FAZER LOGIN"Saya nikah dan kawinkan Kirana binti Wijaya Kusuma dengan mahar 500 perak dibayar tunai." Ucapan Aditya barusan menggugah rasa terkejut di antara tamu undangan sekaligus keluarga masing-masing mempelai. Kirana, istrinya, menunduk malu saat mendengar itu. Dia menghela napas. "Kenapa hanya 500 perak? Apa menurutmu pernikahan ini main-main?" Aditya tidak menjawab pertanyaan Kirana. Dia hanya tersenyum tipis. Pria itu menyembunyikan sesuatu dibalik mahar yang dia berikan pada pasangannya. Sebuah rahasia yang menjadi pegangan hati selama ini. Rahasia yang membuat hati semua orang merendahkan dirinya karena mahar yang dia berikan tanpa tahu bahwa dibalik itu semua ada hal paling berharga dalam hidup.
Ver maisDi rumah Kirana, kursi-kursi rotan berderet rapi, bunga melati menebar aroma manis, dan di sudut ruangan, tirai putih bergoyang lembut diterpa angin.
Akad pernikahan Kirana Prameswari dan Aditya Mahendra disusun sesederhana mungkin, atas permintaan mempelai pria yang tak ingin berlebihan, dan disetujui dengan berat hati oleh keluarga Kirana.
Kirana duduk anggun di sisi dalam. Tangannya bergetar di pangkuan, jantungnya berdetak tak karuan. Ia menatap bayangan Aditya di seberang sana, pria yang kini akan menjadi suaminya.
Aditya mengenakan jas putih sederhana, rambutnya disisir rapi, dan di antara senyum gugupnya, terlihat ketulusan yang meneduhkan. Di hadapan penghulu, ia menunduk hormat, suaranya tenang namun bergetar oleh emosi.
“Baik,” ujar penghulu dengan suara lembut. “Kita mulai akad nikahnya.”
Wijaya Kusuma, ayah Kirana, duduk di sisi depan, wajahnya tegas tanpa ekspresi. Di sebelahnya, Sulastri menegakkan punggung, memegang tas kecilnya erat-erat, seolah menahan diri dari sesuatu yang tak disukainya. Beberapa tamu keluarga menatap sinis ke arah Aditya. Mereka datang bukan karena restu, tapi karena rasa penasaran siapa pemuda miskin yang berani menikahi anak orang kaya itu.
Suasana hening. Hanya suara burung sore dan desiran angin yang menyelinap di antara doa-doa. Penghulu memberi aba-aba pada Pak Wijaya untuk mengucapkan ijab yang akan dibalas oleh Aditya nantinya.
Aditya menarik napas dalam. Ia menunduk dalam-dalam, lalu dengan suara mantap dan penuh keyakinan berkata:
“Saya terima nikah dan kawinnya Kirana Prameswari binti Wijaya Kusuma dengan mahar 500 perak tunai.”
Untuk sepersekian detik, suasana tetap hening. Tapi setelah itu—
“APA?” Suara melengking terdengar dari arah tamu wanita.
Semua kepala menoleh. Bibi Kirana, Bu Ratna, langsung berdiri dari kursinya dengan wajah merah padam. “Lima ratus perak? Kamu bilang apa tadi, Nak? Lima ratus perak?!”
Beberapa tamu berbisik-bisik, ada yang menahan tawa, ada pula yang terperangah tak percaya. Sulastri mendadak menutup mulutnya dengan tangan, matanya melebar penuh amarah dan malu.
“Ratna, duduklah,” kata seorang pria paruh baya, paman Kirana, dengan nada menenangkan. Tapi Ratna menepis tangannya.
“Tidak bisa! Ini penghinaan, Mas! Penghinaan untuk keluarga kita!” serunya sambil menunjuk ke arah Aditya. “Mahar itu uang koin?! Lima ratus perak? Apa dia pikir ini candaan?!”
Penghulu tampak canggung. Ia menoleh ke arah Wijaya, berharap sang ayah bisa menenangkan situasi. Tapi Wijaya hanya menghela napas panjang, menunduk, lalu berkata pelan. “Yang penting ijab kabul sah.”
“Tapi, Mas—” protes Ratna lagi, namun sang paman menahan lengannya. “Sudah, Ratna. Ini bukan waktunya mempermalukan pengantin.”
Sementara itu, Kirana hanya bisa terpaku di tempat. Wajahnya yang tadi tegang kini berubah muram. Ia menatap Aditya dengan tatapan penuh tanda tanya, seolah meminta penjelasan tanpa suara.
Aditya tidak menatap siapapun kecuali penghulu. Ia menunduk lagi, tangannya masih mengepal di pangkuan. Di ujung jari itu, koin logam kecil terselip, koin yang tampak kusam, seakan telah berumur lama.
“Baik." Suara penghulu memecah keheningan, berusaha melanjutkan prosesi. “Karena telah diucapkan dengan sah dan disaksikan dua orang saksi, maka pernikahan ini sah secara agama.”
Beberapa tamu langsung bertepuk tangan kecil, sebagian lainnya hanya saling pandang dengan wajah sinis.
Ratna masih mendengus marah, sedangkan Sulastri menunduk, wajahnya tegang dan kaku.
Kirana menunduk dalam. Ada rasa getir yang merayap di dadanya. Ia tak tahu harus bersyukur atau kecewa.
Aditya menatapnya dari kejauhan, tersenyum tipis — senyum yang entah kenapa membuat hatinya semakin gundah.
Beberapa menit setelah akad selesai, suasana menjadi canggung. Tamu-tamu mulai berbisik dengan nada tak sopan.
“Anak orang kaya tapi mahar cuma lima ratus perak?”
“Pasti lelaki itu tidak mampu.”
“Aduh, kasihan sekali Kirana, jatuhnya harga dirinya.”
Kirana mendengar bisikan itu meski mereka berusaha berbisik pelan. Pipinya terasa panas menahan malu.
Sulastri mendekat dengan langkah cepat.
“Maaf, Pak Penghulu,” katanya dengan suara dingin namun tetap sopan. "Bisakah prosesi segera diselesaikan? Kami ingin langsung beralih ke doa penutup.”
Penghulu mengangguk, meski wajahnya tampak kaku.
Setelah doa dipanjatkan dan akad resmi selesai, tamu-tamu mulai bergerak ke area makan. Namun suasana yang biasanya hangat dan penuh tawa kini terasa kaku. Hanya bunyi sendok dan piring yang terdengar.
Aditya duduk di kursinya, mencoba tersenyum pada semua orang, tapi tak seorang pun membalas dengan tulus.
Beberapa sepupu Kirana bahkan menatapnya dengan pandangan meremehkan.
“Wah, mas kawin lima ratus perak, itu buat beli apa? Permen?” ujar salah satunya dengan nada mengejek.
Yang lain tertawa kecil.
"Bahkan beli permen aja cuma dapat satu."
"Cih! Dia kira dia hidup di zaman dulu 500 perak sangat berharga."
Aditya hanya menunduk, tidak membalas. Ia menatap koin yang kini berada di dalam kotak kecil di pangkuannya. Koin itu berkilau samar di bawah cahaya lampu.
Kirana melihat itu dari jauh, dadanya terasa sesak. Ia tahu Aditya bukan orang yang suka berlebihan, tapi lima ratus perak?
Ia menggigit bibirnya, menahan perasaan campur aduk antara marah, kecewa, dan penasaran.
Ketika ia akhirnya duduk di samping Aditya, suara lirih keluar dari bibirnya.
“Kenapa, lima ratus perak?” tanyanya pelan tanpa menatap suaminya.
Aditya tersenyum kecil. “Karena itu yang paling berharga yang aku punya.”
Kirana menatapnya, matanya bergetar menahan emosi. “Berharga? Uang receh itu? Kamu serius, Adit?”
Aditya tidak menjawab. Ia hanya menatap koin itu lama-lama, seolah sedang berbicara dengan masa lalu yang tak bisa dijelaskan sekarang.
"Adit? Serius?"
