Hanum dan Ken beranjak dari ranjang lalu keluar kamar. Di teras rumah, seorang wanita sudah menunggu mereka. Wajahnya begitu kusur dan sembab, terlihat jelas kantung matanya. Mungkin dia banyak begadang sampai membuatnya seperti itu. Dialah Mawar yang kini ingin mengiba dan memohon pada Hanum dan Ken untuk membebaskan anak kesayangannya. "Ibu ... kenapa ibu ke sini? Mbak Rena sudah siumankah?" tanya Hanum saat melihat ibu tirinya datang dengan wajah kusut tak karuan. Wajah yang biasanya selalu terpoles make up itu kini tampak pucat. Kedua matanya sayu, tak ada senyum di bibirnya. Yang ada hanyalah mata yang berkaca-kaca dengan air bening yang menetes di kedua sudut matanya. "Atas nama Rena tolong maafkan Rena. Sekarang dia kritis dan belum juga sadar. Dia pasti cemas dan ketakutan saat kalian laporkan ke polisi." Mawar kembali sesenggukan. Kali ini dia menangis sungguhan. Tak seperti biasanya yang penuh drama dan pura-pura paling menderita di depan suaminya. "Kalaupun kami maafkan
Jarum jam mulai merambat naik, seiring mentari yang semakin hangat menyinari bumi. Senja sudah sibuk di dapur bersama asisten rumah tangganya. Mereka memasak bersama, sesekali terdengar canda tawa di antara keduanya. "Sayur lodehnya sudah siap, Neng. Sarapan dulu sana, biar bibi yang lanjutin goreng ayamnya," ujar Bi Santi. "Tunggu sotonya matang dulu, Bi. Mas Ken kemarin request soto ayam sama bandeng goreng." Hanum membalas sembari tersenyum tipis. "Bandengnya udah mateng, Neng. Ini kuah sotonya juga sebentar lagi mendidih. Neng Hanum duduk aja, takutnya kecapekan nanti malah kurang bagus buat janin," ucap Bi Santi lagi. "Baik, Bi. Hanum duduk ya?" Hanum menarik kursi makan lalu mendudukinya. Sembari ngobrol dengan Bi Santi, Hanum menikmati susu hangat yang baru diseduhnya. Baru setengah gelas diteguk, soto ayam buatan Bi Santi sudah siap dihidangkan. Menu pagi ini ada soto ayam, bandeng, lodeh dan tempe tahu goreng. Menu sederhana yang membuat nafsu makan bertambah. "Hanum ba
"Mau kemana kamu, Ris?!" Pertanyaan seorang laki-laki membuat Rissa menoleh, begitu pula supir pribadinya yang berdiri di samping pintu mobil. Ken, dia datang bersama empat laki-laki lain. Dua di antaranya asisten dan body guardnya. "Mau kabur?!" sindir Ken lagi dengan senyum miring, sedikit mengejek. Rissa benar-benar tercekat melihat kedatangan tamu tak diundangnya itu. Dia mulai panik, namun tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi saat dua anggota polisi sudah berdiri di depannya dengan surat tugas di tangannya. "Kaget dengan kedatangan kami? Kurasa nggak ya. Kamu pasti sudah tahu kalau kami akan datang menjemput. Buktinya prepare sedemikian rupa," tunjuk Ken ke arah Rissa yang rapi dengan tas brandednya. "Mau ke London nyusul mamamu? Sorry, mulai saat ini kamu nggak bisa kemana-mana," ucap Ken lagi lalu mundur beberapa langkah dan menyerahkan semuanya pada polisi. "Apa-apaan kamu, Ken! Kamu nggak bisa berbuat seenaknya begini!" sentak Rissa setelah polisi mengatakan tujuannya datan
"Pak, kenapa panik begitu? Ada apa?" tanya Clarissa saat supirnya yang bernama Tono datang dengan motor maticnya. "Gawat, Non. Gawat!" ujar Tono panik dan gugup. Clarissa meminta Tono duduk di kursi teras sebelum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Sejak kepergian Rena, sebenarnya Clarissa sudah mulai curiga dengan gerak-geriknya yang cukup aneh. Hanya saja, Rissa berusaha positif thinking. Namun, setelah terlalu lama menunggu dia mulai yakin jika Rena pasti punya rencana lain dan mungkin tak terlalu menguntungkannya. "Pasti ada hubungannya dengan teman saya tadi kan, Pak?" tebak Rissa cepat. Dia tak ingin membuang waktu karena penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada Rena. "Rena kenapa, Pak? Apa dia kabur atau terjadi sesuatu padanya?" tanya Rissa lagi setelah melihat supirnya mulai tenang. "Dia kabur setelah dua polisi datang ke rumahnya, Mbak. Bahkan tadi teman Non Rissa itu kejar-kejaran sama polisi. Suasana di rumahnya makin heboh karena tetangga pada datang ke sana
"Itu Rena!" Teriakan seorang warga membuat Rena menoleh seketika. Kedua matanya membulat lebar saat melihat beberapa tetangganya bergerombol di dekat mobil polisi itu. "Rena! Itu dia!" Ibu yang lain ikut berteriak sembari menunjuknya. Mawar dan Rudy pun setengah berlari ke halaman rumah, menyusul dua polisi yang sudah lari lebih dulu mengejar Rena. Supir Clarissa ikut keluar rumah, melihat Rena yang lari tunggang langgang ke jalan raya. "Ada apa ini, Bu?" tanya supir itu pada beberapa ibu yang semakin heboh membicarakan Rena dengan segala tingkah buruknya. "Dia itu buron, Pak. Dia dilaporkan saudaranya sendiri karena berulang kali membuat celaka orang." Supir Rissa melotot lebar saat mendengar penjelasan perempuan paruh baya di sampingnya. Beragam pertanyaan kembali lalu lalang di benak. Tanpa bertanya, laki-laki itu lebih memilih untuk mendengarkan obrolan para ibu di sana. Setidaknya dengan begitu, dia tahu apa yang sebenarnya terjadi sampai rasa penasarannya tentang maslaah in
"Kenapa, Ren?" teriak Rissa masih dari tempat yang sama di ruang makan. "Tiketnya masih ada nih. Sore nanti kita berangkat. Gimana?" tanya Rissa lagi membuat Rena sedikit panik. "Kenapa?" tanya Rissa lagi tiba-tiba muncul di ambang pintu. "Pasporku ketinggalan di meja rias, Ris. Duh, gimana dong!" Rena mulai cemas. Rena takut pulang karena merasa tak aman di rumah. Selain gunjingan tetangga yang semakin menyala, Rena juga takut jika tiba-tiba digrebek polisi. Namun, alih-alih memperlihatkan kecemasannya, Rena lebih memilih tetap tenang supaya Rissa tak ikut khawatir dan takut sepertinya. Bagi Rena, hanya Rissa yang saat ini bisa menolongnya. Oleh karena itulah, dia harus bisa menenangkan perempuan itu agar mau mengantarnya kembali ke rumah untuk mengambil paspor sebelum benar-benar pergi meninggalkan negara ini. "Telepon ibumu saja. Minta dia antar paspor dan barang-barangmu yang lain ke sini," pinta Rissa kemudian. "Benar juga ya! Aku nggak harus pulang karena malas jika harus