William Samsons MacRay, arsitek ternama yang nampaknya memiliki masalah tentang melakukan segalanya tepat waktu. Dia seorang pria matang, 37 tahun yang telat nikah karena sibuk membuat bangunan arsitektur menakjubkan di berbagai belahan dunia. Namun, kali ini kejadian naas dia dicopet dompetnya serta ketinggalan pesawat di bandara mempertemukan Will dengan Emmy Estelia Setiawan. Gadis imut berusia 22 tahun itu baru saja pulang ke Jakarta usai menyelesaikan pendidikan arsitekturnya di Harvard University. Dia membelikan Will secangkir kopi dan juga mengantar pulang pria matang itu dengan taksi bandara. Siapa sangka, Will adalah pemilik Fame Palette Artisans Co, tempat yang menerima Emmy bekerja via email saat masih di Amerika Serikat? Baru kali ini William merasa begitu tertarik dengan seorang gadis, dia membuat Emmy selalu bersamanya ke mana pun dia pergi bekerja di seluruh dunia; Berlin, Dublin, Maroko, Praha, Rotterdam, dll. Mereka pun menjadi sangat dekat sehingga memiliki hubungan spesial sugar daddy dan sugar babynya. Ketika benih-benih cinta itu tumbuh, orang tua Will malah menjodohkannya dengan Vanessa, puteri kolega mereka agar dia segera menikah. Beranikah William tetap memperjuangkan cintanya untuk gadis imut kesayangannya ataukah dia mencoba bersikap logis dan memupus hubungan berbeda usia yang jauh itu?
View MoreDark clouds veil the sky, rendering everything dark, depressing, the same as the incident that happened today. As clouds in the sky, pain veils my heart, making me feel the same, gloomy from inside out.
The sudden change of events made once pleasant days unpleasant.
My wedding turned out to be the reason for the death of my family.
The thought of not seeing my family, my loved ones ever again, shatters me from inside, but my eyes remain dry, with not a drop of tear in them.
My family has to pay for the sins of someone else. I don’t even know to whom, should I blame, the driver, who was drunk driving to the wrong side of the road, or I who invited them to attend the wedding, if only I hadn’t asked them. The accident never occurred. It was my fault. It’s me who has taken four lives, killed them. The drunk driver was just a host of my sins.
It’s for me that Liam, my little brother who was only a teenager, has to die so early. For me, my parents have to die. Jared, my first and only lover, a childhood buddy, has to die just before his wedding.
Why am I alive then, when there is no one around me, no family, no love, with no hope for life? There is darkness in front of my sight, despair in my heart, and the belief of ending my life in my mind. At moments like this, death seems far easier, then having the courage to face reality.
*******
The memories were so fresh in my mind, the moments I shared with Jared. Memories of my last conversation with Jared came flooding back. The last time I was happy.
“Good morning,” a familiar voice muttered, close to my ear, with a pair of lips brushing my forehead.
The first thing my eyes glimpsed was Jared’s radiant smile. “Good morning.” I spoke, my eyes scanning the figure beside me, admiring the way his body sprawled on the bed, with the blanket only covering the essential parts of his body. The rest is free for my eyes to appreciate.
I moved a little, filling the space between us with hands placed on either side of his cheek. My senses filled with the passion for the person in front of me, brushing my lips with his, kissing him. My hustle made him freeze for a second before he started kissing me back passionately. With his tongue penetrating my mouth, dancing a tango of its own, fighting for authority, making me groan in pleasure. I sensed his smirk upon my response as he separated his lips from mine.
I groan in frustration, not wanting it to be the end, craving for more. Jared smirks at my resentment, with his hands running on my hair and my back, cradling me in his arms, making me sit on his lap.
I laid my head over his chest, with hands wrapped around his torso, listening to the sound of his heart pounding.
“Can I ask you a question?” I nodded. “Will you miss me if I die?” Jared continued, grinning at his own words.
I punched his chest in anger. “Ouch, what’s that for?” Jared protested, rubbing the spot where I hit him.
“Don’t you dare talk about dying ever again?”
“Never,” Jared responded, embracing me in his arms, tight.
“What if something bad happened? You never know?”
“You can’t get rid of me that easily. Not when we are gray and old or when you get bald,” I responded, taunting Jared.
We both chuckled at my words. “Good. I also have no plans on leaving you, even when we’re ghosts hunting other people’s homes.” We cackled at his joke. But within seconds, Jared’s face turned stern with his eyes staring at mine. “But… Jane, can you promise me one thing?” I nodded.
“I don’t know why this question pops into my mind. But I need you to remember my words, with the promise that you made with me.”
“Hmm,” I hummed, snuggling close to his warmth.
“If someday…... I die…,” he paused, placing his index finger on my lip. “Promise me you will move on. Starting a new life of your own with someone else. All I want is your happiness, with or without me, Jane.”
“There is no joy for me without you, Jared,” I responded as my eyes began streaming.
“That’s what I don’t want. Where there is life, there is death. Whoever is born once must die…. You can’t grieve for someone’s death forever.” he paused, holding my hands in his. “I want you to live a happy life. Promise me, Jane. I have asked nothing from you other than your love. Promise me this one thing, and you’ll make me the happiest man alive, please,” Jared responded, presenting me with his best smile.
My voice turned mute. I couldn’t find the right words to say, staring at the person whose love for me is as pure as a child’s heart, who wants nothing in return other than my happiness.
How did I get so lucky to have someone like Jared? “I promise, but....., promise me the same thing, with or without me you’ll be happy, and move on in your life.”
Jared taps the tip of my nose with his index finger. “I can’t even imagine living with anyone else other than you. I will try, if that’s what you wish.” He stated, planting a gentle kiss on my forehead.
“Same,” I repeated, wrapping my arms tight around him, happy to end the stupid conversation.
I smiled at memories of my last time with Jared.
Who would have known it would be our last time together, which ended by urging each other to fulfill some stupid promise? As I look back, I wish I would have never promised Jared about living my life happily with someone other than him, even after his death?
I don’t think I have the strength to survive. Life took an unusual and miserable turn, and I don’t know why__ I am enduring, alone when everyone else I love is dead, all at once.
"Kids, apa kalian sudah siap?!" seru William dari dasar tangga rumahnya. Emmy bergelanyut manja di sisinya menunggu ketiga anak mereka menuruni tangga dari lantai dua diikuti baby sitter mereka yang membawakan koper pakaian masing-masing."Ayo berangkat sekarang, Daddy, Mommy!" seru ketiga bocah itu kompak sambil melonjak-lonjak bersemangat. Emmy merangkul Josephine, sedangkan kedua putranya digandeng oleh si daddy di kanan kiri pria bertubuh jangkung itu Mereka naik ke mobil MPV yang dikemudikan oleh Mang Ali menuju ke Bandara Soekarno-Hatta. Di kursi samping pengemudi, Haikal duduk tenang sambil bertanya kepada bosnya, "Pak Willy pergi ke California berapa lama rencananya?""Mungkin seminggu aja sih, kami cuma pengin jalan-jalan ke Disneyland buat ngisi liburan kenaikan kelas anak-anak. Jaga rumah baik-baik ya, Mo!" jawab William dari bangku tengah mobil bersebelahan dengan Emmy dan Josephine. Kedua anak laki-laki mereka duduk di bangku belakang bersama seorang baby sitter. Isaac
Rak pajang kayu Eboni dekoratif di ruang keluarga Willems telah dipenuhi berderet foto dari masa ke masa semenjak pasangan William dan Emmy menikah, beberapa foto prewedding yang menyimpan kenangan indah, foto bersama Isaac yang berusia beberapa hari hingga mulai bertumbuh menjadi bayi yang bisa merangkak, berjalan, hingga berlari-lari bersama mommy cantiknya di halaman belakang rumah yang tertata apik. Daddy Will nampak selalu tertawa riang di setiap moment yang berkesan itu.Disusul deretan kenangan indah adiknya Isaac yang bernama Jacob Samsons Willems dan si bungsu yang cantik Josephine Emily Willems. Keluarga kecil dengan tiga putra-putri mereka yang menggemaskan itu sangat kompak mengukir setiap bingkai memori yang terpajang di sana Jacob hadir di usia pernikahan orang tuanya yang ketiga dan Josephine agak cepat menyusul kakak keduanya ketika delapan bulan usia Jacob dan masih disusui oleh Emmy. Memang William sengaja melakukan kekhilafan itu agar usianya ketika memiliki anak p
"Kuliah kita siang ini cukup sekian dulu ya, Rekan-rekan Mahasiswa!" ucap Emmy menyudahi perkuliahan yang dia bawakan untuk kelas semester enam. Sedikit tak nyaman karena perutnya mengalami kontraksi hebat, tetapi dia berusaha menahan dan bersikap segalanya baik-baik saja hingga air hangat itu mengalir dari bagian paha dalamnya. "Ohh ... tidak, aku pecah ketuban di kampus!" cicit Emmy panik.Reynaldi yang lewat di depan meja dosen pun mendengar perkataan wanita yang pernah disukainya itu. Dia membatalkan niatnya ke kantin kampus untuk makan siang alih-alih memilih menolong Emmy. "Gimana, Bu Emmy? Apa butuh bantuan untuk dianterin ke rumah sakit?" tawarnya dengan perhatian.Dengan terpaksa Emmy mengangguk setuju. "Iya, sebaiknya begitu. Aku pecah ketuban, Rey. Tolong ya!" balasnya seraya bangkit dari kursi dosen."Valdo, Revan, bantuin sini dong! Lo pada bawain tasnya Bu Emmy deh. Gue papah dia ke depan, ntar jagain sampe gue dateng dari parkiran mobil!" pesan Reynaldi yang segera dim
"Okay, saya tunggu kedatangannya di kantor baru yang di Bandung, Pak Anton. Lokasinya saya kirim via shareloc. Terima kasih!" ujar William di telepon saat dia mengantar Emmy ke kampus.Aktivitas rutin paginya itu telah berjalan selama berbulan-bulan semenjak mereka pindah tinggal ke Bandung. Istrinya yang hamil semakin buncit saja perutnya. "Nanti sore kita jalan ke mall yuk buat beli keperluan baby Isaac, sudah dekat juga waktu melahirkan kamu. Biar semua kebutuhannya siap dan nggak ada yang terlewat, gimana?" ajak William sambil memeluk dan mengecup puncak kepala Emmy."Boleh, sepulang dari kampus aja kali ya biar nggak bolak-balik keluarin mobil, Kak?" usul Emmy yang disetujui oleh William.Mang Ali menghentikan mobil di pintu masuk lobi kampus tempat Emmy mengajar. Dia menunggu pasangan mesra itu saling berpamitan seperti biasanya. "Byebye, Kakak Sayang. Sampai nanti sore ya ... muuaaachh!" Emmy melambaikan tangan lalu meniupkan kissbye ke arah William yang melongokkan kepala di
Sore itu sepulang kerja, Emmy dibawa ke rumah baru yang dibeli William di Bandung. Kedua matanya ditutup dengan selembar kain hitam oleh sang suami. "Kita sudah sampai, Sayang. Yuk turun!" ajak William sembari menuntun istrinya melangkah keluar dari bangku penumpang mobil yang terparkir di depan teras rumah bergaya Bali tradisional itu.Emmy menurut saja dengan bimbingan tangan William lalu dia berhenti melangkah dan mulai dibuka kain penutup matanya. Dia mengedarkan pandangan yang sedikit berkunang-kunang akibat ditutup kain gelap ke sekeliling ruangan. "Wow ... keren banget deh, ini rumah kita, Kak?" desah kagum Emmy seraya melangkah berkeliling ruang tengah yang mulai terisi furniture dan tertata elegan."Kamu suka 'kan sama rumah ini, Baby?" tanya William dari samping Emmy."Iya. Siapa yang jadi penata artistik interior rumah ini, Hubby?" balas Emmy sambil senyum-senyum.William terkekeh, dia pun menyahut, "Kalau yang pilih furniture sih aku. Cuma yang ngatur posisinya si Momo. A
"Tiiinn tiiinn!" Suara klakson mobil sedan hitam itu membuat Emmy tersenyum lalu berlari-lari kecil menghampirinya. Dari dalam mobil, suaminya membukakan pintu dan Emmy pun duduk di samping William. Hari pertama dia mengajar kuliah kembali agak melelahkan karena ada tiga mata kuliah yang dibawakannya tadi. "Oya, Kak Willy mau ajakin aku ke mana nih? Bingung juga mau menginap di mana kita malam ini, apa mau di rumah kakek nenek saja dulu sementara belum ada tempat tinggal di Bandung?" tanya Emmy dengan pemikiran yang sederhana.William pun menjawab, "Malam ini kita tidur di rumah Kakek Hasan boleh juga. Besok ya baru pindahan!" "Hahh?! Pindah ke mana tuh, Kak?" Emmy terkejut sekaligus bingung. Bagaimana bisa suaminya mendapatkan rumah secepat itu?"Surprise pokoknya besok. Malam ini aku mau menginap di pondok indah mertua aja deh sekali-sekali!" ujar William mencandai istrinya."Nggakpapa kok, Kakek Hasan dan Nenek Dahlia pasti senang kalau cucu menantu mereka mau tidur di rumah kec
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments