Devon memicingkan mata. Cahaya lampu itu begitu menyilaukan, membuat kepalanya makin terasa nyeri. Susah payah ia bangkit dan duduk. Setengah menunduk, Devon memegangi belakang kepala dan mengusapnya pelan. Setelah sakit kepalanya reda, dia menyapu pandangan ke sekelilingnya. Sebuah kamar tidur sederhana, mirip dengan kamar tidurnya saat masih tinggal di apartemen kumuh dulu. Bedanya, kamar ini tak dilengkapi jendela. Hanya tembok besi yang mengelilingi. Ditambah dengan ranjang kayu, meja kecil beserta kursinya dan lemari perak yang terletak berseberangan dengan ranjang.
"Mara!" Tiba-tiba Devon teringat akan jam tangan metaliknya. Dia melihat pergelangan tangan kirinya dan mendesah lega kala kecerdasan buatan itu masih tetap berada di tempatnya tanpa lecet maupun noda.
"Yang Mulia, tanda-tanda vital tubuh anda sudah berfungsi dengan normal," lapor Mara.
"Apa yang terjadi? Dimana Nebulaku?" Devon mulai panik menyadari pedang kesayangannya tak ada di tempatnya.
Devon termangu saat mengetahui kenyataan bahwa gadis dalam mimpinya adalah seorang pemberontak. Dia berharap sesuatu yang lain. Sesuatu yang memudahkan Devon untuk mendekati gadis itu. "Aku ingin tahu siapa namanya," gumam Devon tanpa sadar. "Wajahnya tidak terdapat di database manapun, Yang Mulia," sahut Mara. "Apa tidak lebih baik kita mencari cara untuk menghentikan penghijauan beracun ini dulu, Yang Mulia?" Komentar Valishka. Devon tampak berpikir sambil mengusap dagunya. Dia kini bukan lagi pemuda pengantar barang yang bisa berbuat seenaknya. Tanggung jawabnya bukan hanya sekedar tidak membuat ibunya marah, seperti dulu. Masa depan seluruh penduduk bumi ada di tangannya kini. Itu artinya, Devon harus mengorbankan diri dan perasaannya sendiri demi jutaan manusia lainnya. "Sudah berapa banyak benih yang disebar oleh Ganymede?" Tanya Devon pada akhirnya, setelah terdiam cukup lama. "Jutaan di berbagai lokasi di seluruh
Devon masih berdiri di depan jendela besar yang terletak di lantai dua. Di bawah, terdengar riuh suara para Greenwalds yang entah sedang membicarakan apa. Suasana di luar rumah persembunyian itu masih mencekam, hening dan putih pekat."Kabut putih yang mengitari distrik tempat persembunyian kita ini dibuat oleh Leya, Yang Mulia," ucap Valishka tiba-tiba. Dia muncul di belakang Devon dan memperkenalkan seorang gadis manis dengan kulit berwarna coklat terang, bermata hazel dengan rambut keriting spiral.Gadis yang diperkenalkan sebagai Leya itu membungkuk dalam-dalam kemudian meraih punggung tangan Devon dan menciumnya. Devon sedikit terkejut dengan tingkah gadis itu, namun tak menolaknya."Di ordo Boa, mencium tangan seperti ini sudah biasa untuk menunjukkan rasa hormat yang paling tinggi, Yang Mulia," tutur Leya seraya tertawa ceria."Ah, ma'afkan kelancangan saya," ucap Leya cepat saat melihat wajah Devon yang menatapnya tanpa ekspresi.Devo
Troy begitu bersemangat menaiki Orion. Baru kali ini dia menaiki mobil terbang mewah yang super canggih itu. Selama ini dia hanya bepergian dengan kendaraan berat miliknya, atau menumpang di kargo pesawat induk yang tentunya tak nyaman untuk dinaiki.Sementara Leya berada di aerocar milik Atlas. Sebelum berangkat, Valishka sempat menertawakannya, karena terlalu percaya diri bahwa Devon akan meminta Leya untuk duduk di Orionnya."Tetaplah fokus, Nona Leya. Perjalanan kita bukan untuk main-main," hardik Atlas yang sedari tadi mengawasi gadis manis itu.Leya mendengus kesal dan membuang muka ke jendela aerocar. Awan putih berarak mengikuti perjalanan mereka menuju Ordo Red Phoenix. Di depan, tampak Orion milik Devon menambah kecepatannya dan melesat hingga tak terlihat oleh mata. Atlas pun segera melakukan hal yang sama. Menyetting kendaraannya dengan kecepatan setara kecepatan suara.Di dalam Orion, Troy terlihat begitu panik. Tanpa sadar ia mencengkeram be
Pria-pria berseragam di depan sana sudah dalam kondisi siap. Senjata-senjata laser mereka sudah terkokang dan hanya menunggu perintah untuk ditembakkan.Troy dapat melihat lencana perak di dada mereka, khas anak buah Robertson Hadar. "Apa kita boleh menyerang sekarang?" Tanyanya."Tunggu!" perintah Devon. "Aku akan melangkah lebih dulu. Kita lihat reaksi mereka," titah Devon. Baru satu langkah ke depan, Devon sudah dihujani tembakan.Leya memekik kencang. Dia mengira bahwa detik itu nyawanya akan tamat. Begitu pula Troy, dia tak akan sempat mempergunakan senjatanya, karena kecepatan sinar laser ribuan kali lebih cepat dari hujaman belatinya.Akan tetapi, Devon sudah memperkirakan itu semua. Bersamaan dengan gerak tubuhnya ke depan, Devon juga mengaktifkan pancaran gelombang elektromagnetik sehingga membentuk kubah perisai yang melindungi dirinya dan ketiga rekannya.Tembakan laser itu memantul ke segala arah. Beberapa tembakan memantul ke uda
