Share

3. Awal Mula

Selesai membaca pesan itu, aku langsung menyimpan ponselku dalam tas. Aku tidak menjawab pertanyaan dari bibi dan langsung mengambil posisi duduk di dalam ruangan. Bibi itu hanya menatapku dan memilih tidak bertanya lagi. Ia juga mengambil posisi nyaman di tempat tidur dan mulai merebahkan tubuhnya. Jujur aku merasa sedikit tidak enak mengacuhkan pertanyaan Bibi.

"Nak Amel pasti lelah hari ini. Istirahatlah, kita sambung ceritanya besok saja." Bibi itu lalu menutup matanya setelah menyelesaikan kalimatnya.

Lalu, apakah aku bisa tidur? Tentu tidak. Aku memikirkan bagaimana keadaan selanjutnya. Saat ini, aku yakin ibuku sedang menanti kabar dariku. Ah, aku pikir aku akan menghubunginya bila keadaannya lebih tenang. Aku juga mengingat kembali kisah tentang Joy yang akhirnya ia bagikan padaku.

Joy, aku harap kamu tenang di sana. Kamu sudah mengalami hidup yang berat. Ini kisah Joy dan beginilah asal mula pertemuannya dengan Bima.

12 Agustus 2010

Joy, mahasiswi fakultas ekonomi Universitas XYZ sedang menjalani masa KKN di sebuah desa terpencil. Siapa yang menyangka di sana ia bertemu dengan mahasiswa dari kampus lain yang juga tengah melaksanakan salah satu tridarama perguruan tinggi. Singkat cerita, mereka saling jatuh cinta dan cinta mereka semakin bertambah bahkan hingga masa KKN berakhir.

Aku masih ingat dengan jelas, senyum di wajah Joy saat menceritakan bagian ini. Ia benar-benar sudah sangat jatuh hati yang sangat dalam pada lelaki itu. Seorang lelaki yang menurutku sama sekali tidak menarik. Bima Prasetya, kalau tidak salah nama lengkapnya seperti itu, atau ... Bima Pramudia? Aku sama sekali tidak menaruh perhatian pada nama lengkap lelaki it, whatever.

Joy dan Bima jadi sering bertemu semenjak saat itu. Suatu hari, Joy menemukan sesuatu yang sangat aneh dari diri kekasihnya. Siapa yang menyangka, sang pujaan hati sangat gemar berjudi. Aku yang mendengar ceritanya saja menjadi geram. Jauh sebelum Joy akhirnya menceritakan semua ini padaku, aku yakin sekali lelaki itu sama sekali tidak punya masa depan. Maaf, aku mudah menghakimi orang lain.

"Tidak apa-apa, suatu saat, ia pasti akan berubah menjadi orang yang lebih baik." Itu adalah kalimat yang sering aku dengar dari mulut Joy.

Manusia tidak akan berubah dengan cepat. Tabiat dan kebiasaan bukanlah hal yang mudah untuk ditinggalkan begitu saja. Seperti itu juga yang selalu aku sampaikan pada Joy. Lalu, apa ia mendengarkanku? Tidak sama sekali. Aku selalu mengatakan pada Joy kalau ia adalah seorang budak cinta. Ia hanya menatapku dan mengatakan bila itu adalah sebuah ketulusan karena ia mencintai Bima.

Sungguh, saat aku mendengar itu, rasanya aku mau muntah. Cinta benar-benar telah membutakan mata gadis cantik ini. Ah, aku jadi berpikir bila akhirnya aku menjadi bodoh karena cinta, rasanya lebih baik kalau aku tidak jatuh cinta.

Dua bulan berlalu setelahnya, aku tahu Joy mulai jarang terlihat di kampus. Kami memang tidak satu fakultas, hanya saja letak fakultasnya bertetangga denganku. Meskipun tidak setiap hari melihatnya, kami biasanya berpapasan saat menuju kantin.

Saat itu, aku mencoba bertanya pada teman sekelasnya. Benar saja, mereka menjawab pertanyaanku tepat seperti kecurigaanku. Aku lalu menemui Joy dan mengajaknya berbicara.

"Apa kamu benar-benar mengabaikan kuliahmu sekarang dan sibuk berkencan dengan anak itu?" tanyaku tanpa basa-basi.

Joy terkejut saat itu, ia menjawabnya dengan terbata-bata dan juga terlihat sedang berbohong. Joy bukan anak yang suka berbohong, aku tahu itu.

