Aku masih bersimpuh ketika Jace keluar dari lift. Pintu menutup dan lift kembali bergerak naik. Aku belum mampu mencerna maksud ucapan Jace sebelum dia meninggalkanku tadi.
Berakhir? Maksudnya kami putus? Tapi kenapa?
Aku menggeleng kencang. Dadaku memang sudah bergemuruh semenjak mendengar kalimat putus dari mulut Jace. Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku yang memerlukan penjelasan sampai aku belum bisa memutuskan untuk menangis.
Aku menekan tombol angka untuk lantai dasar agar lift kembali turun. Dengan tergesa-gesa, aku segera keluar dari lift begitu bunyi tanda kotak besi ini telah mencapai lantai yang di tuju.
Dua orang teknisi dengan papan tanda elevator rusak menyambutku di mulut lift. Mereka memandangku heran ketika melihatku keluar dari sana.
“Bukannya tadi ada laporan lift utama rusak?” bisik salah satu dari mereka yang sudah memegang perkakas besi.
“Itu katanya Mas Jace yang lapor. Apa dia lagi iseng?” temannya malah balik
Aku merentangkan kedua tangan sejauh jangkauan yang aku bisa. Mengendurkan setiap otot yang tegang akibat terlalu lama duduk di depan laptop. Berminggu-minggu aku merelakan waktu tidurku hanya untuk mengerjakan sesuatu yang bisa membuat Hiro mengakui kemampuankuSemenjak wajah meremehkan Hiro muncul di setiap mimpi burukku, aku jadi merasa tertantang untuk membuat aplikasi SWNW versiku sendiri. Bagan alur dan logikanya sudah aku pelajari dengan baik. Baris demi bari kode aku tulis siang dan malam tanpa lelah. Ini bukan lagi tentang SKS yang harus aku kejar. Ini tentang harga diri. Dia harus tau, dengan siapa dia berhadapan.Udara masih terlalu dingin untukku beraktifitas di pagi hari. Namun, semangat untuk menunjukan taringku di depan sang ketua klub membuatku buru-buru mandi dan berdandan.Sampai di Ruang klub Teknik Digital yang masih sepi, aku segera membuka laptop dan menjalankan kembali aplikasi yang sudah aku buat selama dua bulan ini. Aku tes beberapa kali dan memastikan tidak
“Abis dari mana aja?”Suara ketus itu menyambutku tepat ketika langkahku berhenti di depan mejanya. Pandangannya bahkan masih tenggelam di dalam barisan kode program pada layar laptop. Namun, kalimat dengan nada sinis itu masih saja sempat dia hadiahkan padaku. “Gue ke luar kota kemarin, ada keperluan,” jawabku sambil memutar kedua bola mataku. Padahal sebelumnya aku sudah memberinya kabar lewat pesan singkat.“Keperluan apa?” tanyanya lagi.“Kan, gue udah ngabarin lo. Bokapnya pacar gue masuk rumah sakit.”Akhirnya si ketua klub di depanku ini mengangkat wajahnya dari layar laptop. Dia menatapku dengan dengan padangan tidak percaya, lalu senyuman sinis muncul di bibirnya. Apa dia menganggap aku berbohong?“lo di pecat,” ucapnya tiba-tiba.Lho?! Apa-apaan ini?“Maksudnya apa?” tanyaku tidak terima.“Elo enggak masuk selama tiga hari. Apa masih ada alasan buat mempertahakan lo di proyek ini?” Wajahnya yang datar membuat perkataannya tadi terdengar berkali lipat menyebalkan.“Walau gue
“Tuan Khalid masuk rumah sakit,” tutur Budi dengan wajah khawatir. Budi memberi jeda pada kalimat selanjutnya yang membuat Jace terpaku beberapa saat. “Beliau terjatuh di kamar mandi dan sampai sekarang masih tidak sadarkan diri.”Aku merasakan punggung Jace menegang k etika menyadari ayahnya bukan sekedar sakit biasa. Dia terdiam beberapa saat sampai aku harus menggenggam tangannya dan mengusapnya pelan.“Ayo Jace. siap-siap. Kita berangkat temui ayahmu,” ajakku dengan lembut.Jace menoleh ke arahku sebelum akhirnya dia mengangguk setuju.“Saya tunggu di lobi kalau begitu,” pamit Budi.Aku mengekor di belakang Jace yang berjalan ke kamar tanpa banyak bicara. Wajahnya mungkin terlihat datar dan tenang. Namun, aku tahu dia pasti merasa sedang cemas saat ini.“Kamu enggak perlu ikut. Biar aku sama Budi aja yang pergi,” usulnya ketika sedang berganti pakaian.Aku buru-buru menggeleng mendengar ide itu. “Aku mau ikut.”“Tapi kamu punya banyak tugas kuliah.” Jace menatapku tidak yakin.“Se
Bunyi bip terdengar seiring kartu akses apartemen yang aku tempelkan di sensor lift terbaca oleh sistem. Kemudian kotak besi itu bergerak naik membawaku ke lantai yang mau aku tuju. Ketukan sepatu terdengar menggema di sepanjang koridor yang sepi, membuatku mempercepat langkah menuju unit apartemen milik Jace. Keadaan apartemen yang gelap menyambut kedatanganku, menandakan si pemilik hunian ini sedang tidak berada di sini. Dengan langkah pelan, aku menyusuri ruangan untuk menyalakan semua lampu. Lampu terakhir yang aku nyalakan adalah kamar Jace. Kemudian menghidupkan pendingin udara dan membuka tirai yang sebelumnya menutupi pemandangan kota yang indah. Aku paling suka pemandangan dari sini. Lampu kota yang gemerlap selalu bisa membuatku lebih tenang. Sambil duduk di bench panjang yang empuk. Aku keluarkan handphone dan mengetikan sebuah pesan untuk Jace. Saya: “Aku di apartemenmu.” Aku tidak berharap dia cepat membalas pesanku tadi, tapi ternyata Jace langsung membalasnya. Jace
“Teman-teman, ini anggota baru klub kita. Titipan Pak Tedy. Ada yang mau tanya-tanya?”Kalimat yang terdengar setengah hati keluar dari mulut Hiro membuatku ragu untuk memperkenalkan diri. Padahal, rekan-rekannya sudah antusias melingkariku dan Hiro dari semenjak aku masuk ke ruangan ini.“Namanya siapa, teh?” tanya seorang cowok dengan kacamata tebal yang duduk barisan paling kiri.Aku melirik ragu pada Hiro. Maksudnya, mau bertanya apakah aku sudah diijinkan untuk membuka mulut?“Jawab. Kenapa malah liat gue?” ketusnya membuatku gemas ingin menjambak rambut gondrongnya itu.Aku berdehem beberapa kali sebelum membuka suara, “Saya Kaitlyn, dari jurusan Matematika. Panggil aja Katy.”“Hai, Katy. Selamat datang di klub Teknik Digital,” sapa seorang cewek mungil dari barisan paling depan. Padahal aku merasa tidak cukup tinggi dibanding teman-temanku, tetapi ternyata cewek di depanku ini lebih pendek lagi dariku.Mataku mulai memindai sekeliling. Perkiraan, ada sekitar dua puluh orang yan
Aku mendengar suara Jace dari arah kamar ketika pintu depan sudah aku tutup rapat. Pelan-pelan aku melepas jaket dan sepatu, kemudian menggantungnya di tempat biasa aku menaruhnya. Aku mengendap menyebrangi ruang tengah menuju kamar di mana asal dari suara Jace terdengar. Aroma khas Jace langsung menguar bahkan ketika orangnya belum terlihat sama sekali.Punggung Jace yang pertama kali menyambutku. Dia bicara pada sosok yang berada di layar laptop dengan kalimat-kalimat formal. Dari judul berkas yang dia pegang, sepertinya dia sedang ada presentasi bisnis untuk kelas online-nya. Makanya, aku memilih untuk mundur pelan-pelan dan berniat menunggunya selesai di ruang terpisah.Namun aku mendengar Jace memanggil namaku, membuatku menoleh ke arahnya.“Apa?” Aku berbisik, takut lelaki tanpa rambut yang sedang bicara pakai bahasa inggris di seberang sana mendengar suaraku.“Udah aku mute. Enggak perlu bisik-bisik.” Jace terkekeh. Tangan kanannya terangkat dan hendak menggapaiku.Aku belum p