Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku menjawab yang sebenarnya? Mengapa aku terlibat dalam urusan ini sekarang? Arrgggh!!! Joy!
"Nak Amel kenapa? Apa ada sesuatu?" tanya Tante Carla yang melihatku kelagapan. Aku benci situasi seperi ini, bukan aku yang salah, namun seperti aku yang menanggung semuanya. Apa aku boleh saja mengatakan kenyataannya?
"A ... tidak," jawabku pelan. Aku sungguh tidak ingin Joy dalam masalah sekarang. Rasanya aku ingin sekali pergi menarik Joy untuk menjawab pertanyaan orang tuanya sendiri.
Taxi bergerak dengan lambat. Bisa kutebak ada kemacetan saat melewati Jl. Boulevard. Oh sungguh, saat itu aku ingin sekali kabur dari mobil dan hilang.
"Amel ... Amel," panggilnya lagi dengan pelan.
"Maaf Tante, aku kurang tahu ... kalau boleh jujur aku tidak menanyakan hal pribadi pada Joy." Aku cuma bisa memberikan jawaban yang aman baik buatku dan juga Joy.
Aku lihat ekspresi wajah Tante Carla sedikit kecewa dengan jawabku.
Kalau aku mengatakannya, Tante Carla pasti terkejut. Aku banyak mendengar gosip yang beredar tentang Joy, aku khawatir itu adalah kabar buruk untuk telinga Tante dan Om.
"Tidak apa-apa, Om mengerti Amel dan Joy memang tidak begitu dekat. Satu kampus bukan berarti tahu segala hal tentang Joy, bukan? Maafkan Tante Carla yang berharap lebih padamu." Om Bagas berucap sedikit menghibur.
Entah mengapa aku sedikit merasa bersalah. Aku seperti orang yang diharapkan bisa memberi informasi tentang Joy sebanyak-banyaknya namun aku tidak bisa. Joy dan hubungannya dan juga kuliahnya dan apapun itu aku tidak terlalu tahu.
Ttiitttt ttiiiiiitt!
Suara klakson memenuhi jalan. Sudah kebiasaan warga di sini yang semakin membuat para pengendara semakin kesal. Kadang aku berpikir, apa gunanya mereka membunyikan klakson? Bukankah itu hanya semakin menambah kekesalan dalam kemacetan?
"Amel ... apa Joy baik-baik saja?" tanya Tante Carla pelan.
"Joy baik-baik saja." Aku segera membalas pertanyaan itu. "Joy akan selalu baik-baik saja." Aku juga berharap demikian.
"Tante rasa ... Joy sedang tersesat dalam sebuah masalah. Tante tidak tahu tapi firasat ini setiap hari semakin kuat." Tante Carla memandangiku dengan sendu. Bisa kulihat, ia ingin sekali memastikan sesuatu dari mulutku.
"Aih, itu hanya perasaan Tante saja, hihihi." Aku menambahkan kalimat lain agar membuatnya tenang. "Hm ... kenapa macet sekarang?" kataku dengan kesal. "Harusnya mereka tahu aku sedang menjemput orang penting sekarang ini?"
"Hahaha, kamu bisa saja Nak." Om Bagas menanggapinya. Aku pikir, Ayah Joy itu tidak mendengarkan kami, rupanya ia diam namun memasang telinga terhadap setiap ucapan yang bergema.
Aku harus berhati-hati dengan ucapanku sekarang. Setiap kata yang keluar dari mulutku bisa membahayakan atau membuat Joy marah padaku.
Setelah melewati berjam-jam dalam kemacetan, akhirnya kami tiba di rumah kos Joy. Ini juga adalah kali pertamaku mendatanginya. Berita bagusnya, orang tua Joy masih tahu tempat tinggalnya. Seandainya tidak, mungkin aku akan kabur saja. Tidak bisa kubayangkan seandainya Joy juga menyembunyikan tempat tinggalnya.
Bagus juga, ya tempat Joy, ya iya sih keluarganya memang berada.
"Selamat siang, maaf, tamu harus mengisi buku ini terlebih dahulu." Seorang satpam yang berjaga lalu menyapa kami dengan sigap.
"Baik," balasku dan langsung mengisi buku itu. "Aku ke sini untuk mengunjungi temanku, Joy. Mereka adalah orang tuanya," imbuhku serasa memperkenalkan Tante Carla dan Om Bagas.
"Oh, Joy yang cantik itu ya? Wah pantas ... Ibunya juga cantik," puji satpam itu membuat rona merah di wajah Tante Carla muncul. "Bapaknya juga ganteng, kayak orang Korea," tambahnya lagi begitu melihat ekspresi Om Bagas yang kurang suka istrinya dipuji pria lain.
"Udah diisi, kami boleh masuk ya, Pak?" tanyaku dan langsung berjalan begitu mendapat persetujuan dari satpam.
"Setahun lalu Tante terakhir ke sini. Tante memang enggak ada rencana datang lagi kecuali pas Joy wisuda nanti." Tante Carla mulai berucap lagi sambil menelusuri halaman kecil di tempat itu.
Rumah kos milik Joy sangat bagus dibandingkan dengan tempatku. Gedungnya yang besar dan terdiri dari empat lantai. Bisa aku lihat, pengamanannya juga bagus. Aku mulai bertanya dalam hati. Apa Bima juga sering ke sini? Ah, sangat tidak mungkin. Ini adalah kos putri dengan penjagaan yang mumpuni.
Aku hanya mengikuti ke mana langkah Tante Carla dan Om Bagas membawaku.
"Aku tunggu di ruang tamu," kata Om Bagas dan bergegas berindah ke ruang tamu di lantai dua itu.
Om Bagas benar-benar memperhatikan dan menaati peraturan. Sekalipun ia adalah orang tua Joy, ia tidak semerta-merta hendak masuk ke dalam kamar.
"Ini kamar Joy, kalau ia tidak ada mungkin ia sedang nerada di kampus." Tante Carla sudah tak sabar untuk bertemu putrinya sekarang. Tante Carla mulai mengankat tangannya sedikit dan mengetuk pintu kamar bernomor 209 itu.
Tuk tuk tuk ....
Lagi dan lagi, tidak ada jawaban.
"Joy, ini Mama, Nak."
Aku haya diam saja dan menanti pintu itu terbuka.
Apa sebaiknya aku ke ruang tamu saja dan bercerita dengan Om Bagas?
Ceklek!
Suara pintu terbuka, Joy muncul dengan penampilan yang acak-acakan. Ia baru saja bangun dari mimpinya yang indah. Satu sisi, aku merasa bersyukur ia ada di tempat ini. Namun, bila memang ia berada di sini sekarang, artinya Joy sedang bolos kuliah, mungkin.
Joy melirik ke arahku sebentar sebelum menyapa ibunya. Tatapan jengkelnya bisa aku lihat. Saat itu aku ingin sekali membalasnya dan mengatakan "Apa? Memangnya aku mau ikut campur dengan urusanmu? Aktifkan poselmu, dengan begitu aku tidak perlu mengorbankan kuliahku!"
"Mama! Mama kapan datang? Kenapa tidak memberitahu terlebih dahulu?" ucapnya basa-basi. Aku sangat yakin ia sedang kesal dengan kedatangan orang tuanya saat itu. "Amel ... thank you ya, sudah antar Mama sampai kosku dengan selamat." Joy lalu menarikku menjauh dari Tante Carla.
"Lepas!" tangkisku.
"Apa maksudmu membawa orang tuaku ke sini?" tanyanya sinis.
"Apa?"
"Apa?!" Suara Joy sedikit meninggi. Mendengarnya saja membuat emosiku sedikit dipermainkan.
"Joy, aku sama sekali tidak tahu-menahu. Mereka hanya meneleponku dan meminta bantuanku. Oh iya, kenapa harus aku? Karena ada seorang anak yang sama sekali tidak bisa dihubungi." Tak mau kalah, aku pun membalasnya.
Joy diam, ia tak tahu harus membalas apa lagi. Kali ini aku menang, ada rasa bahagia telah mematikan kalimatnya.
"Joy, sapalah Papamu. Ia ada di ruang tamu." Suara Tante Carla menghentikan perseteruan kecil-kecilan kami.
Joy lalu berjalan menuju ruang tamu. Senyumnya melebar ketika melihat sang ayah.
"Papa!" ucap Joy langsung mendekap Ayahnya. "Kenapa tidak bilang-bilang dulu?"
"Kalau bilang terlebih dahulu bukan kejutan namanya," balas Om Bagas sambil mencubit pelan hidung mancung Joy.
Ya, kalau bilang dulu pasti kamu sudah merencanakan hal bohong lainnya supaya tidak ketahuan.
Aku hanya menyaksikan di sana sebuah keluarga yang sedang berkumpul. Ah, aku juga rindu orang tuaku.
Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi
“Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah
“Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.
Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.
Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang
Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”