Share

Latihan

Penulis: Raiha Raisha
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-24 16:01:29

“Hahhh…..Hahh….”

Raksha berlari berulang kali membuka mulutnya lebar untuk mengambil napas sebanyak mungkin. Dadanya sudah kembang kempis, jantungnya berdegup cepat, tubuhnya bercucuran keringat deras, bahkan kepalanya pun semakin pusing. Namun dia berusaha sekuat mungkin untuk terus menapakkan kakinya yang sudah pegal itu untuk terus berlari memutari bukit sekitar 10.000 kaki dari desanya.

Raksha berlari semenjak tengah siang hingga langit kian jingga. Kedua pergelangan tangan dan kakinya diikat rantai besi dari gurunya. Rantai itu adalah rantai khusus yang membuat kekuatannya tertahan sehingga dia tidak bisa melepaskan seluruh tenaga dalamnya. Gurunya bilang rantai ini biasa dipakai Prajurit Kerajaan Kanezka untuk melemahkan Pendekar Dunia Arwah.

“Berlarilah sekuat yang kau bisa, Raksha. Putari bukit ini.”

“Berapa putaran, guru?”

“Sebanyak yang kau bisa….sampai kau sadar kalau berlatih menjadi pendekar Dunia Arwah tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.”

Sekilas, Raksha mengingat kembali percapakan terakhirnya dengan gurunya sebelum dia mulai disuruh berlari mengitari bukit dekat desanya. Memang, setelah menjalani latihan berat ini, dia tidak merasakan sedikit pun antusias yang sama seperti sebelumnya. Hanya ada rasa nyeri, lelah, dan pahit. Sempat terpintas berkali-kali keinginan untuk menyerah. Namun pada akhirnya, dia tetap memilih untuk mengangkat kakinya dan menganyun kedua lengannya untuk lanjut berlari.

Raksha terhuyung, Lututnya yang sudah lemas membuat dia tersandung lalu terjatuh. Dia tersungkur sejenak sambil mengatur napasnya. Kulitnya serasa terbakar karena panas tubuhnya. Semua rasa antusias yang dia rasakan sebelum memulai latihan ini luntur saat rasa sakit di tiap ototnya itu menerpa. Rasa sesal berulang kali menyelimuti hatinya, tetapi pada akhirnya, dia lanjut merangkak sambil menunggu rasa sakit di kakinya mereda.

Setelah dirasa sudah kuat lagi, Raksha bangun. Dia tidak langsung berlari, tetapi berjalan perlahan, mempersiapkan tubuhnya lagi, lalu lanjut berlari pelan. Rasa sakit dan nyeri kembali menusuk, tetapi Raksha memfokuskan dirinya untuk mengatur tempo napas dan kecepatan larinya untuk meredakan semua kesakitan itu. Hal yang dia tuju adalah konsisten untuk terus berlari.

Langit jingga di sore kala itu perlahan gelap, menandakan malam telah tiba. Raksha tidak sadar kalau di belakangnya, Jayendra berjalan cepat mengikutinya dari belakang entah sejak kapan. Raksha lari lambat sehingga Jayendra masih bisa mengimbangi kecepatannya.

“Kau lari dari pagi sampai malam, Raksha.” ujar Jayendra di sebelah Raksha. Muridnya itu tampak kaget, tetapi dia masih mempertahankan kecepatan larinya.

“Y-ya….guru….” Raksha langsung terengah-engah hanya untuk menjawab gurunya itu.

“Kau menyiksa dirimu lebih dari yang seharusnya, Raksha. Apa kau begitu inginnya menjadi Pendekar Dunia Arwah?”

“Bukan itu, guru. Aku tidak punya pilihan lain.”

“Tidak punya pilihan lain?”

“Aku lebih baik mati saat berlatih seperti ini darpiada aku mati dalam kesedihan ditinggalkan keluargaku dan direnggut kebebasanku”

Jayendra tersenyum. Dia melihat tatapan muridnya yang nanar dan kabur. Tangannya bergerak cepat untuk merangkul Raksha yang tumbang karena sudah tidak kuat lagi. Dia bisa merasakan muridnya masih mendorongnya perlahan untuk lanjut berlari, tapi ketika dia melihat tatapan kosong muridnya, dia tahu kalau Raksha sudah kehilangan kesadaran. Muridnya ini benar-benar berupaya untuk menembus batasan pada dirinya, pikir Jayendra sambil tersenyum.

“Cukup, istirahatlah, muridku. Kita akan lanjutkan ini di tengah malam.” Jayendra mengusap sekilas kedua mata muridnya itu hingga tertutup. Dia lalu melepas rantai yang mengikat kedua pergelangan tangan dan kaki muridnya. Tepat setelah itu, Raksha tersungkur pingsan

***

“Ah!”

Raksha mendadak bangun dengan perasaan gundah. Langit malam penuh bintang adalah hal pertama yang dia lihat. Rasa nyeri dan letih yang melanda tidak lagi menahan tubuhnya sehingga dia reflek lanjut berlari untuk mengelilingi bukit walau kesadarannya belum sepenuhnya pulih.

Sebelum Raksha menapakkan kakinya lagi, dia reflek berhenti ketika melihat mayat harimau ada didepannya. Darah harimau itu masih mengucur dari lehernya yang robek, tetapi Raksha yakin kalau harimau itu telah mati karena dia tidak mendengar suara hembusan napas dan dadanya pun tampak datar.

“Kau sudah bangun, Raksha.”

“Guru?!” Raksha kaget karena baru sadar gurunya itu tengah duduk di batu besar yang ada sekitar 15 kaki di sebelahnya.

“Saya akan lanjut ber-“

“Jangan. Lanjutkan saja besok pagi. Sekarang kita akan fokus pada pengendalian arwah.” sela Jayendra.

Raksha merasakan tubuhnya lebih ringan dari biasanya. Dia baru tahu ternyata rantai di pergelangan tangan dan kakinya hilang, yang berarti gurunya telah melepaskannya.

“Harimau itu hampir memangsamu ketika kau tertidur.” Jayendra menunjuk bangkai harimau yang ada didepan muridnya.

Di Nusantara ini, selain hewan buas yang dapat mengancam siapapun, ada juga siluman yang dapat menyerang untuk memangsa manusia dengan taruhan nyawa. Semenjak pendekar Dunia Arwah diburu, para siluman kian buas sehingga Pendekar Pedang Cahaya harus turun tangan untuk membasmi mereka. Hal ini berbeda dengan Pendekar Dunia Arwah yang menjinakan siluman dengan ritual dan menyuguhkan sesajen sehingga para siluman tidak mengganggu manusia.

Raksha menelan ludahnya. “T-terima kasih, guru….”

“Dia baru saja mati, Raksha. Bagi pendekar dunia arwah pemula sepertimu, membangkitkan arwah untuk mahluk yang baru saja mati jauh lebih mudah. Cobalah.”

Raksha sebenarnya masih bingung ketika mendengar instruksi gurunya. Dia membuka perban yang melilit lengan kirinya seraya mengingat kembali momen dimana dia menyerap arwah prajurit dulu.

Tepat setelah itu, lengan kiri Raksha memancarkan aura ungu tua yang menekan. Semakin dia memfokuskan diri pada aura itu, dia merasakan kalau lengan kirinya itu terhubung dengan tangan mistis yang kuat dan tangguh yang bisa dia gunakan untuk merenggut sesuatu yang menjadi sasarannya.

Raksha menatap cermat mayat harimau yang ada didepannya itu. Dia tidak hanya melihat jasad, tetapi juga api ungu kehitaman yang redup didalam jiwanya. Dia tahu api ungu kehitaman itu tidak bisa dilihat oleh sembarang, kecuali pendekar dunia arwah.

“Apa yang kau lihat adalah arwah murni si harimau sebelum dia pergi ke dunia arwah, Raksha. Kau bisa merenggutnya untuk membuat dia menjadi prajurit arwahmu.” Jayendra menjelaskan.

“B-baik, guru….” balas Raksha meyakinkan dirinya sendiri.

Raksha menghampiri jasad harimau itu lalu meraih perlahan api ungu kehitaman didalamnya dengan telapak tangan kirinya yang menembus masuk ke dalam jasad sang harimau. Rasanya seperti merogoh jeroan binatang dengan tangannya sendiri, pikirnya.

Raksha bisa merasakan sensasi hangat ketika dia menggenggam api jiwa sang harimau. Namun rasa hangat itu mendadak berganti menjadi sengatan panas yang perih. Dia hampir menjerit karena panas yang menusuk. Dia bahkan bisa mendengar suara auman harimau yang menggelegar dalam kepalanya.

“AUUMMM!!!”

“A-apa ini?!”

“Jangan takut, Raksha! Arwah pasti akan memberontak apabila kau ragu dan takut! Tunjukkan padanya kalau kau adalah pimpinan mereka! Kau adalah raja mereka yang baru!”

Raksha menguatkan cengkeraman tangan kirinya, tetapi auman sang harimau malah lebih keras, begitu juga dengan panas yang menusuk sepanjang lengan kanannya. Kalau dia biarkan, dia tahu kulit lengannya akan melepuh.

“Tidak ada artinya kalau kau menekannya dengan kekerasan, Raksha!” tegur Jayendra.

Raksha perlahan melonggarkan cengkeramannya, tetapi tangannya masih menggenggam keras ‘jantung’ dari api jiwa sang harimau. Rasa perih dari panas yang mendera masih terasa, tetapi tidak separah sebelumnya.

