Dina dan Dion adalah pasangan muda dengan seorang putri kecil bernama Dinda. Kehidupan mereka tampak biasa di luar—tawa anak, rumah sederhana, dan harapan akan masa depan. Namun di balik senyum itu, tersembunyi perjuangan hidup yang tak mudah. Ketika penyakit dan kehilangan pekerjaan menghantam, Dina menghadapi hari-hari panjang penuh kekhawatiran, sementara Dion belajar hadir sepenuhnya di tengah tekanan. Dari penolakan pekerjaan hingga usaha kecil yang sulit berkembang, mereka dipaksa menemukan kekuatan dan harapan dari hal-hal sederhana. Mampukah mereka bertahan ketika cinta saja tak lagi cukup? Atau justru badai itu akan menjadikan mereka lebih kuat dari sebelumnya?
View MoreAku masih ingat betul hari-hari pertama setelah pernikahan kami. Rumah kontrakan kecil di pinggiran kota itu terasa hangat, meski hanya ada satu kamar tidur, dapur mungil, dan ruang tamu yang nyaris tak cukup untuk menampung dua orang. Tapi aku dan Dion merasa itu sudah cukup.
Dion muda, penuh semangat, kadang keras kepala, tapi selalu tahu bagaimana membuatku tersenyum. Aku, dengan sifat pekerja keras dan mandiri, merasa cocok dengannya. Kadang ego kami bentrok, tapi selalu ada ruang untuk tawa. Malam-malam pertama kami di rumah ini, kami makan mie instan di lantai, bercanda tentang mimpi-mimpi yang terlalu besar untuk ukuran rumah kecil kami. “Kalau nanti kita punya rumah yang lebih besar,” kata Dion sambil menyeruput kopi panas, “aku nggak janji bisa seindah ini, tapi setidaknya kita bisa duduk tanpa khawatir jatuh dari kasur.” Aku tertawa, menatap wajahnya yang bercahaya di lampu temaram. “Aku cuma ingin kita bahagia. Aku nggak butuh apa-apa lagi.” Dia menggenggam tanganku erat. “Kamu cukup. Kamu selalu cukup.” Aku menelan senyum. Kata-kata itu terasa manis, janji yang menenangkan hati. Waktu itu, aku merasa semua akan baik-baik saja. “Jangan berubah ya, Dion,” bisikku pelan. Dion menatapku sambil tersenyum kecil. “Kalau aku berubah, tolong ingatkan. Aku nggak mau kehilangan kita yang seperti ini.” Pekerjaan juga terasa ringan meski gaji tidak terlalu besar. Aku bekerja sebagai admin di perusahaan real estate perumahan. Pekerjaan yang kadang membuatku lelah, tapi aku menikmatinya karena aku merasa berguna dan mandiri. Dion bekerja di perusahaan beton sebagai staff labor, penghasilan sesuai UMR, tapi cukup untuk kebutuhan awal kami. Kami sering mengatur uang dengan cermat. Setiap kali gaji datang, kami duduk bersama, menghitung pengeluaran, menabung sedikit demi sedikit. Kadang aku dan Dion bertengkar soal uang, tapi selalu berakhir dengan tawa atau kompromi. Aku merasa aman. Aku merasa Dion adalah teman sekaligus pasangan hidup yang mengerti jalannya. “Dion, kalau gaji kamu nanti naik, kita bisa mulai nabung buat rumah ya,” kataku suatu malam sambil mencatat pengeluaran. Dia mengangkat alis sambil tersenyum lelah. “Naik aja belum tentu, tapi doain aja. Kalau nggak naik, ya kita naik semangatnya dulu.” Aku mendengus, lalu tertawa kecil. “Kamu memang paling bisa bikin kalimat motivasi dadakan.” Hubungan dengan keluarga masing-masing juga hangat. Ibuku, Tari, selalu mengingatkan agar aku sabar dan menjaga rumah tangga. Ayahku, Zen, meski berwibawa dan sedikit keras, selalu memberi nasihat bijak. Kakak-kakakku, Rahma, Raka, dan Ratna, perhatian dan humoris, selalu membuatku tersenyum. Keluarga Dion juga baik. Ibu Sari selalu ramah padaku, seperti ibu sendiri, meski awalnya aku merasa canggung. Ayah Dion, Agus, tegas dan keras, tapi aku belajar menghormati pendiriannya. Adik-adik Dion , Tika, dan Diaz masing-masing punya sifat berbeda, tapi mereka baik dan selalu membuat rumah menjadi hidup. “Aku senang keluargamu baik sama aku,” kataku suatu sore setelah pulang dari rumah ibu Dion. Dion menatapku, sambil menepuk pundakku. “Kamu juga bikin mereka nyaman, Din. Ibu bilang kamu nggak banyak tingkah, itu pujian besar loh.” Aku tertawa pelan. “Berarti aku lulus jadi menantu ya?” “Lulus, dengan predikat istimewa,” jawabnya sambil tersenyum bangga. Kami menikmati kebersamaan sederhana. Sabtu pagi biasanya kami jalan-jalan ke pasar, membeli sayur, lauk, atau jajanan untuk Dinda yang saat itu masih dalam kandungan. Aku sering bercanda dengan Dion, “Kalau kamu sibuk kerja, jangan lupa tetap bawa aku senyum ya.” Dia tersenyum, menggenggam tanganku, “Tenang, aku nggak akan lupa.” Aku menatapnya lama. “Janji ya?” “Janji,” jawabnya lirih, menatapku penuh keyakinan. “Aku kerja buat kamu dan Dinda. Itu aja yang aku tahu.” Momen-momen itu sederhana, tapi penuh kebahagiaan. Aku merasa setiap pengorbanan dan lelahnya kerja sepadan, karena aku tahu ada Dion di sampingku, dan suatu hari nanti, kami akan melihat semuanya indah dengan cara kami sendiri. Kehidupan terasa sempurna, seolah tak ada badai yang akan datang tapi justru di sanalah awal perubahan itu menunggu.Hari pertama Dion bekerja di kantor barunya terasa panjang. Aku menyiapkan sarapan lebih awal, walau mata masih berat karena semalam hampir tak bisa tidur. Ada rasa aneh sejak telepon semalam perasaan yang sulit dijelaskan. Seperti firasat kecil yang berbisik bahwa sesuatu akan berubah.Dion tampak rapi dengan kemeja biru muda dan sepatu hitam mengilap. Dinda menatapnya sambil mengunyah roti.“Ayah kerja di mana sekarang?” tanyanya polos.“Di kantor besar, Sayang. Nanti kalau kamu rajin belajar, bisa main ke sana.”Aku tersenyum. “Jangan terlalu lama kerja ya, Yon. Badan kamu belum terbiasa.”Dion menatapku, sedikit menunduk. “Iya, Din. Aku janji nggak akan lupa pulang.”Hari itu aku sibuk berjualan. Pelanggan mulai datang satu per satu, kebanyakan tetangga sekitar yang penasaran dengan gorengan buatan “pendatang baru”. Aku mengiyakan, berusaha ramah, tersenyum meski pikiran melayang ke Dion.Kadang aku membayangkan bagaimana suasana kantornya apakah ia diterima dengan baik, atau just
Udara pagi di Bukittinggi terasa sejuk, lembut menyentuh kulit. Kabut tipis masih menari di antara pepohonan ketika mobil yang kami tumpangi berhenti di depan rumah kontrakan kecil berwarna krem pucat. Rumah itu sederhana, tapi bagi kami, ini awal dari babak baru. Aku menggenggam tangan Dinda yang duduk di pangkuanku, sementara Dion sibuk menurunkan beberapa kardus berisi barang dari bagasi.“Din, kita mulai lagi dari sini, ya,” katanya sambil tersenyum, meski peluh sudah membasahi keningnya.Aku tersenyum, menatap matanya yang lelah tapi penuh semangat. “Iya, Yon. Yang penting kita bareng, itu sudah cukup.”Dinda berlari kecil ke halaman, tertawa melihat kupu-kupu kecil yang hinggap di bunga liar. Suara tawanya menenangkan hati, seperti pengingat bahwa di balik semua perjuangan, selalu ada alasan untuk tersenyum. Rumah baru kami memang kecil, tapi halaman depannya luas. Di sanalah nanti aku berencana menjemur gorengan dan menata meja jualan sederhana.Setelah semua barang tersusun se
Pagi itu terasa berat dan sunyi. Cahaya matahari menembus tirai jendela, tapi tidak mampu mengusir rasa cemas yang menempel di dadaku. Aku menatap tumpukan dokumen yang baru dibawa dari kantor pusat Dion. Persyaratan tambahan itu tercetak jelas, tapi kata-katanya begitu menantang dan membuat jantungku berdebar.Dion duduk di seberangku, wajahnya serius. “Din… kita harus lihat ini baik-baik. Aku nggak mau ada yang kelewat,” katanya sambil menggeser dokumen ke arahku. Aku mengangguk, menelan ludah. Setiap kata terasa berat, setiap syarat menuntut kesiapan yang belum pasti.Aku membaca dokumen itu perlahan. Beberapa syarat administratif mudah, tapi ada beberapa syarat yang benar-benar menantang. Relokasi ke kota lain, adaptasi cepat dengan sistem kerja baru, Dion menarik napas panjang. “Din… aku tahu ini berat. Tapi ini kesempatan yang nggak bisa dilewatkan. Kita cuma harus rencanakan semuanya dengan hati-hati.” Aku menatapnya, mataku berkaca-kaca. “Aku takut, Dion. Aku takut gagal, tak
Detik-detik terasa lambat. Aku menahan napas, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mendengar apa yang akan dikatakan. Suara di telepon melanjutkan penjelasan: “Pak Dion diterima untuk posisi manajerial di kantor cabang kami. Namun, ada beberapa persyaratan tambahan yang harus dipenuhi segera. Kami ingin memastikan Ibu dan keluarga bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ini.” Aku menutup mata sejenak, mencoba mencerna. Persyaratan tambahan? Aku merasakan campuran lega, cemas, dan kebingungan. Dion menatapku, wajahnya sedikit terkejut. “Din… ini… ini kesempatan besar,” katanya perlahan, suaranya penuh harap. Aku menghela napas panjang. “Iya… tapi aku takut kita nggak siap. Kita baru mulai stabil sedikit. Kalau pindah… semuanya berubah.” Dion menepuk pundakku. “Kita hadapi sama-sama. Aku janji, Din, aku akan pastikan semuanya berjalan baik.” Aku tersenyum tipis, mencoba menenangkan diri. Tapi ada rasa takut yang tak bisa dihilangkan. Semua perubahan membawa ketidakpastian, dan ket
Aku menatap Dion yang masih memegang ponsel, ekspresinya sulit kubaca. Tangan kecil Dinda menggapai kakiku. “Bunda, Ayah kenapa?” tanyanya polos. Aku menunduk, mengusap kepalanya. “Ah, nggak apa-apa, Nak. Hanya telepon biasa,” jawabku sambil tersenyum tipis, meski jantungku berdegup kencang. Dion menutup telepon dan menatapku serius. “Din… itu dari kantor yang kemarin aku lamar. Mereka minta ketemu besok pagi untuk wawancara.” Kataku tersenyum lega, tapi bersamaan itu ada rasa cemas yang merayap. Ini bisa menjadi awal perubahan untuk keluarga kami. Aku mengangguk, mencoba menenangkan diri. “Bagus… ini kesempatan besar, Dion. Tapi kita harus siap. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi besok.” Dion menarik napas panjang. “Aku tahu. Aku harus siap, dan aku nggak mau kamu sendirian lagi menanggung semuanya din. ” Malam itu, setelah Dinda tidur, aku duduk menulis di buku harian: “Hari ini ada kabar yang bisa menjadi titik balik. Tapi aku tahu, kesempatan datang bersamaan dengan tanggu
Keesokan paginya, udara terasa hangat dan sedikit lembap. Aku bangun lebih awal, menyiapkan Dinda sarapan, memastikan tas berisi dagangan siap dibawa. Dion sudah duduk di ruang tamu, menatap langit pagi dari jendela. “Din… hari ini kita harus lebih fokus,” katanya pelan. Aku mengangguk, mencoba menahan rasa lelah yang menumpuk. Dinda tersenyum riang. “Bunda, ayo jualan!” katanya sambil menggenggam tanganku. Senyum polosnya menjadi pengingat, meski hatiku penuh kekhawatiran, bahwa aku harus bertahan demi dia. Aku menyiapkan risoles, tempe mendoan, dan kue jajanan lain sambil menata beberapa bungkusan untuk menitip ke warung. Dion ikut membantu membungkus, tampak canggung tapi tulus. “Din, ini kita bagi-bagi dagangan ke beberapa warung. Aku ikut temani,” katanya. Aku tersenyum tipis. “Iya, ayo. Semoga hari ini lebih lancar.” Sepanjang pagi, kami berkeliling ke beberapa warung. Beberapa menolak karena sudah penuh, beberapa menerima dengan senyum. Aku belajar menerima penolakan tanpa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments