“Haruki-kun!”
Dengan canggung Izumi mencari asal suara yang memanggilnya. Tak jauh dari tempatnya berdiri seorang wanita melambaikan tangan ke arahnya seraya tersenyum lebar. Di samping wanita itu berdiri seorang pria yang seusia dengan ayahnya. Entah mengapa dada pemuda itu tiba-tiba terasa sesak, bukan karena rindu, bukan. Namun lebih pada perasaan marah. Ingin rasanya ia berpaling dan mengabaikan panggilan wanita itu. Namun lagi-lagi bayangan ayahnya muncul seakan menariknya maju untuk mendekat. Jarak mereka hanya terpaut sekian meter. Namun Izumi merasa kedua kakinya terasa begitu berat ketika melangkah. Seolah ada beban yang menahannya untuk bergerak.
“Selamat datang, Haruki-kun.” Wanita itu memeluk Izumi dengan erat. Namun pemuda itu tak bergeming. Perasaan asing itu belum sepenuhnya hilang. “Ayo kita pulang, kau pasti lelah setelah perjalanan panjang ini.” Ia melepaskan pelukannya dan menatap wajah Izumi dengan senyuman. “Sayang, bisa kau bantu membawakan kopernya?” ujarnya pada pria di sampingnya.
“Tentu.”
Tanpa perlu diminta lagi, pria itu mengambil alih koper yang dibawa Izumi dan membawanya keluar dari bandara. Sepanjang perjalanan dari bandara Izumi hanya diam tanpa suara. Wanita itu nampaknya menyadari kecanggungan di antara mereka. Ia pun tak lagi berkata apa-apa dan membiarkan Izumi tenggelam dalam pikirannya. Sekitar empat puluh lima menit berkendara, akhirnya mobil hitam itu mulai memperlambat lajunya dan akhirnya berhenti. Mereka bertiga turun dari mobil dan berjalan bersama menuju ke dalam. Izumi memandang sekelilingnya. Halamannya begitu luas dan rapi ditutupi oleh rumput hijau yang sudah dipotong. Sekitar sepertiga dari luas halaman itu ditanami dengan bunga kamelia jepang—tsubaki. “Ibumu suka dengan bunga itu. Namanya sendiri memiliki arti ‘kamelia’, bukan?” ujar pria itu ketika melihat pandangan Izumi tertuju pada petak kamelia yang sedang bermekaran. Izumi hanya menanggapinya dengan senyuman canggung dan kembali melangkah.
“Okaerinasai, Otou-san, Mama,” sambut seorang anak laki-laki begitu mereka tiba di dalam. “Ah, ini pasti Haruki Aniki, bukan?” Pandangannya beralih menatap Izumi. Izumi merasa sedikit tak nyaman begitu anak laki-laki memanggilnya dengan sebutan “Aniki”.
“Konnichiwa,” ujar Izumi.
Anak laki-laki itu tertawa renyah. “Tak perlu formal seperti itu, umur kita hanya selisih setengah tahun. Aku Ryuzaki, panggil saja Ryu.” Ia menjabat tangan Izumi dengan ramah.
“Ryu-kun, antarkan kakakmu ke kamarnya ya. Dia butuh istirahat.”
“Baik,” balas laki-laki yang dipanggil Ryu itu. “Ayo Kak, akan kutunjukkan kamarmu di mana,” ujarnya pada Izumi.
“Istirahatlah dulu, akan Mama siapkan makanan untukmu,” ujar wanita itu pada Izumi.
Izumi mengangguk pelan dan ucapan terima kasih yang kaku akhirnya terucap dari bibirnya. Izumi mengikuti langkah Ryu menaiki tangga menuju kamar barunya. “Aku bisa membawanya sendiri,” ujar Izumi ketika melihat Ryu kesulitan membawa kopernya menaiki tangga.
“Tak apa, aku bisa kok,” tolak pemuda itu.
“Kalau begitu terima kasih banyak, Ryuzaki-kun,” balas Izumi yang disusul dengan anggukan dari Ryu.
“Kamarmu di sini, selamat beristirahat,” ujar Ryu pada Izumi.
