Lestari menyambut kedatangan, Ambigu. Wanita tua berkulit kusam keriput, dengan rambut putih digelung itu tampak begitu khawatir, melihat tubuh lusuh cucunya. Bahkan semalam dia tidak bisa tidur hanya karena memikirkan Ambigu. Perasaan takut dan khawatir jika saja cucunya mati di terkam binatang buas dalam tapa bratanya, atau malah tersesat di dunia astral tanpa bisa kembali.
Sekarang sudah lega, cucunya pulang dengan selamat. Lestari memeluk gadis kecil itu erat sekali, kemudian, membimbingnya duduk di balai-balai depan rumah tepatnya di bawah pohon belimbing. Tangannya mengusap pucuk kepala Ambigu penuh sayang.
“Syukurlah, Mbi. Akhirnya kamu pulang,” ucap bibir hitam itu bergetar dengan mata berkaca-kaca menahan haru.
“Jangan menangis, Nek! Mbigu baik-baik saja, hanya sedikit lapar. Perut Mbigu perih, Nek.” Ucap gadis itu sambil memegangi perutnya yang sudah sangat lapar. Keringat dingin mulai berdatangan dan tubuhnya gemetar.
Lestari langsung masuk ke dalam, mengulurkan air putih hangat untuk cucunya.
“Minum dulu, nenek siapkan makanan mu!”
Lestari kemudian kembali ke dapur untuk membawa bakul berisi nasi dan ikan asin bakar sebagai lauknya.
“Makanlah, Mbi! Jangan memaksakan diri. Tidak perlu susah payah ikut-ikutan mereka. Bagaimanapun kita itu debu, Mbi. Sekuat apa pun kamu berjuang hanya di anggap upil. Akhirnya nanti tidak ada yang menghargainya, percayalah sama Nenek!” ucap Lestari menasehati cucunya.
“Tapi kata kakek berbeda, kita jangan mau direndahkan. Harta dan tahta bukan alasan untuk membedakan. Kita punya harga diri, Nek dan Tidak perlu risau karena kekurangan harta,” sangkal Ambigu sembari menyuapkan makanan itu.
Nasi dingin dan agak keras itu di telannya susah payah mungkin neneknya sudah memasaknya dari subuh, dan ikan asin itu terasa begitu pahit. Mungkin penglihatan Lestari yang mulai kabur sehingga hasil bakarannya gosong semua. Tapi apa pun itu Ambigu tetap menyuapkan ke mulutnya. Tanpa peduli enak atau tidak, yang terpenting bisa menolong perutnya dari rasa lapar.
“Jangan keras kepala Mbi, bisa mati konyol seperti kakekmu nanti,” ucap Lestari menasehati. Mengingat begitu besar perjuangan Wasis yang tidak mendapat penghargaan apa pun dari kerajaan hanya karena mereka miskin.
“Kakek tidak mati sia-sia, dia tetap pahlawan, Mbigu!”
“Astaga!! Kapan kamu nurut sama nenek, Mbi. Dengerin nanti kalau kita sudah mati bahkan di Nirwana tidak ada yang membedakan kita. Tidak peduli harta dan jabatan lagi!”
“Kita hidup sekarang, Nek! Masalah nirwana kita pikir nanti!”
Astaga!
Keesokan harinya Ambigu nekat berangkat lagi ke hutan belantara. Akan tetapi sayang tidak punya alat apa pun untuk di bawa, saat pergi. Sepertinya lestari menyembunyikannya semua benda tajam. Hanya agar ambigu mengurungkan niatnya.
Bukan Ambigu namanya. Jika dirinya menyerah. Dia pun tetap berangkat dengan membawa tas kemarin. Kali ini dirinya mengisi dengan botol minum dan keris yang ia temukan di hutan kemarin.
Semua sudah berkumpul di Medan, ada yang membawa golok , kapak, pedang dan sejenisnya.
“BOCAH!! Punya nyali juga kamu kesini?!” hardik Wagu dengan tersenyum meremehkan. Mendorong tubuh kecil Ambigu hingga Terjerembap ke tanah. Tangan kecil itu membersihkan lututnya, ada sedikit lecet di sana.
“Jangan, cari perkara Paman, tidak ada salahnya jika aku berusaha!” ucapnya menatap badan tinggi besar itu dan segera bangkit.
Wagu tertawa, “Apa yang bisa kau lakukan dengan tubuh kecilmu, lihat saja jika badai datang tubuhmu pasti sudah terhempas ke neraka, menyusul Jadmini. Ha ... Ha ... Ha ....”
Ambigu kesal, tapi seperti kata kakeknya berdebat dengan orang yang tidak punya hati itu akan menjadi percuma. Seperti lingkaran setan yang terus berputar tanpa tahu ujung pangkalnya.
Bocah itu berniat kabur dari hadapan Wagu. Tetapi tertahan ketika tangan besar itu mencekal lengannya. Dan wajah penuh amarah itu mendekat tepat di wajah Ambigu. “Jangan keras kepala, cepat pergi dari sini!” serunya.
“Kita semua berhak di sini, kita sama-sama rakyat di kerajaan Burgundy, bahkan para punggawa saja mengizinkan, apa hak Paman melarangku?!” Ambigu tak kalah tajam menatap mata pria itu meskipun sedikit meringis menahan sakit karena cekalan dilengannya begitu kuat.
Wagu melepaskan cekalan lengan Ambigu tepat ketika, Kyai Nur BEI pemimpin rombongan babat alas sudah tiba.
Pria tua itu tampak berwibawa dan penuh karisma.
“Kita tidak mungkin menyelesaikan pekerjaan ini hanya dengan mengandalkan tenaga manusia, siapa pun yang bisa menumbangkan pepohonan ini akan aku hadiahkan 100 koin emas dan 100 ekor domba.” Ucapnya lantang membuka acara.
Astaga!!
Semua yang mendengarkan terenyak. Satu koin emas itu setara dengan seribu koin perak. Jadi pemenang sayembara akan membawa pulang seratus ribu koin perak.
Para punggawa satu persatu turun ke Medan menawarkan diri untuk terlibat dalam sayembara. Sudah ada sembilan bakal calon kandidat yang ikut sayembara yang di selenggarakan kyai Nur Bei. Tentu saja mereka tergiur hadiah yang begitu besar. Mengingat penghidupan mereka yang teramat sulit.
“Baiklah, sudah ada sembilan peserta yang mendaftar, kita tunggu seorang peserta lagi, jika sudah genap 10 orang kompetisi kita mulai. Jika hari ini semua pohon berhasil kita tebang, dengan segera kita bisa memnyiapkan lahan, dan mendirikan gedung biru!” Ucap kyai Nur Bei menjelaskan.
Para warga saling berpandangan, mereka ingin ikut sayembara tapi tentu saja ragu dengan kemampuannya. Tampak Ambigu berdiri di samping Wagu dengan mata menyipit. Pasalnya sinar matahari begitu terik dan tepat menyorot wajah lugunya, wajah Ambigu begitu kusut dengan lingkaran hitam di kelopak matanya, pertanda anak itu kurang tidur.
“Jika aku memenangkan sayembara ini, nenek tentu bangga. Kakek pasti tersenyum di alam kuburnya. Tapi bagaimana mungkin! Sedangkan kakek saja tidak pernah mengajari apapun tentang ini.
"Kakek payah harusnya jangan buru-buru meninggal dulu sebelum meninggal mewariskan seluruh ilmunya.” Batinnya kesal. Ambigu masih ingat, Wasis pernah berpesan jika suatu hari nanti jika dirinya sudah cukup umur. Wasis akan memberitahu sesuatu. Tapi itu tidak mungkin terjadi. Wasis meninggal ketika Ambigu berusia sepuluh tahun.
“Jangan menunda waktu! Satu peserta lagi silakan maju ke depan,” ucap Kyai Nur BEI.
“Dia peserta ke sepuluh, Tuan!” seru Wagu seraya mendorong tubuh Ambigu hingga dirinya jatuh tersungkur di tengah lingkaran besar itu.
Ambigu tidak menyangka Wagu sekejam itu pada dirinya.
BERSAMBUNG
"Kenapa kamu menangis Ambigu?" tanya Lestari. Wanita bungkuk itu segera mendekati Ambigu yang menangis sepanjang jalan, kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Setelah Ambigu duduk Lestari mengambilkan minuman dari kendi. "Ayo minum dulu. Setelah itu katakan pada Nenek. Apa yang sebenarnya terjadi!" tanya Lestari seraya duduk di samping cucunya itu. Ambigu meneguk air pemberian neneknya. "Ambigu di usir, Nek!" ucapnya setengah terisak. "Siapa yang mengusirmu? Apa kamu membuat masalah di gedung itu?" tanya Lestari khawatir."Semua penghuni gedung tidak ada yang mengenaliku. Mereka menganggap aku ini anak kecil," ucap Ambigu dengan suara terisak. "Nenek kan sudah bilang, ke sananya sama nenek saja. Eh ... Kamu nggak nurut!" kesal Lestari. "Iya, Nek. Kalau begitu besok anterin lagi ke sana ya?" pinta Ambigu penuh harap. Kesedihannya sedikit terkikis dan berganti harapan. Jika yang bicara neneknya tentu saja mereka akan mendengar. "Iya, besok, Nenek anterin. Sekarang kamu makan du
Ambigu tidak memedulikan penjaga itu. Dengan melupakan lututnya yang lecet bocah itu mendorong penjaga gerbang dan menerobos masuk ke dalam halaman gedung. Namun apa dikata. Kakinya cukup kecil untuk berlari lebih cepat. Karena langkah penjaga itu lebih lebar dan dengan mudah mengejar langkah Ambigu. Penjaga itu mencekal lengan Ambigu dengan kasar sehingga bocah itu nyaris terpelanting."Hei, mau ke mana kamu?" sentak penjaga itu."Lepaskan aku, Paman!" Lantang Ambigu seraya membelalakan mata pertanda dirinya sangat marah dan kesal pada penjaga itu."Sudah kecil, gembel, nggak tahu aturan! Kamu itu masih kecil dan anak kecil di larang masuk?" terang penjaga itu dengan tetap mencekal lengan Ambigu. Sehingga bocah itu meringis menahan sakit. "Kamu tidak tahu apa-apa, Paman. Pertemukan aku dengan punggawa atau pemimpin gedung. Hanya keputusannya yang aku dengar!" seru Ambigu. Penjaga itu menatap rekannya meminta persetujuan. Setelah rekannya mengangguk barulah tangan kekarnya menyeret
Setelah kekacauan itu Ambigu baru menyadari bahwa keris yang ia temukan itu bukan keris sembarangan. Ada Sukma yang berada dalam keris itu yang selalu menemui Ambigu melalui mimpi. Selanjutnya Ambigu menjaga keris itu baik-baik dan berjanji tidak akan memberikan pada siapa pun. Karena bukan saja akan mencelakai dirinya bahkan keris itu akan membahayakan pemilik barunya. Gadis itu tetap menjalani aktivitas seperti biasa bersama nenek lestari. Satu-satunya orang yang masih hidup dan kasih sayangnya tidak diragukan lagi. Ambigu kecil begitu rajin mencari rumput dan menggembala kambingnya, meskipun hidupnya terus diganggu oleh Wagu akibat rasa sakit hati yang sudah kedaluwarsa itu. Bagaimana dia bisa menyimpan dendam sementara musuhnya sudah menjadi tanah di liang lahat. Sampai suatu hari terdengarlah kabar mengenai sudah rampungnya pembangunan gedung biru. Ambigu sungguh antusias menerima kabar itu. Saat menagih janji pun tiba. Dirinya yakin akan segera merubah kehidupannya bersama
Ketika keluar dari rumah terlihat para warga sedang kerja bakti. Banyaknya pohon yang tumbang sangat mengganggu jalan. Ambigu ke luar dan mendekati mereka. "Semalam sangat aneh, angin datang tiba-tiba dan pergi tiba-tiba pula. Bukan itu saja bahkan purnama ditelan kegelapan malam hanya demi mengantarkan angin itu," ucap salah seorang warga. "Yang aneh lagi Guntur terombang-ambing dipermainkan angin itu. Sekarang tubuhnya sakit semua akibat dihempaskan angin!" sahut warga yang lainnya. "Paman Guntur sakit?" tanya Ambigu demi memastikan informasi yang didengarnya. "Heh ... Ambigu! Iya katanya setelah pulang dari rumahmu dia digulung angin dan dihempaskan begitu saja!" Ambigu menutup mulutnya. Bocah itu segera berlari menuju rumah Guntur demi memastikan informasi yang didengarnya benar. Rumah Ambigu dan Guntur cukup jauh tapi bocah itu tidak peduli, dia terus berlari dan berlari, hingga saat kaki kecilnya sampai di depan sebuah rumah yang cukup megah dibanding rumah kanan kirinya.
"Astaga ternyata aku hanya bermimpi," ucap Ambigu seraya mengedarkan padangan ke seluruh ruangan itu. Namun bagi Ambigu mimpi seperti nyata. Dirinya benar-benar merasa bertemu dengan kakek Tua itu. Tetapi yang terus menjadi pikiran bocah itu adalah mengapa kakek itu selalu menemuinya hanya dalam mimpi saja? Mengapa tidak mendatangi secara langsung ketika siang? Dengan begitu memudahkan Ambigu untuk melihat kakek itu secara terang.Gadis itu bangun kemudian duduk bersandar dinding. Nalarnya mula mengembara bagaimana mungkin sebatang keris itu bisa punya nyawa? Pikiran Ambigu mulai mengembara, menyeretnya ke belakang kala pertama kali bertemu dengan kakek itu.Semenjak menyimpan keris itu banyak kejadian aneh yang di alaminya. Seperti ketika babat alas Liliwung dan beberapa kali pula dirinya ditemui kakek itu dalam mimpi."Ambigu! Mengapa kamu duduk di bawah? Kamu semalaman tidak tidur?" tanya Lestari khawatir."Aku bingung, Nek!" ucap Ambigu pelan. Lestari bangun dari tidur seraya mem
Ketika Ambigu menggenggam gagang keris itu, seketika sinarnya redup. Dengan tangan gemetar, Ambigu membawanya kehadapan sang Nenek. "Nek, kenapa keris kyai Landep pulang kembali. Bukannya aku sudah menyerahkannya pada paman Guntur?" tanya Ambigu heran seraya duduk dan memangku keris itu. Lestari menatap cucunya. "Karena dia tidak mau. Lain kali tanyalah dulu jika mau memberikan pada orang lain. Ingatlah dia bukan sekedar benda tajam tetap punya Sukma!" sahut Lestari. "Sukma? Jadi aku harus bagaimana, Nek?" tanya Ambigu bingung. Nalar bocah itu belum mencapai makna dari perkataan Lestari. "Simpan keris itu dan tidurlah. Besok pagi akan kita tanyakan pada Nyai Silanggeni," jawab Lestari. Nyai Silanggeni adalah tempat satu-satunga bertanya setelah suaminya meninggal. Dirinya pun tidak mengetahui dengan fenomena alam yang terjadi. Dari mana datangannya angin yang tiba-tiba? Kekuatan apa yang mampu meredupkan sinar purnama? Apa ini semua ada hubungannya dengan keris kyai Landep? Ben