitia pengharga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments