"Dia memang sempurna," ucap Muti tepat di telingaku.
"Yah, kan sudah aku bilang kami bagai langit dan bumi."
"Kapan kamu bilang seperti itu?"
"Aku pernah bilang."
"Mana ada ... ngigau nih." Muti menjauhkan kembali ponselnya dari hadapanku. "Cantik dan berprestasi. Siapa yang menyangka ia akan mewakili provinsi kita dalam ajang itu. Eh tunggu dulu, bagaimana dengan KKN? Atau ... apa Joy akan menundanya?"
Joy tetap akan KKN, aku benar kan? Aku tahu itu. Ini kejadian yang pernah aku alami.
"Woy! Tuh kan ... mulai deh bengong. Dirasuki setan baru tahu rasa!" gerutu Muti.
"Mau taruhan denganku? Joy tidak akan mengikuti ajang itu. Ia akan KKn bersama kita." Dengan lantang aku memproklamirkan kalimatku.
"Kalau kamu salah bagaimana, hm?" tanya Muti menantang.
"Aku akan jadi pembantumu selama satu bulan setelah kita selesai KKN, bagaimana?" tawarku.
"Oke, deal!" Muti mengulurkan tanganya dan disambut den
"Akhirnya tiba juga ke gedung keramat ini," ucapku sambil memandangi gedung dengan ciri khas warna merah bata itu. "Jangan senang dulu. Dilihat dulu tuh banyak yang berkeliaran. Itu artinya ada antrean lagi." "Yang itu sih aku sudah tahu. Astaga ... kenapa hari ini penuh dengan antrean?! Arrrgghh!" keluhku dengan sangat kesal. Muti memicingkan matanya dan berkata, "Bisa aku ulang sekali lagi? Seandainya ada seseorang di sini yang tidak menunda-nunda pendaftaran, kejadian seperti ini pasti tidak akan terjadi." "Uhuk! Aku jadi tersinggung." "Jelas!" Muti menunggu di luar gedung, sementara aku langsung masuk dan menyerahkan berkasku pada petugas di sana. Banyak sekali berkas yang terlihat dan juga beberapa siswi magang. Tebakanku, mereka adalah siswi SMA Elang. Seragamnyalah yang menandakan semua itu. SMA Elang adalah salah satu sekolah bergengsi di kota ini. Tidak semua orang bisa masuk di sana. Selain uang sekolahnya yang ma
Mimpi yang panjang. Aku rasa aku sedang terjebak dalam sebuah dimensi atau mimpi yang panjang atau mungkinkah aku dibawa ke masa lalu? Aku harap ada orang yang mau membangunkanku. Ataukah ... ini cara yang diberikan Yang Maha Kuasa untuk mencegah kepergian Joy? Apa aku boleh mengubah takdir. Aku berada dalam situasi yang belum aku ketahui. Semua kejadian ini telah aku lewati persis dengan yang telah terjadi. Aku senyum-senyum sendiri mengingat bila nanti Muti akan berkencan dengan anak Kepala Desa."Nah, kan mulai lagi ... kayaknya sebelum pulang aku benar-benar harus mengantarmu ke psikiater deh," ujar Muti."Aku bukan orang gila ya." Tegas, aku membalasnya."Ini nih! Salah kaprah. Psikiater itu bukan hanya untuk orang gila. Sebelum semuanya terlambat memang sudah harus diobati.""Memangnya aku sakit apa? Jangan sok Tahu!""Idih, emosian ...""Ya ialalah!""Lucu tahu, ah!"Aku tidak menanggapi lagi. Rasanya ingin sekali
Satu hal yang kadang membuat orang lain menyalahartikan yaitu marah. Saat kita marah seolah orang langsung mengahkimi kita sedang membenci. Apakah salah satu emosi itu menjadi sebuah tolak ukur kebencian? Apa manusia tidak berhak marah saat emosinya terpancing? Marah bukankah hal yang wajar? Entahlah, aku sering bertanya-tanya tentang hal-hal seperti ini.Biasanya dalam keheningan malam aku selalu merenungkan semua hal yang terjadi dalam hari-hariku. Ya ... mungkin setiap orang, aku rasa.Ada sebuah hal yang membuatku kesal. Aku sama sekali tidak suka dibanding-bandingkan dengan orang lain. Mungkin ... karena aku memang kalah telak darinya pada saat itu. Joy yang sempurna dan seorang Amel yang seperti itik buruk rupa.Aku menghadapkan wajahku di cermin. "Oke, i am not beauty queen, i am just beautiful me ... lalalalalalaa ... lah, kok malah nyanyi?"Akhirnya aku kembali mengaktifkan ponselku setelah selesai mandi dan juga emosiku sedi
Perlahan tapi pasti, aku dan Muti tiba di kampus. Setelah memarkirkan mobilnya, kami langsung menuju gedung UPT. Ah, bahkan mungkin pegawai di sini belum tiba. Bagaimana tidak, ini masih pukul tujuh lebih lima puluh menit. Aku bertanya pelan dalam benakku, "Muti yang sangat ingin meninggakan rumah terlalu cepat atau para pegawai di sini yang terlambat?""Kalau karyawan Papaku sudah aku pecat ini. Masa jam segini belum buka kantor?" ucap Muti tiba-tiba."Jangan bicara sembarang deh! Lihat!" seruku padanya sambil menunjukkan jam operasional yang tertera di sana. "Jam setengah sembilan emang baru dibuka.""Heh! Lihat sudah ada staff di dalam sana," balas Muti tidak mau kalah. Ia juga menunjuk ke arah dalam kantor UPT."Itu mereka lagi briefing, markonah! Ya jelas saja. Tanya deh sama Papa kamu bagaimana di kantor mereka. Parti ada tu apel anggur dan sejenisnya.""Bagi-bagi buah di pagi hari, begitu?""Astaga ...." Aku menarik napas pan
Joy menatapku sedikit aneh. Tatapan sendu tapi juga sedikit mengintimidasi. Gadis ini, apa yang sedang ia pikirkan? Apa pertanyaan yang akan ia keluarkan dari bibirnya nanti? Ah, aku seperti memainkan pikiranku terlalu berlebihan sekarang. "Amel ...." "Tanyakan saja, kamu ingin menanyakan apa padaku?" "Tapi aku mohon jawablah dengan jujur." Luar biasa sekali Joy mempermainkan pikiranku sekarang. Rasa penasaran semakin bergejolak. Padahal, ia bisa saja langsung mengeluarkan sebuah kalimat tanya, bukan? Apa semua ini sengaja? "Apa ... kamu membenciku?" "Ha?" "Aku tanya, apa kamu membenciku?" Aku diam. Aku harus memastikan kalimat yang baik untuk membalas pertanyaan seperti itu. Sungguh, itu adalah pertanyaan yang aku sendiri tidak yakin, apa aku membencinya atau tidak. "Mengapa kamu bertanya seperti itu?" Muti lalu menyela seperti biasanya. "Aku bertanya pada Amel." "Maksudk
Aku memandangi langkah kaki Joy yang meninggalkan kami di gedung UPT. Gadis cantik itu pergi bersama seorang temannya yang tiba-tiba datang. Kalimat terakhirnya membuatku berpikir. Apa ia bisa merasa kesepian saat semua perhatian tertuju padanya? Ah, Mungkin. Atau ... ada sebuah rahasia yang tidak bisa ia ceritakan padaku. Aku bukan orang yang dekat dengannya namun, aku juga bukan orang yang sangat membencinya. "Setelah mendengar pengakuan gadis itu aku sedikit merasa kasihan," tutur Muti yang juga memandangi punggung Joy yang perlahan menjauh. "Apa ia sedang kesulitan?" "Lain kali kamu perlu bermain dengannya. Oh iya, bagaimana kalau kita ke kantin? Semua berkasmu sudah selesai, bukan? Artinya kita punya waktu dua minggu sebelum menuju lokasi penempatan KKN. Ah, sangat tidak sabar mengabdi pada masyarakat," ujar Muti sangat bersemangat. "Ya tentu saja kamu sangat bersemangat. Kamu akan menemukan cinta di lokasi KKN nanti."
Sinis, sebuah tatapan dari mata gadis di depanku. Aku memandang wajahnya sembari mencari sesuatu yang ia sembunyikan. Aku tahu orang bisa berubah dengan cepat. Namun, ini terlalu cepat. Apa yang telah aku lakukan? Apa aku pantas mendapatkan ini semua?"Ceroboh sekali," ucapnya lagi lalu beranjak pergi."Hei!" Muti langsung meneriakinya saat Joy meninggalkan kami."Sudah, Mut. Dia juga sudah pergi," kataku sambil menenangkan Muti. Muti menepis tanganku yang berusaha menahannya. Ia berjalan mengikuti langkah Joy. "Mut ....""Gadis itu harus tahu bagaimana memperlakukan orang lain. Dasar orang munafik. Memang kamu salah menumpahkan minumannya, tapi itu kan tidak sengaja.""Biarkan saja, aku juga tidak mengapa. Jangan memperkeruh suasanan deh," bujukku. Ya untung saja saat ini juga sepi mengingat masih pagi. Seandainya kantin seramai jam makan siang mungkin akan sangat beda jadinya.Muti terlihat sangat tidak senang. Ia m
Dua minggu berlalu, kini saatnya kami akan menemui teman-teman satu kabupaten untuk briefing sebelum menuju posko KKN. Entah berjodoh atau bukan, aku, Muti, Cintia bahkan Joy berada dalam lokasi yang tidak begitu jauh. Memang sih berbeda desa, namun masih dalam satu kabupaten. Semoga saja nantinya, aku tidak satu desa dengannya. Oh iya, memang aku akan tidak satu desa. Aku lupa bila secara garis besar aku berada dalam dunia yang sepertinya pernah aku lalui. Ah, aku merasa seperti seorang peramal sekarang.Joy duduk di sudut sebelah sana. Ia sudah datang terlebih dahulu dibanding mahasiswa yang lain. Tidak perlu diragukan lagi bila kehadirannya memang membuat mata para lelaki segar. Aku juga tidak heran bila beberapa anak lelaki yang berada di sana diam-diam tengah membicarakannya."Aku mau duduk di sana saja," kataku sembari melangkah mendekati Joy."Di sini saja, toh supervisor kita juga belum datang." Seperti biasa Muti tidak meng