"Apa maksudmu ngomong begitu, Mas? Kamu menuduhku selingkuh dengan Om Pram?!" tukas Rena tak terima. Dia membalikkan badan sembari berkacak pinggang menghadap Azziz yang masih terbaring lemah di atas ranjang. Wajah Azziz yang lebam-lebam itu tak mampu menyembunyikan amarahnya yang kini memuncak, bahkan nyaris meledak. Suasana kamar yang sebelumnya cukup tenang dan lengang itu mendadak mencekam. Azziz berusaha duduk di tepi ranjang dengan rahang mengeras, sementara Rena kini melipat tangan di dada, sorot matanya penuh perlawanan."Jadi, kamu masih saja mengelak, Ren?!" tanya Azziz penuh penekanan. Rena mendengkus sembari membuang pandangan. "Kamu harusnya mikir, Mas. Akhir-akhir ini kamu nggak pernah ada waktu buat aku kan? Kamu sibuk lembur bahkan saat weekend tiba. Pagi buta sudah pergi dan pulang tengah malam. Kamu pikir aku nggak kesepian di rumah? Aku juga butuh hiburan. Nggak masalah dong aku pergi main ke luar bersama teman?" Rena membela diri. "Aku nggak pernah larang kamu
"Masakanmu enak, Num. Pantas saja pengin banget punya cafe. Ternyata punya bakat masak memasak," puji Raka, kakak ipar Hanum saat mereka menikmati makan siang bersama. Ken pun tersenyum bangga mendengar istrinya dipuji oleh kakaknya sendiri. "Biasa aja kok Mas rasanya. Mungkin lumayan aja, tapi nggak ada yang spesial," balas Hanum dengan senyum tipis. "Beneran enak kok, Num. Jelas nggak ada yang spesial, kan yang spesial di sampingmu itu," goda Meira tak mau kalah. Dia menunjuk Ken dengan dagunya, membuat laki-laki itu terkekeh pelan. "Iya tuh, Sayang. Benar kata Mbak Meira, aku kan yang spesial." Ken menimpali. "Spesial pakai telur lima," balas Hanum kemudian. Rudy yang ikut menikmati makan siang itupun hanya tersenyum sembari menggeleng pelan saat melihat anak dan menantunya bercanda, sementara Mawar masih saja bungkam. Dia tak berselera makan karena anak dan menantunya baru saja ribut besar, bahkan Rena pergi dari rumah begitu saja saking kesalnya. "Gimana nggak enak, kerjaa
"Sudah beres, Gas?" tanya Ken pada asistennya itu via handphone. "Sudah, Mas. Saya sudah taruh cctv mini di basecamp mereka," balas Bagas meyakinkan. "Bagus. Sekarang kamu sama Ridho ke cafe. Kita bahas di sini dulu sebelum beraksi, sekalian cek isi cctvnya," perintah Ken lagi. "Oke, Mas. Kami sudah di jalan, sebentar lagi sampai." Ken mengangguk pelan lalu mematikan panggilan, sementara Bagas dan Ridho masih berboncengan naik motor menuju cafe bosnya itu. "Sayang, kamu pulang dulu sama bapak ya? Nanti aku sama Mas Raka ada urusan sebentar," ucap Ken saat melihat istrinya mulai membereskan meja kerjanya. Ada ruangan khusus yang tak terlalu lebar di cafe itu. Ruang kerja sekaligus untuk istirahat melepas lelah. Tak ada banyak barang di ruangan mungil itu. Hanya ada meja dan kursi kerja, sofa panjang dan lemari kecil untuk meletakkan beberapa barang penting. Di bagian belakang ada toilet pribadi. Meski kecil, tapi cukup nyaman untuk Ken dan Hanum. Mereka sering istirahat di ruanga
Sepuluh menit sembunyi, suasana kembali hening. Bowo mengintip ke luar dari celah jendela. Ada beberapa kucing liar di halaman. "Sial! Kucing, Bos!" umpatnya setelah melihat beberapa benda yang berantakan di teras basecamp mereka. Ferdy dan Galih pun ikut keluar dari persembunyian sembari mengumpat macam-macam. "Kirain polisi!" ucap Galih sembari menjatuhkan bobotnya kembali ke kursi. "Berulang kali masuk penjara, masih aja takut sama polisi, Bos!" Bowo menimpali. "Lagi malas berurusan sama si coklat itu. Masih banyak hal yang harus gue urus di sini, terutama manusia satu bernama Ken itu!" tegas Galih lagi. "Bukannya juragan Gino sudah bilang kalau bos nggak berubah, beliau nggak akan bantu lagi? Tiga kali keluar masuk penjara, Juragan Gino selalu membereskan semuanya. Misal kali ini ketangkap lagi, jangan-jangan beliau beneran nggak mau bantu, Bos!" Ferdy mulai khawatir. Dia ingat dengan ancaman bos tuanya kala itu. Ancaman saat bos mudanya baru saja dikeluarkan dari penjara de
Angin malam berembus dingin melewati celah-celah jendela kamar. Hanum duduk di tepi ranjang, memandangi layar handphonenya dengan cemas. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam dan Ken belum juga pulang. Biasanya, kalau harus pulang larut, Ken selalu memberi kabar. Tapi malam ini, handphonenya mati karena kehabisan daya. Hanum menggigit bibir, menekan nomor Ken sekali lagi."Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubung ...."Nada monoton itu kembali terdengar, membuat hatinya semakin gelisah."Ya Allah, Mas … kamu di mana? Tadi bilangnya ada urusan sebentar, tapi kenapa sampai sekarang belum jua pulang? Nggak kasih kabar apapun pula," bisiknya. Kedua matanya berkaca. Hanum beranjak dari ranjang lalu mondar-mandir di kamarnya. Gelisah dan takut terjadi apa-apa dengan suaminya itu. Berulang kali telepon Ridho dan Bagas, nomor mereka pun tak aktif bahkan nomor kakak iparnya-- Raka juga sama saja. Hal itu semakin membuat Hanum cemas tak karuan. "Kucoba telepon Mas Raka sekali
Keramaian Ancol siang itu dipenuhi tawa dan teriakan bahagia anak-anak, remaja bahkan dewasa. Raka menggandeng tangan Meira erat, sementara Aldo dan Dee berlari kecil di depan mereka, sesekali melompat kegirangan. Opa dan Omanya mengikuti dari belakang. Sepasang suami istri itu tersenyum melihat cucu-cucu mereka begitu antusias."Papa! naik itu!" teriak Dee sambil menunjuk bianglala yang menjulang tinggi."Aduh, Dek … tinggi banget itu. Nggak boleh. Bahaya. Yang lain aja ya?" Aldo mengeluh, wajahnya sedikit cemas."Mau itu, Mas. Mauuuuu ...." rengek Dee sambil menarik-narik lengan kakak sambungnya itu. "Nggak, Dek. Anak kecil nggak boleh naik itu. Ba-ha-ya." Aldo mengeja laluencubit pelan pipi chubby adik perempuannya. "Benar kata Mas Aldo, Sayang. Dee naik kuda-kudaan aja ya?" tawar Meira lembut. Dee sedikit merengek. ."Dee sama Opa yuk. Kita main di sana. Itu banyak anak-anak. Pasti seru!" Adrian menggendong gadis kecil itu menjauh dari bianglala. Erina pun mengikuti suaminya."
Udara pagi ini terasa sejuk. Wangi bunga semerbak memenuhi kamar Hanum. Entah mengapa hari ini dia malas sekali beranjak dari tempat tidur. Biasanya, bakda shalat subuh, dia sudah mulai sibuk beberes rumah. Mulai menyapu, mengepel bahkan masak untuk sarapan dan makan siang. Akan tetapi, kali ini rasanya benar-benar berbeda. Setelah menjalankan kewajiban dua rakaat, Hanum memilih kembali ke kasur. Tak tidur, tapi sekadar rebahan untuk mengistirahatkan badan. Suara Ken dari terdengar. Dia sedang ngobrol santai dengan bapak mertuanya sembari menyeruput kopi ditemani beberapa gorengan yang dibelinya di warung tetangga. "Hanum sakit, Ken? Tumben jam segini belum keluar kamar," tanya Rudy sembari mencomot pisang goreng di piring. "Sepertinya kecapekan, Pak. Nggak demam kok, cuma katanya masih malas beraktivitas." Ken membalas pelan. "Mungkin memang beneran kecapekan, Ken. Meski cafe sudah jalan hampir tiga bulan, tapi dia masih saja sibuk urus ini itu sendiri. Bapak sudah sering naseha
Meira masih mual-mual saat Raka membawanya ke klinik terdekat. Dia penasaran dengan kondisi istrinya saat ini. Mama mertuanya juga curiga jika Meira hamil. Oleh karena itulah, pulang dari Dufan dia langsung mengajak Meira ke dokter. Sementara Aldo dan Dee diajak Opa dan Omanya pulang ke rumah. Detik ini, Meira terbaring di ranjang periksa dengan hati berdebar tak karuan. Dokter masih memeriksanya dengan seksama. Seorang perawat memintanya tetap tenang saat dokter melakukan USG. Raka yang berdiri di sampingnya menggenggam erat tangannya. Wajahnya dipenuhi antusiasme dan sedikit tegang saat dokter mulai menjelaskan gambar di layar monitor. Sepasang suami istri itu saling tatap tak percaya saat dokter menjelaskan tentang kehamilan Meira yang sudah jalan lima minggu. Meira benar-benar tak sadar jika dia telat haid. Pasalnya, dia memang biasa telat dan selama ini tak ada tanda-tanda kehamilan. Namun, sepertinya kali ini sebuah keajaiban datang. Hal yang dia dan suaminya impian akan seger
"Apa maksudmu ngomong begitu? Oh, kamu juga seperti mereka yang mengira kakakmu gila? Perlu obat penenang, perlu ke psikiater atau psikolog segala, begitu, Num?!" sentak Mawar membuat Hanum mundur selangkah. Meski tanpa suara, Ken semakin mengeratkan genggaman tangannya untuk menenangkan Hanum. "Kamu senang kan sekarang lihat Rena seperti itu? Puas sudah membuatnya seperti ini?!" tukas Mawar lagi. "Membuat Mbak Rena seperti ini, Bu? Maksud ibu apa menuduh Hanum begitu?!" Hanum membela diri. Dia tak terima difitnah sedemikian rupa oleh ibu tirinya itu, apalagi di depan banyak orang. "Bukannya Mbak Rena yang awalnya membuat hidup Hanum hancur? Dia yang berkhianat. Kenapa sekarang ibu justru menyalahkan Hanum? Nggak salah sasaran kan, Bu?" Hanum mulai berani membela dirinya lagi. Ken menoleh, lalu mengangguk pelan. Dia mendukung keberanian istrinya. Sudah cukup lama diam dan mengalah, waktunya untuk unjuk gigi karena mengalah pun percuma, mereka tak pernah peduli akan hal itu. "Lih
"Kenapa kamu bisa begini, Ren?!" Mawar setengah berteriak saat melihat anak kesayangannya mengobrak-abrik beberapa barang di ruang tamu. Para tetangga tak berani mendekat karena Rena begitu kesetanan setelah motor dan mobilnya diangkut dealer. Azziz pun memilih pergi entah kemana. Sepertinya dia benar-benar malas melihat istrinya yang sulit diatur dan kelewat batas. "Menantu kesayangan ibu itu sudah menghancurkan hidupku. Apa laki-laki seperti itu yang menurut ibu terbaik dan layak dipertahankan?!" sentak Rena dengan mata memerah. Dia mengusap kasar kedua pipinya yang basah air mata. "Tak ada asap kalau tak ada api, Rena! Azziz begitu setelah melihatmu--Mawar tak melanjutkan kalimatnya. Di melirik sekitar yang masih banyak tetangga. Sekesal dan semarah apapun pada anaknya, Mawar masih berusaha menutupi aibnya di depan banyak orang. Dia juga tak ingin nama baik anak perempuannya makin tercemar. "Bukannya ibu bilang kalau tak ada asal kalau tak ada api? Sama halnya denganku, Bu. Ak
"Oh, ternyata kalian di rumah?!" tukas Rena saat melihat Ken dan Hanum duduk santai di teras belakang. Hanum menoleh, begitu pula dengan Ken. Mereka sengaja keluar kamar karena tak ingin terus mendengarkan pertengkaran Rena dan Azziz. Namun, sepertinya Rena tetap salah paham."Iya, Mbak. Kami memang di rumah sejak--"Sengaja menguping pertengkaranku dengan Mas Azziz? Sengaja nggak bawa mobil supaya aku nggak tahu kalau kalian di rumah?!" tuduhnya berapi-api. "Apaan sih, Mbak! Jangan asal nuduh. Ngapain juga aku sengaja nguping obrolan kalian. Nggak penting banget dan kaya kurang kerjaan!" Hanum tak mau kalah. Sekarang dia memang mulai berani membela diri bahkan tak segan menangkis tangan Rena jika dia mulai berani macam-macam. Hanum tak selemah dulu. "Halah! Kamu pasti senang kan lihat rumah tanggaku hancur berantakan? Bangga kamu ya, Num! Sekarang kamu bisa hidup mapan, sementara aku malah seperti ini," sindir Rena sembari melipat tangan ke dada. Hanum beranjak dari kursi. Ken b
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem