Naykilla terbangun dan merasakan sesuatu yang berat melingkari perutnya dan sudah pasti itu pelukan dari Dirga. Setelah hubungan mereka perlahan semakin dekat, Dirga tidak pernah sekalipun melepaskan pelukannya ketika mereka tidur. Awalnya pelukan itu terasa menyesakkan tapi sekarang terasa hangat.Naykilla pun berbalik, mengecek suhu tubuh Dirga. Lalu dia bernapas lega. Bisa di katakan Dirga sudah sembuh dari demamnya. “Kak Dirga... bangun.” Ucapnya pelanDirga menggeliat dalam keadaan setengah tidur tapi pelukannya semakin erat.Dirga sendiri tidak menyangka bahwa dia bisa tidur senyenyak ini setelah bersama Naykilla. Entah kenapa tubuh Naykilla selalu berhasil mengantarkan kenyamanan pada dirinya. Di bandingkan alkohol, Naykilla lebih berefek langsung kepada dirinya. Bahkan Dirga pun sudah lupa kapan terakhir kali dia minum alkohol. Atau lebih tepatnya saat Naykilla sudah memenuhi isi otaknya perlahan-lahan membuat Dirga menjauhi hal seperti itu.“Yang, ini masih pagi banget.
Naykilla menghembuskan napas beratnya sambil mempersiapkan diri.Sesuai dugaannya bahwa hari ini dia menjadi pusat perhatian hampir semua orang setelah kejadian Dirga pingsan kemarin. Semua orang menatap tajam ke arahnya dan Naykilla bisa maklumi itu. Siapa sih yang tidak kaget dan kecewa jika idola mereka ternyata sudah menikah. Apalagi yang di nikahi itu adalah gadis yang amat biasa seperti dirinya ini. Tapi Naykilla tidak tahan saat kedua sahabat baiknya mendiamkannya karena kejadian itu.Perlahan Naykilla membuka pintu mobil. Saat ini dia menggunakan mobil Dirga karena paksaan dari laki-laki tersebut.Sebelum memasuki kafe di depannya, lagi dan lagi Naykilla menghembuskan berat. Kali ini untuk menghilangkan rasa gugup. Dari luar dia bisa melihat tatapan tajam Silla dan Audrey yang sudah menunggunya di dalam.Naykilla segera menghampiri mereka dan duduk di bangku yang tersisa.Untuk beberapa saat semuanya diam dan hening. Otak Naykilla sedang merangkai kata untuk menjelaskan
Dirga terbangun, badannya merasa gerah dan kepalanya terasa pusing. Di lihatnya sekeliling ruangan kamar yang tampak redup. Dengan enggan dia berusaha menegakkan tubuhnya meski terasa pelan dan sebuah handuk kecil terjatuh.Dirga meraba dahinya yang tampak basah. Sepertinya baru saja ada seseorang yang mengkompres dahinya. Dirga mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba membiasakan diri dengan pencahayaan kamar yang temaram. Hawa hangat menyelimuti tubuhnya—hangat yang berasal dari demam dan juga dari selimut tebal yang menutupi tubuhnya.Ia mendongak pelan, melihat handuk kecil yang jatuh ke lantai. Nafasnya masih berat, tapi pikirannya mulai lebih jernih. Dalam hati ia bertanya-tanya siapa yang merawatnya. Lalu, samar-samar Dirga mendengar suara Naykilla dari arah dapur. Dia pun segera beranjak dari dapur dan perlahan menuju sumber suara.“Makasi, ya, Mami. Aku beneran bingung banget tadi. Tapi setelah dokter itu periksa kondisi Kak Dirga baru aku ngerasa sedikit lega.” Tampak N
Dirga menyandarkan bahu lebarnya di kursi kayu kelas, kemudian menghela napas berat. Matanya menatap kosong ke luar jendela di mana cuaca tampak begitu mendung. Dia merasa beruntung hari ini mengenakan jaket tebal, jika tidak mungkin tubuhnya akan semakin meriang. Atau mungkin seharusnya dia tidak masuk kelas hari ini. Di lihat secara fisik Dirga memang kuat. Dia tinggi serta punya tubuh yang atletik. Siapa pun pasti akan menghindari masalah dengan laki-laki tersebut karena takut akan kalah kalau-kalau Dirga mengajak untuk bertarung. Tapi sayangnya, sekuat-kuatnya Dirga akan tumbang juga karena demam. Dirga melirik jam tangannya. Dia hanya perlu bertahan dua jam saja setelah itu bisa langsung pulang dan beristirahat. “Lo keliatannya murung banget, Ga.” Rafi mendekatkan tubuhnya lalu berbisik, “Enggak dapet jatah dari bini, ye?” Dirga berdecak kesal dan mendorong Rapi agar menjauh darinya. Boro-boro mendapatkan jatah, tidur pun mereka pisah. Naykilla di kamar sementara Dirga
Dirga menatap tajam jam dinding yang sedang menunjukkan pukul delapan tepat. Sudah semalam ini Naykilla juga belum pulang. Bahkan gadis itu susah untuk dia hubungi sejak siang tadi. Dirga menatap tajam jam dinding yang sedang menunjukkan pukul delapan tepat. Sudah semalam ini Naykilla juga belum pulang. Bahkan gadis itu susah untuk dia hubungi sejak siang tadi. Ponselnya aktif, tapi tak sekalipun membalas pesan atau menjawab telepon. Dan itu cukup membuat Dirga gelisah.Ia berdiri dari sofa apartemennya dan berjalan mondar-mandir seperti harimau dalam kandang. Pikirannya bercabang ke berbagai kemungkinan. Marah? Khawatir? Bingung? Semua rasa itu menumpuk jadi satu dan membuatnya ingin segera mencari Naykilla ke mana pun gadis itu pergi.Sambil menghela napas panjang, Dirga akhirnya mengambil kunci mobil dan jaket hitamnya. “Kalau sampai dia kenapa-kenapa, gue enggak bakal maafin diri sendiri,” gumamnya, lalu bergegas keluar.Saat dirinya hendak membuka pintu, pintu tersebut sudah
Naykilla berlari di sepanjang koridor menuju kelasnya. Hari ini dia memutuskan untuk masuk kuliah setelah beberapa hari absen. Dan pagi ini dia sudah di pastikan telat di kelas pertamanya. Pelakunya sudah pasti Dirga.Mereka berdebat panjang tentang dengan siapa Naykilla berangkat ke kampus. Naykilla sudah mengatakan bahwa dia akan pergi sendiri sementara Dirga tetap kekeh bahwa mereka harus pergi bersama. Dan perdebatan itu di menangkan oleh Dirga. Tapi dengan syarat Dirga harus memarkirkan mobilnya di parkiran belakang gedung fakultas, di sana tidak banyak orang yang mau memarkirkan kendaraan mereka karena letaknya agak jauh dari pintu keluar.Langkah kaki Naykilla terdengar tergesa di sepanjang lorong kampus yang mulai lengang. Napasnya terengah, keringat membasahi pelipis meski pagi belum terlalu panas. Ia menatap jam di ponselnya dan mendecak kesal. Sudah lewat sepuluh menit dari jadwal kelas dimulai.“Gara-gara Kak Dirga, gue jadi kayak anak kecil diantar orang tuanya,” gerut