Aldan tiba di sebuah rumah kontrakan yang sudah disediakan oleh Bundanya. Ukuran Kota Jakarta, di daerah itu tidak terlalu padat penduduk.
Saat Aldan membuka pintu rumah, ujung matanya bergerak ke arah tembok tak jauh di samping kanannya.
‘Hemm rupanya kamu tidak bisa berpisah denganku.’
Aldan tersenyum kecut, menyadari siapa yang membuntutinya. Lalu dia memutar tubuh, menatap ke arah tembok samping kanannya.
“Kaluarlah, Faiz. Aku tahu kamu bersembunyi di sana.”
Faiz malu-malu menyembul dari balik tembok. Dia berjalan mendekat dan berdiri dengan membungkukkan badan di hadapan Aldan.
“Maaf, Bos. Aku ingin liburan ke Indonesia. Aku ingin tahu indahnya Negara ini,” kilah Faiz menyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Aldan tersenyum kecut, “Kenapa kamu mengikutiku, Faiz?”
Faiz menghembus napas pelan, “Aku mau berada di dekat-dekat Bos. Siapa tau tenagaku dibutuhkan.”
Aldan tersenyum lebar, “Apa kamu mengkhawatirkan keselamatanku?”
Faiz mendongak menatap Aldan. Dia bingung harus memberi jawaban apa atas pertanyaan itu. Selama tinggal di Malaysia, Aldan seringkali bermain-main dengan kematian. Jadi untuk apa mengkhawatirkannya? Tapi saat melihat energi pembunuh keluar dari diri Aldan sebelum pulang ke Indonesia, Faiz merasa perlu mendampinginya.
Melihat Faiz mematung dalam lamunannya, Aldan tersenyum sebelum akhirnya memutar badan untuk masuk ke dalam rumah.
“Jangan bengong, nanti kenak serangan mendadak,” sindir Aldan sambil berjalan ke arah sofa di ruang tamu.
“Ah ... Iya, Bos. Maaf.” Faiz masuk ke dalam dan duduk di sofa setelah Aldan memberikan sebuah isyarat dengan menepuk sofa.
“Sudah kubilang aku kangen Kota kelahiranku, tapi sepertinya kamu terlalu pintar untuk dibodohi,” ucap Aldan.
“Bukannya aku mau ikut campur, Bos. Tapi aku merasa tujuan Bos pulang ke Indonesia bukan karena itu. Jika ada masalah, aku yakin Bos bisa mengatasinya. Tapi izinkan aku membantu,” respon Faiz sungkan.
“Karena kamu sudah berani mengikutiku, aku akan menceritakan masa laluku yang belum pernah kamu dengar.”
Aldan menghembus napas pelan sebelum akhirnya dia menceritakan kejadian kelam yang menimpa kedua orang tuanya.
10 tahun silam!
Saat itu, hujan sangat deras. Chandra menjemput Aldan pulang dari sekolah.
Turun dari mobil di pekarangan rumah, Aldan berlari sambil menutupi kepalanya dengan sebelah tangan, “Ma, Mama.”
Langkah Aldan terhenti di depan pintu ketika dia melihat sebuah kalung cantik tergeletak di bawah. Anak itu memungutnya dan mengamati sejenak. Setahu dirinya, dia tidak pernah melihat Sang Mama memakai kalung itu.
“Mungkin Mama baru beli,” gumam Aldan sambil memasukkan kalung itu ke dalam saku baju sekolahnya. Lalu dia mendorong pintu yang setengah terbuka. “Ma, Mama, Aldan pulang.”
Aldan melongo ketika melihat keadaan ruang depan sangat berantakan. Rumah berukuran 7 x 12 itu tampak seperti kapal pecah. Banyak perabotan rumah tangga seperti, meja, kursi, vas bunga, botol, dan masih banyak lagi yang berserakan di lantai.
“Ma?” Aldan memanggil sambil berjalan pelan memperhatikan setiap sudut yang ada di ruangan depan. Dia mulai khawatir. “Ma? Mama? Aldan pulang. Mama ada dimana?”
