แชร์

Predator Penganggu

ผู้เขียน: Sloane
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-08-05 12:54:56

Kedua pahanya terasa kaku dan kebas, sementara kuda yang ditunggangi, seperti kesetanan yang tidak hentinya berlari. Kehangatan dada dari pria yang sekeras baja dibelakangnya, serta teriakan yang sesekali diucap untuk memacu kuda, masih terus membuat Anneth tersentak.

Dia sudah tidak tahan lagi!

Langit sudah gelap, suara binatang malam mulai terdengar, namun tidak ada tanda-tanda jika rombongan kuda akan berhenti untuk beristirahat. Anneth yang kelelahan dan merasakan kebas di bagian pinggang hingga tubuh bawahnya, menggeliat tak nyaman. Namun dia segera berjengit saat mendengar geraman dari balik punggungnya.

Suara itu terdengar dekat, dengan kehangatan yang merambati tengkuk dan telinganya. Anneth meremas rambut kuda dengan berdebar, dia takut jika sosok pria menyeramkan itu akan kesal dan berakhir melempar badannya hingga diinjak oleh kuda. Namun, rasa tidak nyaman karena kelelahan, terus membuat Anneth bergerak mencari posisi ternyaman.

"Akh!" 

Anneth berteriak kancang saat dua kaki kuda terangkat tinggi, matanya terpejam karena ketakutan serta guncangan-guncangan mendadak yang mengejutkan. Kuda itu berhenti, lalu tangan kasar itu meremas rahang Anneth untuk memaksanya menoleh.

Wajah Anneth memerah saat mendapati seberapa dekat wajah keduanya. Pria tak berhati itu, menatap dengan tajam, tergambar jelas dari cahaya rembulan yang sangat terang, sisa dari mendung yang sudah hilang.

"Ez mugitu! Bidaia oztopatzen ari zara."

*Jangan bergerak! Kau menghambat perjalanan.

Aroma termbakau yang pekat, menguar dari nafas pria menyeramkan itu, Anneth yang ketakutan, segera melepas cengkraman pada rahangnya dan mengusapnya dengan kesal. Dia bahkan tidak paham dengan apa yang pria itu ucapkan, dan bagian paling menyebalkan, mengapa dia dipaksa naik bersama pria ini? Meski Anneth tidak bisa mengendarai kuda, namun dia ingin sebuah kereta yang bisa membawanya dengan lebih nyaman.

Seekor kuda lain mendekat, bersama dengan seorang penerjemah yang menungganginya.

"Galdetu, zer nahi du?"

*Tanyakan, apa yang dia inginkan?

Pria penerjemah itu mengangguk, lalu menatap Anneth dengan sengit. "Apa yang kau mau?!"

Anneth meringkukkan tubuhnya saat kehangatan nafas si predator itu menyapu telinganya, dada hangat itu menekan punggung Anneth, yang terasa begitu mengintimidasi. Dengan meraba-raba situasi, Anneth dapat menyimpulkan jika sosok itu sedang merapatkan diri padanya. Udara semakin dingin, namun pria itu hanya mengenakan mantel bulu dengan bertelanjang dada, seolah memamerkan seberapa kuat dirinya yang perkasa.

"Aku mau istirahat dan sebuah kereta kuda."

Si penerjemah itu tergelak, namun segera berhenti begitu Anneth hendak menatapnya. Berdehem beberapa kali, pria itu mengucapkan bahasa asing lagi, lalu undur diri dan membawa kudannya untuk berbalik arah. Anneth menoleh untuk menatap kepergian kuda itu dalam gelap, namun sosok pria dibelakngnya segera melompat dari atas kuda, dan membuat Anneth kembali memekik terkejut.

"Apa yang kau lakukan tanpa aba-aba?!" Kesal Anneth, dengan remasan pada rambut kuda yang semakin erat.

Kuda mulai bergerak tak tenang, Anneth membelalakkan matanya saat kedua tangannya dipaksa untuk melepas remasan pada rambut kuda. Lalu, pria berwajah datar itu mengulurkan kedua lengannya, mengarahkannya pada ketiak Anneth dan segera mengangkatnya dengan mudah.

"Hey, lepaskan aku!"

Anneth memberontak keras, menendangkan kakinya pada udara dengan rengekan, dan baru berhenti saat kedua kakinya menapak tanah. Pria itu menaikkan sudut bibirnya, mengamati wajah memerah Anneth yang kesal, lalu mengusap satu pipi Anneth dengan punggung tangannya.

"Hemen atseden hartuko dugu."

*Kami akan beristirahat di sini.

Anneth memijat kedua alisnya dengan desahaan kesal, komunikasi adalah kunci utama dari segala hal. Sedang, dia bahkan tidak memahami bahasa aneh dari pria itu. Namun, melihat punggungnya yang bergerak menjauh, Anneth seolah tersadar dari dunianya, lalu berjangkit. Dia berbalik, berancang-ancang untuk menaiki kuda yang tidak diikat itu, setidaknya dia bisa mengendarainya untuk kabur.

"Hey, lepaskan aku!"

Badannya melayang, digendong laksana karung beras hingga perutnya berbenturan dengan pundak keras dan tebal yang hangat. Dengan kepalanya yang terbalik menghadap punggung kekar, Anneth manetap mantel bulu yang terjatuh di tanah, lalu badannya dibawa melangkah menuju dalam hutan. Tidak sampai di situ, badannya yang dibawa terombang-ambing, dilempar dengan kasar ke atas tanah, hingga punggungnya terhantuk pohon.

Pria itu menatap dengan alis bertaut, merunduk mendekat hingga membuat Anneth memundurkan badannya dengan mata terpejam. Tidak ada apapun yang terjadi, Anneth hanya mendengar suara deru nafas hangat yang menyapu wajahnya. Saat membuka mata, sosok itu menyeringai dengan desisan lirih.

"Jostailu interesgarria."

*Mainan yang menarik.

Lalu pria itu berdiri, melepas satu-satunya kain tersisa yang melingkari pinggangnya. Dengan mata membelalak lebar, dan segera ditutup dengan telapak tangan, Anneth menyembunyikan pandangan, saat harus dipaksa menatap tubuh polos pria dewasa tepat dihadapannya.

Jantungnya mulai berdebar-debar, ketakutan mulai merambati hati dan kesadarannya. Dia tahu jika dia akan segera menikah dengan pria itu, atau mungkin tidak ada adat pernikahan pada suku pedalaman itu. Namun, Anneth tidak mau melakukan hubungan seksualitas pertamanya di sebuah hutan, tanpa sebuah penutup dan bisa saja disaksikan oleh pengawal lain yang mengikuti mereka di belakang.

Panas diwajah dan matanya, membuat Anneth tak bisa menahan amarah. Meski dia menolak, apakah pria itu akan mengerti maksud dari ucapan yang akan Anneth katakan?

"Aku tahu kau adalah seorang binatang buas, tapi aku tidak mau melakukannya di hutan terbuka seperti ini. Kau boleh menjadi seekor binatang, tapi aku akan tetap menjadi manusia normal."

Suasana masih hening saat Anneth mengutarakan perasaannya, seharusnya dia sadar betul jika si binatang buas itu tidak akan pernah memahami ucapannya. Namun, suara percikan air yang cukup keras, seolah sebuah batu sebesar domba dilemparkan pada genangan air, mencuri perhatiannya. Anneth segera menjauhkan telapak tangannya, dan mendapati kekosongan di hadapannya.

Dia segera mengedar, mencari keberadaan sosok pria itu, yang ternyata kini sedang berendam di dalam danau. Dengan takjub dan terperangah, Anneth bangkit dari duduknya, memandangi kegelapan air danau yang mendapat percikan cahaya dari bulan, sangat indah. Beberapa kunang-kunang berterbangan, mendekati air namun tak berani menyentuhnya. Saat itulah Anneth menjatuhkan pandangan pada punggung kekar yang membelakanginya seraya menyugar rambut panjang yang hitam legam.

Anneth memilih untuk mendekat, menjulurkan tangannya untuk menggapai dinginnya air danau yang menusuk jemarinya. Dalam hati dia terperangah, bagaimana bisa pria itu berenang dengan air sedingin ini?

Namun, rasa penasaran lain menyelimutinya. Satu hal yang bisa dia simpulkan, di mana pria berpundak lebar itu adalah sang kepala suku, atau penguasa dan Raja dari tanah Avram. Maka, dia lah yang akan menjadi suami Anneth kelak. Rencana awalnya bahkan gagal, Anneth jelas tidak mungkin bisa menikam sosok itu dengan mudah, karena sebelum dia mendekatkan bilah pisaunya, pasti dia sudah terlebih dahulu menangis sekarat karena mengalami patah tangan.

Anneth menghela nafas panjang, dengan pandangan kosong menatap air danau yang berkilauan. Dia mendadak ingat pada pesan dari pangeran Valter yang untuk pertama kalinya mengungkapkan cinta, lalu mengajak bertemu di perbatasan. Dia yang sudah memahami sifat Valter, tentu tidak bisa menganggap pesan itu hanyalah sebuah surat kesedihan dari seorang sepasang kekasih yang gagal menikah.

"Pasti ada maksud lain dibalik surat itu." Gumamnya.

Pesan itu datang setelah Anneth meninggalkan kerajaan barat dengan sembunyi-sembunyi, bahkan saat kerajaan barat memutuskan untuk memulai peperangan. Maka, keputusannya untuk membakar surat dan memilih menyerahkan diri pada penguasa tanah Avram dan kerajaan Amogha, sudah dipastikan adalah kebenaran.

Anneth segera mengerjap dengan pekikan kecil saat merasakan air dingin yang memercik di wajahnya. Seringaian mengerikan itu kembali terlihat, pria aneh itu sudah berada tepat di hadapannya dengan separuh badan yang terbenam dalam air danau. Anneth mengamati mata tajam itu dengan seksama, merasa seolah pernah disihir dengan tatapan itu sebelumnya, entah di mana. Satu yang pasti, pria itu terasa dingin dan panas secara bersamaan. Tatapannya sangat dingin, namun hawa yang melingkupi tubuhnya terasa panas dan menyengat, hingga tak ingin untuk mendekat.

"Berriro ihes egitea pentsatzen?"

*Berfikir untuk melarikan diri lagi?

Karena tidak mengetahui maksud dari ucapan pria itu, Anneth hanya bergeming, lalu kembali meraih air danau dan hendak membasuh wajahnya yang terasa kotor dan lengket. Namun lengannya dicekal oleh sebuah remasan tangan yang terasa menyakitkan, Anneth melirih dengan ringisan, menatap pria itu dengan keheranan. Kali ini, apa lagi yang salah?

"Inor ez zen ausartzen ni baztertzen. Baina zu?"

*Tidak ada yang berani mengabaikanku. Tapi kau?

Pria itu menggeram seperti binatang, seraya mendekatkan wajahnya hingga membuat Anneth terus mundur dan menjatuhkan diri ke tanah. Setelahnya pria itu menyeringai, lalu bangkit berdiri dari danau, menampakkan siluet tubuh telanjangnya yang terpantul sinar bulan di atas air, kemudian melangkah melewati Anneth yang terpaku dengan ketakutan.

"Goazen Amogha-ra."

*Ayo kembali ke Amogha.

Dia bahkan tidak memahami apa yang pria itu ucapkan, namun dari nada suaranya, terdengar syarat akan amarah. Lalu, jangan lupakan suara besarnya yang mengintimidasi pendengaran.

Begitu menoleh, Anneth segera memekik terkejut, karena kini pria itu sudah berpakaian dan berjalan mendekati kuda untuk ditunggangi. Seharunya dia dilarang berlari karena etika, namun karena rasa takut ditinggalkan seorang diri di hutan belantara ini, akhirnya Anneth memilih berlari dan mendongak memandangi pria itu begitu mencapai kuda.

Alih-alih membantu Anneth untuk menaiki kuda, pria itu malah menarik tali kendali, dan memberikan aba-aba hingga membuat kuda itu meringkik dan mulai berlari.

"Hey, kau melupakanku!" Teriak Anneth seraya berlari mengejar kuda, yang tentu hanya sebuah kesia-siaan belaka. Karena kini punggung berbalut mantel bulu itu semakin jauh dan hilang dimakan kegelapan.

Anneth menjatuhkan lututnya ke tanah, terenggah-enggah karena rasa lelah dan amarah. "Pria gila!" Pekiknya.

Dia mendongak, memandangi rimbunnya pepohonan yang hampir menutupi kegelapan langit. Saat ini, dia sedang ditinggalkan oleh calon suaminya, di sebuah hutan belantara yang bahkan tidak dia ketahui siapa saja penghuninya, kecuali serigala putih yang menjadi legenda.

Tak lama, terdengar langkah kuda yang mendekat, suaranya terdengar ramai, dan begitu menoleh, rombongan suku Amogha yang sedari tadi mengikuti di belakang, dengan salah satunya berisi penerjemah, berhenti disekeliling Anneth.

"Naiklah, kau akan menunggang kudamu sendiri, nona."

"Menunggang kuda?" Gumamnya.

Selama di kerajaan Adena, Anneth bahkan tidak pernah dibiarkan mendekati kuda karena tak ingin terjadi kecelakaan yang akan membahayakan tubuhnya. Dia dibesarkan untuk tumbuh menjadi seorang Ratu yang tanpa cacat, luka gores bahkan tidak Anneth miliki. Seketika dia sadar, jika saat ini dia tidak lagi dipersiapkan untuk menjadi Ratu dari kerajaan barat yang berkuasa itu. Melainkan, menjadi istri dari penguasa hutan yang tidak berperasaan.

"Tapi aku belum pernah menunggang kuda sebelumnya." Lirihnya, masih dengan wajah mendongak percaya diri.

Anneth dilatih untuk tidak menundukkan pandangan, pada siapapun lawan bicaranya. Begitulah dia tumbuh menjadi Ratu yang nantinya akan memiliki jiwa yang kuat dan tidak mudah kalah pada lawannya.

Penerjemah itu mengucapkan bahasa asing lagi, lalu beberapa penunggang kuda lain mulai terkekeh seolah menertawakannya. "Mau tidak mau kau harus memilih. Menunggang kuda atau berjalan kaki. Karena kami tidak pernah menggunakan kereta kuda."

Seorang pria mendekatkan seekor kuda pada Anneth, lalu pergi untuk menunggang kudanya sendiri. Tanpa memberikan instruksi apapun tentang bagaimana cara menunggang kuda, mereka dengan acuh mendahului Anneth dengan kuda yang dilajukan dengan cukup cepat.

Anneth sudah bersiap membuka mulut untuk mengamuk, namun ketakutan akan kesendiran, lebih dia prioritaskan. Maka dia segera menaiki kuda dengan susah payah, dan begitu berhasil, Anneth menghela nafas dengan panjang. Dia mengingat-ingat bagaimana pria itu mengendalikan kuda selama perjalanan panjang mereka tadi, dengan sekali hentakan dan seruan lirih yang bergetar karena ketakutan, kuda itu berhasil melaju dengan sangat kencang.

Matanya membola lebar, dengan teriakan yang terus keluar dari mulutnya tanpa henti. Anneth bahkan melewati gerombolan berkuda yang sempat mendahuluinya, dia tak sempat berseru meminta tolong ataupun mengendalikan keadaan. Karena satu-satunya yang dia teriakkan, hanya kata, "Ibu!" Yang terus diucapkan berulang-ulang. 

Diujung pandangan yang samar, mulai terlihat mantel berbulu yang terkibar karena angin, terlihat melayang karena kuda berwarna hitam yang seakan berkamuflase dengan kegelapan malam. Kuda yang Anneth naiki bahkan melewati kuda pria itu, Anneth hanya terus berteriak ketakutan, hingga kudanya melaju dibarisan paling pertama. Dia bahkan tidak tahu kemana arah yang harus dituju, kuda itu terus melaju seolah mengetahui arah jalan pulang.

Kuda itu melewati hutan dengan semak belukar yang tinggi, karena panik dan kesakitan, Anneth dengan reflek menarik tali kendali kuda, hingga membuat kuda itu berhenti mendadak dan membuat badan Anneth terjatuh dan berguling-guling di tanah dengan keras. Dia baru berhenti saat badannya menghantuk batu, yang membuat sebuah geraman kesakitan dengan rintihan. Perutnya lah yang pertama menabrak batu, terasa menyakitkan seolah organ dalamnya dipukuli dengan membabi buta.

"Ouch!" Rintihnya kesakitan.

Tak lama terdengar langkah kuda mendekat, lalu sosok pria melompat dan berlari kearah Anneth dengan gesit. Badannya direngkuh seolah hanya sebatang dahan pohon pisang muda yang sudah membusuk. Tanpa berkata apapun, pria pemilik aroma maskulin itu mendudukkan Anneth di atas kuda, lalu dengan gesit dia ikut menaiki kuda itu.

