"Anda siapa? Gak usah mengaku-ngaku kalau Anda adalah Tuan Muda Dimas.” Alan – pria berjas formal rapi menoleh membuang wajah. Enggan berurusan dengan pria aneh yang mengaku sebagai Dimas Mahardika.
Dimas lupa, bahwa saat ini, dia bukan berada di tubuhnya, melainkan tubuh Aksa si porter kargo. Ia menggigit bagian dalam bibirnya, mencari cara agar Alan percaya jika ia dalah Dimas Mahardika — bosnya! “Aku tahu kalau apa yang kukatakan memang tak masuk akal. Tapi, apakah kau akan percaya jika aku mengatakan kode kombinasi brankas di ruangan milik Dimas, atasanmu?” Ucapan Aksa membuat Alan yang tadinya tidak peduli dengannya Aksa seketika menoleh. Pria itu menatap Aksa mencoba membaca pikiran Aksa, matanya menyipit penuh selidiki menebak niat Aksa yang mengaku sebagai Dimas. “Jangan bercanda. Ini sama sekali tidak lucu!” pekik Alan. “Aku tidak bercanda, Alan. 564738, kode kombinasi brankas yang berada tepat di belakang mejaku.” ucap Dimas, mendekatkan dirinya kepada Alan, dan mencoba berbisik.Alan membeliak, ia mendadak pucat sambil menatap tubuh seorang pria dengan papan nama yang tertera AKSA tepat di dadanya. Alan pun kini mendekati Aksa hingga mereka berjarak satu langkah. Alan menatap manik hitam Aksa dalam-dalam. “Ini benar anda, Tuan Muda?” Alan maju beberapa langkah. Ia memperhatikan Aksa dari jarak yang sangat dekat.Aksa berdiri dengan satu tangan masuk ke dalam saku celana seperti yang Dimas sering lakukan. Wajah Aksa yang biasanya tersenyum ramah juga kini terlihat tegas tanpa senyum. “Ti —tidak! Ini tidak mungkin!” Alan menggeleng cepat. Sekali lagi Alan menatap Aksa dengan seksama, mengusap matanya takut ia salah lihat. Dimas setuju dengan Alan. Jika tidak mengalami sendiri, ia tidak akan percaya ia bisa masuk ke dalam tubuh orang lain. “Simpan keterkejutan mu, Al! Sekarang carikan aku cara agar bisa kembali ke tubuhku. Selain itu cari tahu juga tentang Aksa Hartawan. Aku ingin tahu semua tentang pria ini.”Alan tidak langsung mengangguk, ia masih menatap Aksa yang ia tahu dengan tatapan heran bercampur tidak percaya.“Temui aku besok, Alan.” Dimas menjentikkan jarinya untuk menyadarkan Alan dari lamunan. Baru saja ia hendak melanjutkan pembicaraan dengan Alan, seorang temannya memanggil meminta Aksa membongkar muatan dari kargo pesawat.“Temui aku besok, Alan.” Ia memberi perintah kemudian berlari menghampiri rekan satu timnya.Aksa mengikuti temannya masuk ke dalam pesawat penerbangan domestik. Bau amis khas seafood langsung menyeruak di hidung Aksa membuat seketika itu juga menjadi mual. Ia menutup hidungnya dengan jari, berdiri di bagian paling belakang sambil memperhatikan apa yang teman-temannya lakukan. “Apa yang kamu tunggu? Cepat angkat!” ketua tim berteriak kepada AksaAksa langsung menolak, ia tidak mau mengangkat kotak-kotak styrofoam itu yang akan membuatnya berbau amis juga. “Jangan banyak gaya! Tugas kamu itu emang angkat-angkat! Gak usah sok jijik!” Ketua tim mendorong punggung Aksa hingga ia terpaksa maju mendekati tumpukan styrofoam. “Orang miskin kayak kamu emangnya mau jadi apa kalau bukan jadi pekerja kasar? Manajer? Cih! Mimpi kamu ketinggian, Aksa!” ejek ketua tim itu lagi. Ia memerintah satu orang untuk mengangkat box putih berisi es batu dan udang besar lalu menyerahkannya kepada Aksa. “Bawa turun! Gak usah aneh-aneh kalau jadi orang miskin! Cukup kerja, inget anak istri di rumah perlu makan,” sindir pria itu sambil mendorong Dimas agar turun dari pesawat. Ucapan sarkas yang menampar Aksa dengan keras. Selama ini ia bekerja karena egonya. Ia tidak pernah mau menerima proyek dengan nilai yang kecil. Ia pemain besar dan hanya bekerja sama dengan klien besar. Walau terpaksa dan sambil menggerutu dalam hati, Dimas akhirnya turun membawa box berisi udang. Ia menarik nafas panjang kemudian menahan nafas selama yang ia bisa agar tidak mencium bau amis udang. “Cih! Kayak anak gedong aja.” Seorang rekan satu tim Dimas menertawakannya yang hampir muntah karena mencium bau amis ikan laut. Dimas yang berkonsentrasi menahan nafas dan menahan diri agar tidak muntah tidak memperhatikan jalan. Ia tidak melihat saat kaki salah satu rekan timnya dengan sengaja menjegal kakinya sampai ia terjatuh.Dimas sedang membawa dua kotak sterofoam berisi cumi-cumi dan udang. Keduanya jatuh dan isinya berantakan keluar.