“Jangan buat ini semakin sulit. Aku butuh bantuanmu, harimau. Jadilah prajurit arwahku maka akan kulindungi kau dari segala bahaya yang membahayakan jiwamu.” Raksha menyerukan itu dalam hati, berharap api jiwa sang harimau mengerti.

Tidak ada lagi auman sang harimau. Panas yang semula menyelimuti pun perlahan hilang, lalu kembali dingin. Raksha tidak lagi mencengkeram api jiwa sang harimau karena api itu kini melilit lengan kirinya, seolah menyatu dengan tubuhnya.

“….terima kasih.” Raksha lega karena dia bisa merasakan arwah sang harimau ada dalam genggamannya. Perlahan dia menarik lengan kirinya dari jasad sang harimau.

Raksha membuka telapak tangan kirinya lalu memunculkan api jiwa sang harimau yang lalu memendar menjadi sosok harimau yang diselimuti api ungu kehitaman di sebelahnya. Sosok arwah harimau itu menunduk penuh hormat di hadapannya.

“Bagus, kau berhasil, Raksha.” Puji Jayendra.

“Ya, guru.” balas Raksha singkat seraya bersimpuh hormat pada gurunya.

“Para arwah memilihmu menjadi pimpinan bukan karena kekuatan semata, tetapi juga karena kekuatan hatimu. Ingat itu baik-baik kalau kau tidak mau ditinggalkan oleh prajurit arwahmu.” Jayendra beranjak dari batu besar tempat dia duduk.

“Masih banyak latihan untuk menyempurnakan kemampuan silat dan pengendalian arwahmu, Raksha. Ini baru permulaan. Bersiaplah menghadapi semua latihan ini kalau kau ingin mengalahkan prajurit Kanezka yang menjajah desamu.”

Raksha mengepalkan kedua tangannya keras karena kebencian dan dendam yang begitu besar akan kezaliman prajurit Kanezka. Dia telah diberi kesempatan untuk membalas dan dia bersumpah tidak akan menyia-nyiakan semua ini.

“Siap, guru!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dendam Titisan Ashura   Mencari Bantuan

    “Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna

  • Dendam Titisan Ashura   Ancaman Keluarga Mahadri

    “Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber

  • Dendam Titisan Ashura   Kembali ke Pulau Udayana

    “Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan

  • Dendam Titisan Ashura   Perginya Sang Buto Ijo

    “Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta

  • Dendam Titisan Ashura   Menolong Keluarga Jagadita

    “Raksha, biar aku yang urus ini.”Raksha berhenti melangkah sejenak ketika Sena memintanya sembari mengacungkan tongkat emasnya ke arah pintu goa yang ada di depannya itu. Hanya dengan satu hantaman, puing-puing batu yang menutup pintu goa itu hancur seketika oleh serangan Sena. Kini Sena dan Raksha bisa melihat sosok Rakshasas yang mengaung layaknya harimau raksasa yang hendak menerkam mangsanya, yakni Ardiman, Wanda, dan puluhan Pendekar Dewa Angin lainnya.“Astaga…baru pertama kali kulihat monster sebesar ini…” Sena mengencangkan pegangan tongkat emasnya sambil bersiaga penuh.“Monster itu masih mengincar Adriman. Kita punya kesempatan untuk menyerangnya dari belakang.” ujar Raksha sambil membuat telapak tangan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sehingga membentuk pisau keris. Telapak tangan kirinya yang sudah menggenggam erat pisau kujang emas membuat dia semakin sigap dengan kemampuan silatnya.Namun Raksha tahu kalau Rakshasas bukanlah siluman biasa yang mud

  • Dendam Titisan Ashura   Munculnya Raksahsas

    “Wanda…bersiaplah. Akan kita serang mereka lagi sekaligus dengan jurus angin sakti!”Seruan keras Ardiman membuat Wanda langsung bersiaga sembari memasang kuda-kuda tegak. Dia melihat pusaka syal hijau pamannya kini memancarkan cahaya hijau sehingga angin tornado berputar kencang mengitari tubuh mereka dan pasukannya.Tepat setelah Ardiman mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lima pengawal arwah elit yang sebelumnya menyerangnya, dia kini ikut mengarahkan telapak tangan kanannya. Angin kencang yang kini terkumpul di pusaka syal hijau Ardiman menguat, bersamaan dengan puluhan pendekar dewa angin yang baru saja menyembuhkan lukanya lalu ikut berkonsentrasi sehingga angin tornado Ardiman berputar semakin kencang.“Lima prajurit arwah itu tidak menyerang, paman! Ini kesempatan kita!” seru Wanda semangat.“Ya, kita-“Ardiman tiba-tiba berhenti menyeru ketika tanah yang dia, Wanda, dan puluhan prajuritnya pijak berguncang keras, sampai-sampai mereka hampir kehilangan keseimbangan dan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status