"Aku sama sekali tidak mengabaikan kuliahku. Semester ini bahkan aku sudah mengajukan seminar proposal. Bagaimana denganmu, Amel? Apa kamu masih sibuk mengurusi urusan orang lain?" tanyanya padaku. Sebuah pertanyaan yang juga menyindirku kala itu. Ternyata selain mulai pandai berbohong, Joy juga bisa membalikkan perkataan orang lain.

Aku lalu meninggalkannya dengan perasaan kesal. Aku ingat aku mengatakan hal yang tidak baik padanya dalam hatiku. Seperti 'suatu saat nanti kamu akan meminta bantuan padaku' atau 'awas saja bila nanti ada apa-apa'.

Lama tak bersua, Joy benar-benar tidak pernah muncul lagi. Aku dengar, salah seorang dosen mencarinya. Ya, tidak perlu dikatakan ke mana Joy. Sudah sangat jelas ia sedang bersama kekasihnya.

Hari itu tiba, orang tua Joy datang mengunjungi kota kami. Orang tuaku memintaku untuk menjemput mereka di bandara karena Joy sama sekali tidak bisa dihubungi. Aku sangat terkejut mendengar hal itu, terlebih lagi kedatangan orang tuanya yang sangat mendadak. Bisa aku tebak, ini adalah pertanda yang kurang baik.

Februari 2011, aku menjemput kedua orang tua Joy. Sebenarnya saat itu aku memiliki satu mata kuliah, aku mengorbankannya demi memenuhi 'titah' ibuku.

Menunggu itu memang menjengkelkan. Hampir dua jam aku berada di sana menunggu pesawat yang ditumpangi mereka landing.

"Amel!" seru seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik. Wajahnya mirip dengan Joy, ya karena beliau memang ibunya. "Maaf ya, tadi pesawatnya delay, tadinya Tante mau ngasih tahu kamu tapi ponsel Tante keburu mati."

Aku tersenyum miris dalam hati. "Pantas saja, aku sampai merana menunggu di sini tak kunjung tiba," kataku dalam hati juga.

"Bagaimana kabarmu, Nak? wah Amel tambah cantik. Iya, 'kan Pa?"

"Nanti saja kita bicaranya. Lihat, Amel udah capek nungguin kita dari tadi. Lagian Tante memang suka ngerepotin, Om sudah bilang untuk tidak merepotkan orang lain di sini."

"Ah tidak apa-apa, ini bukan masalah besar, Om, Tante." Aku segera memberi jawaban yang sopan walaupun dalam hatiku rasanya sedang kesal. Untuk hal ini aku tahu semua ini adalah ide gila ibuku. "Aku akan segera memesan taxi onlie."

Beberapa menit kemudian, taxi itu datang. Kami lalu masuk. Aku berharap aku akan segera terbebas dari semua ini. Satu-satunya hal yang paling aku takuti ialah pertanyaan 'itu'. Sepanjang perjalanan aku terus bertanya pada orang tua Joy tentang bagaimana perjalanan mereka untuk mengalihkan pertanyaan yang sama sekali tidak ingin aku dengar.

Hingga akhirnya tante pun bertanya tentang kabar Joy. "Jadi, apa Joy baik-baik saja? Firasat Tante kurang enak akhir-akhir ini. Makanya Tante datang. Kalian, 'kan satu kampus, pasti pernah dong ketemu tidak sengaja."

"Ah ... itu ...." Aku menggigit bibir bawahku sambil memikirkan kalinat yang tepat. "Terakhir kali aku bertemu dengannya, Joy bilang padaku kalau ia sudah mengajukan seminar proposal." Ya, aku tidak bohong. Itu adalah kalimat yang keluar dari mulut anak gadis yang sedang dimabuk asmara itu. Aku tidak tahu jawabannya itu memang benar adanya atau hanya akal-akalannya saja.

"Syukurlah kalau begitu. Lalu bagaimana dengan Amel? Apa kuliahmu lancar?"

"I-Iya, tapi aku memiliki beberapa mata kuliah yang harus aku ulang," jawabku sedikit malu. Tentu mengambil kembali kuliah yang sama bukanlah hal yang buruk, hanya saja ... terkadang terlihat buruk di mata orang lain.

"Harus tetap semangat!"

Aku terkejut mendengar kalimat itu dari wanita di sampingku.

"Apa Amel tahu Joy sedang berkencan?"

Deg! pertanyaan itu akhirnya tiba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status