"Tolonglah, Dinda Rukmini. Aku yakin engkau pasti bisa membantuku," bujuk Dewi Ayu Candra pada Dewi Rukmini. Untuk yang kesekian kalinya. Saudara sepupu Dewi Rukmini itu memohon pada Sang Ratu.Dan untuk yang ke sekian kalinya pula, Dewi Rukmini menggeleng. "Ma'afkan aku, Yunda. Aku benar-benar tidak abisa membantumu. Tidak elok bagi seorang wanita untuk mengulurkan perhatian terlebih dahulu pada seorang pria."Dewi Ayu Candra mendengus kesal. "Kenapa kamu tidak mau membantuku? Apakah kamu iri padaku? Karena aku lebih cantik dan lebih memesona daripada dirimu?" ejek Dewi Ayu Candra.Seketika Bik Nara melihat Dewi Ayu Candra dengan mulut ternganga. Dan menyeletuk tanpa diduga, "Apakah saya perlu mengambil cermin besar yang ada di kamar panjenengan, Gusti Putri Dewi Ayu?" Bik Surti langsung membekap mulutnya sendiri yang hampir keluar suara tawanya. Ucapan Bik Nara itu membuat emosi Dewi Ayu Candra meledak. "Kamu menghina aku, Bik Nara! Kuhukum kau!" teriak Dewi Ayu Candra kalap.Dewi
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" hardik Dewi Laraswati pada Dewi Rukmini yang berdiri tertegun di hadapannya. "Nyuwun pangapunten, Gusti Putri. Dewi Rukmini ini adalah Raja di Kerajaan Sanggabumi ini Gusti Ratu kami yang harus dihormati oleh seluruh rakyat negri Sanggabumi. Tidak sepatutnya panjenengan berkata keras dan kasar pada junjungan kami, rakyat Sanggabumi," sergah Ki Suryo. Dia tidak bisa menahan diri melihat Dewi Rukmini dibentak-bentak oleh orang baru di istana Sanggabumi.Dewi Laraswati mendekati Ki Suryo dengan pongahnya. Dia tempelkan dadanya di dada Ki Suryo. Lants didorongnya dengan satu kali hentakan dada. Lelaki tua itu terjatuh terhuyung ke belakang. Nyi Suryo seketika memekik. Dia segera membantu suaminya agar tidak jatuh membentur meja panjang di belakangnya."Duh, Gusti Putri ... mohon ampun," ucap Nyi Suryo. Dia menopang tubuh bagian belakang Ki Suryo. Kepalanya menggeleng-geleng sembari mengelus dada. "Kami hanya rakyat kecil, Gusti Putri.""Makanya kamu
"Kalimat apa itu yang kamu gumamkan?" tanya Bik Nara pada Dewi Laraswati. Sesaat setelah mendengar gumaman Dewi Laraswati itu, Bik Inah keluar dari kamar Sang Prabu dan menghampiri Dewi Laraswati yang berdiri bersandar di dinding."Bukan urusanmu, Emban Tua!" desis Dewi Laraswati semabri menghunjamkan pandangan tajam tepat di manik mata Bik Nara.Bik Nara memicingkan mata, mengerutkan kening dan berkata tajam pada Dewi Laraswati dengan suara lirih, "Kamu pasti paham hukuman bagi pelaku tatayi. Hukuman mati tanpa proses. Demi memberikan kebenaran, aku berani mempertaruhkan nyawaku. Keluarga Gusti Prabu telah menanamkan hutang budi padaku. Aku akan bayar dengan kesetiaanku sebagai abdi dalem,"Dewi Laraswati mencebik. "Tak akan pernah ada yang memercayai ucapanmu. Kastamu lebih rendah daripada kastaku. Dan ingat, Emban Tua. Aku bisa melakukan apapun tanpa menyentuh, dengan keadaan tanganku bersih." Dewi Laraswati terbahak keras.Dewi Rukmini yang tengah menemani Prabu Arya Pamenang berk
Wanita sepuh itu menangis terisak di pangkuan Sang Ratu, Dewi Rukmini. Memohon agar Sang Ratu memercayai perkataan dan kesaksiannya."Punten dalem sewu, Gusti Ratu. Apa yang saya sampaikan adalah hal yang sebenarnya terjadi. Saya mendengar dengan jelas semua ucapan Dewi Laraswati." Untuk yang kesekian kalinya Bik Nara memohon kepercayaan Dewi Rukmini."Bik, percayalah padaku. Aku sangat memercayaimu. Tidak usah Bik Nara pikirkan mengenai masalah atau tidaknya. Yang mesti kita pikirkan adalah buktinya. Agar kesaksianmu tidak terbantahkan." Dewi Rukmini menggenggam erat tangan emban setianya itu."Tapi ... bagaimana caranya, Gusti Ratu?" tanya Bik Nara sambil mengerjap-ngerjapkan matanya karena pedas menahan air mata yang terus mendesak keluar."Hal itu yang tengah aku pikirkan. Ayo, Bik, kita keluar sebentar. Mungkin dengan melihat indahnya bunga-bunga di taman keputren bisa menyegarkan pikiran kita. Hingga kita bisa menemukan ide untuk mencari pembuktian itu." Dewi Rukmini kantas menar