Bola-bola besi yang berjumlah sebelas buah, kesemuanya mengeluarkan asap dan tidak berfungsi, setelah salah satu bola itu retak dan memercikkan api. Yang paling mengejutkan baginya adalah pertemuannya kembali dengan gadis dalam mimpi. Gadis itu merangkak keluar dari dalam bola besi. Dengan susah payah, ia berusaha berdiri dan berjalan. Akan tetapi, sepertinya dia terluka, hingga terhuyung dan terjatuh tak sadarkan diri. Tanpa pikir panjang, Devon segera berlari menghampiri. Dia duduk berjongkok dan mulai mengamati gadis yang terbaring lemah di atas aspal itu. Pelipisnya berdarah dan tampak beberapa luka lecet di sekitar pipi dan leher. Akan tetapi, semua itu sama sekali tak mengurangi kecantikannya. Devon tak sadar ketika tangannya seakan memiliki keinginan sendiri untuk menyentuh wajah indah itu. Telunjuknya menyusuri alis, kelopak mata, hidung dan berakhir di bibir. Bibir kemerahan itu terasa lembut dan kenyal, membuatnya hilang kendali. Logika Devon
Gadis itu menyibakkan rambut lurusnya ke belakang. Bulir-bulir keringat mulai muncul di keningnya. Dirinya mulai agak tenang ketika mengetahui kenyataan bahwa Devon juga memiliki keinginan yang sama dengannya, yaitu menghancurkan Dark Shadows, ordo penjajah yang berpura-pura menjadi pengawas semua ordo, dengan tujuan untuk mempermudah mengawasi semuanya. Mengawasi planet jajahan dan menancapkan kuku-kuku tajam mereka ke dalam bumi dan menghisap habis kekayaan serta sumber daya alamnya. "Bagaimana caranya kau bisa menggantikan Kaisar Agung? Apakah para Tetua yang memilihmu?" Gadis itu tak mampu lagi menyembunyikan rasa penasarannya. "Akan kuberitahu kalau kau memberitahu namamu," jawab Devon ringan seraya tersenyum. Tangannya sibuk memegang pisau lipat yang ia gunakan untuk mengupas akar-akaran yang merambat di tepian sungai. Leya mendengus kesal. Dia tampak tidak suka melihat interaksi Devon dengan gadis jelita di depannya itu. "Yang Mulia harus waspada. Dia
"Ah, jadi kau putri dari perwakilan Kementerian Teknologi yang sempat memberiku sebuah catatan kecil beberapa waktu lalu," ujar Devon sambil tersenyum. Bellatrix mengerutkan keningnya, "Catatan kecil? Catatan kecil apa?" "Catatan kecil untuk memperingatkanku akan betapa bahayanya Ganymede Petrochinni," sahut Devon seraya mendekati gadis cantik itu. "Kurasa ayahmu tak terlalu buruk. Apakah menurutmu kami bisa berteman?" Gurau Devon. Lagi-lagi ia mendekatkan wajahnya pada wajah Bellatrix. Seakan ada magnet super kuat yang selalu berusaha menarik Devon untuk mendekat padanya. Bellatrix terlihat gugup, sehingga ia memundurkan tubuhnya beberapa langkah. "Pesawat sudah siap. Kita bisa bergegas sekarang sebelum semuanya terlambat," tukas Bellatrix sembari mengangkat dan mengepalkan satu tangannya ke udara dan diam beberapa saat. Pesawat siluman itu perlahan bergerak turun. Ia mendarat sempurna di atas tanah. Beberapa detik kemudian, sisi samping kanan dan ki
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita turun dan selesaikan semuanya saat ini juga!" ajak Troy yang mulai tak sabar."Mr. Troy," Bellatrix memandang lekat-lekat pada pria berambut panjang itu. "Jangan gegabah. Kita tak tahu apa yang sedang kita hadapi di bawah sana. Saranku, gunakanlah masker biohazard yang sudah kusiapkan untuk kalian."Bertepatan dengan berakhirnya kalimat Bellatrix, muncullah selang-selang putih panjang yang menjulur dari langit-langit pesawat. Di ujung masing-masing selang, terdapat masker biohazard berwarna hitam.Leya dan Devon saling berpandangan sebelum akhirnya mereka mengambil masker itu dan memasangnya di wajah.Setelah semuanya siap, lantai pesawat kembali berwarna keperakan dan terbuka perlahan.Bellatrix kemudian memasangkan sebuah benda bulat pipih berwarna hitam pada dada tiap orang. "Tekanlah bulatan itu dan kalian bisa melayang secara leluasa," ujarnya.Troy yang selalu tidak sabaran, mengiku