Fitnah dan pengkhianatan menjatuhkan Lady Eveline ke tiang eksekusi atas kesalahan yang tak pernah ia lakukan. Dicap sebagai penggoda Putra Mahkota, reputasinya hancur tanpa ampun. Namun, ketika pedang hendak mengakhiri hidupnya, Eveline terbangun setahun sebelum kehancurannya. Berbekal ingatan masa depan dan tekad yang membara, ia bersumpah untuk mengubah takdirnya. Ia tak ingin lagi menjadi gadis bodoh yang mengejar cinta Putra Mahkota, melainkan menjadi wanita kuat yang berani membalas dendam kepada mereka yang telah menghancurkannya—termasuk pria dingin itu sendiri. Terjebak dalam intrik keluarga, persaingan dengan saudara tiri yang licik, dan bahaya istana, Eveline harus mengumpulkan keberanian untuk melawan sebelum kehancuran itu benar-benar kembali menjemputnya.
View MoreSuara genderang malam berdentum pelan, menyelimuti halaman istana batu yang lembap setelah hujan. Obor-obor menyala di sepanjang pelataran, menampakkan bayangan seorang wanita dengan gaun compang-camping dan rambut panjang berantakan, berdiri dengan kaki telanjang di tanah becek.
Tubuhnya penuh luka, garis-garis biru lebam membentang di sekujur tubuhnya. Matanya sayu, nyaris padam, seolah berada di ambang kematian. Lady Eveline Valtieri. Putri Duke Armand Valtieri. Wanita yang selama ini disebut penggoda Putra Mahkota. Villainess kerajaan. Dia berdiri sendirian di hadapan puluhan pasang mata bangsawan dan para pengawal, tanpa satu pun yang membelanya. Di atas balkon tinggi dengan ukiran singa emas, seorang pria berdiri dengan wajah dingin dan mata setajam pisau. Putra Mahkota Kaelion Dravenhart. Pria yang dikenal sebagai penguasa masa depan yang kejam, yang akan membunuh siapa pun yang berani menghalangi jalannya menuju takhta. Dingin, bengis, tanpa ampun. Tatapan Kael jatuh ke arah Eveline, seolah dia hanya seekor hewan yang siap dikuliti di hadapannya. “Lady Eveline Valtieri,” suara algojo menggema, menciptakan gema di halaman istana. “Atas tuduhan pengkhianatan terhadap keluarga kerajaan, hukuman mati akan dilaksanakan malam ini.” Eveline tersenyum kecil, getir. Seumur hidupnya, dia dijuluki sebagai wanita licik yang hanya menginginkan kekuasaan, menggoda Putra Mahkota demi kehormatan keluarganya, tanpa ada yang mau melihat kebenaran di balik reputasi kotornya. Tidak ada yang tahu, termasuk pria yang menatapnya dari balkon, bahwa semua ini adalah jebakan. “Ha... haha... hahahaha.” Tawanya menggema di halaman istana. Lebih menyakitkan daripada ketidakpedulian orangtuanya yang membiarkannya dipermalukan di hadapan semua orang. “Berhentilah tertawa, Eve!” suara Duke Armand membentak, namun goyah. Bukannya berhenti, Eveline justru tertawa lebih keras, seolah ucapan ayahnya adalah lelucon kejam yang pantas diejek. Putra Mahkota mengangkat tangannya, membuat semua orang diam. “Ini hukuman yang pantas kau dapatkan, Lady Eveline,” suara Pangeran Mahkota, terdengar dingin dan dalam. Eveline mengangkat kepalanya, menatap bintang-bintang di langit yang tampak redup malam itu, seperti menantikan sebuah mukjizat yang tidak akan pernah datang. Ia mengabaikan sang pujaan hati, angin malam menusuk tulangnya, membuat tubuhnya gemetar, tapi bukan itu yang menakutinya. Bukan kematian. Tangannya turun, menyentuh perutnya yang masih rata. Rahasia yang bahkan tidak diketahui oleh ayahnya, atau siapa pun di istana ini. Rahasia yang dia sembunyikan sejak malam itu, malam ketika takdirnya berubah dalam satu kejadian yang tidak pernah ia inginkan. Putra Mahkota. Kaelion. Dia menatap ke balkon, tepat ke arah pria itu, dengan mata yang tidak lagi menunjukkan ketakutan, hanya kemarahan