"Aku serius? Bukankah kamu nggak mempermasalahkan masalah mahar?"
Kirana terdiam.
Beberapa langkah dari mereka, Sulastri sedang berbicara dengan Wijaya dengan nada rendah tapi tajam.
“Kamu lihat sendiri, Mas. Aku sudah bilang, pemuda itu tak pantas. Mahar lima ratus perak! Lima ratus!”
Wijaya tetap tenang, menyesap teh kecil di depannya. “Sudahlah. Kamu kira aku senang? Tapi setidaknya pernikahan ini sudah sah. Jangan buat lebih memalukan lagi.”
“Bagaimana aku tidak malu? Semua tamu membicarakan ini. Anak kita, Kirana, menikah dengan lelaki yang memberi mas kawin seperti itu!”
Wijaya menatap istrinya dengan mata tajam. “Kalau dia benar-benar lelaki baik, harga koin itu akan berarti lebih dari segunung emas. Tapi kalau tidak, ya biar waktu yang membuktikan.”
Sulastri mendengus kesal, menoleh ke arah Aditya dengan tatapan merendahkan.
Sementara itu, Kirana masih diam di samping suaminya. Di wajahnya tergambar jelas kekecewaan yang tak bisa disembunyikan.
Aditya tahu itu. Ia tahu betapa sulit bagi Kirana menanggung semua pandangan itu tapi ia juga tahu, belum waktunya menjelaskan.
“Maafkan aku,” katanya lembut, hampir berbisik.
Kirana menatapnya tajam. “Untuk apa?”
“Untuk membuatmu malu hari ini.”
“Lalu kenapa kamu tetap melakukannya?”
Aditya terdiam beberapa saat. Ia menggenggam koin itu dengan lembut, matanya sendu namun penuh makna.
“Karena suatu hari nanti,” ujarnya pelan. "Kamu akan tahu kenapa koin ini tak ternilai harganya.”
Suara tawar-menawar bercampur dengan aroma tanah basah dan sayuran segar yang baru dibongkar dari karung. Di tengah hiruk pikuk itu, seorang pemuda dengan kemeja lusuh tampak sibuk menata tumpukan telur di meja kayu. Aditya berjualan telur karena sang pemilik sedang keluar kota dan Aditya dikenal sebagai pria serba bisa di pasar. “Dua kilo, Dit. Yang gak retak ya,” seru seorang ibu langganan sambil membawa tas belanja. "Iya, Bu. Saya pilihkan yang bagus." Aditya menatap tumpukan telur, lalu dengan cekatan menghitung dan menimbang. “Pas dua kilo, Bu. Empat puluh ribu aja. Saya tambahin satu bonus, biar besok belanja lagi di sini.” Senyum kecil mengembang di wajah pelanggan. “Wah, rezekinya istri kamu tuh, suami rajin dan murah hati.” Aditya tersenyum kikuk, mengelap peluh di kening. “Hehe, iya, Bu. Rezekinya istri saya memang di sini.” "Makasih ya, Dit." "Sama-sama, Bu. Balik lagi besok ya, Bu." Ibu itu hanya mengangguk dan buru-buru pergi. Pembeli kian berdatangan, tapi Adity
Malam, Lampu redup di sudut ruangan menyinari wajah Kirana yang sedang tertidur pulas di ranjang kecil. Napasnya teratur, rambut panjangnya terurai di bantal, dan wajah yang biasanya keras kini tampak tenang. Aditya duduk di tepi ranjang, memperhatikan perempuan itu lama. Ada senyum tipis yang tak bisa ia tahan."Kamu keliatan sangat cantik bahkan saat tidur, Kirana. Sayangnya kamu harus terjebak dalam kasur itu."Ia tahu, di balik sikap dingin dan cemberut Kirana selama ini, ada hati yang sedang berjuang menyesuaikan diri. Mungkin Kirana belum bisa mencintai kehidupannya yang sekarang, tapi Aditya yakin waktu akan menuntun semuanya."Maaf, tapi aku akan berusaha sebisaku."Perlahan, ia menundukkan kepala, menatap jemari Kirana yang halus. “Kamu nggak pernah tahu, Ran, seberapa besar artinya kamu buat aku,” bisiknya lirih.Aditya kemudian menoleh ke meja kecil di dekat jendela. Di sana, sebuah toples bening berisi uang logam 500 perak berdiri tenang. Ia berjalan mendekat, mengambil t
