Share

7

Penulis: Ria Abdullah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 07:52:46

Mentari pagi merangkak perlahan dari balik gedung pencakar langit dan deretan toko-toko di sekitarku, cahayanya redupnya menerobos celah bangunan dan menembus asap tipis yang mengepul dari cerobong pusat industri menciptakan panorama kota yang dramatis.

Masih jam 08.00 pagi, tapi suasana hati yang sejak tadi kupaksakan untuk tetap tenang kini bergejolak seperti segelas air yang diletakkan di atas kobaran api. Di luar sana suara klakson mobil dan deru mesin motor menciptakan simfoni khas kota yang tak pernah berhenti. Berpadu dengan semua itu, pikiranku mulai kalut tak menentu.

"Kami tidak menjual apapun untuk Anda," tegasku sekali lagi.

"Bila kau tak izinkan aku untuk minum kopi di kedaimu... maka biarkan aku membawanya pergi," jawab Mas Arham dengan seulas senyum tipis yang menggetarkan hati, selalu begitu, dia berhasil melelehkanku dengan tatapan mata yang menusuk ke relung hati. Senyumnya meluluhkan segenap jiwa.

"Iya, Bu, izinkan aja Bapaknya beli kopi yang takeaway!" Kayla yang tak mau kehilangan pelanggan demi omset cafe kami, berusaha membujukku dengan wajahnya yang bersungguh-sungguh.

"Kapan lagi ada pelanggan tajir, Bu." Gadis itu mendekati dan membisikiku, sebenarnya aku pun tak mau kehilangan pelanggan mengingat betapa sulitnya mengumpulkan omset di kota penuh persaingan ini. Tapi, aku tak ingin memberi ruang pada lelaki ini untuk terbiasa datang ke tempatku dan membangkitkan kesedihan lama. Aku ingin dia lenyap dari hidupku, tak datang sedetik pun, karena aku ingin melupakannya.

"Usir dia dari sini!"

"Astaga Ibu, entah apa yang merasuki Ibu," ujar kaila sambil mengusap keningnya, sepertinya karyawanku itu tidak habis pikir dan heran sekali.

"Ayolah, aku menunggu segelas cappucino dengan krim vanilla yang selalu terkenal di kedai kalian. Bisa kubeli untukku satu?"

"Baik, Pak, akan saya buatkan!" Kayla menjawab dengan mantap lalu segera menghidupkan mesin cappucino. Aku terperanjat dan mencoba mencegah asistenku itu.

"Kaila...."

"Sudah, jangan cegah karyawanmu! saya sudah terlanjur datang, jadi biarkan dia melayani saya," sela Mas Arham yang membuatku kehilangan kata-kata.

*

Setelah secangkir cappucino dengan sedikit guratan seni tangan dari serbuk coklat terhidang di hadapannya. Pria itu tersenyum dan berterima kasih, perlahan ia meraih cangkir kopi dan membawa benda itu mendekati bibirnya. Aku memperhatikannya setiap gesture itu dari balik meja kasir dengan segala perasaan dongkol yang ingin kulampiaskan segera. Dongkol tapi cinta, cinta tapi benci sekali.

"Emangnya, Ibu kenal dengan Bapak itu?"

"Sedikit."

"Kenapa Ibu nampak kesal sekali?"

"Aku aku tak bisa menceritakannya," balasku lirih.

"Hmm... sepertinya lelaki tampan itu mantan pacar ibu ya...." Karyawanku yang masih berumur 20 tahun itu menggoda diri ini dengan senyum nakal, aku agak tersentil dengan perkataannya dan seketika membulatkan mata. Melihat ekspresiku yang serius, mendadak karyawanku diam dan malu.

"Ma-maaf Bu, saya tidak tahu jika situasinya seserius itu."

"Bukan begitu Kai, aku minta maaf padamu, reaksiku terlalu berlebihan." Aku mengusap wajahku dan berusaha membenahi rambutku.

"Beliau sudah menghabiskan uang 4 juta untuk memborong semua kue tanpa menawarnya, tolong hargai pelanggan kita, terlepas apapun latar belakangnya," ujar Kaila sambil mengambil nampan dan beralih ke dapur lagi. Aku hanya menghela nafas sambil mencoba mempertahankan ketenangan hatiku.

Jujur, tak bisa kupungkiri, pada pandangan pertama aku senang dia masih hidup di dunia, setidaknya aku masih bisa melihatnya sehat walafiat dan bahagia.

Tapi, kekecewaan seketika datang saat melihat wanita yang bersamanya. Sekarang saat dia men menjumpaiku, kegelisahannya itu tetap ada, ditambah aku khawatir kalau dia akan kembali berusaha meyakinkanku dengan rayuannya atau istrinya bisa saja datang dan mencurigai kami. Aku tak ingin menciptakan suasana tak nyaman dalam hidupku, karena sejak dulu aku hanya berkomitmen untuk hidup tenang.

"Bila Anda sudah selesai minum kopi, saya harap Anda pergi," ucapku dengan formal, aku mau terlihat profesional di hadapan karyawanku.

Pria itu terkekeh perlahan sambil meletakkan cangkir kopi ke meja, tatapan kami kembali beradu lagi, menciptakan ombak-ombak kecil di dalam jiwa. Aku kembali menarik nafas dalam, sambil menghalau agar hatiku tak bergetar, aku ingin segera membuang kecanggungan tak nyaman ini dan kembali bersikap normal.

Bak wanita yang baru bertemu kekasihnya hati berdebar dan diliputi oleh gejolak kerinduan yang membuncah. Bahkan kini aku bisa merasakan telapak tanganku teraliri oleh rasa panas dan dingin. Demi Allah, saat ingat dia sudah bahagia, aku harus mengingkari semua perasaanku sebab dia bukan lagi milikku! Aku tidak pantas lagi memanggilnya dengan panggilan suami.

"Aku harus membencinya dengan kebencian yang sangat besar!" Aku membatin sendiri.

"Kenapa kau menatapku?"

"Aku ingin kau berhenti menggangguku!"

"Setidaknya kau harus dengar penjelasanku!"

"Apa kau akan bilang kau terpaksa menikahi wanita itu demi jabatan, atau ia adalah seorang pewaris sehingga kau harus meninggalkan kami demi mendapatkan impianmu menjadi orang kaya?"

"Tidak, itu semua salah."

Aku memejamkan mata sambil menarik nafas dalam dalam, rasanya kesabaranku mulai tergerus seperti kikisan ombak di tebing pasir, pertahananku roboh dan aku mulai muak.

"Lalu, dalam rangka apa semua ini? Apa kau ingin membuat hatiku tersiksa dengan membangkitkan cinta yang lama?"

"Tidak juga Iriana, kau mencintaiku dan aku tahu itu. Kau bilang kau menungguku dengan segala doa dan harapanmu, jadi sekarang aku akan kembali."

"Cih!" Aku mendecih dengan segala kata-kata itu, kenyataan tak semudah membalikan telapak tangan.

"Lalu bagaimana istrimu? Apa kau pikir dia akan menerima kenyataan dan bertepuk tangan jika aku dan kamu kembali rujuk? Jangan konyol." Aku menggelengkan kepala sambil tertawa sinis, tapi lelaki itu tak pernah berhenti meyakinkanku.

"Iriana, makanya ... beri aku kesempatan untuk menjelaskan agar kau bisa memahami keadaan yang sebenarnya." Lelaki itu masih duduk bersandar di kursinya sementara aku tetap berdiri dengan jarak satu meter dari meja itu.

"Tak ada yang bisa kupahami karena hatiku terluka. Aku hanya ingin menyembuhkannya dan melanjutkan hidupku. Jika kau sungguh menghargaiku... maka kau bisa pergi sekarang dan jangan kembali lagi."