dan tekad. “Aku akan kembali,” bisiknya pada angin, pada dewa-dewa yang mungkin masih mendengar. “Demi diriku. Dan demi darah dagingku. AKU AKAN KEMBALI KAEL... AKU AKAN KEMBALI.” Bersamaan dengan itu, suara pedang ditarik dari sarungnya memecah keheningan. Algojo mengangkat pedang itu tinggi, pantulan obor menari di atas bilahnya. Waktu seperti melambat. Matanya menatap mata Kael untuk terakhir kalinya. Hanya satu detik—dia melihat sesuatu di sana. Penyesalan. Sesuatu yang tidak seharusnya ada di mata seorang pria dingin seperti Kael. Tapi terlambat. Pedang turun dengan cepat, menembus kulit dan tulang, meninggalkan rasa dingin yang merambat dari leher hingga ke seluruh tubuh. Tubuhnya ambruk ke tanah becek, darah hangat membasahi tanah di bawahnya, bercampur dengan lumpur, menimbulkan aroma besi yang menyesakkan. Gelap. Hening. Suara jeritan para wanita bangsawan terdengar samar, tapi perlahan semuanya menghilang, digantikan suara petir yang menggelegar, hujan turun dengan deras, menyapu kehampaan yang menelan tubuh dan jiwanya. Namun, saat dunia gelap benar-benar menelannya, Eveline merasakan sesuatu yang aneh. Seperti tarikan lembut yang mengangkatnya dari kehampaan, membawa kesadarannya kembali. Saat matanya terbuka, dia mendapati dirinya menatap langit-langit kamarnya, sebuah kastil tua di belakang kediaman duke Valtieri. Helaan napasnya berat, keringat dingin membasahi punggungnya, dan tubuhnya menggigil hebat. Dia bangkit, matanya menatap sekitar, mendapati cermin besar yang memantulkan bayangan seorang gadis muda dengan mata penuh amarah dan ketakutan. Dia hidup. Dia kembali. Tangannya yang gemetar terangkat, meraba wajahnya sendiri, merasakan kulit hangat dan nafas yang masih berembus. “A-aku... hidup?” suaranya parau, tercekat di tenggorokan, matanya bergetar menatap bayangannya sendiri di cermin. Seolah baru bangun dari mimpi buruknya. Eveline mmejamkan matanya sejenak, napasnya terhenti untuk beberapa detik. Kilas bayangan itu terlihat mengerikan, terasa nyata dan menyesakkan. “Entah ini adalah mimpi buruk, atau kau memberiku kesempatan untuk hidup? Akan... Akan ku pastikan, hidupku tidak akan mendekati kematian, lagi.” Seketika itu juga, Eveline Valtieri mengepalkan tangan, menahan getar tubuhnya. Kali ini, dia akan melindungi dirinya sendiri, menjauh dari sang Putra Mahkota, dan menghancurkan siapa pun yang berani mengambil segalanya dari dirinya lagi. Tidak ada yang dapat menghentikannyanya, termasuk Putra Mahkota, Kaelion Dravenhart... Dia akan menjadi iblis yang siap menyeret sang Putra Mahkota jatuh ke dalam neraka bersamanya.Ruangan itu begitu dingin dan mencekam, bukan tanpa sebab—tapi... aura Putra Mahkota begitu mengerikan, seolah akan meledak kapan saja. “Yang Mulia, apakah anda butuh istirahat?” tanya Sir Alberto. Pasalnya selain terlihat lelah, mata pria itu juga seakan menyimpan berubah pikiran yang tampak jelas.“Aku telah menyuruhmu diam, Alberto,” ucap Kael, suaranya bgitu dingin dan menusuk di setiap kata.Sir Alberto langsung menunduk. “Maafkan saya, Yang Mulia—Putra Mahkota.”Kael tidak mnanggapi lagi. Matanya berotasi membaca kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Setiap huruf, setiap angka, tampak menelannya dengan intensitas yang membuat udara di sekitarnya semakin terasa berat dan dingin.“Kalian memang tidak becus,” geram Kael, ia menahan amarah yang nyaris meledak. Pencarian Lady Eveline sudah dilakukan sebulan penuh, sayangnya wanita itu seolah hilang di telan bumi... tanpa jejak, dan mungkin saja wanita itu sudah tiada. Ia ingin melihat sendiri jasadnya, dengan matanya sendiri.
Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, akhirnya roda gerobak mereka melintasi gerbang besar ibukota Idoryn. Senja baru saja turun, menyapu langit dengan warna keemasan, hiruk pikuk kota menyambut kedatangan mereka. Jalanan ramai dipenuhi oleh pedagang, warga, dan juga para penjaga yang lalu lalang.Joren menghirup udara segar, “Inilah Aderyn, ibukota Idoryn.” ucapnya, sembari menahan tali kekang kudanya.Anya menatap sekeliling dengan mulut yang setengah terbuka, kagum akan bangunan megah, bendera-bendera kerajaan yang berkibar di setiap sudut jalan, serta cahaya lentera yang mulai dinyalakan di depan toko-toko.“Indah sekali... aku bahkan tidak tahu, jika ibukota Idoryn bisa semegah ini," ujar Anya pelan.“Beruntung, karena kau sudah menginjakkan kakimu di Idoryn, Nona Anya,” sahut Joren.Berbeda dengan Anya, yang mengagumi kota itu—Eveline hanya diam, tatapannya lurus seolah sedang memikirkan sesuatu. Ia menunduk sesaat, menatap tangannya yang masih dibalut oleh kain putih di nal
Pagi itu, Eveline, Anya, dan Joren sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Eveline berdiri di depan cermin, ia menatap pantulan dirinya. Gaun berwarna biru tua membalut tubuhnya, dengan lapisan luar gaun panjang itu terbelah di depan, menyingkap kain putih di bagian dalam. Gaun itu dilapisi lagi oleh jubah hitam miliknya, begitu elegan, seolah menambah kesan anggun pada Eveline. menghela napas dalam-dalam.Ia menunduk, lalu menyingkap lengan pakaiannya. Balutan kain putih masih membelit lengannya, untungnya obat yang diberikan Tetua Lunar—bekerja lebih cepat. Meski masih merasakan nyeri, namun tidak begitu parah, seperti beberapa hari yang lalu.“Hah...“ Eveline menghela napas berat.“Bawalah ini, Nona Anya." Suara Tetua Lunar terdengar dari luar kamar, disusul balasan sopan dari Anya. “Terima kasih, Tetua Lunar.”Tidak lama kemudian, Anya melangkah masuk sembari membawa dua kantung kain ditangannya. Kain itu berisi ramuan obat dan gulungan kain bersih untuk mengganti perban pad
Sore itu, sinar matahari mengintip dari celah jendela kamar, menciptakan bayangan semu di lantai rumah Tetua Lunar. Eveline duduk bersandar di sisi ranjang, matanya menatap keluar dengan pandangan kosong. Rasa bosan mulai menjalari pikirannya, terhitung sudah empat hari mereka berada di Lunar—ia hanya bisa berbaring dan duduk, tanpa bisa bergerak dengan leluasa. “Hah...” Eveline mendesah pelan, tangannya belum sepenuhnya pulih—masih terasa sakit jika digerakkan, dan itu menggangunya. “Bagaimana ini,” gumamnya pelan. “Aku tidak bisa hanya berdiam diri.” Pikiran Eveline menerawang jauh, ia harus segera sembuh. Ia tidak bisa menunggu siapa pun, termasuk menunggu dirinya agar cepat pulih. Menjadi pengawal istana bukanlah hanya ambisinya semata, tetapi agar ia juga dapat belajar banyak sebelum kembali ke Eldoria. Dewa telah memberinya kehidupan kedua, dan kali ini—ia berjanji, tidak akan menyia-nyiakan itu dan memastikan hidupnya memiliki tujuan yang jelas. “Tentu saja, tujuanku ada
Kicauan burung terdengar samar, seolah menyuruh orang-orang bangun dari mimpi mereka. Di kamar yang sederhana itu, Eveline berbaring dengan kanannya terlipat di atas, sedangkan tangan kirinya yang terluka berada di sisi tubuhnya.Kening Eveline bergoyang dan mengernyit, perlahan matanya terbuka. Wanita itu diam memandangi langit-langit kamar yang masih kabur di penglihatannya. Tubuhnya terasa ringan, dan kain lembap seperti menyentuh keningnya. Tangan kanannya terangkat, menyentuh kain itu.Eveline lalu menoleh ke samping, matanya menangkap sosok Anya yang duduk di kursi kayu dengan mata terpejam.“Shh…” desisnya, ketika tangan kirinya terasa sakit saat akan digerakkan. Eveline menatap kain putih yang membalut lengannya.Butuh beberapa detik sebelum ia bisa mengingat semuanya, para bandit-bandit itu. Kabut di pikirannya perlahan-lahan menipis, menyisakan rasa ngilu yang mengiris di bahu hingga ke lengan. Ia mengerang pelan, cukup pelan untuk tidak membangunkan Anya yang tertidur di ku
Luka akibat tusukan belati di lengan Eveline kembali dibersihkan oleh Tetua Lunar. Darah segar sempat merembes keluar, membuat Anya panik setengah mati.“Aku akan membersihkan lagi luka Nona Eve,” ucap Tetua Lunar, suara tuanya tenang namun penuh ketegasan. Ia mengelap luka itu pelan, berhati-hati agar tak menyakiti lebih dalam.Joren duduk di sisi lain, memegang sebuah wadah tanah liat berisi air hangat yang telah dicampur dengan daun sirih dan kulit kayu yang ditumbuk halus. Air itu berwarna kecokelatan dan menguarkan aroma tajam herbal yang menyengat.Dengan gerakan perlahan, Tetua Lunar menyiramkan air ramuan itu ke luka Eveline, sedikit demi sedikit. Cairan hangat itu membuat Eveline mengerang pelan, tubuhnya menegang sesaat, namun matanya tetap terpejam. Wajahnya masih pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Apa ini tidak apa-apa?” tanya Anya cemas, kedua tangannya menggenggam erat lengan Eveline.Tetua Lunar menatapnya sekilas, lalu menggeleng pelan. “Tenang saja, Nona. A
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments