Home / Urban / Dendam Membara Sang Pewaris! / 3. Aldan Bukan Anak Iblis!

Share

3. Aldan Bukan Anak Iblis!

Author: imam Bustomi
last update Last Updated: 2022-08-08 13:00:52

Aldan tidak panik, dia pimpinan pasukan rahasia white master yang sangat ahli dalam bela diri. Jika mau, dia  bisa saja melepaskan tangannya dari pegangan Mukafi tanpa menyakiti.

“Maaf, aku harus pergi. Tapi suatu saat aku akan kembali dengan membawa sebuah kebenaran.”

Namun, Aldan tidak mudah begitu saja pergi dari sana. Semua orang menghadang kepergiannya.

“Haha bukannya barusan kamu bilang melihat kejadian pembunuhan Chandra dan Yuyun 10 tahun silam? Tapi kenapa sekarang kamu malah mau pergi?” tanya Mukafi menerbitkan senyuman miring. Dia yakin orang asing di hadapannya itu adalah orang suruhan Aldan yang ingin menghasut keluarganya.

Ilham dan semua orang pun menerbitkan senyuman miring. Mereka malah semakin yakin bahwa Aldan masih hidup. Mereka juga menilai Aldan bodoh karena sudah berani mengirim orang lain untuk memberi tahu persembunyiannya.

“Aku berkata benar. Suatu hari nanti kalian akan tahu siapa pembunuh yang sebenarnya, bukan Aldan ... Aku janji akan mengungkap kejahatan mereka yang –” Belum sempat Aldan menyelesaikan penjelasan, Mukafi terlebih dahulu memotongnya.

“Sialan!” umpat Muskafi kesal. “Kamu kira mudah menipu kami? Bodoh! Aldan sangat bodoh! Dia sendiri yang memberi teka-teki persembunyiannya dengan mengirimmu. Sekarang Kami tak kan membiarkanmu pergi dari sini. Kamu harus memberi tahu keberadaan anak iblis itu ... dan kamu juga harus dihukum karena sudah bersekongkol dengan seorang pembunuh!”

Telinga Aldan memanas. Bukan karena dihadang oleh mereka, tetapi berulang kali dia mendapati sebutan iblis dari sanak familinya.

“Aldan bukan anak iblis. Aldan anak dari Chandra dan Yuyun.”

PLAK!

Syarif memberikan tamparan keras dengan penuh emosi. Keluarga yang lainnya pun demikian, mereka tampak tak terima dengan ucapan Aldan.

“Berani-beraninya kamu menyebut anak iblis itu anak saudara kami!”

“Kebenarannya memang seperti itu. Aldan terlahir dari rahim Mamanya,” respon cepat Aldan sambil menatap sanak familinya yang tengah emosi.

PLAK!

Lagi-lagi Aldan mendapatkan tamparan keras. Kali ini dari Mukafi.

“Dan kebenarannya adalah Aldan telah membunuh Chandra dan Yuyun. Dia pantas disebut anak iblis! ... Anam yang tega membunuh kedua orang tuanya sendiri pantas disebut anak iblis!” berang Mukafi meninggikan suaranya dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.

“Aku perhatikan dari tadi kamu membela Aldan. Apa otakmu sudah dicuci atau ... kamu adalah Aldan?” Sedari tadi Nisa mengamati gerak-gerik orang asing itu. Dia menyimpukan demikian. “Dan kamu barusan memanggil kakek pada kakekku?”

Ilham dan semua orang pun semakin memicingkan mata terhadap orang asing itu. Ucapan Nisa ada benarnya. Jika orang asing itu bukan Aldan, tidak mungkin bakalan memanggil Ilham dengan sebutan Kakek.

Sementara Aldan berusaha mengatur napasnya agar tetap tenang dan tidak terlihat panik. 

“Aku memanggil kakek karena beliau sudah tua,” jawab Aldan tersenyum sopan menatap Ilham, tetapi dalam hatinya dia berkata. ‘karena beliau adalah kakekku.’

Namun, semua orang tidak percaya begitu saja. Wajah mereka malah semakin memerah karena amarah.

“Siapa kamu, Anjing?!” tanya Syarif mengatupkan rahang dengan mata melotot. Lalu dia mencekik leher Aldan. “Jika kamu Aldan, sekarang juga aku akan mencincang-cincang tubuhmu!”

“Jawab, setan!” murka Mukafi ikut mengintrogasi dengan mata menyala-nyala penuh amarah. 

“Jika dia diam, berarti dia adalah Aldan,” sahut Melanie ikut nimbrung.

Mendengar itu, Syarif dan Mukafi tersenyum dengan seringai tajam. Mereka menatap Aldan dengan tatapan membunuh, tetapi Aldan tetap tenang dan tidak ada gambaran rasa takut sedikitpun di wajahnya.

“Tuhan telah menjawab doa kami. Kamu sendiri yang datang. Sekarang kami akan mematahkan tulang-tulangmu!” raung Mukafi hingga air liurnya muncrat ke wajah Aldan.

“Aku akan menggantugmu dan membakarmu hidup-hidup, anak iblis!” Pembuluh darah di leher Syarif berdenyut. Dia mengepalkan tangannya dan bersiap-siap menghajar Aldan. 

“Ya bunuh saja dia. Anak iblis ini harus disiksa!” sahut salah satu tamu pesta, semua orang pun mengiyakan dan menggerakkan kakinya untuk menghajar Aldan beramai-ramai.

“Tunggu!” Ilham menghentikan mereka. “Jangan main hakim sendiri. Jika kita membunuhnya, kita tidak ada bedanya dengan Aldan. Lagian kita belum tau siapa dia. Bagaimana jika dia berkata benar? Bagaimana jika dia bukan Aldan? Lebih baik kita serahkan dia ke polisi.”

Sikap Ilham tidak bisa ditebak. Barusan dia terlihat sangat marah pada orang asing yang datang ke rumahnya, tetapi sekarang seolah-olah ingin melindungi kesalamatan anak itu dari amukan massa.

Sementara Aldan tersenyum dalam hati meskipun tangan Syarif masih mencekik lehernya. Aldan merasakan bahwa Ilham sangat menyayanginya dan tidak percaya bahwa dirinya yang sudah membunuh kedua orang tuanya sendiri.

“Tapi, Pa. Dari tadi dia—”Belum selesai Mukafi protes, Ilham mengangkat tangannya.

“Tunggu sampai kebenaran terungkap. Dan biarkan negara yang menghukumnya.”

Mukafi sangat kesal. Dia melampiaskan kekesalannya dengan lebih kuat mencekik leher Aldan, “Cepat mengaku, setan! Kamu Aldan, Bukan?! Cepat katakan!”

“Ba-gaima-na aku men-jawab.” Aldan berpura-pura batuk meskipun cengkeraman itu tidak sakit. Otot-otot lehernya sudah terlatih menahan sebuah cekikan.

Mukafi melepaskan cekikannya dengan kasar, “Cepat jawab!”

“Sudah kubilang, aku bukan Aldan. Aku hanya seorang anak yang berteman baik dengan Aldan. Dan aku bersumpah kalau Aldan tidak bersalah ... karena aku melihat dengan mataku sendiri siapa orang yang membunuh Papa Mamanya Aldan,” ungkap Aldan serius.

Mukafi, Syarif, Melanie, dan Nisa tersenyum sinis. Mereka tidak percaya dengan ucapan orang asing di hadapannya. Semua orang pun demikian.

“Baiklah. Kita tunggu saja kebenarannya. Sebentar lagi polisi akan datang menjemputmu,” tutur Syarif sambil menggerak-gerakkan kepala, memberi isyarat pada semua orang untuk menjaga orang asing itu agar tidak kabur.

Aldan mengangguk patuh dengan senyuman lebar, tetapi bola matanya bergerak memperhatikan sekitar. Dia mencari celah untuk meloloskan diri dari kepungan para tamu pesta yang tak membiarkan pergi. Aldan ingin keluar dari rumah tanpa melukai satu orang pun, tetapi dia juga harus bergerak cepat sebelum polisi datang. 

Senyum miring perlahan terbit di bibir Aldan, ‘Mereka menutup pintu utama, tapi tidak dengan pintu belakang,’ batinnya.

Aldan tiba-tiba memberikan dorongan kejutan pada Mukafi yang berdiri tepat di hadapannya hingga sedikit terhuyung ke belakang. Gerakannya sangat cepat, tubuh Aldan yang lain juga bekerja. Dia menggerakkan kakinya secepat kilat menuju arah dapur. 

Semua orang pun hanya mematung di tempat. Mereka tak sempat menangkap tubuh Aldan yang berlari super cepat.

“Ah sialan! Tangkap dia, jangan biarkan dia lolos!” titah Syarif begitu kesal, sambil berlari mengejar Aldan.

Namun, itu sudah terlambat. Aldan sudah melewati pintu dapur yang ada di belakang.

“Janc*k!” umpat Syarif kesal sembari memukul angin di udara. Dia sangat heran orang asing itu menghilang bagaikan dedemit yang tak bisa dikejar.

“Kemana dia?” tanya Mukafi yang baru sampai di belakang rumah.

“Dia kayaknya punya ilmu hitam,” respon Syarif kesal. “Ini semua gara-gara Papa. Seharusnya tadi kita gantung saja dia. Siapapun dia, aku yakin ada hubungannya dengan Aldan.”

Sementara itu,

Di sebuah lorong kecil, Aldan melepas rambut dan kumis palsu. Dia menurunkan kaca mata hitamnya, dan ternyata dirinya juga memakai topeng wajah.

Setelah meletakkan aksesoris palsu di kantong kresek hitam, Aldan melangkahkan kakinya dengan tatapan dingin dan tajam bagaikan harimau yang hendak menerkam mangsanya. Kedua tangannya mengepal dengan kuat hingga otot-otot tangannya bereaksi.

‘Dasar manusia durjana! kejahatan kalian terencana. Kalian bukan Cuma membunuh Papa Mamaku. Kalian juga membuat sanak familiku, dan semua orang membenciku. Kalian bukan manusia! Kalian tak pantas hidup! Aku berjanji akan menghukum kalian lebih dari apa yang Aku dan kedua orang tuaku rasakan!’

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   113. Dhea Belum Siap

    Di ruang tengah, Faizal dan Adelia tampak semangat mengerjakan tugasnya masing-masing. Faizal membuat beberapa akun berbagai media sosial untuk memanas-manasi perusahaan media agar meliput berita lama kasus Joshua Suherman yang masa tahanannya kurang dari 1 tahun.Sementara Adelia, dia mencari jenis-jenis kalung liontin di google. Meski matanya memerah efek tidak tdur semalaman, dia tetap semangat mencari sebuah petunjuk.“Faizal bagaimana? Sudah selesai?” tanya Adelia. Lalu dia menyruput kopi untuk memghilangkan rasa kantuk.“Sudah selesai. Tinggal menunggu respon. Semoga cepat trending. Semoga cepat dilihat dan dikomentari banyak netisen, biar seluruh media di Indonesia bakalan berlomba-lomba meliput kasus Joshua Suherman yang trending di medsos,” jawab Faizal sembari tetap bercelancar di dunia maya.“Sip. Kebobrokan hukum di Negara ini harus segera dibongkar.” Adelia mengerjap berulang kali untuk menghilangkan rasa kantuk yang semakin menyerang, dan akhirnya dia menggerakkan kedua

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   112. Bukan Malaikat Penolong

    Verra dan Rangga sudah ada di depan pintu ruangan ceo.“Selamat pagi, bu Dhea.” Verra mengetuk pintu dengan sopan.“masuk,” sahut Dhea dari dalam.Verra dan Rangga masuk ke dalam. Mereka melirik ke arah Aldan yang sudah ada di sana. Seketika mereka bernapas lega melihat asisten manager keuangan itu tampak dalam keadaan sehat.“Duduklah,” kata Dhea.“Baik, Bu.” Verra dan Rangga memilih duduk di samping Aldan.“Ada keperluan apa kalian datang kesini?” tanya Dhea.“Barusan kami melihat pak Lukman dibawa polisi. Beliau katanya ditangkap karena terbukti menyuruh karyawan lainnya untuk mencelakai Putra. Jadi kami kesini untuk memastikan kalau Putra baik-baik saja.” Verra menjawab dengan sesekali menoleh ke arah Aldan yang duduk di sampingnya.Aldan melebarkan senyuman, “Saya baik-baik saja. Tuhan menolong saya dari kecelakaan.” Aldan memposisikan diri sebagai karyawan, bicaranya lebih sopan dan formal.Verra lagi-lagi bernapas lega. Dia benar-benar mengkhawatirkan Aldan. Padahal pria yang d

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   111. Dhea Justru Ketakutan

    Aldan mengulurkan tangan, tetapi langsung ditepis oleh Lukman. “Jangan banyak gaya. Hadapi aku kalau berani!” raung Lukman penuh emosi. “Baiklah.” Aldan malah tersenyum santai. “Bapak tinggal pilih para napi mana yang ingin Bapak ajak berduel di dalam penjara.” Setelah mengatakan itu, Aldan tertawa lepas dengan mata menghina. Bahkan Dhea dan 3 orang polisi juga melemparkan tawa penuh ejekan. Tentu saja Lukman merasa terhina, tetapi keberaniannya justru semakin menciut. Tubuhnya gemetaran dengan detakan jantung yang berbunyi kencang. “Seret Pak Lukman,” titah Dhea menahan tawa. “Baik, Bu.” Ketiga orang polisi mengangguk dan melangkah mendekati Lukman. “Mau apa kalian, hah?!” bentak Lukman ketika 3 orang polisi mulai bekerja sama meringkus dirinya. “Bapak jangan melawan.” Salah satu polisi memasang borgol di tangan Lukman. “Lepaskan saya! Aku tidak bersalah!” teriak Lukman ketika 3 orang polisi mulai menyeretnya ke luar. Namun, tenaganya tak cukup untuk melawan. “Bapak ikut sa

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   110. Deal?

    “Kurang ajar! Beraninya kamu menjebakku!” teriak Lukman menatap Aldan dengan mata melotot. “Kamu tukang fitnah! Pasti kamu bersekongkol dengan Santoso 'kan? Cepat ngaku!”Aldan hanya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala ke arah Lukman yang tengah menatapnya dengan wajah merah padam. “Bangsat! Tukang fitnah!” raung Lukman sembari menunjuk kasar pada Aldan. Lalu dia menoleh ke arah Dhea dengan memasang wajah serius. “Saya harap Ibu tidak percaya dengan fitnahnya. Tidak mungkin saya melakukan perbuatan sekeji itu. Ini pasti jebakan untuk menyingkirkan saya. Putra dan Santoso pasti bersekongkol menjebak saya. Dari awal saya sudah curiga kalau Putra bukan orang baik-baik. Putra selalu berusaha menyingkirkan saya dari perusahaan. Putra punya ambisi untuk menjadi sekretaris di perusahaan cosmo indofood.”“Sudah selesai mengoceh?” sindir Dhea dengan senyuman kecut.Dhea memutar video rekaman itu kembali yang menunjukkan Santoso sedang menghubungi Lukman. Di sana diperdengarkan sang

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   109. Temuilah Akhir Riwayatmu!

    Pagi hari ini, Adelia membuat sarapan roti canai untuk Aldan dan Faizal. Mereka makan bersama-sama di ruang tengah.“Ow ya aku baru nyadar, kemarin kamu kok naik gojek? Kemana motormu?” tanya Adelia sembari menuangkan susu tambahan di roti canai.“Ow motorku rusak. Kemarin ditinggal di kantor,” jawab Aldan berbohong. Lalu dia menguyah roti canai miliknya.Sementara Faizal hanya fokus menyantap makanan di depannya, meskipun dalam benaknya sangat yakin motor Aldan rusak karena ada tangan jahil.“Eh aku berangkat ngantor dulu ya. Tukang gojeknya udah nungguin di depan.” Aldan bangkit dari duduknya sembari jari-jemarinya mengetik pesan di ponsel.“Iya, semangat. Fokus kerjanya. Urusan kalung liontin biar aku dan Faizal yang nyari,” ucap Adelia dengan senyuman kecil.“Aku juga akan mengompori beberapa media buat mengangkat kasus Joshua. Jadi Bos nikmati saja kehidupan di kantor, hehe,” sambung Faizal. Aldan tersenyum pada Faizal dan Adelia, “Thanks, aku bersyukur bisa mengenal kalian berd

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   108. Aldan Melihat Kalung Liontin

    Pada saat Adelia menuruni anak tangga pertama, dia menghentikan langkah ketika melihat di bawah sana kekasihnya sedang tidur pulas.“Nanti aja deh. Kasian aku,” gumamnya sembari memutar badan dan kembali melangkah ke dalam kamarnya.Adelia duduk di tepi ranjang dan mengamati kalung liontin berwarna putih yang ada di genggaman tangan.“Mungkinkah ini alasannya kenapa kalung ini seakan-akan menolak jika setiap kali aku ingin menguploadnya di medsos? Kalung ini ingin aku menjaganya agar gak jatuh ke tangan Hendrawan dan komplotannya, karena kalung ini bisa menjawab teka-teki siapa orang yang telah menyuruh mereka untuk membunuh orang tua Aldan,” ucap Adelia sembari membolak-balikkan benda berharga itu. “Jangan-jangan sebelum terjadinya insiden pembunuhan, pemilik kalung ini datang menemui Mamanya Aldan di rumahnya,” Adelia berhenti sejenak. Tatapannya menerawang jauh, mencoba menebak-nebak kejadian di rumah Aldan 10 tahun silam.“Dia ingin memberikan kalung ini pada Mamanya Aldan sebaga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status