Aku masih bersimpuh ketika Jace keluar dari lift. Pintu menutup dan lift kembali bergerak naik. Aku belum mampu mencerna maksud ucapan Jace sebelum dia meninggalkanku tadi.
Berakhir? Maksudnya kami putus? Tapi kenapa?
Aku menggeleng kencang. Dadaku memang sudah bergemuruh semenjak mendengar kalimat putus dari mulut Jace. Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku yang memerlukan penjelasan sampai aku belum bisa memutuskan untuk menangis.
Aku menekan tombol angka untuk lantai dasar agar lift kembali turun. Dengan tergesa-gesa, aku segera keluar dari lift begitu bunyi tanda kotak besi ini telah mencapai lantai yang di tuju.
Dua orang teknisi dengan papan tanda elevator rusak menyambutku di mulut lift. Mereka memandangku heran ketika melihatku keluar dari sana.
“Bukannya tadi ada laporan lift utama rusak?” bisik salah satu dari mereka yang sudah memegang perkakas besi.
“Itu katanya Mas Jace yang lapor. Apa dia lagi iseng?” temannya malah balik
Aku menampar Jace di depan teman-temannya. Tidak peduli dia akan terhina atau tidak. Yang penting aku sudah meluapkan kekecewaanku padanya. Sudah dua kali aku menampar orang yang sama. Seseorang yang bahkan namanya ada di dalam daftar orang-orang yang aku doakan. Seseorang yang aku berikan kata cinta dengan tulus. Air mataku tumpah ketika pintu mobil aku tutup dengan kencang. Aku menyalakan mesin dan segera menginjak pedal gas. Kemudian berkendara tanpa tujuan, melewati jalan panjang menuju tempat yang tidak pernah aku lalui sebelumnya. Aku menepikan mobil di bawah sebuah pohon besar yang rantingnya mampu menaungi hampir separuh badan jalan. Entah pohon apa namanya, namun dia memiliki bunga kecil berwarna kuning di setiap ujung rantingnya. Menciptakan siluet yang cantik ketika terkena sinar matahari sore. Suasananya indah. Sangat cocok untuk seorang gadis menyedihkan yang ingin menangis dengan kencang. Sambil menumpahkan rasa sesak yang sudah berhari-hari mencekik le
Ayahku mengantar sampai aku masuk ke dalam gerbang sekolah. Dia berkali-kali mengingatkan bahwa aku harus fokus dan melupakan masalah lain selain materi yang sudah aku persiapkan jauh-jauh hari.Dia menyadari mata sembap dan suaraku yang serak. Namun, dia tidak bertanya lebih lanjut tentang apa yang telah terjadi denganku sampai aku harus menangis semalaman. Lagipula, ayahku juga terlihat tidak dalam kondisi yang bagus. Ada lingkar hitam di bawah matanya, dan berkali-kali dia menghela napas dalam-dalam. Seperti sedang melepaskan keresahan dalam hatinya. Aku menduga, dia habis bertengkar lagi dengan ibuku.”Pah, doakan ya,” ucapku ketika aku hendak keluar dari mobil.Dia menoleh ke arahku lalu tersenyum lembut. “Pasti dong, Kat. Enggak usah diminta juga Papa pasti doakan kamu.”“Nanti kalau aku lolos ke tingkat nasional, Papa juga harus anterin aku kayak gini ya,” pintaku dengan manja.Tangan ayahku terjulur dan m
Aku tidak ingin berlama-lama merayakan hari-hari patah hati. Kegiatanku yang padat seharusnya bisa mempercepat pemulihan luka-luka tak kasat mata di dalam badanku. Aku sudah membuat jadwal secara terperinci. Dari mulai apa yang harus dilakukan ketika bangun pagi, hingga saatnya aku kembali tidur di malam hari. Aku punya banyak rencana. Plan-A, plan-B, plan-C dan seterusnya. Yang akan aku jalankan jika aku tidak sengaja bertemu dengan Jace kelak.Seperti sebuah pepatah klise yang sering aku dengar, kenyataan tidak selalu sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Memang menghindari pertemuan langsung dengan Jace itu sangat mudah. Kami tidak saling bersinggungan dalam kegiatan sekolah. Kelas kami berbeda. Klub ekstrakulikuler kami berbeda. Dan lingkaran pertemanan pun berbeda.Namun, ada bayak hal yang membuatku merasa seperti diikuti bayangannya. Aku merasa seperti selalu berada di bekas jejak langkahnya, dan terperangkap di udara bekasnya bernap
“Katy.” Suara Zoey mengembalikanku dari lamunan panjang. Aku menoleh dan memperhatikan jari-jari tangannya yang memegang kemudi dengan erat. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengajukan pertanyaan yang semenjak kami duduk berdua di dalam mobil, pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. “Kenapa lo mau?” Zoey mengerutkan keningnya. “Apa?” “Ini semua.” Aku melirik tajam ke arahnya. “Lo diminta Jace untuk datang. Dan lo datang dengan senang hati.” “Jace bilang lo dalam masalah dan dia butuh bantuan gue.” “Lo terlalu jauh mencampuri urusan gue.” Nada suaraku meninggi. “Lo itu menantang bahaya, Kat!” “Tapi ini semua enggak ada hubungannya sama lo. Lo bukan siapa-siapa gue lagi.” Zoey menggelengkan kepala. Seolah kecewa dengan apa yang telah aku ucapkan. “Kat, sadar! Lo terlalu tergila-gila sama cowok itu. Sikap lo udah enggak wajar.” Aku membuang pandanganku ke samping. Mencoba menyembunyikan bulir beni
“Gue bisa pulang sendiri,” ucapku pada cowok yang sudah menjinjing tasku di tangannya. “Jangan keras kepala. Pulang sama gue.” Jace berbalik memunggungiku dan mulai melangkah. Aku tidak punya pilihan selain mengkutinya dari belakang. Aku menyerahkan kunci mobil dengan tangan bergetar. Kini aku bersyukur Jace mau mengantarku. Karena dengan keadaan seperti ini, aku tidak akan mampu berkendara dengan benar. Pikiranku melayang pada semua kemungkinan yang bisa saja terjadi pada ayahku. Apa dia mengalami kecelakaan? Atau dia jatuh sakit? Separah apa keadaan ayahku sampai ibuku terdengar histeris di telepon tadi? Semakin aku berpikir, semakin aku kesulitas bernapas. Leherku seperti tercekik sesuatu. Sampai napasku sekarang terdengar tersenggal-senggal. Apalagi ketika bayangan paling buruk tentang ayahku tiba-tiba menghinggapi pikiranku. Aku buru-buru mengerjap dan menarik napas dalam-dalam. Demi menenangkan hatiku yang sudah tidak menentu rasanya.
Hari kedua setelah ayahku tiada, rumah menjadi sangat sepi. Om Aldrin terbang ke Palembang tadi siang. Tante Lisa –Istri om Aldrin, dan Maura sudah kembali ke Bandung. Hanya sesekali Tante Yanti menjenguk ibuku sambil membawakan makanan untuk kami bertiga. Malam menjadi semakin hening ketika kami bertiga sama-sama mengurung diri di kamar masing-masing. Ibuku masih sering terlihat di dapur dan di meja makan. Namun, Aiden sama sekali belum aku temui semenjak kemarin. Aku melintasi ruang keluarga yang sepi. Memandangi poto-poto ayahku yang terpampang di dinding ruangan. Di sudut ruangan ada miniatur bola dunia. Di pajang di atas meja kecil samping televisi. Itu bola dunia pemberian ayahku waktu aku berulang tahun kesepuluh. Aku mengatakan padanya bahwa aku ingin menjadi astronot. Aku ingin menjelajahi ruang angkasa. Namun, dia bilang berkeliling dunia saja terlebih dahulu. Bisa jadi bumi yang selama ini aku pijak lebih menarik ketimbang langit di atas sana. Seperti hidu
“Keuangan pensi?” Aku mengulang perkataan Vania tadi. Dia mengangguk padaku dan menyuruhku untuk segera mengikutinya ke ruangan Kepala Sekolah. Aku menurut dan mengekor di belakangnya. Di ruangan Kepala Sekolah, sudah berkumpul beberapa panitia pensi, anggota OSIS, Pak Badrun dan wali kelasku. “Duduk, Kaitlyn.” Kepala sekolah memepersilakanku dengan senyuman di bibirnya, berbeda dengan yang lain. Mereka terlihat serius dan nampak sedikit cemas. “Eh, Kat. Begini ...,” Pak Badrun memulai pembicaraan dengan sedikit senyuman yang dipaksakan. “Kami sebelumnya meminta maaf sudah memanggilmu saat kamu masih dalam masa berkabung. Tapi ada hal yang harus segera diluruskan sebelum ini semua menjadi berlarut-larut.” Firasatku mulai tidak enak mendengar kalimat pembuka dari Pak Badrun ini. “Iya, Pak. Enggak apa-apa.” “Jadi, kemarin setelah acara pensi selesai, kepanitian pensi me-review ulang masalah laporan keuangan. Doni menggantikan ka
“Jadi ada apa sama keuangan pensi?” tanya Jace ketika aku sudah duduk di sampingnya yang sedang memegang kemudi. Aku terpaksa pulang bersama SUV milik Jace yang masih sangat baru. Bahkan aku masih bisa mencium aroma kulit yang baru keluar dari pabrik begitu aku masuk ke dalamnya. Aku pikir dia sedang mencoba pamer padaku yang sebetulnya tidak perlu dia lakukan. Aku tahu dia kaya dan mampu membeli mobil sejenis ini jika dia mengumpulkan uang jajannya selama beberapa bulan saja. “Ada selisih sama laporan pengeluarannya,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya. “Selisih berapa?” Aku menelan ludahku dan bilang padanya. “Sepuluh juta.” Jace menganggukan kepala lalu mengusap dagunya seperti sedang berpikir. “Gue bisa bantuin lo gantiin uang itu.” “Andai bisa segampang itu. Selama ada uang, masalah langsung selesai,” ucapku sarkastik. “Gue cuma berniat bantu lo doang, Kat.” Jace melirik sebentar ke arahku sebelum kembali memandang jalan di