Share

Menjadi Aksa Hartawan

“AKSA! Cuci mobil dinas ayah sekarang!” Suara teriakan Bambang tidak membuat Dimas bergerak dari duduknya. 

Ia belum terbiasa dengan nama Aksa Hartawan, suami dari Dara dan menantu dari Bambang Soedrajat yang sangat membanggakan posisinya sebagai dewan rakyat. 

Entah bagaimana ceritanya Dimas bisa masuk ke dalam tubuh Aksa yang malam itu sama-sama mengalami kecelakaan. Hanya saja, luka Aksa tidak terlalu parah. 

Hanya gegar otak ringan dan memar di beberapa bagian tubuhnya. 

“Aksa, kamu tuli, ya?!” Suara teriakan Bambang kembali mengisi pendengaran Dimas. 

“Mas, kamu dipanggil ayah, tuh!” Dara, wanita yang adalah istri Aksa mengusap lembut pundak Dimas, memberi kode kepada Dimas untuk segera menemui mertuanya itu. 

Dimas membuang nafas panjang, dengan terpaksa ia berdiri dan menghampiri mertuanya yang sejak tadi berteriak dari halaman rumah.

“Iya, Yah. Ada apa?” Aksa berdiri tidak jauh dari Bambang. 

Bambang menyemprot Dimas dengan air dari selang sebagai pelampiasan marahnya. “Kamu itu gak tuli, ya? Dari tadi ayah panggilin tapi gak datang-datang.”

“Cuci mobil! Satu jam lagi ayah ada rapat!” Bambang memberi perintah seperti sedang memerintah menantunya. Ia melempar selang ke depan Aksa. 

Dimas melotot. Cuci mobil? Ia terlahir dari keluarga kaya raya, jangankan mencuci mobil, memegang spon untuk menggosoknya saja ia tidak pernah.

“Tunggu apa lagi? Ayah bisa telat,” hardik Bambang. Ia semakin kesal karena Aksa tidak kunjung bergerak hanya menatap ujung yang mengeluarkan air dan membasahi kakinya. 

“Kenapa? Gak mau? Sudah bagus kamu ayah kasih tinggal gratis di sini. Makan tinggal makan, tidur tinggal tidur. Cuci! Anggap saja sebagai bayaran sewa tinggal di rumah ini.” 

Bambang menatap Aksa sinis. Berjalan melewati menantunya dan sengaja menyenggol pundak Aksa. 

Dimas menendang ember hitam di depannya sambil menggerutu. Di kehidupannya sebagai Dimas ia selalu dilayani dan menggunakan fasilitas terbaik. Tetapi kini semua berbanding terbalik. 

Berada di tubuh Aksa, Dimas terpaksa menjalani hidup seperti orang miskin dan selalu direndahkan. 

Tinggal di rumah orang sok kaya dan menjadi pesuruh berstatus menantu. Sangat jauh dari kehidupan seorang Dimas Mahardika. 

“Cepet cuci! Memangnya kalau cuman kamu pandangin gitu, mobil ayah jadi bersih? Dasar menantu gak guna!”

“Jangan sampe orang tahu anggota dewan punya menantu cuman tukang angkut barang. Mau ditaruh dimana muka ayah! ” Bambang berteriak dari ambang pintu. Ia tidak benar-benar masuk ke dalam rumah. Ia berdiri di pintu sambil memperhatikan Aksa. 

Dimas berdecak sebal. Dengan terpaksa ia mengambil selang dan mulai membasahi mobil  hitam itu berplat merah itu. 

Dari pintu rumah, Bambang berteriak agar Dimas menyemprot roda mobil yang kotor sampai bagian dalamnya. 

Aksa menghembuskan nafasnya ke udara mendengar Bambang terus memberikan perintah bagian mana yang harus digosok. 

Sejak pulang dari rumah sakit tiga hari yang lalu, Dimas mencari tahu orang seperti apa Aksa ini. Pasti ada alasan kenapa ia masuk ke tubuh pria miskin seperti Aksa. 

Benar, Aksa hanya pria miskin yang bekerja sebagai porter di kargo bandara. Gajinya dibawah UMR karena ia hanya pegawai outsourcing. 

Hanya saja, Aksa adalah orang yang sangat penyabar, rendah hati dan setia berbanding terbalik dengan Dimas. 

Dimas selesai mencuci mobil setelah satu jam dan keadaannya basah kuyup. Ia sedang menggulung selang ketika Dara datang dengan membawa handuk.

“Mas, ganti baju, yuk! Ada temen-temen kamu, tuh!” Dara menunjuk tiga orang pria yang berdiri di gerbang, tidak berani masuk lebih jauh.

“Kenapa mereka gak masuk ke dalam?” tanya Dimas heran. Sunggu tidak sopan rasanya membiarkan tamu tinggal di luar.

“Gak berani sama ayah, Mas. Sudah kamu ganti baju, biar mereka gak nunggu lama. Aku sudah siaapin kopi buat mereka.”

Dimas segera masuk ke kamar Dara, mengganti pakaian dengan baju milik Aksa. Baju kaos sederhana tidak seperti miliknya yang berharga jutaan bahkan sampai puluhan juta.

Aksa berdiri di depan cermin meja rias Dara. Mengenakan kaos putih polos dan celana panjang oren rumahan. Ia menatap iba bayangannya sendiri, tidak percaya jika pria yang mengenakan baju sederhana itu adalah dirinya. 

“Mas, ini seragamnya. Jatah cuti sakitnya sudah habis, jadi hari ini mas sudah mulai kerja lagi.” Dara mengingatkan. 

Dimas tercenung, matanya fokus pada seragam berwarna oren yang diberikan oleh Dara. Sambil membuang nafas, Dimas terpaksa menerima seragam itu.

Ia memasukkan seragam ke dalam tas ransel hitam yang sudah berisi bekal makan siang  buatan Dara. Ia juga menerima kunci motor matik dari istrinya.

“Nih dompet sama pass-nya!” Dara menyerahkan kedua benda berharga milik Akas. 

Dimas membuka dompet berwarna coklat dari kanvas yang warnanya sudah kusam. Hanya ada satu lembar uang 20 ribu dan selembar uang 10 ribu di dalamnya.

“Suamimu selalu bawa uang sesedikit ini? 30 ribu rupiah?” tanyanya. Ia menatap Dara, keningnya berkerut heran. Dimas terbiasa menghabiskan uang jutaan dalam sehari apalagi kalau ia sedang bersenang-senang dengan teman wanitanya.

"Ish, apa maksudnya suamiku? Suami aku kan mas sendiri! Lagipula, kita 'kan lagi nabung biar bisa kontrak rumah sendiri, Mas. Kamu sendiri yang minta dijatah segitu.” Dara menggandeng tangan Dimas yang ia kenal sebagai Aksa keluar kamar. Mengantar suaminya sampai ke pintu gerbang.

Dimas tersenyum kaku ketika teman-teman menyambutnya dengan ramah. Salah satu di antara mereka menawarkan diri menyetir motor Dimas karena masih khawatir dengan kondisinya.

Dimas segera bergabung dengan rekan satu tim-nya. Namun, bukan untuk ikut bekerja tetapi hanya menonton teman-teman yang lain bekerja mengeluarkan dan memasukkan barang.

Bukannya ia tak sudi, tapi dia tak biasa melakukan pekerjaan kasar seperti itu. Mengapa pria-pria di sekitarnya bersedia bekerja keras yang menguras tenaga mereka sendiri?

Dimas mengedarkan pandangannya ke seluruh area kargo. Matanya berhenti pada sosok berjas hitam yang sedang berjalan menuju ke kasir.

‘Alan!’ gumamnya ketika melihat sang asisten. Dimas berlari menghampiri Alan, ia harus meyakinkan Alan kalau ia adalah Dimas, bosnya!

Tapi masalahnya, apa Alan akan percaya?

Begitu Dimas memanggil Alan, pria berjas abu tua itu seketika menoleh, alisnya menaut ketika melihat pria yang tak dikenalnya memanggil namanya. 

"Alan, bantu aku. Aku butuh uang sekarang juga, mungkin ratusan juta. Mohon urus secepatnya, ya."

Dimas mengatakan itu dengan tenang, karena hal itu sudah sehari-hari dikatakan padanya kepada Alan, bawahannya sendiri. Namun, kali itu, respon yang diberikan oleh Alan berbeda. Manik Dimas seketika membulat ketika pria itu menatapnya seolah dirinya adalah pengemis. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status