Home / Lainnya / Dear Joy / 16. Sikap Joy

Share

16. Sikap Joy

Author: Xerin
last update Last Updated: 2021-04-18 05:52:18

"Mel ... kamu sedang melihat apa?"

"Ah itu ...." Aku lalu mendekatkan diri dan berbisik, "Seorang kenalan yang cantik."

"Oh ya? mana?"

"Sana," balasaku sambil menunjuk tepat ke arah Joy.

Muti malah hendak bergerak menuju tempat itu. "Bagus kalau kenalanmu, kita bisa nyempil dan duduk di sana." Muti memang kadang bertindak spontan.

"Hei!" cegatku dengan cepat. Aku juga menarik tangannya. "Aku belum selesai bicara. Aku enggak dekat dengan dia," terangku lagi.

"Oalah. Tapi-" ucapannya terhenti. Aku menarik Muti keluar dari wilayah kantin utama.

"Makan di tempat lain saja, kantin ini terlalu penuh. Atau ... sambil menunggu, bagaimana kalau kita ke perpustakaan?"

Muti hanya mengangguk sebagai respon. Kami lalu menuju perpustakaan. Anehnya, tempat ini sangat sunyi. Perbedaan yang sangat mencolok hanya melihat jumlah pengunjungnya.

"Sepi sekali ya."

"Ya ialah, kan pengunjungnya lagi pada makan. Lihat, staff di perpustakaan juga cuma sisa satu yang jagain untuk regristrasi."

"Bagaimana kalau kita ke Chinese Corner yang ada di lantai tiga? penjaga di sana ramah," usul Muti.

"Boleh aja sih, sekalian bisa lihat-lihat buku-buku di sana. Aku pernah ke sana satu kali sama Cintia dan tempatnya memang nyaman, beda dengan corner yang lain. Paling penting juga ... luas. Hihihi, apa ada peng-anak tiri-an di sini?"

"Hm ... hanya petinggi kampus yang tahu semua ini." Meski sambil bernapas pelan, Muti berusaha menjawab pertanyaanku.

Lokasi corner ini memiliki sisi baik dan buruk. Berada di lantai tiga tentu sangat nyaman karena tidak banyak yang tahu keberadaan tempat sebagus ini. Pintunya yang selalu tertutup juga membuat orang yang dari luar sedikit ragu untuk masuk. Siapa yang menyangka bila staf yang berada di dalamnya sangat ramah dengan senyuman khasnya.

"Selamat datang, silakan isi buku tamu ya," katanya dengan sopan.

Aku dan Muti lalu mengisi buku itu dan segera mengambil tempat untuk duduk. Tempat ini bernuansa sangat oriental dengan warna merah dan juga ornamen kayu.

"Se-jam saja ya di sini. Setelah itu kita balik ke kantin." Muti seolah memperingatkanku agar tidak terlena dengan kenyamanan tempat ini.

"Iyaaaaaa nyonyaaaaaaa ...."

"Tapi ngomong-ngomong cewek yang kita lihat di kantin itu sama kan dengan yang kamu tabrak karena bengong? Masa sih kalian enggak dekat? serius?" Muti mulai penasaran.

"Kami bertetangga, hanya itu saja. Dia masuk di kampus ini tanpa tes. Sebenarnya aku tidak membencinya, hanya saja ... bila diingat kembali entah mengapa aku kesal padanya. Dia selalu mendapatkan apa yang ia mau. Ah, dia juga pintar, tentu saja. Aku ingat saat dia memamerkan hasil ujiannya padaku. Sombong sekali."

"Cup, cup, cup ... sabar ya." Muti mencoba menenangkanku sebelum kemudian berkata, "tapi kayaknya kamu yang sensi deh, memangnya kenapa kalau memperlihatkan hasil ujiannya?"

"Mut, kamu itu memihak siapa sih sebenarnya?"

"Hihihi, huhuhu, hahaha. Sensi amat sih! Ya ampun ... aku ini netral tidak memihak siapa-siapa. Tapi kalau harus memilih, ya tentu saja kamoeh! Aku juga tidak kenal Joy, ngapain amat aku memihak padanya."