“Ya ampun!!” Ketua tim yang melihat itu berlari menghampiri Dimas dengan wajah merah karena marah.“Kamu itu bisa kerja gak sih, Aksa?! Bawa gini aja gak bisa!” Pria itu meneriaki Dimas di depan banyak orang. “Kamu kira ini barang murah, hah?! Saya gak mau tahu kamu harus ganti rugi! Bikin BAP-nya setelah itu bayar ganti ruginya.” Beberapa orang dari keamanan bandara membawa Aksa ke ruang manajemen.Wajah Aksa merah, karena saat ini Dimas sedang menahan marahnya agar tidak meledak. Belum pernah dalam hidupnya ia diperlakukan seperti ini. Dihina di depan orang banyak. Bahkan jika diingat, tidak ada orang yang berani berteriak kepadanya. Tidak ada seorang pun yang berani dengan Dimas Mahardika.“Kamu itu bodoh sekali!”Belum reda amarah Aksa setelah dihina oleh ketua timnya, kini ia harus menerima hinaan dari pihak manajemen.BRAGH!Aksa menggebrak meja. Ia sudah tidak tahan mendengar hinaan orang kepadanya. “Jaga mulut anda!” ucapnya sambil menahan geram. “Anda boleh marah, tetapi jangan menghinaku!” Dimas menatap atasannya geram. Ia tidak segan melotot melihat langsung ke manik sang manajer.“Jangan lancang kamu, Aksa! Saya manajer disini!” Manajer itu ikut berdiri, menerima tantangan Dimas.“Saya bisa pecat kamu sekarang juga!” pekik pria dengan seragam putih itu.Mendengar kata dipecat, Aksa menjadi ciut. Bukan takut tidak memiliki uang. Uangnya sangat banyak sampai terkadang ia bingung harus membeli apalagi. Tetapi ia memikirkan Aksa dan Dara jika ia sudah kembali ke tubuhnya. Ia tidak tega melihat impian Dara yang ingin punya rumah sendiri kandas, apalagi wanita itu sangat membanggakan Aksa yang seorang pekerja keras.“Sekarang, bayar ganti rugi! Sesuai surat perjanjian. Ganti rugi 10 kali lipat dari harga kiriman. 20 juta!” Aksa terkejut. Jika ia menjadi Dimas, ia bisa mendapatkan uang itu dengan mudah. Tetapi Aksa? Uang di dompetnya saja hanya 30 ribu, bagaimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Apa Dara punya uang sebanyak itu?“Dimas kembali?” Salim mendelik. Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel lalu menghubungi Sonya. “Kamu bilang, kecelakan ini akan membuat Dimas menghilang selamanya, tapi kenapa dia muncul lagi?” Salim mencecar Sonya begitu wanita itu menjawab panggilan teleponnya.Salim diam, mendengarkan suara Sonya diujung telepon. Ia mengangguk beberapa kali lalu menutup teleponnya.“Usahakan sebisa mungkin untuk meredam berita ini.” Sambil berjalan, Salim memberi perintah kepada asisten ayahnya sedang ia sendiri akan bertemu dengan Sonya dan melihat sendiri keadaan Dimas di rumah sakit.Sonya dan Salim terpaksa harus kembali masuk ke dalam lift karena hanya orang tertentu yang bisa melihat keadaan Dimas.Tentu saja itu perintah Alan. Sejak kemunculan ‘Dimas’ dalam lelang tender, ia sudah menyiapkan banyak hal yang pastinya akan menjadi kejutan.“Bagaimana menurutmu, Son? Apa Dimas benar-benar sembuh dan kembali?” Ia dan Sonya sedang berdua di dalam lift.Hening.Keduanya tidak ada yang bisa men
“Kartu debit siapa itu?” Bambang menatap curiga kartu kecil berwarna kuning keemasan yang Aksa serahkan kepada perawat pria yang membawakan tagihan Dara. “Kartu saya, Yah.” Aksa membiarkan perawat pria itu bekerja. Menggesek kartunya pada mesin kecil yang ia bawa. “Silahkan PIN-nya, Pak.” Aksa menerima mesin merchant dari perawat. Menekan beberapa angka, tak lama keluar kertas tanda pembayarannya berhasil. Mulut Bambang terbuka lebar melihat kartu Aksa benar bisa digunakan. Pun begitu dengan rekan parlemen Bambang. Mereka saling tatap heran. Baru beberapa menit yang lalu ia menghina Aksa habis-habisan. “Darimana kamu dapat uang sebanyak itu, hah?! Pinjol?” Bambang menuduh di depan sejawatnya. Aksa mendengus pelan, kesal tetapi tidak bisa marah. “Awas aja kalau sampai ada debt collector yang datang ke rumah!” Setelah memberikan ancaman, Bambang bergabung lagi dengan teman satu partainya. Samar-samar Aksa mendengar rencana Bambang yang akan maju menjadi calon gubernur. Ket
