Setelah pemilihan ketua kelas berakhir, terpilihlah sang gadis yang katanya paling popular dari kelas kami. Dia menjadi ketua kelas, gadis berhijab manis berbadan agak sedikit tebal. Dia menang dengan hasil voting 12 suara dari 25 siswa, aku sebut saja namanya Icha.
Nah, jika ada ketua kelas, tentu ada wakilnya bukan? Bagaimana dengan wakil ketua kelas? Siapa yang terpilih? Tentu saja, anak laki-laki yang duduk di sebelahku pada waktu hari pertama lah yang menjadi wakil ketua kelas.
Entah orang seperti apa yang sudah memilih orang dengan penampilan seperti dia? Dengan baju kemeja putih yang rapih, tapi bagian dalamnya berwarna merah yang menerawang jelas. Dia mendapatkan voting sebanyak 8 suara, cukup banyak untuk menjadikannya wakil ketua kelas.
Lalu, Yani? Jangan tanya bagaimana reaksinya! Dia cemberut tidak keruan, karena suara yang didapatkannya sangat sedikit. Bibirnya yang dikulum, membuat teman sekelas tampak tidak nyaman. Ada yang tertawa dan ada pula yang menghiburnya. Aku hanya diam, menghibur tak ada gunanya. Menyombongkan diri, bahwa aku memilihnya juga tak ada gunanya.
Aku juga semakin penasaran dengan kekuatan Yani, apa yang sebenarnya dimiliki olehnya? Sehingga dia bertungkah seperti tuan tanah di sekolah ini, bahkan ketua kelas terpilih hanya manut-manut saja apa yang jadi keinginan dan kata-kata Yani.
Jika mereka semua yang sekelas begini bentukannya, bagaimana dengan nasibku yang sedari awal tidak suka dengan sikap sok-sok-annya itu? Minggu pertama mulai terasa berat, aku rasa ini akan menyenangkan atau mungkin sebaliknya?
Hmm, ya .... Hari itu juga Yani didaulat sebagai sekretaris kelas. Entah apa tugasnya, aku tidak peduli.
Beberapa hari kemudian. Hari-hari yang mulai terasa membosankan ini coba kulawan. Aku sendiri masih aktif ke sekolah, meskipun di hari ke empat aku memang sempat izin karena sakit.
Tapi, dari kemarin tak ada rasa pusing di kepala, sejauh ini, aku baik-baik saja.
***
Hampir dua minggu sudah aku di sekolah ini. Hari ini aku datang lebih awal, karena kemarin tak sempat datang ke sekolah akibat sakit yang tiba-tiba menyerang. Hah, terkadang aku merasa tak nyaman saat tiba-tiba menghilang, lalu kemudian muncul di kelas seolah tak ada masalah apa-apa. Kadang merasa seperti Jailangkung (Jelangkung).
Aku hanya khawatir, bila mereka tidak suka dengan perilaku yang sering datang dan pergi seperti ini. Bagaimana jika suatu saat, salah satu dari mereka. Teman sekelasku itu, pada akhirnya akan mengeluhkan rasa tidak suka kepadaku? Ini baru awal, aku baru dua Minggu di sekolah ini mencoba berbaur dengan alami, tapi otak dan pikiran sudah dipenuhi segala prasangka buruk.
Kenapa harus sakit? Batinku terus protes tak keruan, jika tiap pagi aku harus bangun dalam kondisi mood anjlok.
***
Dari luar sini, kelas tampak sepi. Hanya ada dua anak laki-laki yang tengah bercakap di depan pintu. Beberapa anak kelas sebelah hanya melewati kedua anak laki-laki itu sambil tertawa cekikikan.
Aku menatap dan memperhatikan, sekilas tak ada yang aneh di sana, hanya ada dua orang aneh yang sedang main peluk-pelukan. Geli. Aku pun melangkah pasti.
"Eits," ucap salah seorang mencegat masuk, tangannya dibentangkan sepanjang pintu masuk, setinggi leherku.
Aku hanya menatap dingin dan memaksa masuk ke dalam kelas. Aku pun mencoba menyingkirkan tangannya.
"Kamu Nana 'kan?" lanjut laki-laki itu memperlihatkan gigi kelincinya.
"Iya. Awas! Saya mau masuk!" tegasku.
"Nana dalam 'kan?" lanjutnya garing.
"Apaan sih!" Keras kepala ini terkadang sangat tinggi. Tapi, anak laki-laki di hadapanku kini, kurasa lebih keras kepala lagi.
"Jangan dong cewek! Jangan ya .... Please ... jangan-jangan kau masuk ke dalam kelas ...," bujuknya berdiri sambil menyanyi tidak jelas dengan gaya ST12, dan segera menutupi pintu kelas dengan tangan dan badannya yang tentu saja lebih besar dariku.
"Awas! Minggir!" Dorongku pada bahu lebarnya dan memaksa masuk ke dalam kelas.
Berhasil! Aku menatapnya tajam, seolah ingin kukatakan bahwa aku berhasil mendorong badan raksasanya. Dia menepuk jidatnya, wajahnya pun pasrah, sedikit mengatupkan bibir. Temannya mengalungkan tangan di pundaknya, seolah berkata, "Biarkan saja dia!"
Kupalingkan pandangan dari wajah keduanya dan berjalan santai, sambil tersenyum bangga.
Saat berhasil memasuki kelas, aku segera duduk di tempatku. Ya, duduk begitu saja tanpa memerhatikan dan menyadari apa-apa. Namun sesaat kemudian, aura kelas sedikit tidak biasa, ada aura negatif yang mulai terasa di ujung hidungku. Sesuatu yang aneh dan mencurigakan, mungkin sedang terjadi saat ini.
Perlahan aku mengelilingi ruangan dengan radar di hidung. Kutatap setiap sudut ruangan.
Ketika melirik ke sisi kiri, aku mendapati sesuatu yang aneh. Ada dua orang berada di balik satu jaket yang sama? Apa yang sedang mereka lakukan?
Tidak.
Siapa itu?
Mataku berkedip, mencari kesadaran yang sempat menghilang sesaat.
Mata pun terbelalak.
Aku mengerti! Sontak berseru dengan keras, seraya mengambil dan membanting tas ke meja.
"Astaghfirullah ...," seruku kaget setengah mati.
Mendengar ucapan itu, dua orang yang tengah asyik di balik jaket pun kaget dan segera melihat ke arahku. Wajah gadis itu tampak kaget, ada seorang gadis di situ! Gadis!
Cewek loh, cewek!
Kenapa malah aku yang tiba-tiba merasa malu saat melihat pemandangan yang tak biasa itu? Apalagi salah satu dari orang di balik jaket adalah laki-laki! Sedang apa mereka? Aku mendadak salting, namun, hanya bisa terdiam ragu.
Pikiranku memunculkan berbagai kalimat ambigu. Aku tidak bisa berpura-pura bodoh saat melihat hal seperti itu dan tahu persis hal apa yang pasti sedang mereka lakukan. Sangat tidak mungkin mereka hanya main, Pancasila Lima Dasar. Sangat tidak mungkin juga kalau mereka hanya main Mangkok-mangkok.
Perempuan dan laki-laki itu melihat tajam kepadaku, sangat tajam sampai-sampai membuat diriku tak bisa bicara, seolah-olah mereka berdua menjelma jadi pembunuh berantai. Aku merasa sedang dikuliti psikopat.
Aah, mendadak kepala pusing. Tiba-tiba aku menjadi takut. Saat itulah, terasa seseorang menarik lengan baju. Aku terbuai tarikan itu, seakan bawah sadar memang kegirangan saat dibawa pergi dari tempat setan ini. Aku pun berjalan beriringan dengan dia yang menarikku.
"Kan sudah saya bilangin! Jangan masuk!" ucap laki-laki penjaga pintu tadi seolah mengolok, aku hanya tertegun dan terpekur. "Dibilangin sih, nggak mau dengar," lanjutnya tertawa lalu membawaku pergi ke luar kelas.
***
"Hhah?" Aku belum terlalu fokus dan hanya suara samarnya yang terdengar di telinga. Anak laki-laki di hadapanku tertawa lepas, seolah aku adalah badut dan dia sepertinya sangat menikmati kebodohanku barusan.
"Lucu?" tanyaku kesal, saat menyadari lelaki berambut mangkuk itu sedang tertawa renyah.
Ini orang, aku lagi kaget malah diketawain? Jahat banget iih! Batinku kesal.
"Sedikit!" jawabnya polos, lalu lanjut tertawa.
"Ii-iitu, itu lagi ngapain? Kalian berdua jagain orang pacaran ya? Dosa tahu! Istighfar!" kataku masih ngos-ngosan bercampur gagap; hah kenapa begini?
***
*Footnote:
Pancasila Lima Dasar: Permanian memilih abjad dan menggunakan abjad terpilih untuk menjadi topik. Popular dimainkan anak generasi 90-an, di tempat lain dikenal dengan ABC Lima dasar.
Mangkok-mangkok: Permainan menghitung jari sambil bernyanyi. Jika jari terakhir disentuh, maka wajib mengatup jari ke bawah. Popular dimainkan anak Gorontalo generasi 90-an*.
***
Bersambung
Aku masih tidak menyangka atas apa yang dilihat tadi."Ii-iitu, itu lagi ngapain? Kalian berdua jagain orang pacaran ya? Dosa tahu! Istighfar!" kataku pada si rambut mangkok masih ngos-ngosan bercampur gagap; hah kenapa begini?"Heee! Siapa juga yang jagain orang pacaran? Saya itu cuma jagain pintu dari orang-orang polos seperti kamu! Orang-orang imut yang takut dosa," jawabnya tersenyum, memperlihatkan gigi putihnya. Sambil menepuk pundak rekan sejawat, si dahi lebar yang lagi menunduk menahan tawanya. Lalu keduanya pun sekali lagi tertawa bersama-sama.Enak banget ya, ketawain aku?Ngeeekk ....Suara kursi yang didorong menghentikan tawa si rambut mangkok. Tiba-tiba, saja anak perempuan yang tadi kulihat berlari ke luar kelas, melewati kami bertiga yang terdiam di depan kelas. Malu, aku yakin itu juga sedang menyerangnya.Tapi, mengingat kelakuannya barusan. Aku malah berpikiran, sudah lari ke mana ras
Lagi-lagi aku jatuh sakit, sudah dua hari ini aku melewatkan banyak tugas dan ada banyak pelajaran yang menumpuk, serta harus dikejar.Akhir-akhir ini badanku memang terasa tidak enak lagi dan sedikit demam. Aku hanya bisa menghabiskan waktu belajar dan mengulangi materi yang kuterima selama hampir satu bulan. Sambil sesekali menonton Drama Korea dan Anime Jepang kesukaanku.***Setelah dua hari izin sakit, surat sakit pun akan jatuh tempo dan lagi-lagi dengan sedikit memaksa, besoknya aku memutuskan akan pergi ke sekolah dengan kondisi yang belum terlalu stabil.Entah kenapa sakitku harus sering datang tiba-tiba? Padahal di hari-hari sebelumnya, tak ada masalah apa pun yang bisa mengancam pertahanan tubuhku. Mungkinkah tubuhku kaget dengan berbagai tugas yang kuterima?Mungkin saja aku terlalu terkejut sebelumnya, terkejut dengan keanehan orang-orang di sekolah, serta terkejut akan hal ini dan itu. Atau memang penyakit ini sudah m
Setelah menyentuhku, orang itu kini sedang berdiri tepat di sisi meja, dia menghalangiku untuk duduk. Aku menatapnya kesal, cemberut tak jelas dengan sikapnya barusan. Aku melangkah, tapi masih dicegat olehnya."Kita belum kenalan secara resmi ‘kan?" ucapnya malu-malu. Apa ini? Apa yang coba dia lakukan?"Hah? Oh iya, saya tahu kamu kok! Riski sudah jelaskan semua tentang kamu!" ungkapku tiba-tiba percaya diri, dengan nada sedikit kesal."Riski?" tanyanya bersandar ke meja. “Dia bilang apa aja ke kamu? Bukan yang aneh-aneh kan?” lanjutnya menatapku lekat."Iya, soal ini dan itu …,” jawabku bergerak ke sisi kanan hendak menjauhinya.“Mau ke mana sih?” tanyanya langsung saja memegang tanganku. Aku bisa merasakan tangannya yang hangat, atau tanganku yang sudah membeku.Deg.Rasanya aneh saat dia men
Saat bertemu dengan Sisi sahabat lamaku, aku pun curhat tentang berbagai hal yang kutemui di sekolah ini termasuk masalah Yani. Semua kuceritakan kepada Sisi, tanpa merahasiakan apapun darinya."Terus kenapa tidak mau? Kalau gini pasti udah jadi asistennya sekretaris kelas, bukan sekadar teman yang siap disindir melulu tiap hari," tanya Sisi menanggapi curhatanku."Malas ah ... asisten? Tak mau lah diriku! Hehehe. Kalau kumpul-kumpul seperti itu yang ada bukannya belajar, Sisi … malah bercanda, gosip atau pacaran. Mending nggak usah lah!" jelasku."Iya sih, betul juga!""Oh ya, kamu belum beritahu apa-apa ke teman sekelasku ‘kan?" Aku tiba-tiba mengingat sesuatu."Tentang itu? Tenang aja, hanya teman-teman kita yang tahu. Kepala sekolah juga sudah minta teman-teman kelas sebelas untuk pura-pura tahu siapa itu Nana Rahayu. Kan ada si Pak Bos juga tuh!" bisiknya.
Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan."Titip ya!" ujarnya terburu-buru."Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal."Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap."Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar."Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Pangg
Aku yang sedari tadi berjalan di belakang pak guru hanya terdiam tanpa kata. Aku mengikutinya berjalan menuju ke kelas sebelah tempat dia mengajar hari ini. Pak guru berhenti di depan kelas dan akhirnya bicara juga. Jantung yang sudah berdegup kencang tanpa alasan ini membuatku berkeringat dingin.Tapi, apa salahku? Aku tidak punya salah apapun. Kenapa aku harus bertingkah seperti ini? Tolong, biasa aja, Na.Syukurlah, bukan apa-apa. Rupanya Pak guru hanya ingin memberitahukan, soal aku yang tetap akan diberikan jadwal piket kebersihan meskipun sering sakit. Karena khawatir jika tak diberi jadwal piket, bisa menimbulkan rasa cemburu dari iswa yang lainnya. Pak guru sengaja memintaku untuk bicara berjauhan dari kelas, karena tidak ingin ada murid di kelasku yang mendengar pembicaraan kami. Ya, memang pembicaraan ini terdengar dan terkesan bahwa aku sengaja diatur agar bisa mengikuti aktivitas di sekolah ini.Sebelumnya, aku memang tida
Ani tiba-tiba menarik tanganku, dan mengajak untuk kembali ke kelas. Aku turut saja dan mengikuti langkah kecil Ani.Begitu sampai di dalam kelas, Ani menatapku serius. Aku mendadak bingung, anak ini kenapa?"Puisinya bagus ya ...," ucap Ani tersenyum. Sepertinya Ani sedang mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba hening atas diamku. Aku pun hanya mengangguk sekenanya saja. "Na? Nana!" lanjutnya dengan suara lebih keras."Hmm?" Aku terpaksa menatap wajah Ani."Kamu kenapa? Kok kayak syok gitu? Ada masalah? Apa kamu--""Aku? Aku apa? Aku nggak apa-apa kok!" Aku benar-benar salah tingkah dan mencoba menghindari kontak mata dengan Ani."Ya udah sih kalau nggak apa-apa kalau nggak mau cerita, aku sih nggak masalah. Beneran! Tapi, aku ini masih teman kamu loh." Ucapan Ani terdengar menjurus. Apa dia sudah tahu soal tulisan di mading?"Ani, anu ... itu," kataku mendadak gagap."Hmm," ujar Ani mendekatkan
Entah kenapa aku malah tiba-tiba tersenyum senang karena melihat dua orang ini sedang diliputi rasa penuh kekesalan. Aku merasa keduanya memang sangat baik dan bisa bersikap seperti ini hanya karena aku. Aku sangat tersanjung. Aku pun mengalihkan pandangan dari Ani dan Riskin, menatap ke arah kerumunan sana, Icha tampak senang mendapatkan sambutan hangat itu. Aku tanpa sadar tersenyum dan saat aku menoleh ke arah teman-temanku ini, langsung saja membuat Ani juga Riski menatap sinis kepadaku. "Kenapa sih? Nggak usah dipikirin deh, itu 'kan cuma puisi," ucapku berpura-pura dingin. "Tapi, itu puisi kamu? Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan," ucap Riski meninggalkan kami berdua di depan pintu kelas. Idih, ngapain nangis? Aku bisa bikin yang lebih baik dari puisi itu nanti. "Bisa-bisanya yang ngomong kayak gitu!" timpal Ani emosi. Eh, aku sala