Setelah meletakkan koper Izumi di sudut ruangan, pemuda itu pun keluar meninggalkan Izumi sendirian. Izumi merebahkan badannya di atas kasur. Sementara pandangannya bergerak menatap sekeliling kamar barunya yang didominasi warna biru. Tiba-tiba saja ia merindukan kamarnya yang di Amerika. Tempat baru ini terasa benar-benar asing baginya. Bahkan wajah penuh senyum dari wanita yang melahirkannya itu terlihat begitu asing di matanya. “Aku tidak tahu bagaimana ke depannya, tapi setidaknya Otou-san aku sudah berusaha untuk menepati permintaanmu,” gumam Izumi. Pemuda itu memejamkan kedua matanya dan tak lama kemudian iapun terlelap dalam mimpinya.
Nakagawa Tsubaki, ibu Izumi mengetuk pintu kamar pemuda itu dua kali. Namun tetap tak ada balasan dari dari dalam. Apa dia tertidur? pikir Tsubaki. Iapun membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci dari dalam. Benar saja begitu tiba di dalam ia mendapati putranya tengah tertidur begitu pulas hingga tak menyadari kehadirannya. Tsubaki meletakkan nampan berisi makanan yang ia bawa di atas meja. Ia kemudian berjalan menghampiri Izumi yang masih tertidur. Dengan hati-hati agar tak membangunkan putranya, Tsubaki mendudukkan diri di samping Izumi. Iris lavendernya menelusuri setiap inchi wajah Izumi yang terlelap. Semakin lama Tsubaki merasa putranya semakin mirip bahkan sangat mirip dengan “dia”. Keduanya memiliki bentuk hidung dan bibir tipis yang selalu terlihat pink alami yang persis sama. Antara ragu dan rindu Tsubaki mengusap pipi Izumi dengan lembut. Hampir saja tangis wanita itu meledak. Putra kecilnya kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Meskipun penyesalan masih menggelayut di dadanya. Namun ia merasa bahagia bisa bertemu kembali dengan putranya.
Izumi terbangun dari tidurnya begitu merasakan sentuhan seseorang di pipinya. Ia menatap sosok di depannya dengan mata setengah terpejam. “Otou-san?” gumam Izumi yang belum sepenuhnya sadar. Menyadari putranya terbangun, Tsubaki menarik tangannya yang masih berada di pipi pemuda itu.
“Ah, maaf membuatmu terbangun. Mama membawakanmu sarapan, makanlah! Kau pasti lapar setelah menempuh penerbangan panjang.” Sambil berkata begitu Tsubaki beranjak dari duduknya dan berjalan keluar. Namun belum sempat ia menyentuh gagang pintu, suara Izumi menghentikannya.
“Kenapa....”
Tsubaki menoleh. “Eh?”
“Kenapa memintaku kembali? Setelah 10 tahun lebih Anda meninggalkan kami, Kenapa tiba-tiba memintaku kembali lagi. Sebenarnya apa maksud semua ini?” Izumi yang kini telah sepenuhnya terbangun, memandang Tsubaki dengan tajam.
“Kau sebaiknya makan dulu, setelah itu baru kita bicara lagi.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan, jawab saja pertanyaanku!”
Tanpa sadar nada suara Izumi menjadi meninggi hingga cukup membuat Tsubaki terkejut. “Haruki-kun.” Tsubaki memanggil putranya dengan lembut. Wanita itu melangkah mendekati Izumi, begitu jarak mereka hanya terpaut satu lengan, Tsubaki memeluk pemuda itu dengan erat. “Maaf. Kau pasti merasa ini tak adil. Tapi Mama benar-benar ingin bertemu denganmu. Kau boleh saja membenciku, tapi tolong jangan pergi lagi. Tetaplah di sini, di samping Mama.” Izumi tak bereaksi sedikitpun sampai akhirnya Tsubaki melepaskan pelukannya. Sekilas iris obsidiannya melihat ada kristal bening yang membayang di kedua iris lavender milik ibunya. “Kapanpun kau siap, Mama akan menjelaskan semuanya dari awal. Aku tak berharap kau akan langsung memaafkan Mama, tapi Mama akan berusaha untuk memperbaiki ikatan ini.” Suara Tsubaki terdengar sedikit bergetar begitu menyelesaikan kalimat panjangnya. Melihat Izumi yang tak kunjung mengucapkan kata sepatahpun, wanita itu memakluminya. Ia kembali berbalik menuju pintu keluar, memberikan ruang dan waktu bagi pemuda itu untuk menenangkan diri.