“Dok —dokter!” Wanita berpakaian serba putih itu memanggil dokter dari tempatnya berdiri. Matanya tak lepas dari uang merah yang ada di dompet Aksa.Jarak bangkar Dara tidak terlalu jauh dari meja dokter. Wanita paruh baya berkacamata itu bergegas berdiri dari duduk begitu melihat kepanikan di wajah sang perawat senior.Uang memang bisa memperlancar urusan.Saat pemakai jasa asuransi di nomor sekiankan, gepokan uang merah mempercepat pelayanan.“Apa yang terjadi?” Dokter itu menempelkan stetoskop di dada Dara sambil mendengarkan cerita Aksa. Ia kemudian menanyakan informasi dasar kepada perawat.Sama seperti perawat tadi, dokter juga memeriksa mata Dara dengan senter kecil. Hasilnya dokter itu mengirim Dara untuk melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan.“Kita akan lihat apa benturan saat jatuh berdampak pada mata ibu Dara.”Dokter itu mengisi beberapa formulir, meminta Aksa melakukan pendaftaran dan pembayaran sebelum Dara mendapatkan penanganan lebih lanjut.Hanya butuh 15 menit, kin
“Dara, bangun!” Aksa berlari kencang menaiki anak tangga berusaha menangkap Dara agar tidak menggelinding sampai dasar tangga di lantai satu. Ia berhasil menangkap Dara yang tepat di pertengahan tangga antara lantai satu dan dua. Tak sempat lagi memikirkan Salim juga Bambang yang berteriak ketika melihatnya masuk rumah, Aksa menggendong Dara yang lemas. Ia bergegas membawa Dara turun. Melompati beberapa anak tangga sekaligus agar cepat sampai di lantai bawah. Aksa berhenti di depan pintu masuk. Melihat deretan mobil yang terparkir di halaman depan, ia memilih mobil milik Bambang. Menunggu taksi akan memakan waktu! “Hei, mau kamu bawa kemana putriku?” Bambang menarik tangan Aksa yang baru saja membaringkan Dara di kursi belakang. “Kamu mau menculik Dara, ya?” teriak pria tua itu lagi. Ia menarik tangan Aksa memaksa pria itu menoleh melihatnya. “Membawanya ke rumah sakit!” Aksa membalas dengan teriakan. Melampiaskan kemarahannya karena Bambang diam saja saat Dara diperlakukan b
“Seharusnya kau sudah bisa menebak!” Dewa keluar dari ruang kerja Sonya setelah menjawab Aksa. Wajah arogan dan berkharismanya tidak luntur meski bayang-bayang kejadian 30 tahun lalu kembali melintas di benaknya.Aksa masih berdiri di tempatnya walau pintu sudah kembali tertutup. Ia menatap Alan, kemudian bertanya, “Bagaimana menurutmu, Al?”Alan mengangkat pundak. “Kita berdua tahu bagaimana cara kerja tuan besar, Tuan muda. Seharusnya anda sudah bisa menebak.” Alan mengulang perkataan Dewa.Ya, Aksa bisa membayangkan apa yang papanya lakukan kepada keluarga Hartawan. Apa karena itu ibunya selama ini menghilang dan tidak pernah berusaha untuk menemuinya?Lagi-lagi Aksa dihadapkan pada pertanyaan yang hanya Dewa Mahardika yang tahu jawabannya.Alan mulai melakukan tugasnya. Ia menangkat interkom dan memanggil beberapa orang untuk melakukan investigasi internal sesuai dengan perintah tuan Dewa.Tidak butuh waktu lama, mulai dari satpam sampai perwakilan divisi terkait masuk ke ruang k
“Jelaskan padaku tentang proyek itu, Son.” Tatapan dingin Dewa seakan menembus jantung Aksa. Pria itu memang bicara kepada Sonya namun pandangan matanya mengarah pada Aksa.Tidak mendengar suara Sonya yang seharusnya menjawab pertanyaan, Dewa mengalihkan tatapannya kepada manajer marketing Maha Group.“Sonya?” Suara dingin Dewa kembali terdengar membuat si empunya nama merinding.Sonya terhenyak kaget. Ia mendongak menatap Dewa sejenak lalu memalingkan wajahnya melihat Aksa meminta bantuan.Rupanya Dewa mengerti maksud dari tatapan Sonya. Pria itu menyandarkan punggungnya lalu berkata, “Aku mau jawaban darimu, Sonya! Bukan anak ingusan itu!” Sonya kembali dibuat kaget dengan permintaan sang pemilik perusahaan. Sejak Dimas memegang kendali Maha Group, Dewa tidak pernah lagi mencampuri urusan perusahaan.Tapi kali ini, Dewa Mahardika pebisnis legenda kembali turun gunung. Terjun langsung menangani perusahaannya.“O —om, itu….”“Ini di kantor, Sonya. Bersikaplah profesional. Kau meman