Sekar, seorang menantu muda yang awalnya tertekan tinggal serumah dengan mertuanya. Sekar tidak pernah membayangkan hidup serumah dengan mertua bisa sekompleks ini. Hari-harinya penuh tekanan, komentar sinis, dan batasan yang membuatnya merasa seperti tamu di rumah suaminya sendiri.menemukan pelarian unik di loteng rumah tua itu: sebuah radio tua yang ternyata masih bisa memancarkan siaran. Dengan suara tersembunyi dan identitas anonim, Sekar mulai menyuarakan curahan hatinya lewat siaran rahasia bertajuk "Menantu On Air". Tanpa disangka, siaran tersebut justru menjadi fenomena di kalangan ibu-ibu dan menantu se-Indonesia. Curhatan-curhatan jujur tentang hidup bersama mertua, konflik kecil yang berujung besar, hingga kisah cinta diam-diam dalam keluarga, menjadi cermin bagi banyak pendengar. Namun, sebuah telepon misterius mengungkap bahwa ada rahasia besar yang disembunyikan di balik rumah mertuanya — sesuatu yang mengubah cara Sekar memandang keluarga dan dirinya sendiri. Siaran yang awalnya jadi tempat pelarian, berubah menjadi kunci pengungkapan masa lalu. Apakah Sekar siap menerima kenyataan yang selama ini tersembunyi rapat di balik tembok rumah itu? Sekar berfikir “ada sesuatu yang disembunyikan di rumah itu,” Sekar terjebak dalam dilema antara menjaga keharmonisan keluarga atau mengungkap kebenaran ...
Lihat lebih banyakSejak hari pertama menetap di rumah mertuanya, Sekar merasa seperti sedang mengikuti ujian yang tak kunjung selesai. Setiap sudut rumah seperti ruang pengamatan diam-diam ada mata yang tak terlihat,ada noda di pojok lantai, lipatan baju tak presisi, atau piring tidak ditata sesuai urutan.
Ibu mertuanya– Bu Sri, adalah sosok yang disiplin luar biasa dalam urusan rumah tangga. Bagi beliau, menyapu bukan sekadar membersihkan debu, tapi ritual menjaga kehormatan rumah. Handuk harus dilipat tiga bagian sama besar, piring wajib dicuci tanpa bunyi, dan aroma dapur harus selalu harum setiap pagi, pertanda rumah ini hidup dan terurus. Sedikit saja Sekar lengah, teguran halus akan datang lewat sindiran manis, “Dulu Ibu juga belajar dari mertua, meski kadang sakit hati… tapi itu yang bikin ibu kuat.” Sekar hanya bisa tersenyum, meski dadanya terasa seperti diremas. Belum lagi ayah mertua, Pak Slamet, yang memegang prinsip hidup bak kitab warisan keluarga. Jam makan harus tetap, suara televisi tak boleh lebih dari volume empat, dan anak-anak dilarang bersuara keras saat beliau salat. Hari-harinya menjadi rangkaian pencarian ritme yang tak kunjung ia temukan. Setiap kali hendak menjadi diri sendiri, Sekar merasa bersalah. Setiap kali ingin beristirahat sebentar, ia khawatir dianggap malas. Rumah ini besar dan nyaman, tapi entah mengapa terasa sempit di dadanya. Sekar bukan tidak mau mencoba memahami, tapi batas kesabarannya sering kali goyah di tengah tuntutan tanpa ruang untuk benar-benar dipahami. Di malam hari, saat semua tertidur, Sekar hanya bisa menatap langit-langit kamar sambil bergumam, "Apakah semua menantu harus melewati ini? Atau aku saja yang terlalu lemah?". - “Cek...cek... satu, dua, tiga… suara masuk?”... Suara pelan itu terdengar dari balik loteng rumah mertua yang penuh debu. Sekar, menantu satu-satunya dari pasangan Bapak Slamet dan Ibu Sri, sedang duduk sambil memangku sebuah laptop tua dan mikrofon kecil. Matanya berbinar, mulutnya menyunggingkan senyum penuh semangat. Cek...cek... satu, dua, tiga… suara masuk?”... Suara pelan itu terdengar dari balik loteng rumah mertua yang penuh debu. Sekar, menantu satu-satunya dari pasangan Bapak Slamet dan Ibu Sri, sedang duduk sambil memangku sebuah laptop tua dan mikrofon kecil. Matanya berbinar, mulutnya menyunggingkan senyum penuh semangat. Siapa sangka, rumah tua ini menyimpan sebuah “stasiun radio” rahasia yang tak pernah diketahui siapa pun — bahkan oleh Bapak Slamet yang galak dan Ibu Sri yang cerewet. Loteng tua yang menjadi tempat mewujudkan mimpi seorang menantu. Saat pintu loteng terbuka dengan derit pelan, udara pengap bercampur aroma kayu tua langsung menyambut. Loteng itu terlihat usang dan berdebu, tetapi menyimpan daya pikat tersendiri. Dinding-dindingnya dicat dengan warna estetik kuno — krem pudar bercampur guratan coklat dari usia panjang. Sebuah kipas angin kecil menempel di dinding, berputar pelan,Ada lampu terang yang memberi cahaya ke setiap sudut loteng, dan tak jauh dari sana, sebuah lampu khusus bertuliskan “ON AIR” siap menyala setiap kali siaran dimulai. Di tengah ruangan, berdiri sebuah meja dari kayu jati yang tebal dan kokoh, Sebuah tempat duduk dari kayu tua dengan ukiran klasik berdiri di depannya, siap memangku siapa pun yang siap berbicara dari balik mikrofon. Loteng itu memang tua dan penuh debu, tetapi bagi siapa pun yang memasukinya, aura misterius dan semangat tak pernah padam terasa dari setiap sudut. “Selamat datang di Menantu ON AIR!” Suara Sekar terdengar renyah dari loteng kecil itu. “Tempat para menantu bisa mencurahkan isi hati, dari soal mertua yang cerewet, saudara ipar yang gengges, hingga drama rumah tangga yang bikin pusing tujuh keliling! Stay tuned, karena kali ini kita bahas topik: ‘Saat Menantu Jadi Satpam Rumah Mertua’!” Saat semua penghuni rumah sudah terlelap, Sekar naik pelan-pelan ke loteng, memulai siaran radio online-nya sendiri. Berbekal pengalaman kerja sebagai penyiar radio kampus, Sekar menjadikan loteng itu sebagai “studio kecil” tempat ia menuangkan unek-unek. “Halo saya Lina. Saya dari Madura. Saya mau cerita boleh kak?,” kata suara di seberang sana gemetar. Sekar tak menyangka ada seseorang yang menghubungi ke radio itu. “Oh! Halo kak! Boleh boleh!,” Sekar tak menyangka ada seseorang yang menghubungi ke radio itu. “Oh! Halo kak! Boleh boleh!,” Lina bercerita panjang lebar soal bagaimana perasaannya yang tak pernah dianggap oleh sang mertua. Ia hanya mendengarkan, memberi ruang bagi Lina untuk berkata apa saja. Sekar memang percaya, sebelum memberi solusi, manusia perlu diberi kesempatan penuh untuk mengungkapkan isi hatinya. Setelah Lina selesai, Sekar dengan suara tenang berkata, “Kamu tidak sendiri, Lina. Ada banyak yang pernah berada di posisimu, termasuk saya. Ada kalanya kita perlu memberi sedikit jarak bagi batin sendiri, memberi ruang bagi kesabaran tumbuh, sambil tetap memperjuangkan komunikasi yang jujur dan penuh kasih— —Jika memang belum siap bicara, tak apa. Beri waktu bagi dirimu sendiri juga. Mertua juga manusia biasa yang membawa luka dan pengalaman panjang dari masanya. Kadang, memahami luka orang lain dapat membuat beban kita sendiri terasa lebih ringan.” Sejak siaran pertama itu, “Menantu On Air” mulai mendapat tempat di hati para pendengarnya. Sekar menawarkan telinga yang siap mendengar, sebuah tempat bagi siapa pun yang merasa tak pernah didengarkan. Sekar menjadikan radio kecil itu sebagai rumah bagi para menantu dari berbagai usia dan berbagai cerita. Saat siaran itu mengudara, Sekar melihat lampu kecil “ON AIR” itu menyala lebih terang dari sebelumnya. Ada energi dari balik kata-kata itu yang membuat para pendengarnya merasa tak sendirian. Berita dari mulut ke mulut mulai menyebar. Tak butuh waktu lama hingga saluran radio kecil itu menerima puluhan panggilan dari berbagai daerah. Mereka datang dengan cerita tentang menantu dan mertua.Malam itu, ruang tamu rumah sederhana Pak Slamet diselimuti temaram lampu minyak. Angin dari jendela bambu berdesir pelan, menyelipkan aroma tanah basah sisa hujan sore. Di kursi kayu tua yang sudah mulai keropos di beberapa sisinya, ia duduk termenung. Tangannya meraba-raba lipatan sarung, seolah mencari pegangan untuk keraguan yang tak juga menemukan ujung.Sejak sore, pikirannya penuh dengan satu perkara: siapa yang harus ia undang pada acara tasyakuran empat bulan kehamilan Sekar, menantunya. Acara itu sederhana saja—sekadar doa bersama, kenduri kecil, dan harapan yang dilangitkan untuk keselamatan ibu dan calon cucu. Namun bagi Pak Slamet, acara itu bukan sekadar doa; melainkan pernyataan kepada dunia kecilnya bahwa keluarganya tengah menunggu titipan suci dari langit.Ia melirik ke arah istrinya yang
Hari-hari Sekar terasa semakin indah. Wajahnya kian berseri, tubuhnya yang mungil menyimpan rahasia kehidupan baru yang tumbuh di dalam rahimnya. Kehamilannya sudah memasuki bulan keempat, dan setiap pagi ia merasa lebih bersemangat. Arya selalu setia mendampinginya, kadang terlalu protektif, tapi itu justru membuat Sekar tersenyum bahagia.“Sayang, jangan terlalu capek, ya. Aku yang angkat galon. Kamu cukup duduk manis,” kata Arya suatu pagi sambil bercanda, membuat Sekar terkekeh.Di ruang tengah, Bu Sri tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Sebagai seorang ibu dan calon nenek, ia merasa kebahagiaan itu perlu dirayakan.“Saya ingin buat tasyakuran kecil, Sekar. Biar ada doa bersama, tanda syukur atas kehamilanmu,” ucap Bu Sri sambil merapikan kerudungnya.Pak Slamet, ayah mertua Sekar, mengangguk setuju. “Ya, kita undang tetangga dekat saja. Sederhana, tapi penuh doa.”Sekar menyambut ide itu dengan hati hangat. “Terima kasih, Bu. Aku senang sekali.”Namun, di balik kegembiraan it
Pagi itu, loteng rumah mertua diselimuti cahaya hangat matahari yang menembus jendela kecil. Sekar duduk di kursi kayu, menatap mikrofon, dan tersenyum tipis. Hatinya masih hangat dari siaran kemarin, dari keberanian Rina membagikan ketakutannya.“Tadi aku berbicara tentang keberanian menghadapi ketakutan,” bisik Sekar ke mikrofon. “Hari ini, kita akan membahas tentang keberanian dalam mencintai… bahkan saat kita tidak tahu harus berbuat apa.”Dering telepon studio memecah keheningan. Sekar menekan tombol terima, dan terdengar suara laki-laki muda, canggung namun penuh rasa ingin berbagi.“Halo… ini… ini saya, Bu Sekar. Nama saya Dito. Saya ayah baru… dan saya bingung. Anak saya baru tiga tahun, tapi saya… saya merasa sering salah. Saya tidak tahu cara mend
Sekar membuka mata di pagi yang hangat. Sinar matahari menyelinap melalui tirai tipis kamar yang selama ini selalu terasa asing baginya, tapi kini terasa begitu ramah. Tubuhnya yang mulai membesar sedikit demi sedikit mengingatkannya bahwa ada kehidupan lain yang bergantung pada dirinya, kehidupan yang membuat hatinya berdebar sekaligus penuh syukur.Di dapur, terdengar suara piring bersentuh lembut. Bu Sri, mertuanya, sedang menyiapkan sarapan, wajahnya menampilkan ketenangan yang dulu jarang Sekar lihat. “Sekar, Sarapan sudah siap,” suaranya lembut, tanpa nada dingin seperti dulu.Sekar tersenyum, hatinya hangat. “Terima kasih, Bu. Aku… aku akan turun sebentar lagi.”Arya muncul di ambang pintu, rambutnya masih basah, tapi matanya berbinar. “Pagi, Sayang. Tidurmu nyenyak?” tan
Ia tersenyum tipis, air mata masih menetes. “Sekar telah mengajariku sesuatu yang berharga: kadang kita terlalu sibuk menjaga kehormatan atau tradisi, sampai lupa menjaga hati orang-orang yang kita cintai. Dan aku sadar… kasih sayang tak pernah salah, kelembutan tak pernah merusak, dan penyesalan yang disertai usaha untuk memperbaiki selalu membawa damai.”Dalam hening malam itu, Bu Sri menulis nasihat di buku hariannya, sebagai pengingat dan warisan untuk generasi mendatang:“Untuk setiap ibu mertua, ingatlah bahwa menantu adalah bagian dari keluarga yang harus dicintai, bukan diuji atau ditakuti. Untuk setiap anak menantu, pahamilah bahwa ketegasan orang tua atau mertua bukan selalu kebencian, tapi terkadang kekhawatiran yang tersamar. Bersabar
Bu Sri duduk di ruang tamu, lampu temaram hanya menerangi secuil wajahnya yang mulai keriput, tapi matanya masih menyimpan ketegasan. Di tangannya, secangkir teh hangat yang baru ia seduh. Namun, rasa hangat dari minuman itu tak mampu menembus dingin yang selama ini ia rasakan terhadap menantunya.Malam itu, setelah percakapan panjang dengan Sekar, sesuatu di dalam diri Bu Sri mulai goyah. Sekar—yang selama ini selalu tampak patuh, penuh senyum sopan tapi jarang benar-benar terbuka—tiba-tiba menumpahkan semua rasa sakitnya, rasa takut, dan kegelisahan yang selama ini tertahan.Bu Sri menutup mata sejenak, mencoba menenangkan jantungnya sendiri. “Apakah selama ini aku terlalu keras padanya?” gumamnya pelan, seolah takut Sekar bisa mendengar.Ia mengingat kembali setiap teguran yang pernah ia lontarkan, setiap ko
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen