Saat seorang suami menunjukkan gelagat aneh dan sikap tak biasa, saat itulah rasa gelisah akan membawa pikiran istri pada banyak praduga.
Alya menunjukkan wajah datar agar suaminya tidak waspada terhadapnya, sehingga dia bisa lebih mudah mencari pembuktian lain. "Mas, kamu sudah bangun? Memangnya ada hal penting apa sampai kamu mau bangun? Perasaan tadi kamu bilang mau tidur lagi karena masih capek. Habis makan saja langsung tidur lagi, padahal kamu selalu takut kalau punya perut buncit." Ardi mendekat dengan senyum kaku. "Sejak kapan kamu berdiri di situ, Al?" Jelas tampak wajah gusar. Pria itu menatap istrinya menunggu jawaban. Alya membalas tatapan itu sejenak, lantas menghela nafas. "Ehm, baru saja. Aku baru saja menyuruh Mbok Sari memandikan bayi itu karena aku belum berani." Ardi mengusap wajahnya kasar sambil mendes4h lega. "Oh, tadi panggilan dari direktur yang menyuruhku cepat meninjau proyek luar kota lagi." "Padahal kamu baru saja pulang, Mas. Direktur kamu itu pria atau wanita? Kudengar ada direktur baru bulan lalu." Ardi melebarkan mata sambil menelan salivanya. "Ehm, pria. Ya beginilah resikonya kalau mau naik jabatan. Kita harus kerja keras membuat prestasi dan koneksi. Kamu pasti mengerti, kan?" Pria itu tersenyum lebar. Alya terdiam sesat. "Apa harus kamu kerja sekeras itu? Apalagi terus saja ditempatkan di bagian proyek luar kota. Apa kamu nggak kasihan padaku, Mas. Rumah ini sepi kalau malam. Apalagi sekarang musim hujan, aku benar-benar nggak mau sendiri." "Kan sekarang aku sudah bawa seorang anak pulang. Kamu nggak akan kesepian lagi, Sayang. Kalau masih sepi suruh Mbok Sari nginep di sini. Aku melakukan semua ini juga untukmu, Al. Memangnya buat siapa lagi? Kalau aku sukses, kamu juga yang akan bahagia." "Aku nggak pernah nuntut kamu harus punya jabatan tinggi, Mas. Dan bayi itu juga anak orang. Aku pengennya merawat anak kita. Bagaimana kalau kita mulai progam hamil. Mas nggak usah pakai pengaman lagi. Apalagi sebentar lagi kita akan pulang kampung, setidaknya aku nggak ditanya lagi soal anak kalau sudah hamil." Alya mencoba memancing reaksi suaminya. "Maafkan Mas, Al. Aku belum siap. Mas harap kamu bisa mengerti." Ardi memeluk istrinya, dia juga mengecup kepala Alya. "Mas, kondisi ekonomi kita ini lebih dari siap. Memangnya kamu belum siap dari segi apa?" Alya membalas pelukan itu. Dia sangat berharap jawaban ya dari suaminya. "Belum siap karena aku masih ingin menikmati masa berduaan denganmu, Al sayang. Apa kamu nggak pengen kita senang-senang dulu tanpa gangguan siapa pun? Lagi pula psikologi orang itu nggak bisa dipaksa. Tunggu sampai aku nggak terlalu sibuk." Ardi masih memeluk istrinya. Alya hanya mendesah lirih. Biasanya kata-kata seperti itu bagai alunan musik rindu dalam hati, tapi kini? Hati wanita itu malah semakin pilu. "Tapi kita sudah setahun dan teman-temanku malah sudah ada yang punya anak dua atau tiga. Aku sangat berharap buah cinta kita, Mas. Kenapa buah cinta harus ditunda?" Ardi melepas pelukannya. Dia mengecup kening istrinya lembut. Lantas tersenyum lebar. "Kita bahas besok lagi ya, Sayang." Ardi lantas masuk ke kamar mandi. Pria itu ingin menghindari cecaran istrinya. Alya menghentak nafasnya kuat. "Aku ingin tau kenapa kamu belum siap punya anak selama ini, Mas," gumamnya lirih. Setelah memastikan suaminya masuk kamar mandi, lantas Alya mengambil ponsel Ardi yang tadi ditaruh di meja dekat sliding door balkon. 'Disandi?' Alya memasukkan beberapa angka tanggal pernikahan mereka, tanggal lahirnya dan Ardi, semua gagal. Belum sampai Alya berhasil membuka ponsel suaminya, pintu kamar mandi dibuka. Alya gugup dan segera meletakkan ponsel itu di tempat semula. Dia bergegas pura-pura membuka lemari. "Mas, nggak jadi mandi?" "Oh, mau ambil ponsel. Ada yang harus aku hubungi." Ardi menyambar ponselnya dan kembali masuk kamar mandi. Alya memutuskan keluar dari kamar. Di depan pintu, Pak Karto membawa koper Ardi. "Bu, ini punya bapak masih ada di bagasi mobil." "Taruh saja, Pak. Terimakasih." Alya membawa koper itu kembali masuk kamar. Dia bergegas membuka koper itu sebelum Ardi keluar dari kamar mandi. Barangkali ada petunjuk yang bisa membuat praduganya meruncing pada jawaban. Alya membongkar-bongkar isi koper. Tampak seperti biasa saat suaminya pulang dari luar kota. "Tidak ada yang aneh. Semua pakaian Mas Ardi yang kotor dan bersih dicampur, tapi ...." Alya mengendus bau lain di beberapa baju suaminya. Wangi parfum bukan punya suaminya, dan sangat jelas jika itu parfum wanita. Lantas Alya mencari bau parfum yang sama di pakaian suaminya. Hampir semua kemeja ada bau parfum itu. Lantas Alya mengecek perlengkapan lain suaminya di tas kecil yang berisi parfum, pelembab, body lotion, alat cukur dan lainnya. Wanita itu menemukan parfum yang sama seperti saat berangkat. Karena dia sendiri yang packing. 'Masih parfum sama, tapi bau parfum siapa di kemeja suamiku?' batin Alya termangu dengan tatapan kosong. Diluar perkiraan, ternyata Ardi mandi tidak lama. Dia keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambutnya dengan handuk. "Sedang apa kamu, Sayang?" Ardi terkejut seolah ketakutan saat melihat istrinya membongkar koper. Alya cepat menoleh. Dia melihat perubahan ekspresi suaminya itu, tapi tetap tenang. "Memangnya apalagi, Mas? Ya mau beresin baju kotor kamu ini. Kenapa selalu dicampur? Akan aku bawa ke bawah, sekalian mau lihat bayi itu." Dia membawa baju-baju kotor itu. Ardi bernafas lega. Langkah Alya tertahan dan kembali berbalik. "Mas, siapa nama anak itu?" Ardi membolakan matanya. Dia mengingat sang ibu bayi itu menyebut nama saat ingin pergi. "Daffa. Ya, Daffa." Alya memicing. "Ehm, teman kamu itu yang belanja semua perlengkapan bayinya, Mas? Dia pasti sangat menyayangi istri dan anaknya. Semua yang dipilih kualitasnya baik." Ardi tersenyum kaku. "Ya, dia memang sayang sama istri dan anaknya. Hanya saja, ehm .... Hanya saja saat ini dia sedang tidak bisa mengurus anaknya sementara waktu. Jadi, kamu harus punya rasa belas kasih yang besar untuk merawat anak itu." Kata sayang anak istri yang keluar dari mulut Ardi seolah bagai bilah sembilu yang meny4yat dada Alya. Entah kenapa, mungkin karena praduganya sangat kuat hingga wanita itu merasa nyeri mendengarnya. "Aku jadi ingin ketemu orang tua Daffa, Mas. Besok aku ikut jenguk ibunya Daffa, ya?" Ardi gelagapan. "Oh. Bo-leh. Kapan kalau aku ada waktu, karena mereka ada di luar kota saat ini dan aku juga sangat sibuk." Dada Alya kembali bagai dihantam palu, sakit, sesak. "Luar kota, ya? Sayang sekali." "Sudah sana kamu bawa baju itu ke bawah. Dan pastikan anak itu nggak nangis. Kalau sampai dia kenapa-napa. Ehm, aku nggak enak sama temanku itu." "Ya, Mas." Alya melanjutkan langkahnya. Saat Alya tak terlihat lagi, Ardi langsung menutup pintunya. Pria itu lantas menghubungi seseorang. "Aku baru saja mandi. Bagaimana kondisimu sekarang, apa masih pusing?" .......... "Ya, sudah. Sore ini juga aku akan ke sana." Ardi lantas berganti pakaian lain. Dia packing baju-baju bersih sendiri. Tak lama pria itu turun membawa koper. Alya sedang duduk di sofa ruang tengah bersama Mbok Sari yang menggendong bayi itu. Mata Alya melebar saat melihat suaminya turun dengan sebuah koper. Dia lantas beranjak. "Kamu mau ke mana, Mas?" Alya mendekati suaminya. Ardi tampak tergesa. "Ada perintah mendadak. Masalah proyek di luar kota kembali memanas. Masih ada sengketa lahan yang sulit diselesaikan. Jadi Mas terpaksa harus berangkat lagi. Kamu nggak apa-apa 'kan, Sayang? Maafkan, Mas harus biarkan kamu sendirian lagi." Alya memeluk suaminya dengan isakan lirih. Bahkan dia belum puas memeluk pria yang sangat dirindukannya itu. "Apa harus sekarang, nggak bisa besok? Kamu nggak kangen sama aku, Mas? Tiga bulan, Mas. Itu bukan waktu singkat. Apalagi kamu sangat sulit dihubungi." Ardi memeluk erat istrinya. "Maaf, Alya. Kali ini Mas janji akan cepat pulang. Kemarin memang sinyalnya yang sangat sulit karena di daerah terpencil. Tapi kali ini pesan kamu akan selalu Mas balas dengan cepat kok. Mas juga akan sering vidio call sama kamu." "Atau aku ikut saja, Mas? Aku bisa merawat Daffa di sana. Dari pada aku di sini sendirian. Ya Mas, aku boleh ikut, ya?" Alya ingin tahu apa benar suaminya ke luar kota karena pekerjaan atau melakukan hal lain. Ardi menelan salivanya berat. Dia berkedip-kedip memikirkan sesuatu. Apa dia akan membolehkan istrinya ikut?"Alya sudah masuk kamar itu, Nona Julia. Reporter juga telah siap." Bawahan Julia melapor. Julia tersenyum dingin. "Bagus. Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Begitu pintu terbuka, biarkan mereka langsung menyerbu masuk. Dan ... Ha ha ha ha sad ending!" Bawahannya mengangguk, lalu keluar dengan cepat. Julia menyandarkan tubuhnya di sofa. Ya, dia ada di kamar sebelah, menanti momen yang telah rencanakan dengan detail. Tujuannya jelas -menghancurkan reputasi Alya dan membuat Bara tidak menginginkan istrinya lagi. Rencana inti dimulai. Kamar Ardi dibuka dari luar. BRAKKK! "Siapa kalian?" teriak Ardi. "Apa yang sedang kali lihat aku?" teriak Alya. Seketika suasana gaduh dan kacau. Kilatan lampu kamera berlomba di ruangan itu. Para reporter mencoba mendesak masuk. Namun, apa yang mereka temukan membuat semua orang terdiam heran. Tidak seperti yang dikatakan Julia. Alya berdiri di tengah ruangan dengan senyum miring. "Ada yang bisa saya bantu? Kenapa kalian semua ad
"Mau tidak mau, kamu harus eksekusi rencana itu besok. Aku akan atur soal Alya bisa sampai ke tanganmu. Setelah itu, kamu selesaikan. Kalau sampai gagal, kamu dan keluargamu akan masuk penjara!" Julia menatap tajam wajah Ardi, menekan ancamannya.Ardi menelan ludah, mengangguk tanpa suara. Julia tersenyum tipis, merasa sudah menang. "Bagus kalau kamu mengerti. Aku ingin semua berjalan mulus. Aku akan langsung melihat hasilnya. Jangan sampai ada satu pun kesalahan."Tanpa menunggu jawaban, Julia keluar dari ruangan itu.Setelah memastikan Julia telah benar-benar pergi, Ardi menarik ponselnya.[Julia akan beraksi besok. Semua sudah disiapkan di hotel seperti rencananya. Bisa jadi dia akan menggunakan media untuk membesarkan skandal.] Pesan terkirimkan pada Bara.Balasan Bara datang beberapa detik kemudian. [Lakukan apa yang dia mau. Jangan sampai dia curiga. Sisanya aku yang atur. Tetap berkoordinasi.]----"Sayang, sepertinya soal bertemu dengan anak kita hanya bisa malamnya. Karena b
"Bara, istrimu menuduh mama bersekongkol dengan pembantu untuk mencelakainya. Ini sudah kelewatan. Mama nggak terima dan kamu harus kasih dia pelajaran!" Desi berlari mendekati Bara, wajahnya langsung dipenuhi air mata.Alya menatap sendu ke arah suaminya. Senyum kaku tersungging di bibirnya. "Mas, kamu pulang?" Biasanya dia akan menghampiri dan mencium punggung tangan suaminya, tapi karena ada drama mertua kali ini dia menahan diri.Bara menatap bingung keduanya. "Apa yang sebenarnya terjadi?""Mama difitnah, Bara."Alya melangkah maju. "Pembantu itu mengaku, Mas. Mama menyuruhnya memberikan obat berbahaya untukku."Desi langsung mendengkus, menyeka air matanya. "Itu bohong! Pembantu itu jelas bekerja sama dengan Alya untuk menjatuhkan mama. Kenapa kamu percaya omong kosong seperti itu, Bara? Kamu lihat sendiri, Alya hanya ingin menghancurkan hubungan ibu dan anak!""Apa maksud Mama menghancurkan hubungan? Aku hanya ingin kebenaran terungkap." Alya menatap Desi heran.Desi tidak meny
"Itu hasil tes DNA. Kamu lihat sendiri." Benny berdiri tegak dengan tatapan kosong, mencoba menyembunyikan gejolak batinnya. Ada ketakutan yang disembunyikan dalam hatinya. Tangannya sedikit gemetar saat memberikan amplop itu pada Bara.Bara cepat meraih amplop itu, lalu pelan membukanya. Jantungnya berdetak kencang. Dia juga gemetar. Dalam hati berharap semoga hasil seperti yang dia inginkan.Lembar kertas putih itu terlihat jelas di tangannya. Matanya bergerak membaca setiap kata, setiap angka yang tertulis di sana. Dalam sekejap, matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan luapan emosi."Dia anakku, benar-benar anakku." Suaranya pecah, tangannya mencengkeram kertas itu. Senyumnya lebar. Dia bernafas lega, seperti kebahagiaan kembali digenggamnya.Benny tetap mematung. Wajahnya datar, tapi di dadanya sedang ada pergelutan rasa. Dia tahu apa yang harus dilakukan, tapi cinta pada istrinya terlalu besar."Anak ini sudah menjadi bagian dari keluarga kami, Tuan Bara. Dia bukan hanya
"Kamu yakin istriku ada di kamar ini? Apa sebelum dia booking hotel, mengatakan sesuatu?" Bara menatap Ivan ragu . Pikirannya kacau, terutama setelah Alya mematikan ponselnya seharian tanpa penjelasan. Sangat jelas kalau istrinya itu sedang menghindarinya dan tidak mau bicara padanya.Ivan menggeleng. "Berdasarkan laporan, tidak ada tanda-tanda nyonya Alya marah, Tuan. Saya juga tidak tahu apa rencana nyonya. Kenapa sampai bisa ada di hotel."Bara mendekati pintu kamar, menekan bel ragu. Ketika pintu terbuka, Alya tidak langsung terlihat."Masuk, Mas." Hanya terdengar suaranya saja.Bara melangkah perlahan, matanya menyapu ruangan. Tidak ditemukan istrinya. Begitu pintu ditutup. "Mas."Bara tercengang melihat Alya berdiri di balik pintu dengan pakaian yang membuatnya menelan ludah."Mas, kenapa?" Alya menatap puas melihat wajah suaminya seperti itu."Ke-kenapa kamu memakai pakaian seperti itu? Ehm, lingerie?" Bara berusaha menyembunyikan rasa panas yang muncul tiba-tiba.Alya tidak
"Aku harus bertemu dengan Rani, istri Ardi. Ada masalah apa dia?" Alya masih menatap layar ponselnya. Pesan itu membuatnya tidak tenang.Dia mengetik balasan. [Aku setuju bertemu. Tapi aku yang tentukan tempatnya.] Pesan terkirim. Sebuah nama restoran juga dilampirkan, lengkap dengan alamatnya. Alya duduk di kursi belakang. "Pak, tolong kabari seseorang karena aku akan bertemu istri mas Ardi. Sepertinya ada yang perting." Alya bicara pada sopirnya yang merupakan orang kepercayaan untuk menjaganya saat pergi. "Baik, Nyonya. Dan lebih baik Anda hati-hati nanti. Jangan sampai rencana Tuan terkendala.""Aku tahu."Setibanya di restoran. Alya duduk menunggu dengan tatapan ke layar. Dia masih menunggu pesan balasan atau telepon suaminya. "Sedang apa Mas Bara sebenarnya?" Dia duduk tak tenang. Pikirannya semakin macam-macam. Dia sengaja tidak membahas pada orang lain.Beberapa waktu kemudian, Rani datang. Wanita itu hanya membawa dirinya, tanpa kedua anaknya. Ya, Rani telah mengasuh dua