Chandra yang baru masuk ke dalam, juga sangat terkejut melihat pemandangan yang membuat dirinya seketika mempunyai firasat buruk tentang istrinya.
“Sayang?” panggil Chandra sambil berjalan mendekati Aldan.
“Kenapa rumah kita berantakan, Pa?” tanya Aldan cemas.
“Papa juga enggak tau,” jawab Chandra cemas. Lalu dia perlahan menggerakkan kakinya kembali, berjalan menuju kamar. Jantungnya berdetak kencang, “Sayang, kenapa rumah kita berantakan? Sayang?”
“Ma?” Aldan berjalan mengikuti Chandra, kegelisahannya semakin menjadi.
“Sayang?” Chandra membuka pintu kamarnya. Matanya terbelalak, jantungnya berdetak sangat kencang ketika melihat Yuyun tergeletak di lantai depan kasur dalam keadaan mengenaskan, kepala istrinya itu mengalir darah segar. Disamping tubuh wanita itu ada toples beling yang pecah berlumuran darah. Keadaan kamar itu juga sangat berserakan.
“Sayang!”
“Mama!”
Chandra dan Aldan bersamaan berteriak histeris menghampiri Yuyun.
“Sayang, sadarlah.” Chandra menangis histeris memegang tubuh Yuyun. “Kumohon sadarlah, Siapa yang melakukan ini?”
“Mama, Mama bangunlah. Mama, Mama, jangan mati.” Aldan menangis lebih histeris dari Chandra. Dia berpikir Yuyun sudah meninggal. “Mama, mama jangan tinggalkan Aldan.”
“Mamamu masih hidup.” Chandra mengecek nadi tangan Yuyun. Dia sangat lega. “Bertahanlah, Sayang. Aku akan membawamu ke rumah sakit. Kamu pasti selamat. Tidak akan terjadi apa-apa padamu, bertahanlah.”
“Ayo Pa, cepat bawa Mama ke rumah sakit.”
Namun, baru saja Chandra ingin mengangkat tubuh Yuyun, tiba-tiba terdengar suara pintu depan yang dibuka oleh seseorang. Bukan hanya itu, ada suara langkah sepatu yang terdengar begitu jelas.
Chandra mengangkat jari telunjuk di depan mulutnya, memberi isyarat pada Aldan untuk tidak mengeluarkan suara.
Chandra berdiri dan berjalan mengendap-endap mendekati pintu kamar. Perlahan sebelah tangannya bergerak membuka pintu. Dia mengintip, ada seorang pria gagah memakai topi, sepatu sejenis boot, dan pakaian serba hitam. Pria itu sibuk mengelap beberapa perabotan rumah tangga.
Chandra sangat yakin, pria bersepatu datang untuk menghilangkan bukti sidik jari.
Chandra menoleh ke belakang, “Aldan kunci kamar ini. Jangan buka sebelum Papa yang minta.” Aldan mengangguk menuruti perintah, sedangkan Chandra keluar dari kamar.
Chandra memperhatikan pria bersepatu masih sibuk mengelap vas bunga dengan sapu tangan plastik yang dikenakan, hingga akhirnya pria itu menoleh dan mata mereka bersitatap.
“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Chandra sambil mengepalkan tangan kuat-kuat dengan amarah yang terlihat jelas di wajahnya. “Atau kau sendiri yang sudah mencelakai istriku?
Pria bersepatu tersenyum miring, “Anda tidak perlu tau. Bersiaplah untuk mati!”
***
“Begitulah awal kematian kedua orang tuaku. Pertarungan itu dimenangkan pria bersepatu. Papaku dibunuh secara sadis. Iblis itu menggores-gores perut Papa di depan mataku.” Aldan mengakhiri cerita dengan setetes air mata. Aura balas dendam tergambar jelas di dalam tatapannya yang begitu mengerikan, bahkan Faiz takut melihatnya.Wajah Faizal memerah mendengar cerita masa lalu Aldan yang begitu sangat menyedihkan. Ternyata itu alasannya kenapa aura pembunuh keluar dari dalam diri sang Bos setiap kali mendengar nama Indonesia.
Faiz perlahan menoleh samar-samar ke arah Aldan. Dia tidak berani menatap langsung ke arah tatapan mata menyala milik sang Bos.
“Bos. Izinkan aku mencari pria bersepatu. Biar kucabik-cabik tubuhnya—”
Belum sempat Faiz menyelesaikan amarahnya, Aldan berucap, “Aku gak ingin langsung membunuhnya.” Aldan berdiri dengan tangan mengapal kuat-kuat dan tatapan mata berkikat iblis. “Bukan hanya pria bersepatu. Ada banyak orang-orang biadap yang bersekongkol membunuh Papa Mamaku. Aku harus menemukan siapa saja yang terlibat. Sebelum mati, mereka harus menderita berkali-kali lipat daripada apa yang aku dan Papa Mama rasakan.”
Di ruang tengah, Faizal dan Adelia tampak semangat mengerjakan tugasnya masing-masing. Faizal membuat beberapa akun berbagai media sosial untuk memanas-manasi perusahaan media agar meliput berita lama kasus Joshua Suherman yang masa tahanannya kurang dari 1 tahun.Sementara Adelia, dia mencari jenis-jenis kalung liontin di google. Meski matanya memerah efek tidak tdur semalaman, dia tetap semangat mencari sebuah petunjuk.“Faizal bagaimana? Sudah selesai?” tanya Adelia. Lalu dia menyruput kopi untuk memghilangkan rasa kantuk.“Sudah selesai. Tinggal menunggu respon. Semoga cepat trending. Semoga cepat dilihat dan dikomentari banyak netisen, biar seluruh media di Indonesia bakalan berlomba-lomba meliput kasus Joshua Suherman yang trending di medsos,” jawab Faizal sembari tetap bercelancar di dunia maya.“Sip. Kebobrokan hukum di Negara ini harus segera dibongkar.” Adelia mengerjap berulang kali untuk menghilangkan rasa kantuk yang semakin menyerang, dan akhirnya dia menggerakkan kedua
Verra dan Rangga sudah ada di depan pintu ruangan ceo.“Selamat pagi, bu Dhea.” Verra mengetuk pintu dengan sopan.“masuk,” sahut Dhea dari dalam.Verra dan Rangga masuk ke dalam. Mereka melirik ke arah Aldan yang sudah ada di sana. Seketika mereka bernapas lega melihat asisten manager keuangan itu tampak dalam keadaan sehat.“Duduklah,” kata Dhea.“Baik, Bu.” Verra dan Rangga memilih duduk di samping Aldan.“Ada keperluan apa kalian datang kesini?” tanya Dhea.“Barusan kami melihat pak Lukman dibawa polisi. Beliau katanya ditangkap karena terbukti menyuruh karyawan lainnya untuk mencelakai Putra. Jadi kami kesini untuk memastikan kalau Putra baik-baik saja.” Verra menjawab dengan sesekali menoleh ke arah Aldan yang duduk di sampingnya.Aldan melebarkan senyuman, “Saya baik-baik saja. Tuhan menolong saya dari kecelakaan.” Aldan memposisikan diri sebagai karyawan, bicaranya lebih sopan dan formal.Verra lagi-lagi bernapas lega. Dia benar-benar mengkhawatirkan Aldan. Padahal pria yang d
Aldan mengulurkan tangan, tetapi langsung ditepis oleh Lukman. “Jangan banyak gaya. Hadapi aku kalau berani!” raung Lukman penuh emosi. “Baiklah.” Aldan malah tersenyum santai. “Bapak tinggal pilih para napi mana yang ingin Bapak ajak berduel di dalam penjara.” Setelah mengatakan itu, Aldan tertawa lepas dengan mata menghina. Bahkan Dhea dan 3 orang polisi juga melemparkan tawa penuh ejekan. Tentu saja Lukman merasa terhina, tetapi keberaniannya justru semakin menciut. Tubuhnya gemetaran dengan detakan jantung yang berbunyi kencang. “Seret Pak Lukman,” titah Dhea menahan tawa. “Baik, Bu.” Ketiga orang polisi mengangguk dan melangkah mendekati Lukman. “Mau apa kalian, hah?!” bentak Lukman ketika 3 orang polisi mulai bekerja sama meringkus dirinya. “Bapak jangan melawan.” Salah satu polisi memasang borgol di tangan Lukman. “Lepaskan saya! Aku tidak bersalah!” teriak Lukman ketika 3 orang polisi mulai menyeretnya ke luar. Namun, tenaganya tak cukup untuk melawan. “Bapak ikut sa
“Kurang ajar! Beraninya kamu menjebakku!” teriak Lukman menatap Aldan dengan mata melotot. “Kamu tukang fitnah! Pasti kamu bersekongkol dengan Santoso 'kan? Cepat ngaku!”Aldan hanya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala ke arah Lukman yang tengah menatapnya dengan wajah merah padam. “Bangsat! Tukang fitnah!” raung Lukman sembari menunjuk kasar pada Aldan. Lalu dia menoleh ke arah Dhea dengan memasang wajah serius. “Saya harap Ibu tidak percaya dengan fitnahnya. Tidak mungkin saya melakukan perbuatan sekeji itu. Ini pasti jebakan untuk menyingkirkan saya. Putra dan Santoso pasti bersekongkol menjebak saya. Dari awal saya sudah curiga kalau Putra bukan orang baik-baik. Putra selalu berusaha menyingkirkan saya dari perusahaan. Putra punya ambisi untuk menjadi sekretaris di perusahaan cosmo indofood.”“Sudah selesai mengoceh?” sindir Dhea dengan senyuman kecut.Dhea memutar video rekaman itu kembali yang menunjukkan Santoso sedang menghubungi Lukman. Di sana diperdengarkan sang
Pagi hari ini, Adelia membuat sarapan roti canai untuk Aldan dan Faizal. Mereka makan bersama-sama di ruang tengah.“Ow ya aku baru nyadar, kemarin kamu kok naik gojek? Kemana motormu?” tanya Adelia sembari menuangkan susu tambahan di roti canai.“Ow motorku rusak. Kemarin ditinggal di kantor,” jawab Aldan berbohong. Lalu dia menguyah roti canai miliknya.Sementara Faizal hanya fokus menyantap makanan di depannya, meskipun dalam benaknya sangat yakin motor Aldan rusak karena ada tangan jahil.“Eh aku berangkat ngantor dulu ya. Tukang gojeknya udah nungguin di depan.” Aldan bangkit dari duduknya sembari jari-jemarinya mengetik pesan di ponsel.“Iya, semangat. Fokus kerjanya. Urusan kalung liontin biar aku dan Faizal yang nyari,” ucap Adelia dengan senyuman kecil.“Aku juga akan mengompori beberapa media buat mengangkat kasus Joshua. Jadi Bos nikmati saja kehidupan di kantor, hehe,” sambung Faizal. Aldan tersenyum pada Faizal dan Adelia, “Thanks, aku bersyukur bisa mengenal kalian berd
Pada saat Adelia menuruni anak tangga pertama, dia menghentikan langkah ketika melihat di bawah sana kekasihnya sedang tidur pulas.“Nanti aja deh. Kasian aku,” gumamnya sembari memutar badan dan kembali melangkah ke dalam kamarnya.Adelia duduk di tepi ranjang dan mengamati kalung liontin berwarna putih yang ada di genggaman tangan.“Mungkinkah ini alasannya kenapa kalung ini seakan-akan menolak jika setiap kali aku ingin menguploadnya di medsos? Kalung ini ingin aku menjaganya agar gak jatuh ke tangan Hendrawan dan komplotannya, karena kalung ini bisa menjawab teka-teki siapa orang yang telah menyuruh mereka untuk membunuh orang tua Aldan,” ucap Adelia sembari membolak-balikkan benda berharga itu. “Jangan-jangan sebelum terjadinya insiden pembunuhan, pemilik kalung ini datang menemui Mamanya Aldan di rumahnya,” Adelia berhenti sejenak. Tatapannya menerawang jauh, mencoba menebak-nebak kejadian di rumah Aldan 10 tahun silam.“Dia ingin memberikan kalung ini pada Mamanya Aldan sebaga