Share

Bab 4 - Tempat Apa Ini?

Aku masih tidak menyangka atas apa yang dilihat tadi.

"Ii-iitu, itu lagi ngapain? Kalian berdua jagain orang pacaran ya? Dosa tahu! Istighfar!" kataku pada si rambut mangkok masih ngos-ngosan bercampur gagap; hah kenapa begini?

"Heee! Siapa juga yang jagain orang pacaran? Saya itu cuma jagain pintu dari orang-orang polos seperti kamu! Orang-orang imut yang takut dosa," jawabnya tersenyum, memperlihatkan gigi putihnya. Sambil menepuk pundak rekan sejawat, si dahi lebar yang lagi menunduk menahan tawanya. Lalu keduanya pun sekali lagi tertawa bersama-sama.

Enak banget ya, ketawain aku?

Ngeeekk ....

Suara kursi yang didorong menghentikan tawa si rambut mangkok. Tiba-tiba, saja anak perempuan yang tadi kulihat berlari ke luar kelas, melewati kami bertiga yang terdiam di depan kelas. Malu, aku yakin itu juga sedang menyerangnya.

Tapi, mengingat kelakuannya barusan. Aku malah berpikiran, sudah lari ke mana rasa malunya saat bermesraan di balik jaket tadi? Mereka bukan muhrim. Aku hanya bisa menggelengkan kepala.

Oh tidak, kenapa aku malah kepikiran begini? Toh, bukan urusanku. Tapi, aku penasaran sih. Dasar manusia kepo.

"Dia kelas berapa?" tanyaku pada akhirnya mengalahkan rasa masa bodo. Aku agak berbisik kepada si rambut mangkok.

"Kelas sepuluh lah! Masa kelas sembilan pake rok abu-abu," jawabnya santai mencoba untuk masuk ke dalam kelas.

Ya, iyalah aku tahu itu. Maksudku kelas sepuluh apa gitu? Hah! Batinku menahan jengkel.

"Eh eh ... tunggu!" Aku menahannya dan membiarkan si dahi lebar yang masuk lebih dulu.

"Kenapa?" tanya si rambut mangkok dengan wajah polos.

"Kamu adik kelas saya 'kan? Waktu Smp dulu! Namanya siapa tuh?" ucapku memandangnya.

"Iya! Kamu udah ingat ya? Bagus deh...," ujarnya berjalan santai hendak masuk ke dalam kelas. Temannya yang berjalan lebih dulu, sedangkan si rambut mangkok menyusul di belakangnya.

"Nama kamu Rendi kan?" tebakku menahan langkahnya. Dia berbalik secepat kilat, mulut dan matanya tak sinkron.

"Riski, Bu ... nama adik kelasmu yang ganteng dan baik hati, tidak sombong dan rajin menabung ini adalah Riski," jawabnya berbalik.

"Eh tunggu! Riski, 'kan? Bisa tolong temani saya untuk tungguin Ani dan Ima ya? Ya? Ya?" Aku mengemis.

"Masuk aja!" perintahnya masa bodo.

"Ah, nggak enak! Aku tunggu apel kelas di sini aja deh!" tolakku enggan masuk ke dalam. Jangan sampai bertemu dengannya, oh tidak!

"Makanya kalau dibilangin orang lain tuh, didengerin! Jangan berpikir seenaknya! Jangan sombong!" ucapnya ngeyel.

"Kurang ekor! Saya tuh kakak kelas kamu, tahu! Ngomongnya diatur dikit dong!" seruku kesal.

"Itu kan dulu! Lagian kan kita seumuran juga kok, tuaan saya juga malahan! Siapa suruh masuk Sd cepat-cepat! Jadi tua sebelum waktunya 'kan?" ucapnya tertawa meninggalkanku dalam rasa yang tak bisa disebutkan lagi.

Ah, tempat apa ini? Semuanya memang terasa aneh.

***

Hari-hari berlalu dengan cepatnya dan aku masih belum bisa melupakan hari itu. Sebenarnya itu bukan pertama kalinya aku memergoki orang pacaran, hanya saja kali ini rasanya aneh. Mereka bahkan tidak peduli dengan norma dan tata-krama, sepertinya dunia semakin tua saja.

Semakin hari, aku semakin akrab dengan mereka. Utamanya teman sebangku Ani dan teman sebelahnya Ima. Aku juga semakin akrab dengan Tri adik kelas yang setia manggil aku Kakak padahal kita jelas-jelas seumuran. Mungkin Tri, ingin bersembunyi di balik tubuh mungilnya.

Sedangkan Riski, dia seperti bom waktu. Secara perlahan kami menjadi dekat, dulu dia hanya adik kelas yang patuh mendengarkan ucapanku. Tapi, sekarang dia seperti monyet liar yang selalu haus kasih sayang dan aku suka-suka saja berteman dengan orang aneh ini.

***

Ini hari senin, tepatnya senin kelima aku memasuki sekolah. Masih kuingat hari pertama masuk kelas adalah hari jumat, tepat menginterupsi pelajaran bahasa Arab dari Ibu Lisa.

Meskipun sudah lebih dari sebulan, jumlah kehadiranku terbilang sangat sedikit. Dalam seminggu, mungkin hanya dua atau tiga hari saja aku bisa datang ke sekolah. Aku menganggap, badan ini masih menyesuaikan dengan sekolah baru.

Upacara bendera dimulai. Ini upacara pertamaku selama di sekolah ini. Karena setiap senin, jika tidak sakit kepala di sekolah, maka aku sedang izin dan berada di rumah menonton FTV.

Kelas Sebelas menjadi pelaksana upacara, kali ini. Ada Sisi di sana, Sisi menjadi salah satu pengibar bendera. Terkadang aku iri padanya, karena Allah menitipkan badan proporsional untuk modalnya. Tapi, aku lebih bersyukur karena Allah memberikanku otak yang lebih cair daripada otak sahabatku itu.

Dalam barisan upacara aku berdiri tepat di depan Yani, dia terus mengelus kerudung tebal di kepalaku, tidak risih sih hanya merasa aneh.

Perlahan Yani menyentuh pundakku. "Dapat salam tuh," bisiknya.

Aku menoleh, dia menunjuk seseorang di barisan laki-laki. Si gendut, sedang melambai penuh semangat kepadaku. Laki-laki yang kabarnya paling besar dan kuat di sekolahan, namanya bahkan seperti ucapan terima kasih, karena sering didengungkan terus-menerus.

"Amit-amit," ocehku kaget.

Yani mencoba menahan tawa, bukannya menunduk saat Hening Cipta sedang didengungkan dia malah membuatku ikut menahan tawa. Semoga aku tidak ketahuan.

Upacara selesai. Barisan pun bubar jalan. Ketua upacara membubarkan barisan. Secara tak teratur seluruh murid berhambur acak.

Ani menggandeng tanganku saat upacara selesai dan kami berjalan menuju kelas. Dia mengeluarkan sapu tangan ungu dan menggenggamkan benda itu ke tangan. Aku tersenyum, dan hanya mengucap terima kasih. Saat menggenggam tanganku, Ani pasti sadar jika tanganku berkeringat.

"Jangan sering sakit ya ...," ucap Ani menarik lenganku.

"Iya, aku mungkin cuma kaget dengan suasana di tempat ini. Maklum anak kampung."

"Anak kampung apaan? Ayo!!! Cepetan sebelum keduluan Ima," ocehnya tertawa.

"Loh, memangnya kenapa kita harus duluan ke kelas?" Aku penasaran.

"Sabtu kemarin kamu nggak masuk 'kan? Jadi hari ini kamu itu milikku ... hahaha ...," tawa Ani menarikku, sambil berlari kecil.

Dari belakang Ima berteriak keras, aku menoleh dan tersenyum. Melambaikan tangan. Melihat Riski yang menahan dua gadis di belakangku, dengan menarik kerudungnya.

"Nana ...," panggil Riski sambil menyeret Nirmala yang tampak serius dengan note kecil di tangan.

Aku pun mengikuti Ani dan berlari menuju kelas, senang rasanya melihat temanku berlari mengejar di belakang. Ini momen yang paling kutunggu dan momen yang paling kurindukan.

***

Lebih dari sebulan sudah aku berada di sini, bercengkerama riang, belajar, tersenyum bersama mereka. Semuanya adalah hal yang paling kurindukan. Namun, siapa yang bisa menebak datangnya musibah? Siapa yang tahu jika rasa sakitku akan dimulai kembali dan rasa itu akan berdampak lebih kali ini.

Tempat apa ini? Tempat seperti apa yang bisa memberikan kenyamanan serta ketidaknyamanan dalam waktu dan tempo yang sesingkat-singkatnya?

Tempat apa yang telah membuatku akhirnya merasa lebih baik, tapi, juga merasa tidak baik? Tempat dengan segala tawa dan bahagia yang kuimpikan ini, adalah tempat yang kuinginkan, juga tempat yang pada akhirnya ingin kuhapus dari jejak hidupku.

***

Lagi-lagi aku sakit, sudah dua hari ini aku melewatkan banyak tugas dan banyak pelajaran yang menumpuk, serta harus dikejar.

Akhir-akhir ini badanku terasa tidak enak dan sedikit demam. Aku hanya menghabiskan waktu belajar dan mengulangi materi yang kuterima selama hampir satu bulan. Sambil sesekali menonton Drama Korea dan Anime Jepang kesukaanku.

Jiwaku juga butuh diobati.

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status