“Izumi.” Tsubaki menoleh mendengar suara lirih putranya. “Mereka memanggilku Izumi sekarang, bukan Haruki lagi,” ujar Izumi datar.
“Ah begitu rupanya,” ujar Tsubaki. Sebelum keluar wanita itu kembali melemparkan senyuman kepada Izumi. Berharap putranya akan membalas dengan hal yang serupa. Namun Izumi tak bereaksi sedikitpun, pemuda itu masih tetap memasang wajah datarnya bahkan hingga dirinya menghilang di balik pintu. Tsubaki menutup pintu kamar Izumi dengan pelan. Ia menghela napas panjang bersamaan dengan tertutupnya pintu coklat itu. Begitu berbalik Tsubaki dikagetkan dengan kehadiran Ryuzaki yang entah sejak kapan berdiri di depan pintu kamarnya yang berseberangan dengan kamar Izumi.
“Mama,” panggil Ryuzaki.
“Ryu-kun, apa kau lapar? Biar Mama siapkan makanan. Kau tak perlu turun, nanti Mama antarkan ke atas. Tunggu sebentar ya.” Tsubaki menghindari tatapan putra keduanya.
“Mama baik-baik saja? Aku tadi sempat mendengar—”
“Mama baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir,” balas Tsubaki memotong ucapan Ryu. Wanita itu tersenyum pada Ryu dan berjalan menuruni tangga. Ryu menatap punggung ibunya yang bergerak semakin menjauh. Meskipun banyak hal dalam benaknya yang ingin ia katakan. Namun Ryu menahannya. Pemuda itu sadar ia tak bisa ikut campur dalam hubungan antara ibu dan anak tersebut. Biarkan saja keduanya menyelesaikannya dengan cara mereka masing-masing. Ryu menatap sekilas ke arah pintu kamar kakak barunya sebelum akhirnya ia kembali masuk ke dalam kamarnya.
Setelah ibunya keluar, Izumi bangkit dari kasurnya lalu melangkah menuju jendela. Disibaknya tirai coklat itu dengan pelan. Seketika sinar matahari masuk menerangi kamarnya. Langit Jepang pagi itu tampak begitu biru dan cerah. Dari balik jendela Izumi bisa melihat pohon sakura yang sedang bermekaran di jalanan depan rumah milik keluarga Nakagawa. Tanda bahwa musim semi telah tiba. Sakura, kupikir aku tak akan melihatnya lagi dari tempat ini, batin Izumi.
Puas melihat pemandangan di luar, Izumi kembali melangkah menuju tempat tidurnya. Awalnya ia ingin kembali merebahkan diri. Namun niatnya diurungkan ketika melihat makanan yang dibawakan oleh Tsubaki sebelumnya. Semangkuk nasi dan sup miso, chicken katsu, natto, potongan ikan makarel panggang, serta salad sayur segar tiba-tiba mengundang selera makannya. Hari itu untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun, indra pengecap Izumi kembali merasakan masakan jepang. Terbiasa dengan masakan barat selama tinggal di Amerika membuat rasa makanan itu sedikit asing di lidahnya, terutama natto. Padahal dulu seingatnya ia tak keberatan untuk memakannya. Namun kali ini setelah satu gigitan Izumi memutuskan untuk menyerah menghabiskan makanan yang terbuat dari kedelai dan bertekstur lengket itu.
Selesai makan dan membersihkan diri, Izumi keluar dari kamarnya sambil membawa nampan alat makannya. Sampai di ujung tangga pemuda itu berhenti sejenak, bingung di mana arah dapur yang akan ia tuju untuk mengembalikan peralatan kotor itu. Habisnya rumah itu begitu luas dan tempat yang baru Izumi lewati hanyalah ruang depan dan tangga yang menuju ke lantai dua. Di tengah kebingungannya tiba-tiba ia berpapasan dengan Tsubaki, ibunya. Wanita itu sedikit terkejut melihat putranya berdiri sendirian di ujung tangga dengan kedua tangan yang memegang nampan yang ia bawakan sebelumnya.
“Haruki—maksud Mama, Izumi-kun! Kau tak perlu repot-repot membawanya turun. Harusnya kau tunggu saja Mama mengambilnya ke atas,” ujar Tsubaki. Ia segera mengambil alih nampan itu dari tangan Izumi. “Bagaimana makanannya? Apa sesuai dengan seleramu? Maaf, harusnya Mama memasak sesuatu yang lain,” lanjut Tsubaki.
“Daijoubu,” balas Izumi singkat lalu terdiam antara enggan atau bingung untuk mengatakan sesuatu yang lain sesudahnya.
“Ah, benar juga. Ryu-kun berada di halaman depan. Kau bisa mengobrol dengannya. Mama rasa Ryu-kun tak akan keberatan mengajakmu mengenal lingkungan sekitar sini,” ujar Tsubaki pada Izumi yang masih terdiam. Pemuda itu menoleh sebentar ke arah Tsubaki dan mengangguk. Setelah itu tanpa mengatakan apa-apa ia melangkah menuju pintu depan. Tsubaki menghela napas pelan tanpa melepaskan pandangan dari punggung putranya yang kini berjalan menjauhinya.
Sepertinya ini akan menjadi sedikit sulit. Tapi aku tak ingin kehilangannya lagi. Sepuluh tahun tak menyaksikannya tumbuh, bagiku sungguh sangat menyakitkan, batin Tsubaki.
"Pagi!" Seperti biasa Yuki membalas sapaan anak yang menyapanya dengan ceria. Gadis itu melangkah dengan santai menuju loker sepatunya sambil sesekali bersenandung kecil. Ditariknya pintu loker besi itu dengan pelan. Tak disangka puluhan kaleng bekas berkelontang dari dalam lokernya dan jatuh berserakan di lantai, mengundang perhatian anak-anak yang lainnya untuk melihat apa yang terjadi. "Apa-apaan ini?!" Yuki menatap lokernya sendiri yang dipenuhi oleh sampah kaleng bekas. Terdapat secarik kertas ditempel dengan selotip di bagian dalam lokernya. Yuki menarik lepas kertas itu, membaca rangkaian huruf yang ditulis dengan tinta merah menyala. 'ENYAH KAU!!' begitu bunyi kalimat yang tertulis di sana. "Yuki!" Terlihat seorang gadis menyeruak di antara kerumunan anak-anak yang ada di sana, menghampiri Yuki dengan tergesa. "Anna." "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya gadis yang dipanggil Anna itu. Raut wajah Anna penuh dengan kekhawatiran melihat kejadian yang
Waktu berlalu, hari berganti. Para siswa kelas tiga semakin disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Kesibukan itu, membuat Izumi perlahan lupa dengan suratnya. Eksistensi benda itu hampir menghilang sepenuhnya dari kepala Izumi, kalau saja dia tak menemukan setangkai krisan putih di loker sepatunya, kira-kira satu minggu setelah kejadian surat tanpa nama itu. Terdapat selembar kertas yang digulung kemudian diikat pada tangkai krisan itu, seolah seperti sebuah pita. Izumi melepas ikatannya, membaca sebaris kalimat pendek yang tertulis di sana. Musim ujian semakin dekat. Senpai, semangat! Izumi menengok kiri-kanan, berpikir mungkin masih ada jejak keberadaan orang yang meletakkan krisan itu di sekitar sana namun nihil. Memang area loker cukup ramai dengan lalu datang anak-anak yang berganti sepatu. Akan tetapi mereka terlihat tak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Menghela napas pendek, Izumi melipat kertas itu, mengikatnya kembali ke bentuk semul