Pria itu tertegun, binar matanya mulai meredup, serta tekanan nafasnya terasa begitu lemah, sampai ia tak lagi membalas tatapanku.

"Iriana... aku mengalami kecelakaan yang mengubah segalanya."

"Hahaha kecelakaan apa, kecelakaan menghamili wanita cantik."

"Astaghfirullah Iriana... Jangan begitu sinis."

"Aku tak punya waktu mendengar penjelasanmu!"

"Namun kau pasti punya lima menit dan aku tidak akan menyia-nyiakannya!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DUA BELAS TAHUN TANPA KAMU    117

    Melihat mereka saling menerima kembali, ada keharuan yang membasahi sudut mata ini, aku ikhlas dan bahagia untuk mereka. Bahagia melihat mereka bahagia. "Alhamdulillah, kalian sudah saling menerima kembali, Kalau begitu akan kubiarkan keadaan bicara dan aku berpamitan.""Mau ke mana Mbak?" Tanya Mariana."Aku harus kembali ke toko," jawabku sambil mengangguk tulus padanya. "Tapi, mbak ga bisa pulang sendirian, kami harus mengantar mba," ujar Mariana."Tidak usah." Aku menggeleng sambil mengisyaratkan kedua tanganku agar mereka tetap bersama di tempat itu."Tapi Mbak mau pulang dengan siapa?""Denganku!" Suara berat di belakangku menyadarkan bahwa yang datang adalah Mas Arkan. Pria tampan dengan jas marun dan sapu tangan biru yang terselip indah di dada kirinya membuat pria itu terlihat tampan dan keren.Ya, langkahnya, gestur kedatangannya, dan cara dia membuka kacamata hitamnya itu membuat semua orang terpana. "Pak Arkan," ujar Mas arham menyapa lelaki itu dengan senyum hangat da

  • DUA BELAS TAHUN TANPA KAMU    116

    Aku ceritakan pada anak-anak bahwa semalam aku bicara pada ayah mereka, di meja makan saat kami sarapan pagi, kedua putriku terdengar menyimak semua cerita yang kuutarakan. "Apa Ayah bisa menerima dengan baik semua perkataan Bunda?""Iya, sepertinya pikirannya sedang jernih, jadi aku bisa masuk ke alam bawah sadar dan memberinya afirmasi bahwa dia harus kembali pada keluarganya." "Apa Bunda berhasil?""Bunda rasa Ayahmu mulai terpengaruh dan mau tergerak untuk menemui istrinya.""Sebenarnya ini bukan tugas kita untuk bersikap sejauh itu, tapi kita melakukannya karena kepedulian. Apa kalian setuju?" tanyaku pada anak-anak. "Ya, kami setuju Bunda."*Anak-anak telah berangkat ke kampus dan sekolahnya saat masa Arham tiba-tiba mengirimkan pesan padaku dan memintaku untuk menemaninya menemui Mariana. (Aku tahu ini canggung tapi hanya kau yang bisa kuandalkan untuk menengahi kami.)Aku terdiam sambil membaca pesan tersebut, agak ragu perasaanku karena aku tidak ingin mengambil langkah

  • DUA BELAS TAHUN TANPA KAMU    115

    Senja menyapa kota ini dengan langit jingga yang memudar meninggalkan jejak warna jingga di cakrawala. Aku terduduk di teras rumahku sambil menatap gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dari kejauhan. Di antara semua gedung itu ada gedung Mariana dan tempat yang dulu dikelola Mas Arham dengan begitu bangganya. Karirnya bagus sebagai direktur, hubungan dengan keluarga istrinya juga baik karena secara teknis ia suami yang sempurna. Beberapa bulan lalu ia sangat bangga berada di sana, menghabiskan sebagian besar waktu untuk mencurahkan pikiran dan ide-ide dalam bisnis, tapi kini semuanya tertinggal dalam kesunyian.Pikiranku tenggelam membayangkan apa yang terjadi antara Mariana dan Mas Arham, dia yang selalu terobsesi untuk kembali padaku dan kecemburuan Mariana telah memicu pertengkaran hebat dan perpisahan di antara mereka. Mungkin Mas arham merasa seperti terdampar di Pulau terpencil, sendirian tak memiliki siapapun. Tak ada kawan atau keluarga yang bisa diajak untuk mencura