Pagi di sekitar rumah terasa aneh bagi Aditya. Biasanya orang-orang tersenyum ramah ketika ia lewat, tapi sejak pernikahannya dengan Kirana, semua berubah. Setiap langkahnya diiringi bisikan-bisikan yang menusuk seperti duri di telinga.“Lihat tuh, pengantin baru. Mahar cuma 500 perak,”“Beli permen aja nggak cukup. Kirana pasti nyesel setengah mati.”"Kenapa mereka terus membahas itu, gimana kalau Kirana dengar ini," gumam Aditya."Lihat itu, suaminya. Bahkan berpenampilan menarik aja dia nggak bisa. Kerja serabutan."Ibu-ibu tersebut menatap sinis pada Aditya. Mereka tidak takut didengar oleh Aditya. Seakan terang-terangan menjelekkan Aditya dan Kirana. Aditya menunduk, berusaha seolah tidak mendengar. Tapi dari pantulan kaca jendela toko di pinggir jalan, ia bisa melihat senyum sinis dan lirikan tajam yang mengikuti langkahnya. Tangannya mengepal di saku celana, menahan emosi yang mendesak keluar. Namun ia tetap melangkah.Sesampainya di rumah kecilnya, Aditya menghela napas panja
Kirana berdiri di depan cermin, menatap bayangannya. Riasan di wajahnya sederhana. Rambutnya dikuncir rendah, pakaian yang ia kenakan bukan lagi gaun mahal, melainkan kaos polos warna krem yang dibelikan Aditya dua hari lalu. Entah kenapa, pakaian itu terasa sangat asing di tubuhnya.Ia menarik napas panjang."Mulai hari ini, aku bukan lagi Kirana Prameswari yang hidup di rumah besar dengan segala kemewahan. Aku hanya istri dari Aditya pemuda miskin dengan mimpi kecil."Ia menutup matanya sesaat. Bayangan pernikahan mereka kembali terlintas di kepala ucapan ijab kabul dengan mahar lima ratus perak, sorot mata sinis para tamu, dan wajah ibunya yang menahan malu. Kirana menggigit bibir bawahnya, menahan getir yang masih belum hilang.“Lima ratus perak…” gumamnya lirih. “Bahkan sekarang pun aku masih sulit menerimanya.”Ia teringat senyum tipis Aditya saat menyerahkan mahar itu. Senyum yang penuh rahasia tapi juga penuh keyakinan.Namun, bagi Kirana, yang tertinggal hanyalah luka di harg
Di rumah Kirana, kursi-kursi rotan berderet rapi, bunga melati menebar aroma manis, dan di sudut ruangan, tirai putih bergoyang lembut diterpa angin.Akad pernikahan Kirana Prameswari dan Aditya Mahendra disusun sesederhana mungkin, atas permintaan mempelai pria yang tak ingin berlebihan, dan disetujui dengan berat hati oleh keluarga Kirana.Kirana duduk anggun di sisi dalam. Tangannya bergetar di pangkuan, jantungnya berdetak tak karuan. Ia menatap bayangan Aditya di seberang sana, pria yang kini akan menjadi suaminya.Aditya mengenakan jas putih sederhana, rambutnya disisir rapi, dan di antara senyum gugupnya, terlihat ketulusan yang meneduhkan. Di hadapan penghulu, ia menunduk hormat, suaranya tenang namun bergetar oleh emosi.“Baik,” ujar penghulu dengan suara lembut. “Kita mulai akad nikahnya.”Wijaya Kusuma, ayah Kirana, duduk di sisi depan, wajahnya tegas tanpa ekspresi. Di sebelahnya, Sulastri menegakkan punggung, memegang tas kecilnya erat-erat, seolah menahan diri dari sesua


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comentários