Selesai makan malam dan mengerjakan tugasnya, Izumi mengutak-atik kameranya. Foto-foto hasil jepretannya beberapa hari yang lalu dia pindahkan ke dalam laptopnya. Izumi lantas memilih salah satu dari sekian foto, mengeditnya agar terlihat lebih menarik. Raut wajahnya terlihat fokus. Waktu semakin berlalu dan Izumi semakin tenggelam dalam kegiatannya. Sesekali dia membuka ponselnya, mencari tutorial di internet saat menemukan kesulitan dalam menggunakan fungsi fitur-fitur yang tersedia pada perangkat lunak yang dia gunakan untuk mengedit. "Sulit juga," ujar Izumi. Setidaknya butuh waktu satu setengah jam baginya untuk selesai mengedit satu foto. Setelah lama tidak berkecimpung lagi dengan hal-hal yang berkaitan dengan fotografi, Izumi merasa kemampuannya di bidang itu juga ikut menurun. Dulu ketika masih aktif di klub fotografi, untuk mengedit satu foto biasanya dia hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit dan sekitar satu jam jika itu berupa foto potret. Setelah menyimpan hasil ker
“Kurasa pembahasannya sampai di sini dulu. Detailnya akan kita bahas lagi saat rapat berikutnya. Masing-masing divisi jangan lupa untuk merincikan biaya yang diperlukan sebelum diserahkan pada bendahara!” “Baik!” Nana menutup rapat tambahan senja itu dan anak-anak OSIS perlahan membubarkan diri satu persatu dari ruangan. Aizawa-Sensei—pembina OSIS Sakurai Goukou menghampiri Nana, memberikan sejumlah dokumen dan catatan kecil yang akan dibutuhkan dalam persiapan acara ke depannya. Perempuan itu meletakkan tangannya di bahu Nana. “Aku mengandalkanmu.” “Arigatou, Sensei,” balas Nana sopan sembari membungkukkan badan. Setelah mengunci Ruang OSIS dan mengembalikan kuncinya ke ruang guru, Nana berjalan menuju loker untuk mengganti sepatunya. Gadis itu melihat sejenak ke arah loker Izumi meskipun tak ada siapapun di sana. Dering singkat dari ponselnya, membuat Nana tak berlama-lama di sana. Dia berganti sepatu dengan cepat lalu bergegas ke depan sekolah, di mana bibinya sudah menunggu un
Senin, Izumi sudah kembali masuk sekolah seperti biasanya. Tiga hari tak masuk rasanya dia telah melewatkan banyak hal, terutama menyangkut mata pelajarannya. Oleh karena itu dia berusaha mengejar ketertinggalannya dengan meminjam catatan dari Kaito yang secara sukarela memberikannya.Izumi melemaskan persendian tangannya, berusaha mengurangi rasa pegal pada buku-buku jarinya setelah cukup banyak menyalin catatan materi dari Kaito ke bukunya sendiri. Pandangan Izumi menyapu ruang kelas 3-A yang berangsur-angsur sepi. Hanya tinggal dia dan Ichijou yang terlihat sedang bersiap-siap untuk pulang.“Izumi, kau masih belum mau pulang?” tanya Ichijou sambil memasukkan buku terakhir ke dalam tas sekolahnya.Izumi membalasnya dengan gelengan lalu mengangkat catatan yang masih harus dia salin. “Aku akan pulang setelah menyelesaikan ini.”“Kalau begitu, aku duluan. Sampai besok!”“Sampai besok!” balas Izumi.Kelas sudah sepi dan sekarang hanya tinggal dirinya yang ada di sana. Agar tak terlalu b
Izumi mengambil sebuah puding pemberian Yuki dan menyimpan sisanya di dalam kulkas. Saat sedang menyantap pudingnya, tak lama kemudian Ryu yang sudah berganti pakaian ikut bergabung dengan Izumi di ruang makan. Ryu meraih gelas porselen dari atas rak, mengisinya dengan air dari dispenser. Setelah meneguk habis airnya dan meletakkan gelas itu di wastafel, Ryu mendudukkan diri pada kursi berseberangan dengan Izumi.“Mama sedang keluar?” tanya Ryu setelah sepersekian detik melayangkan pandangannya mengitari area dapur dan ruang makan mencari keberadaan Tsubaki.Izumi mengangguk singkat. Dia mengangkat puding apelnya, menawarkannya pada Ryu. “Kau mau? Di kulkas masih ada.”Ryu menggelengkan kepala. Sebaliknya tangan pemuda itu menjangkau toples berisi cookies dan crackers yang sebelumnya dibawa oleh Izumi. “Ini, aku baru melihatnya. Apa mama yang membelinya?”“Ah, itu Mr. Sharon—pemilik rumah yang kami sewa di Amerika dulu, mengirimkannya untukku. Makan saja kalau kau mau,” ujar Izumi.“S