Dewi meraih teleponnya lagi, kali ini memastikan pihak polisi tahu apa yang baru saja terjadi. Sementara itu, Maria menatap pintu depan yang kini penuh pecahan kaca, aroma bensin masih memenuhi udara. Ia tahu ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih berbahaya. Rizal tidak akan berhenti. Dan sekarang, ia harus mempersiapkan dirinya untuk perang yang panjang.
Maria duduk di lantai ruang tamu, punggungnya bersandar pada dinding yang dingin. Matanya yang merah dan sembab menatap lurus ke arah pintu depan yang kini tertutup rapat, tetapi rasa takutnya masih menyelimuti. Aroma bensin dari botol pecah di teras belum benar-benar menghilang, meski Dewi telah mencoba menyiramnya dengan air beberapa kali. Malam sudah mulai turun, dan bayangan gelap dari luar jendela tampak lebih panjang dari biasanya.
Polisi sudah datang, meski mereka hanya tinggal sebentar. Inspektur Farhan, denga
Maria ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu polisi tidak akan memberikan jawaban yang ia butuhkan. Jawaban itu harus ia temukan sendiri.Setelah polisi pergi, Maria duduk di kursi ruang tamu, memandang amplop dan foto itu yang sekarang tergeletak di meja di depannya. Pikirannya berpacu dengan kecepatan penuh, mencoba memahami bagaimana semuanya bisa sampai ke titik ini. Ancaman ini bukan lagi sekadar bayangan atau permainan pikiran. Ini adalah bukti bahwa seseorang telah melangkah ke dalam hidupnya, ke dalam ruang yang seharusnya tak tersentuh.Dewi datang beberapa menit kemudian, wajahnya tegang setelah mendengar kabar dari salah satu polisi yang ia kenal. “Maria, apa yang mereka temukan?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.Maria tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke arah foto di meja, dan Dewi se
Maria masuk kembali ke dalam rumah, mengunci semua pintu dengan panik. Namun, ketika ia memeriksa kamar anak-anaknya, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya berhenti mengalir—selembar kertas kecil yang tergeletak di atas bantal Putri, dengan tulisan yang sama: “Selalu.”Maria berdiri di ambang pintu kamar anak-anaknya, tubuhnya kaku seperti batu. Matanya terpaku pada selembar kertas kecil yang tergeletak di atas bantal Putri. Kertas itu, dengan tulisan yang sama seperti di belakang foto, seolah-olah berteriak dalam keheningan: “Selalu.”Tangannya meraih kertas itu dengan gemetar. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa akan kehilangan keseimbangan. Bagaimana mungkin ini bisa berada di sini? Ia telah memeriksa setiap pintu dan jendela, memastikan semuanya terkunci
Maria menemukan surat itu di pagi yang cerah, terselip di bawah pintu rumahnya seperti undangan tak diinginkan yang datang tanpa pemberitahuan. Ia hampir tidak memperhatikan amplopnya, putih polos tanpa nama atau alamat pengirim. Namun, saat ia membukanya, darahnya seakan membeku. Hanya satu kalimat di sana, dengan tulisan tangan yang tegas dan dingin: “Aku tahu di mana kau tinggal.”Jemarinya gemetar saat memegang kertas itu. Ia mencoba menenangkan napasnya, tetapi suara detak jantungnya terasa begitu keras di telinganya. Seisi ruangan yang tadi terasa hangat kini seolah mencekam. Maria berusaha berpikir rasional. Mungkin ini hanya lelucon bodoh dari seseorang yang iseng. Mungkin ini bukan seperti yang aku pikirkan, ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, meskipun suara kecil di dalam kepalanya berteriak sebaliknya.
Maria masuk ke dalam rumah, masih memegang boneka itu, dan meletakkannya di meja ruang tamu. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya darinya, seolah-olah boneka itu adalah simbol dari semua ketakutannya yang kini memiliki bentuk fisik.Putri dan Arif muncul dari kamar mereka, menggosok mata mereka yang masih mengantuk. “Ibu, ada apa?” tanya Putri dengan suara kecil.Maria memaksa tersenyum, menyembunyikan boneka itu dengan cepat di balik tubuhnya. “Tidak apa-apa, sayang. Hanya ada sesuatu di luar. Ibu sudah membereskannya.”“Tapi kenapa Ibu kelihatan takut?” Arif menatap ibunya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.Maria berlutut di depan mereka, menyentuh pipi mereka dengan lembut. “Ibu baik-baik saja,” katanya pelan, mencoba menenangkan anak-anakn
Pertanyaan itu menusuk Maria, seperti belati yang mendarat tepat di hatinya. Ia ingin menjawab bahwa semuanya sudah berakhir, bahwa mereka sudah aman. Tetapi ia tahu anak-anaknya terlalu pintar untuk percaya pada kebohongan seperti itu. Jadi, ia hanya memeluk Putri erat-erat, mencium puncak kepalanya, dan berkata dengan suara yang lebih tegas dari yang ia rasakan.“Tidak ada yang akan menyakiti kita, Putri. Ibu janji.”Setelah Putri kembali ke kamar untuk menemani Arif, Maria menghubungi Eko. Panggilan itu diangkat hampir seketika, dan suara Eko terdengar lelah di ujung sana.“Apa lagi yang terjadi, Maria?” tanya Eko, suaranya penuh kekhawatiran.Maria menjelaskan tentang jejak sepatu itu, tentang catatan yang ditinggalkan di depan pintunya. Setiap kata yang ia ucapkan te
Saat malam semakin larut, suara langkah kaki terdengar dari luar rumah. Maria mematikan lampu ruang tamu, berdiri di belakang tirai dengan napas tertahan. Bayangan seseorang bergerak perlahan di depan jendela, berhenti sejenak, lalu menghilang ke dalam kegelapan.Maria berdiri diam di balik tirai yang tipis, pisau dapur masih tergenggam erat di tangannya. Nafasnya terdengar pendek-pendek, seperti sedang melawan detak jantungnya yang memompa terlalu keras. Matanya tidak lepas dari bayangan samar di luar, seseorang yang bergerak perlahan di sepanjang jendela rumahnya. Bayangan itu berhenti sejenak, lalu menghilang ke dalam gelap. Namun, keheningan yang tertinggal setelah itu justru lebih mencekam daripada kehadiran siapa pun.Ia menahan napas, mendekatkan tubuhnya ke dinding, mencoba menangkap suara langkah atau gerakan lain yang mungkin terdengar. Tetapi yang ia temukan hanya suara deda