Lima sahabat ARCJJ, sebut saja Awan, Rosie, Cantigi, Jhagad dan Jazlan mendaki Gunung Argon yang terkenal mistis untuk pertama kali. Kebakaran hutan hebat membuat mereka terpencar dan petualangan di Hutan Terlarang pun resmi dimulai. Kepentingan masing-masing orang mulai membuat bertahan hidup menjadi lebih rumit lagi. Kisah kelam hutan terlarang terungkap, mereka jadi saksi keberadaan makhluk yang terpenjara sunyi. Ketika mahluk haus akan darah mengancam diri, pulang yang dulunya begitu dihindari, berubah menjadi hal yang paling diingini. Akankah mereka bisa bertahan dan pulang kemudian? Bahkan ketika harap mungkin hanya tinggal angan?
View MoreMenjejakkan kaki dan terjebak di kawasan Hutan Terlarang, sungguh tidak pernah terbayangkan sedikit pun oleh mereka sebelumnya. Bahkan, Lima Serangkai yang dulunya selalu bersama di mana pun berada, sekarang bisa terpisah-pisah begitu saja.
Sementara empat sahabatnya juga terpencar, saling mencari dan saling ingin menyelamatkan. Jazlan yang cenderung penakut bahkan harus seorang diri berpetualang, masuk lebih dalam, jauh ke area terdalam Hutan Terlarang.
Siang itu, Jazlan tersesat hingga sampai di area Padang Rumput luas bersama dengan banyak pendaki lainnya. Walaupun masih terhitung terang, tapi suasananya saat itu lebih ke arah mencekam.
SREEK.. SREEK… SREEK!
Suara gesekan rumput terdengar, dari arah yang tidak terlihat ada pendaki sama sekali. Jazlan dan para pendaki lain pun terhentak, menghentikan langkah.
“HEI! SIAPA DI SANA? TOLONG JANGAN BERCANDA!” teriak Jazlan untuk memastikan sumber suara bukan dari pendaki lainnya.
Tidak ada yang menjawab. Para pendaki lain pun tidak ada yang berkata-kata, diam, tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
‘Benar juga, dalam suasana seperti ini, siapa juga yang masih sempat terpikir untuk bermain-main? Bahkan spesialis komedi sepertiku tidak berminat sama sekali,’ gumam Jazlan dalam hati.
Semakin lama waktu berlalu, suara gesekan menyibak rumput tidak lagi terdengar. Para pendaki pun mulai merangsek, melanjutkan berjalan, berharap segera bisa keluar dari area Padang Rumput itu. Sayangnya, baru beberapa langkah mereka lewati, suara teriakan pun terdengar.
“AAARGH……TO…LONG. LE..PAS…KAN… TO!”
Suara patah-patah itu sukses membuat setiap pendaki di Padang Rumput tercekat. Di tambah, sorot mata tajam tiba-tiba saja muncul di sekeliling, meneror, siap menerkam siapa saja yang ada di Padang Rumput itu.
‘Satu pasang, dua pasang, tiga, sembilan, tiga belas, du..a.. pu..luh…sial matilah aku!’ gumam Jazlan sambil mengarahkan pandangan matanya ke sekeliling, menghitung jumlah sorot mata yang terlihat.
Untuk sekejap kemudian, ia berteriak “LARI…….!”
****
Dua belas jam sebelumnya.
“Aargh… akhirnya sampai Pos Empat juga. Capek banget rasanya,” kata Rosie sambil merentangkan tangannya lebar-lebar, melakukan peregangan.
“Jelas saja capek, 6 jam summit ditambah 4 jam lagi untuk turunnya, pundak ketemu lutut juga, itu sih gila!” keluh Cantigi.
Mendengar keluhan Cantigi, Rosie dan Jhagad hanya tertawa. Mereka juga merasakan hal yang sama, lelah, tapi ada kelegaan dan kesenangan yang membuncah luar biasa. Akhirnya Lima Serangkai ARCJJ Awan, Rosie, Cantigi, Jhagad dan Jazlan berhasil menapakkan kakinya di Puncak Tertinggi Gunung Argon.
“Eh Wan, Wan geseran sedikit!” kata Jazlan kepada Awan yang sudah terlebih dahulu beristirahat di atas matras.
Awan yang cenderung sedikit bicara pun langsung bergerak. Tapi, bukannya bergeser, ia justru melemparkan satu matras ke arah Jazlan. Awan memang tidak terlalu suka dengan hal yang merepotkan.
“Aih.. Kau benar-benar ya!” kata Jazlan sedikit kesal.
BRUK
“Argh.. leganya!” Jazlan akhirnya bisa merebahkan diri di atas matras yang telah direntangkannya di samping Awan.
Sementara mereka beristirahat, para pendaki lain di Pos Empat ini sudah ada yang berkemas-kemas, bersiap untuk turun ke basecamp. Mengingat, perjalanan sampai ke basecamp juga masih cukup jauh.
“Eh, Gad! Kita juga turun sekarang?” tanya Rosie.
Mendengar pertanyaan Rosie, Jazlan langsung terjingkat, mengambil posisi duduk sambil berkata, “Time out! Time out! Kakiku bisa copot sungguhan kalau turun sekarang, besok pagi saja turunnya!”
“Iya, Gad! Besok saja ya?” Rosie menambahkan sambil memberikan ekspresi memohon.
“Gimana, Gi? Wan?” tanya Jhagad.
Jhagad memang sosok pemimpin, yang keputusannya akan selalu dituruti oleh ke empat sahabatnya. Namun, ia tidak pernah sekali pun lupa untuk menanyakan pendapat dari setiap sahabatnya, sebelum akhirnya mengambil keputusan.
“Aku terserah, Gad. Menginap semalam lagi mungkin bukan ide yang buruk” kata Cantigi mendukung.
Sementara Awan, yang biasanya selalu ikut saja, entah kenapa tampak ragu-ragu. Walaupun akhirnya tetap mengangguk setuju. Keputusan pun dibuat, mereka akan menginap satu malam lagi di Pos Empat.
“YES! YUHUUU!” Jazlan dan Rosie berteriak kegirangan, sampai membuat semua pendaki di area Pos Empat menatap tajam ke arah mereka.
Awan pun segera beranjak dari tempat duduknya, masuk ke dalam tenda. Cantigi memalingkan wajah, pura-pura tidak kenal dengan mereka berdua. Sedang Jhagad, hanya bisa berbalik arah, sambil memberikan ekspresi permohonan maaf kepada para pendaki atas kebisingan yang tercipta.
Sore pun menjelang. Sementara Rosie dan Jazlan memasak, Jhagad membantu pendaki yang baru datang mendirikan tenda di dekat tenda mereka.
“Eh, Gi! Mau kemana?” tanya Jhagad yang melihat Cantigi yang melewatinya.
“Ambil air!” jawab Cantigi sambil menunjukkan botol-botol kosong yang dibawanya.
“Tunggu sebentar. Kutemani!”
“Tidak perlu, ada Awan, itu!”
Awan pun terlihat sudah menunggu Cantigi di jalanan yang mengarah menuju sumber air. Mengambil air di sumber air Pos Empat memang sedikit membutuhkan perjuangan. Sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh, namun karena jalanannya licin penuh dengan lumut, Cantigi dan Awan harus melewatinya pelan-pelan agar tidak terpeleset.
Butuh sekitar sepuluh menit hingga mereka sampai di sumber mata airnya. Cantigi pun menyempatkan menenggak sedikit air sebelum mengisi botol kosong yang dibawanya.
“Luar biasa segar.”
Awan pun ikutan mengambil sedikit air dan meninumnya. Kemudian, mengangguk, tanda setuju dengan perkataan Cantigi sebelumnya.
Setelah semua botol mereka terisi penuh, mereka berdua pun berjalan meninggalkan sumber mata air, menuju kembali ke tenda. Dalam perjalanan kembali, entah kenapa terasa seperti ada yang mengawasi mereka. Padahal jelas-jelas mereka hanya berdua saja.
“Wan!” panggil Cantigi, sambil tetap berjalan pelan.
Awan yang sejak pertama kali memasuki kawasan sumber air sudah merasakan hal aneh pun tidak kaget sama sekali. Pandangannya sejak awal sudah sibuk mengawasi semua semak-semak di sekeliling mereka. Selama ini ia diam saja karena memang tidak ingin membuat Cantigi panik saja.
SREK..!
Terdengar suara sekelebat dari arah semak-semak. Mereka berdua pun menghentikan langkah. Menatap nanar sekitar.
“Wan!” pangil Cantigi sekali lagi.
Awan hanya menoleh ke arah Cantigi sambil meletakkan jari telunjuk ke depan mulutnya sendiri, meminta Cantigi untuk tidak bersuara.
SREK.. SREK..!
Suara gesekan terdengar lagi. Kali ini sepertinya berasal dari arah semak-semak di sebelah kanan, dekat dengan tempat mereka berdua berdiri. Semak-semak itu pelan mulai bergerak-gerak, sedikit demi sedikit tersibak, seperti ada yang tengah melewatinya. Awan dan Cantigi secara otomatis menghadapkan diri ke arah semak-semak itu.
“Gi!” panggil Awan pelan.
Cantigi pun reflek melihat ke arah Awan. Melihatnya lamat-lamat. Cantigi sadar dengan bahasa tubuh Awan yang menginginkannya agar tetap di tempat, selagi ia pergi memeriksa semak-semak itu. Namun, jelas, Cantigi menolaknya.
“Tidak! Aku ikut denganmu!”
Awan yang juga sudah hafal benar dengan perangai Cantigi pun membiarkannya saja, sesukanya. Karena jelas, di suasana seperti ini, berdebat tidak akan membantu sama sekali. Justru menambah pelik, sedang Awan bukan orang yang suka dengan hal rumit apalagi pelik. Sementara itu, suara gesekan semakin keras, tanda sumbernya sudah semakin dekat.
SREEK.. SREEK.. SREK…!
Bukannya menjauh, Cantigi dan Awan justru melangkahkan kakinya mendekati semak-semak itu. Awan mengambil langkah tepat di depan Cantigi untuk berjaga-jaga. Pelan tapi pasti, tangan Awan mulai menjangkau sisi terluar semak belukar.
GLUP..
Cantigi menelan ludah, mempersiapkan diri dengan apa saja yang mungkin akan dilihatnya setelah ini. Belum sampai tangan Awan menyibak semak belukar, tanpa diduga, seekor mahluk berbulu belang terlihat sudah melompat, menerjang ke arah Awan. Dengan ukuran yang cukup besar, mau tidak mau Awan pun reflek menghindar, hingga tubuhnya terjatuh ke belakang.
“AWAS WAN….!!!,” teriak Cantigi parau
Bukan hanya Cantigi yang panik, Rosie, Tegar dan Jazlan juga. Kedua orang laki-laki itu tampak melongok ke jembatan yang sudah tergantung ke sisi jurang.Melihat Jhagad bergelantungan, Jazlan mau bergerak menolong. “Gad!?”“Biar aku saja, kau tunggu di sini,” cegah Tegar sambil sudah bergerak, menuruni jembatan itu.“Bertahan, Gad!” teriak Jazlan.Jhagad sendiri tampak sedang bergelantungan, tangannya berpegang ke tali jembatan terbawah sambil kakinya menendang-nendang Mahluk Haus Darah yang memegangi kakinya.“Bantu aku,” Awan tiba-tiba berteriak, membuat Jazlan menoleh.Ternyata, laki-laki itu sedang memegangi tali jembatan yang masih terikat di pohon.Beruntungnya, kebakarannya tidak sampai melahap tanaman di sekitar jembatan gantung itu.“Talinya sudah menipis sekali,” kata Jazlan seketika melihat kondisi talinya.Sementara itu, Tegar tampak sudah akan sampai di posisi Jhagad.“Hati-hati!” teriak Cantigi, Rosie menatap harap-harap cemas.“Naik, buat apa kau turun?!” ucap Jhagad ke
Para perempuan tampak istirahat. Jazlan dan Tegar juga. Lumayan, masih tersisa beberapa jam sebelum mereka harus berlari nanti.Tinggallah Awan dan Jhagad saja yang masih terjaga. “Kau tidak tidur?” tanya Jhagad kepada Awan.“Bisa kita bicara di luar?” Awan justru bertanya balik.“Bicara apa?”“Tempat buang air,” ucap Awan dengan nada serius sambil melirik ke arah sahabatnya.Paham dengan maksud Awan, Jhagad mengiyakan. “Oh, ok.”Kepada yang lain mungkin Jhagad bisa pura-pura dan menyembunyikan semuanya. Tapi, kepada Awan lain cerita.Di saat orang-orang tidak curiga, hanya Aw
“Tenang, sepertinya, mereka tidak bisa melihat kita dalam kabut ini,” kata Awan, berdiri di samping Rosie.“Benar. Sebaiknya kita bergegas,” Jhagad yang di depan pun segera memberikan komando.Mereka terus berjalan, sambil melihat ke bayangan di kabut untuk jaga-jaga.Tapi, Mahluk Haus Darah itu tidak menyerang. Sepertinya benar, mereka aman di dalam lingkup kabut itu.Beberapa menit kemudian, sebuah cahaya lampu kuning terlihat.“Jogoboyo?!” sapa Jhagad.“Cepat ikuti aku,” ucap Jogoboyo sambil berjalan.Jhagad dan rekan-rekannya pun mengikuti ke mana Jogoboyo pergi.
“Benar, ‘kan? Ini bukan langkah manusia,” ucap Tegar kepada Jhagad. “Aku tahu, tapi tidak perlu membuat orang semakin takut bukan?” sindir Jhagad, membuat Tegar menoleh ke belakang. Melihat Rosie dan rombongan perempuan lainnya, ia pun merasa bersalah karena membuat mereka tegang begitu. “Sorry-sorry, kemungkinan itu suara langkah hewan. Jangan panik” “Heh. Langkahnya semakin mendekat, mengarah ke sini,” kata Jazlan sambil bersiap dengan tongkat pendaki yang ia bawa sejak tadi. “Jangan menyerang lebih dulu. Matikan saja headlampnya,” usul Tegar. “Ha? Serius?” sahut Sivi seolah tidak setuju dengan ide Tegar itu. “Serius. Ini ruangan tertutup, kalau itu hewan buas, kita sebaiknya tidak menyerang, tapi bersembunyi. Satu-satunya cara sembunyi ya cuma membuat gelap ruangan, agar hewan itu tidak melihat.” “Kalau itu hewan yang peka dengan bau manusia bagaimana?” “Iya juga.” Tegar jadi berpikir ulang.
“Sepertinya benar ini lorong bawah tanah. Ujungnya tidak terlihat, masuklah,” jawab Tegar.Mendengarnya, Jhagad dan Jazlan pun saling tatap. Seolah sudah bersepakat, Jhagad masuk ke dalam peti itu lebih dulu.Jhagad sudah ada bersama Tegar, giliran Jazlan menyusul.Dengan bantuan cahaya headlamp yang redup, mereka bertiga pun mulai melihat lorong bawah tanahnya.“Coba lihat ini!” kata Tegar yang sedang memeriksa sebuah lukisan di dinding sebelah kanan.Jhagad dan Jazlan berjalan mendekat. Melihat lukisan itu, Jazlan berceletuk. “Peta?”“Sepertinya iya. Ini benteng, ini padang rumputnya.” Jhagad berkata sambil menunjuk ke arah peta, menunjuk tempat yang ia sebut.“Dan yang ini, sepertinya jalur lorong ini.” Tegar menunjuk jalur di peta itu. “Kalau dari sini, lorongnya terhubung dengan salah satu gua di dekat jembatan. Benar ‘kan?”“Kupikir juga begitu.” Jhagad setuju.“Hah…!” Jazlan menghela napas lega. “Ok, aku akan menyusuri lorong ini kalau begitu.”“Kalau menurutku, sebaiknya kita
Bukannya menjawab pertanyaan Cantigi, Jazlan justru memanggil Awan, “Wan!”Awan pun menoleh. Jazlan menatapnya, mereka pun saling tatap untuk beberapa detik. Sementara, yang lainnya masih menunggu. Jhagad mulai menyadari bahwa ada hal yang serius hanya dari melihat ekspresi Jazlan saat itu. Jazlan orang yang penuh humor tiba-tiba saja menunjukkan ekspresi tegang, jelas bukan pertanda baik. Bahkan Rosie pun juga ikut tegang dibuatnya.“Kau ingat jembatan gantungnya?” tanya Jazlan sambil masih menatap Awan.Untuk sejenak, Awan terlihat berpikir. Mencoba mengingat-ingat kembali tentang jembatan gantung yang menjadi pembatas dan satu-satunya penghubung antara Hutan Terra dan Hutan Terlarang. Ekspresi Awan lantas berubah ketika akhirnya mengingat sesuatu. Hal kecil yang ternyata bisa berdampak kepada risiko dan ancaman yang skalanya lebih besar.“Gerbang jembatan gantungnya terbuka,” ucap Awan dengan nada suara yang tampak menyesal.“Benar,” Jazlan membenarkan.“Gerbang jembatan gantung? M
Jhagad lantas memberikan isyarat agar tidak ada siapapun yang bersuara, sementara dirinya maju mendekat ke arah tumpukan tong bekas untuk memeriksa sumber suara. Pelan tapi pasti, Jhagad mulai mendekati tumpukan tong bekas. Teman-temannya harap-harap cemas mengamatinya dari belakang.Rosie sudah takut jika yang menjadi sumber suara di tumpukan tong bekas adalah Mahluk Haus Darah. Baru saja pintu gerbang dengan susah payah mereka tutup, jika ada Mahluk Haus Darah maka akan jadi sia-sia saja jadinya. Jhagad yang sudah berdiri tepat di depan tumpukan tong pun mulai menyibakkan padangannya, mencari celah, mengintip tumpukan bagian dalam.“Hati-hati, Gad!” gumam Rosie dalam hati.Perlahan Jhagad memberanikan diri mengangkat satu tong bekas yang ada di tumpukan paling atas. Seketika itu juga Jhagad terperanjat melihat apa yang ada di balik tumpukan tong bekas. Melihat Jhagad terperanjat, Awan dan Tegar langsung membuat pagar pelindung di depan Rosie dan Cantigi. Sementara Jazlan, mulai bers
Kemudian suara pintu gerbang benteng terbuka terdengar. Awan yang sangat sensitif dengan suara pun langsung menyadarinya. Jhagad yang melihat ekspresi Awan berubah seketika bertanya, “Ada apa, Wan?”“Pintu gerbang sepertinya baru saja terbuka,” kata Awan singkat.“Aku juga mendengarnya sekilas,” imbuh Tegar membenarkan pernyataan Awan.“Kenapa ini? Apa yang sebenarnya terjadi, mereka tidak mungkin secara sadar membuka pintu gerbang, bukan?” tanya Cantigi heran.“Benar, itu tidak mungkin. Bahkan mereka saja takut kepada kita sehingga tadi tidak mau membukakan pintu gerbangnya,” ucap Rosie membenarkan Cantigi.“Entah apa yang sebenarnya terjadi!” Jhagad yang masih mencoba melongok ke arah luar penjara tetap tidak tahu bisa melihat apa apa.Samar samar hanya terdengar jeritan dan teriakan para pendaki yang sepertinya sedang dikejar-kejar Mahluk Haus Darah. Rosie hanya bisa menutup telinga, sementara Cantigi memeluknya mencoba menenangkan. Awan dan Tegar masih tampak berpikir. Sementara J
Beberapa menit sebelum teriakan terdengar.Di serambi benteng, semua pendaki yang tersisa sudah mulai mengambil posisi tidur berpencar. Riki tampak menjauh dari pendaki yang lain. Saat itu, tanpa ada seorang pun yang menyadari, tubuh Riki sesekali menggeliat, seperti orang sedang kedinginan atau terkena hawa dingin yang menusuk tulang. Kepalanya bergeleng-geleng seperti sedang seseorang yang terkena stroke.SSSSTT..Sesekali, ia pun mendesis pelan tanpa ada yang mendengar. Perangainya sungguh tidak biasa, andai ada yang mengetahui hal ini lebih awal. Sayangnya, seperti yang sudah sudah, petaka kali ini pun terjadi dengan begitu cepat tanpa ada yang menyadari. Dalam hitungan detik, Riki menunjukkan gejala yang sama sebagaimana manusia berubah menjadi Mahluk Haus Darah untuk pertama kali.Salah seorang pendaki melihat gelagat aneh Riki pun mendekatinya, sambil berkata, “Hei, kau tidak apa apa?”Riki tidak menjawab karena saat itu ia mulai kehilangan kesadarannya. Pendaki yang mendekati
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments