Share

2. Pahlawan Kesiangan

Bunyi sirene ambulans terdengar lagi, aku yakin kali ini pasien yang diantar adalah paman dan bibinya Joy. Aku, Muti serta Cintia bergegas menuju Unit Gawat Darurat untuk memeriksanya. Benar saja, sesampainya di sana, aku bisa melihat wajah sang bibi. Memang, aku baru bertemu dengan beliau dua kali namun aku masih mengingat wajah itu. Aku kembali mengambil tanggung jawab, aku mengatakan pada para perawat dan dokter di sana bila aku adalah keluarganya. Kalian pasti akan berpikir manusia sepertiku terlalu banyak ikut campur dengan urusan orang lain atau lebih tepatnya suka melibatkan diri sendiri. Tidak apa-apa, karena aku tahu untuk urusan ini, aku benar.

"Mel," panggil Muti pelan sambil menarik lengan bajuku.

Aku memandanginya sesaat lalu berkata, "Tidak apa-apa, aku masih bisa menanganinya."

Wajah Cintia terlihat datar, ia tak mengeluarkan ekspresi apapun. Mungkin, ia terlalu kaget dengan semua kejadian beruntun yang terlalu mendadak. Itu wajar, aku pun terkejut. Aku hanya berusaha kuat.

Salah seorang perawat lalu memintaku menuju ruang administrasi untuk mengambil dataku dan juga menandatangani sebuah dokumen. Ya, aku seperti seseorang yang akan menjamin biaya pengobatan paman dan bibi sekarang. Entah berapa banyak tagihanya nanti, aku seolah tidak memperdulikannya.

"Amel ... sekarang bertambah lagi?" tanya Muti begitu aku kembali.

"Tidak apa-apa, dengan administrasi itu, Paman dan Bibi bisa ditangani dengan segera. Kamu tahu sendiri, 'kan di sinetron-sinteron kesayanganmu itu kalau ...."

"Hei!" Muti memotong kalimatku. "Itu hanya sebuah sinetron. Aku yakin tanpa bantuanmu, rumah sakit ini tetap akan menolong pasien. Amel ... terkadang, aku pikir kamu itu suka menjadi pahlawan kesiangan."

Aku hanya membalasanya dengan senyuman, aku tahu mereka berkata seperti itu karena khawatir denganku. Aku, seorang Amel yang ... mungkin suka sekali ikut campur atau ... tercampur dengan urusan orang lain karena rasa iba yang berlebihan?

Muti melanjutkan kalimatnya lagi, "Tapi itulah yang membuatmu menjadi istimewa. Ah, asal jangan selalu membawaku juga dalam masalahmu. Aku akan menghajarmu dengan sangat keras." Selesai berkata seperti itu ditutup dengan sebuah tawa kecil yang disambut Cintia dan juga aku.

Beberapa jam berlalu, keadaan sang paman kritis, ia dibawa di ruang ICU, sedangkan bibi sudah dipindahkan ke ruang perawatan untuk rawat inap.

Aku menemani bibi di ruangan berharap meringankan sedikit rasa sedihnya dan juga rasa sakitnya. Hari sudah malam, aku menyarankan Muti dan Cintia untuk pulang terlebih dahulu.

"Bi ... apa sekarang Bibi merasa lebih baik?" tanyaku pelan sambil menggenggam tangannya meyakinkan semuanya akan baik-baik saja.

"I-iya, Nak, maaf ... kami datang malah merepotkanmu," balasnya dengan tatapan sayu. "Dan juga terima kasih. Joy sangat beruntung mempunyai teman sepertimu," imbuhnya lagi sambil mengeratkan genggamannya.

"Tidak masalah, aku senang bisa membantu," balasku.

"Kami akan segera membayar semua tagihan rumah sakit ini begitu sudah pulih."

"Bibi, Bibi tidak perlu memikirkan itu dulu ya? Kondisi Bibi sekarang yang paling penting. Masalah biaya, kita bisa membahasnya lain kali." Aku masih terus berusaha menenangkan diri bibi, yah walaupun aku sendiri sedang pusing bagaimana cara melunasinya nanti. Akhirnya, aku hanya punya satu pilihan yaitu meminta pada orang tuaku. Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa tingkat akhir sepertiku?

"Bagaimana dengan bayi itu?"

"Dia sehat dan sangat cantik seperti Ibunya." Sesaat setelah menjawab, aku langsung teringat dengan susu formula yang harus aku beli. "Bibi, aku keluar sebentar ya," kataku lalu meninggalkan bibi dan menuju apotek.

***

"Apa? hanya empat ratus gram dan semahal ini?" keluhku setelah membayar dan menerima kaleng susu itu.

Aku lalu pergi menuju ruang perawatan bayi dan menyerahkan susu itu. Kasus Joy sangat sangat menyadarkanku tentang pentingnya biaya rumah sakit. Aku juga belajar, sebaiknya aku memiliki sebuah asuransi kesehatan untuk berjaga-jaga.

"Sus ... ini susunya," kataku. "pastikan bayinya selalu meminumnya dengan baik."

"Pasti." Perawat itu lalu pergi begitu saja setelah menerimanya.

Aku lalu memandangi bayi mungil Joy. Ia terlihat sangat damai dalam tidurnya. Bayi yang malang, ia belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ah, memikirkan bagaimana ia akan menjalani kehidupannya di dunia yang kejam ini membuatku bersedih.

"Apa yang bisa aku lakukan untukmu, hai bayi? Tunggu, aku juga tidak tahu harus memanggilmu seperti apa? Kamu belum memiliki nama." Aku masih terus mengoceh dibalik kaca sambil memandangi bayi itu yang sedar tertidur dengan lelap. "Lara ... apa itu nama yang cocok? Hm ... tidak, tidak, aku hanya akan memberimu nasib buruk bila menggunakan nama itu. Aku akan memikirkannya lagi. Nah, tunggulah. Sebentar lagi perawat itu akan memberimu sebotol susu. Bibi Amel pergi dulu ya, bye bye bayi kecil."

Aku lalu kembali ke ruang rawat bibi. Sebenarnya, aku ingin sekali mengunjungi paman, sayangnya, aku sepertinya memang lebih baik menunggu hingga paman itu dipindahkan ke ruang rawat.

Aku masuk perlahan ke dalam kamar pasien agar tidak membangunkan bibi yang sudah tertidur.

"Kamu sudah kembali?" tanya bibi yang sontak membuatku kaget.

"Bibi mengagetkanku!" seruku. "Aku pikir Bibi sudah tidur."

"Maaf Nak, aku tidak bermaksud mengagetkanmu."

Aku hanya terseyum bersuaha menenangkan jantungku yang bedebar. Aku memang gampang terkejut bahkan untuk hal-hal kecil.

"Kamu dari mana saja, Nak? Bibi pikir hanya ke apotek membeli susu." tanyanya lembut.

"Menemui bayi cantik dan menyerahkan susu pada perawat sehingga bayi itu bisa bertahan. Ah." Kata bertahan' mungkin terlalu kejam untuknya?

"Bibi juga mau menemuinya," ucap bibi seraya berusaha bangun dari tempat tidur pasien. Aku segera mencegahnya tentu saja. Bibi belum boleh banyak bergerak.

"Tahan Bibi, Bibi bisa menemuinya sesuka hati begitu sembuh, okay? Aku mengambil beberapa foto bayi itu, sebentar," kataku sambil mengambil ponsel dalam saku celanaku."Lihat ini Bibi," kataku menunjukkan foto bayi itu. Bibi memandanginya dengan sangat bahagia.

"Bayi ini sangat cantik. Aku benar, 'kan?"

"Iya, Bibi. Anak Joy memang sangat cantik seperti Ibunya. Aku berharap ia akan bahagia sepanjang hidupnya."

Bibi terlihat murung setelahnya, aku tahu, ia sedang berduka untuk bayi mungil itu.

"Bayi itu akan baik-baik saja dan bahagia. Ia memiliki keluarga yang menyayanginya." Aku berusaha menghibur bibi.

"Tentu, ia juga memiliki Bibi seperti Amel," balas bibi.

"Bibi bisa aja."Aku membalas lagi. Aku tidak berhak berbangga untuk pujian itu. Aku benar-benar tulus menolong Joy.

"Nak, sepertinya ada sebuah pesan masuk dalam ponselmu." Bibi lalu menyerahkan kembali ponsel itu padaku. Benar saja, ada sebuah pesan penting di sana. Itu adalah sebuah pesan dari Ibuku.

Dari : My Mom

Amel, Mama dengar kamu sedang merahasiakan sesuatu dari Mama, Nak? Mama sudah menelepon Muti dan Cintia tentang hal ini. Mama sangat terkejut mendengar penjelasan mereka. Mel, telpon Mama kalau kamu ada waktu luang. Mama rasa kamu mulai terlalu repot dengan urusan temanmu itu.

Deg! Aku terkejut membaca pesan singkat itu. "Apa ini? Kenapa tulisan itu seperti bernada marah? Muti, Cintia? Apa ini? Apa mereka mengatakan sesuatu yang berlebihan?" tanyaku dalam hati menerka kejadian yang mungkin terjadi.

"Ada apa, Nak? Apa Nak Amel baik-baik saja?" tanya bibi khawatir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status