"Saya sudah menyampaikannya pada Bejo, Gusti Ratu." Bik Nara terengah-engah ketika sampai di dekat Dewi Rukmini. Demi mengejar waktu, Bik Nara terpaksa berlari pulang pergi ke tempat ruangan para prajurit pengawal."Apalagi yang akan kita lakukan, Gusti Ratu? Saya siap mendapat perintah apapun demi memperjuangkan nama baik saya. Tapi jika sekiranya nama baik saya tak bisa lagi saya perjuangkan, biarlah wangi bunga Wijayakusuma yang akan menghantarkan sukma saya ke swargaloka, saat jasad saya tiba di pasetran nanti." Ucapan Bik Nara itu lebih terdengar bagai sebuah ucapan putus asa. "Tenang saja, Bik. Gusti Pangeran Kang Moho Agung tidak akan mungkin membiarkan kebenaran menghilang dari muka bumi. Kita hanya butuh waktu dan bukti." Dewi Rukmini berkata dengan pandangan mata yang tak lepas mengarah ke lorong penjeda antara bangunan puri istana dengan bangunan keputren. Ada lorong sejarak lima badan manusia dewasa yang berakhir di halaman belakang puri istana.Kabut bertambah tipis, sei
Tak terbilang rasa malu yang mengendap dalam hati Patih giga Pangeran Rangga Aditya. Mendapati kenyataan bahwa saudara sepupunya itu melakukan hal nista. Apalagi dia tengah menjalani masa ujian untuk dapat mendapatkan pengukuhan sebagai patih resmi kerajaan. Masih sembilan masa lagi yang harus dijalaninya. Dan kini semuanya hancur.Patih satu Diro Menggolo sangat memahami apa yang ada di dalam hati Patih tiga Pangeran Rangga Aditya. Dia menepuk pelan bahu patih muda itu dan berusaha menenangkannya. "Jangan kuatir, Ananda Patih. Gusti Ratu Dewi Rukmini adalah seorang pemimpin negri yang sangat bijak, meskipun keras dalam memegang prinsip dan peraturan. Sifatnya itu menurun dari kakeknya, Prabu Saloko Ageng., ayahanda dari Prabu Arya Pamenang. Tenanglah," ujar Patih satu Diro Menggolo."Baik, Paman Patih," jawab Patih tiga Pangeran Rangga Aditya. Dia hanya bisa mengangguk tanpa bisa berkomentar apa-apa lagi. Sepanjang menanti kehadiran Dewi Rukmini di balairung istana, dia terus menund
"Bagaimana bisa panjenengan meninggalkan kami, Gusti Ratu?" tanya Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan mata berkabut. Dialihkannya pandang mata berkabut itu ke arah lain. Tak ingin Dewi Rukmini melihat kesedihannya."Aku harus pergi, Kangmas Dimas." Dewi Rukmini pun menatap ke arah lain. Mereka kini saling membelakangi. "Aku kini bukan penguasa di Kerajaan Sanggabumi lagi. Jadi panggil saja namaku sebagai sahabatmu, bukan sebagai ratumu. Seperti hari-hari yang dulu."Patih dua Dimas Bagus Penggalih berusaha keras agar air matanya tak luruh. Dia seorang laki-laki dan juga seorang patih, petinggi istana. Tidak boleh memiliki jiwa yang lemah. Tidak boleh berurai air mata.Namun, Patih dua Dimas Bagus Penggalih tetaplah seorang manusia biasa. Dia memiliki hati, memiliki perasaan. Batinnya pasti akan hancur jika kehilangan seseorang yang sangat disayangi."Bertahanlah, Rukmini. Bukankah ada aku yang akan selalu mendampingimu? Ingatkah kamu akan janjimu? Bahwa kita akan selalu bersama samp
"Sudah hampir malam. Lihat langit sudah mulai beranjak gelap. Nanti Batara Kala muncul memakan kalian," ujar Patih satu Diro Menggolo seraya menatap langit petang yang hampir berganti warna.Dewi Rukmini dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih masuk ke dalam istana. Seiring dengan suara derak pintu besi yang ditarik oleh oara pengawal istana."Paman Patih, bisakah kita bicara sebenta" tanya Dewi Rukmini pada Patih satu Diro Menggolo yang berjalan di belakangnya. "Duli, Gusti Ratu. Saya selalu siap kapanpun Gusti Ratu memerlukan saya." Patih satu Diro Menggolo menghentikan langkahnya tepat di depan pendopo keputren."Mari kita ke ruang utama keputren. Kangmas Dimas juga," ajak Dewi Rukmini. Mereka berdua mengikuti langkah Dewi Rukmini masuk ke dalam ruang utama keputren. Ruangan keputren yang luasnya separuh dari ruang utama puri istana, terlihat begitu asri dengan banyaknya bunga yang ditempatkan dalam guci-,guci keramik kecil. Semua perabotan yang ada dalam ruang utama keputren berlapi