Senyum perlahan mengembang dari wajahku. Ya, aku akui ini sedikit berlebihan. Meminta seseorang untuk seolah menghakimi Joy tanpa mengenalnya lebih jauh.

***

Bukan Muti namanya kalau tidak menjelajahi suatu tempat. Gadis itu sedari tadi mengintari bagian-bagian dari ruangan ini. Sangat berbeda denganku yang sudah mulai hanyut dalam sebuah buku bergambar dengan judul Cerita Rakyat Tongkok.

Awalnya aku tidak peduli dengan yang dilakukan Muti hingga pendengaranku tertarik dengan percakapan yang sepertinya sangat seru antara dia dan penjaga tempat ini. Mataku memang tertuju pada buku yang menarik di depanku, tapi telingaku seperti berdusta dengan konsentrasi pada sebuah percakapan. 

Muti selesai dengan segala keingintahuannya dan akhirnya duduk di bangku depanku. Kami hanya terhalang sebuah meja yang ukurannya cukup besar.

"Tempat ini memang bagus, bayangkan saja bagaimana mereka bisa mendatangkan pengajar native."

"Oh ya? Terus terus?" Aku menutup buku yang sedang kubaca perlahan, perhatianku sekarang mengarah pada ucapan Muti.

"Ternyata di sini membuka kelas untuk belajar Bahasa Mandarin. Pantas di sisi sana ada ruangan kelas, dua lagi. Tadi aku dan kakak penjaganya melihat-lihat, ia juga menjelaskan dengan detail. Kampusku memang the best, fasilitas seperti ini belum tentu ada di kampus lain."

Aku pun terkagum mendengar penjelasan Muti. Yah, bagaimanapun juga kampus ini memang salah satu kampus impian semua calon mahasiswa. Seperti aku, Muti dan Joy yang berjuang untuk bisa diterima di sini. Kebanggaan tersendiri bukan? Aku tak tahu mengatakan ini apa akan menimbulkan pro dan kontra. Menurutku bukan nama kampus yang menentukan masa depan. Dimanapun kalian kuliah, saat kelulusan adalah perjuangan kalian yang sesungguhnya. Apa gunanya bila kalian lulusan universitas terbaik tapi tidak memiliki soft skills yang dibutuhkan dalam dunia kerja.

Muti melihat jam tangan merek Roleks kw premium dan kemudian terseyum. Bisa aku tebak dalam pikirannya sudah saatnya uintuk mengisi bahan bakar dalam tubuh kami. Cacing-cacing di perutku juga sepertinya sudah mengamuk dan meminta untuk diberi makan. Kami hanya saling berpandangan dan mulai membereskan buku yang aku pinjam tadi. Segera, aku meletakkan kembali ke rak dengan rapi. Kami lalu keluar dari ruangan itu, dan menuruni tangga hingga ke lantai satu. Sampai sudah kami di depan pintu gerbang perpustakaan pusat. Kami siap berjalan menuju kantin utama.

"Aneh banget ya, kita bahkan enggak berbicara sama sekali tapi bisa mengerti saatnya ke kantin, hahaha."

"Kita bicara lewat hati."

"Preeettt ...."

Kami lalu tertawa bersama.

***

"Nah, gini donk ... banyak tempat kosong, bisa duduk di mana saja," ujar Muti.

"Jadi mau makan apa sekarang? Ayam geprek atau gado-gado?"

"Coto aja deh coto."

"Apa yang ditanya dan dijawab beda ya, kebiasaan kamu ini!"

Muti lalu menuju salah satu penjual dan memesan coto. Aku sebagai kaum pemuja ayam tetap dengan pendirianku. Aku memesan ayam geprek dengan cabe ekstra pedas. Setelah dipesan tinggal menunggu beberapa saat hingga pesanan kami datang. Untuk minum, aku dan Muti tetap memilih minuman termurah, es teh. 

Akhir-akhir ini aku mulai berpikir setelah membaca postingan di salah satu media sosial. Ternyata kandungan teh kurang  begitu baik saat dikonsumsi setelah minum. Aku akan mencari tahu lagi tentang itu. Tapi ... apa setelah mengetahui fakta mengejutkan apa aku akan berhenti memunum es teh? Ckckck, aku bahkan tidak yakin.

Akhirnya setelah beberapa menit menunggu, pesanan kami tiba. Dengan doa singkat, kami lalu menikmati makan siang kami.

"Ah, mantap!" seruku setelah menelan suapan pertama dan juga meneguk minumanku. "Makan saat sedang lapar memang yang terbaik."

Kami melanjutkan makan siang kami dengan damai. Tenang rasanya bisa makan dengan kondisi kantin yang tak begitu ramai. Setelah selesai, kami tidak langsung pergi. Kami mengambil beberapa menit terlebih dahulu untuk beristirahat, ya ... sekedar menenangkan perut.

"Mel, tambah sepuluh menit lagi ya. Aku masih pewe nih, malas gerak."

"Hm. Oke! Lanjut main hape aja dulu, aku juga lagi melihat-lihat video lucu yang bertebaran," balasku dengan mata yang masih tertuju pada ponsel milikku. Muti lalu kembali konsentrasi dengan ponselnya.

"Mel, lihat ini deh," ucap Muti sambil memperlihtakan sebuah artikel."

"J-Joy?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dear Joy   Epilog

    Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi

  • Dear Joy   86. Akhir yang Bahagia?

    “Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah

  • Dear Joy   85. Sepucuk Surat dari Bima

    “Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.

  • Dear Joy   84. Bima adalah Adam

    Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.

  • Dear Joy   83. Tiada

    Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang

  • Dear Joy   82. Tentang Adam

    Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”

  • Dear Joy   81. Amarah yang Mereda

    “To-tolong ... siapapun di luar sana, tolong aku ....” Suara jerit Seseorang seakan memanggilku. Aku mengenalnya. Itu adalah A40. Kenapa aku bahkan mendengar suaranya sekarang? Apa aku sedang berhalusinasi sekarang? Tidak mungkin!Satu ….Dua ….Tiga.Aku terbangun. Badanku penuh dengan keringat. Itu adalah sebuah mimpi yang terlalu menakutkan untuk diingat. Bagaimana seseorang dibunuh dengan sadis di depan mataku tidak bisa aku lupakan begitu saja. wajah A40 lalu menyadarkanku pada sesuatu. Ia kini terlihat sangat familiar. Aku sangat mengenal wajah itu sekarang. Itu ada di dalam buku harian milik Joy.

  • Dear Joy   80. Kebohongan

    Ini bukan hal yang mudah untuk membicarakan langsung tentang hak asuh Lara. Apa yang akan dipikirkan oleh Bibi Susana? Marahkah ia setelah mendengarkan kalimatku nanti atau malah menyetujuinya dengan syarat ini dan itu? Tidak ada yang tahu tentang itu dengan pasti. Yang jelas, aku berharap baik dari semua ini.“Kalau Lara ingin diadopsi oleh keluarga kami, apa Bibi tidak masalah?” Aku memberanikan diri untuk mengatakannya.Beberapa detik Bibi Susana terdiam. Wajahnya juga sempat terkejut saat mendengarnya. Lalu, ia tersenyum dan menjawab, “Kalau soal hak asuh, sebenarnya Bibi sama sekali tidak memiliki hak yang kuat di sini. Orang tua Joy-lah yang paling berkuasa dan tepat untuk memutuskannya.”

  • Dear Joy   79. Gelisah?

    Lara yang mulai rewel akhirnya pula yang membuat aku dan ibu memutuskan untuk meninggalkan café Diandara. Dalam perjalanan kami tidak saling bicara. Ibuku fokus menyetir sedangkan aku memastikan Lara aman dalam pangkuanku di dalam mobil.“Memangnya ada ya, orang tua yang tidak mengakui anaknya sendiri?” tanyaku tiba-tiba. “Si Bima itu memanglah brengsek. Bisa-bisanya ia malah menuduhku seorang penipu! Memangnya apa yang mau aku ambil darinya? Uang? Bukannya dia saja tidak punya uang? Ckckck!”“Kamu itu mengomel mulu ya kalau sudah tentang Bima,” balas ibu yang mulai kesal mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku.“Ckckck! Soalnya Mama belum tahu semua yang dilakukan oleh Bima pada Joy. Kalau aku ceritakan s

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status