  • DUA BELAS TAHUN TANPA KAMU    114

    Angin berhembus dengan sejuk di antara siang menjelang sore. Berbincang dengan Mas Arkan sampai 3 jam lamanya sama sekali tidak terasa seakan baru lima menit berlalu. Karena aku harus menutup toko, maka aku mau minta beliau untuk mengantarku kembali ke cafe delta. Kami meluncur dengan mobil BMW milik Mas Arkan. Menyusuri jalanan kota yang terasa mulai sesak di sore hari, juga terik matahari yang langsung jatuh ke kaca depan mobil. Begitu berhenti di lampu merah yang di sebelah kirinya ada toko ritel aku terkejut dengan seseorang yang sedang duduk di bangku depan toko tersebut. Aku berusaha menajamkan pandangan mata padahal lelaki yang menggunakan celana jeans sobek di bagian lutut, baju kaos hitam dan topi., cambangnya nampak lebat, mungkin lebih bagus disebut jenggot. Dia duduk dengan sebotol kopi kemasan. Dia Mas Arham.Tatapannya kosong, duduk sambil menatap lalu lalang orang di jalanan, Dia terlihat sedih dan sesekali meneguk kopi dari botol tersebut. Melihatku ada di dalam semu

  • DUA BELAS TAHUN TANPA KAMU    113

    Jadi apa yang kudapatkan dalam dua belas tahun penantianku? Mungkin aku tidak cukup beruntung dengan cinta, tapi aku mendapatkan modal dan toko baru. Aku telah mengamankan masa depan anak anak dan memastikan mereka kuliah di tempat terbaik yang mereka inginkan. Dan ya, untung saja aku berkonflik dengan Mas Arham, andai kami tidak bertengkar di showroom mungkin aku tak akan bertemu dengan Mas Arkan yang istimewa, lelaki yang telah memberiku alasan baru untuk tersenyum dan lebih kuat menjalani segalanya. Karena perannya juga, aku berani mengambil keputusan untuk membuka cabang dan berspekulasi dengan keberuntunganku. Nyatanya, aku hanya butuh dorongan karena keraguan terbesarku selama ini hanya takut merugi.Cabang baru berkembang dengan pesat, Kaila mengelolanya dengan baik, sedang aku dan anak anak fokus pada toko delta di saint Maria. Popularitas toko dan testimoni kelezatan melejit membuat pesanan menumpuk dan pelanggan yang tak pernah sepi. Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan

  • DUA BELAS TAHUN TANPA KAMU    112

    Jadi apa yang kudapatkan dalam dua belas tahun penantianku? Mungkin aku tidak cukup beruntung dengan cinta, tapi aku mendapatkan modal dan toko baru. Aku telah mengamankan masa depan anak anak dan memastikan mereka kuliah di tempat terbaik yang mereka inginkan. Dan ya, untung saja aku berkonflik dengan Mas Arham, andai kami tidak bertengkar di showroom mungkin aku tak akan bertemu dengan Mas Arkan yang istimewa, lelaki yang telah memberiku alasan baru untuk tersenyum dan lebih kuat menjalani segalanya. Karena perannya juga, aku berani mengambil keputusan untuk membuka cabang dan berspekulasi dengan keberuntunganku. Nyatanya, aku hanya butuh dorongan karena keraguan terbesarku selama ini hanya takut merugi.Cabang baru berkembang dengan pesat, Kaila mengelolanya dengan baik, sedang aku dan anak anak fokus pada toko delta di saint Maria. Popularitas toko dan testimoni kelezatan melejit membuat pesanan menumpuk dan pelanggan yang tak pernah sepi. Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status