Dunia seolah berhenti bernapas. Hawa malam mendadak terasa seperti belati es yang menusuk ke dalam dada. Siluet lelaki yang sedang menatapku dari balik kaca mobil seolah melemparkan palu godam ke arahku yang siap meremukan setiap jengkal organ tubuhku.“Kayaknya mobil itu ada orangnya.” Suara Hiro semakin meyakinkanku bahwa malam ini tidak akan mudah untuk aku lalui.“Gue masuk sekarang. Makasih tumpangannya ya. Hati-hati dijalan,” ucapku sambil menyerahkan helm padanya dengan tergesa-gesa.“Gue anterin sampai ke dalam.”“Enggak perlu!” tanpa sadar, intonasiku meningkat karena rasa panik yang menyerang.Sudut mataku kembali melirik ke arah kaca mobil yang gelap. Aku menyadari, dibalik kaca itu, ada mata yang masih mengawasi gerak gerak kami berdua.Dahi Hiro bertaut. “Jam tiga pagi ada orang di dalam mobil lagi ngintai rumah lo. Elo yakin ini aman?”Aku menghembuskan napas dengan kasar. “Gue kenal mobil itu . Enggak ada masalah. Semua aman.”Aku coba menyakinkannya dengan nada bicara
Akhirnya aku tenggelam kembali ke dalam lautan kode. Baris demi baris kode aku baca kembali dengan seksama demi mencari kesalahan pada sintaks yang sudah diberi catatan oleh Hiro sebelumnya. Cukup banyak catatan yang ditambahkan ke dalam program ini. Contohnya seperti:“Logika modul harus spesifik, belajar lagi cara kerja fungsi.”“Penamaan harus ringkas dan unik. Jangan bikin bingung diri sendiri.”“Banyak banget catatan kaki, ini bikin program atau nulis diari?”Kata-kata dengan kesan menghina tidak hanya keluar dari mulut Hiro. Bahkan dalam back-end program saja, dia masih sempat membuatku kesal. Namun, lebih dari pada itu, aku merasa terhibur dengan kalimat-kalimatnya. Seperti sedang dimarahi betulan rasanya.Sesekali Hiro datang menghampiriku. Baik itu untuk menanyakan apakah ada kesulitan atau tidak, atau hanya sekedar duduk diam menemani. Bahkan dia masih sempat membawakan mie goreng untukku. Katanya, jangan sepelekan rasa lapar kalau sedang menulis kode. Karena otak sedang be
Suara klakson yang melengking, deru mesin yang tak putus, dan riuh rendah tawa bercampur aduk menciptakan melodi khas akhir pekan kota. Aku membiarkan diriku terseret arus, tanpa tujuan pasti, menikmati kebebasan anonimitas yang hanya bisa kutemukan di tengah keramaian. Sesekali aku berpapasan dengan pasangan muda mudi yang bercengkerama dengan mesra. Menumbuhkan perasaan iri yang biasanya tidak pernah aku rasakan selama ini.Bagaimana aku bisa iri pada kisah cinta orang lain, sedangkan aku punya tunangan yang sempurna di sana.Lelah dengan hiruk pikuk jalanan kota, aku memutuskan untuk mencari tempat untuk sekedar duduk santai sambil menyeruput kopi. Kebetulan tidak jauh dari tempatku berdiri, aku menemukan sebuah kedai kopi yang sedikit tersembunyi dan dihimpit gedung tinggi dengan banyak pohon di sekitarnya.Suara lonceng terdengar seiring pintu kaca aku dorong untuk membuka jalan. Begitu kakiku sudah masuk ke dalam, aku terkejut karena kafe tersembunyi ini ternyata penuh dengan pe
Aku merentangkan kedua tangan sejauh jangkauan yang aku bisa. Mengendurkan setiap otot yang tegang akibat terlalu lama duduk di depan laptop. Berminggu-minggu aku merelakan waktu tidurku hanya untuk mengerjakan sesuatu yang bisa membuat Hiro mengakui kemampuankuSemenjak wajah meremehkan Hiro muncul di setiap mimpi burukku, aku jadi merasa tertantang untuk membuat aplikasi SWNW versiku sendiri. Bagan alur dan logikanya sudah aku pelajari dengan baik. Baris demi bari kode aku tulis siang dan malam tanpa lelah. Ini bukan lagi tentang SKS yang harus aku kejar. Ini tentang harga diri. Dia harus tau, dengan siapa dia berhadapan.Udara masih terlalu dingin untukku beraktifitas di pagi hari. Namun, semangat untuk menunjukan taringku di depan sang ketua klub membuatku buru-buru mandi dan berdandan.Sampai di Ruang klub Teknik Digital yang masih sepi, aku segera membuka laptop dan menjalankan kembali aplikasi yang sudah aku buat selama dua bulan ini. Aku tes beberapa kali dan memastikan tidak
“Abis dari mana aja?”Suara ketus itu menyambutku tepat ketika langkahku berhenti di depan mejanya. Pandangannya bahkan masih tenggelam di dalam barisan kode program pada layar laptop. Namun, kalimat dengan nada sinis itu masih saja sempat dia hadiahkan padaku. “Gue ke luar kota kemarin, ada keperluan,” jawabku sambil memutar kedua bola mataku. Padahal sebelumnya aku sudah memberinya kabar lewat pesan singkat.“Keperluan apa?” tanyanya lagi.“Kan, gue udah ngabarin lo. Bokapnya pacar gue masuk rumah sakit.”Akhirnya si ketua klub di depanku ini mengangkat wajahnya dari layar laptop. Dia menatapku dengan dengan padangan tidak percaya, lalu senyuman sinis muncul di bibirnya. Apa dia menganggap aku berbohong?“lo di pecat,” ucapnya tiba-tiba.Lho?! Apa-apaan ini?“Maksudnya apa?” tanyaku tidak terima.“Elo enggak masuk selama tiga hari. Apa masih ada alasan buat mempertahakan lo di proyek ini?” Wajahnya yang datar membuat perkataannya tadi terdengar berkali lipat menyebalkan.“Walau gue
“Tuan Khalid masuk rumah sakit,” tutur Budi dengan wajah khawatir. Budi memberi jeda pada kalimat selanjutnya yang membuat Jace terpaku beberapa saat. “Beliau terjatuh di kamar mandi dan sampai sekarang masih tidak sadarkan diri.”Aku merasakan punggung Jace menegang k etika menyadari ayahnya bukan sekedar sakit biasa. Dia terdiam beberapa saat sampai aku harus menggenggam tangannya dan mengusapnya pelan.“Ayo Jace. siap-siap. Kita berangkat temui ayahmu,” ajakku dengan lembut.Jace menoleh ke arahku sebelum akhirnya dia mengangguk setuju.“Saya tunggu di lobi kalau begitu,” pamit Budi.Aku mengekor di belakang Jace yang berjalan ke kamar tanpa banyak bicara. Wajahnya mungkin terlihat datar dan tenang. Namun, aku tahu dia pasti merasa sedang cemas saat ini.“Kamu enggak perlu ikut. Biar aku sama Budi aja yang pergi,” usulnya ketika sedang berganti pakaian.Aku buru-buru menggeleng mendengar ide itu. “Aku mau ikut.”“Tapi kamu punya banyak tugas kuliah.” Jace menatapku tidak yakin.“Se