Sebuah pelukan erat diperutnya yang terasa sakit akibat benturan, terus membuat Anneth meringis seraya memejamkan matanya erat-erat. Mengapa hidupnya sekonyol ini?

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Dibawah Lengan Serigala Putih   Surat

    "Nyonya, apa anda akan mengirim surat untuk Ketua?" Lyra kembali bertanya dengan senyuman lebar setelah beberepa menit lalu kembali fokus membaca. Dia sangat berseri-seri dan banyak menanyakan hal-hal yang sepertinya sudah disimpan terlalu lama di kepalanya karena tidak memiliki waktu untuk berdekatan dengan Anneth. Maka saat Anneth meminta Lyra kembali menjadi pelayannya untuk membantu Betty yang belum terlalu memahami tentang Amogha, Lyra menggunakan kesempatan itu untuk menanyakan banyak hal. "Biasanya para bangswan akan mengirim surat pada kekasihnya jika sedang berjauhan, bukan?" Tambah Lyra dengan semangat. Usia Lyra hanya setahun dibawah Anneth, namun karena kesenjangan yang cukup jauh, membuat keduanya terasa seperti memiliki usia yang jauh berbeda. Anneth selalu dituntut untuk bersikap anggun dan berwibawa layaknya bangswan yang akan menerima gelar Ratu. Sedang Lyra, dia tubuh di kerajaan yang tidak terlalu mementingkan kesopanan dan norma, membuatnya menjadi wanita yan

  • Dibawah Lengan Serigala Putih   Jarak Mendekatkan Hati

    Sementara Anneth dilanda perasaan rindu yang tidak ia sadari dan bahkan ditepis dengan alasan 'tidak masuk akal merindukan Julius', pria yang dirindukannya baru saja memasuki tanah Adena yang terasa sangat dingin. Sesuai perkataan Anneth, Adena memiliki suhu udara yang jauh lebih dingin di bandingkan Amogha, saat musim dingin tiba.Julius tersenyum miring saat mengingat wajah konyol Anneth saat membawa bantal dan selimut menuju kamarnya dengan alasan, terbiasa menggunakan dua bantal dan selimut. Lucunya, wanita itu bahkan melupakan barang bawaannya dan berbaring kaku di sampingnya, menandakan jika dia tidak membutuhkan selimutnya."Ada yang lucu, ketua?" Arion dengan kudanya, mendekat dan mensejajarkan kuda Julius yang berhenti.Mendengar teguran itu, Julius berdehem dan menatap Arion dengan tajam. Senyumannya segera hilang, dan dia mencari kain penutup untuk menutupi wajahnya. Dia bahkan lupa mengenakan penutup wajah yang selalu dia kenakan kemanapun, hanya karena sibuk mengenggam da

  • Dibawah Lengan Serigala Putih   Sosok Yang Hinggap Di Ingatan

    Istana tanpa Julius, harusnya menjadi rumah yang sangat Anneth dambakan. Rasa bencinya belum hilang, meski belakangan pria itu sudah banyak menunjukan sikap normal yang seharusnya tidak dimiliki oleh pria dingin nan kejam itu.Kali ini Anneth tidak hanya berprasangka buruk saja, karena dia sudah membaca buku sejarah di perpustakaan, yang menuliskan setiap kekejaman Julius yang tanpa ampun. Pada saat pertama kali turun ke medan perang dan diberi senjata, Julius masih berusia 10 tahun, namun tanpa rasa bersalah maupun iba, dia berhasil menembus jantung kepala suku lain dan meraih kemenangan saat suku mereka hampir digugurkan.Cerita tentang peperangan pertama yang Julius lalui, ditulis dalam empat halaman buku, yang isinya menggambarkan bagaimana sosok itu sangat kuat dan memiliki jiwa pemimpin. Lalu disusul dengan sejarah-sejarah lain yang Anneth baca hingga habis. Satu kata yang bisa menggambarkan sosok Julius, kejam.Tetapi, saat selesai membaca buku dan menatap jendela yang menampil

  • Dibawah Lengan Serigala Putih   Kembalilah Dengan Selamat

    Sementara Anneth dan Julius saling tenggelam dalam suasana yang mendadak tegang, Sach melamun menatap kobaran api di perapian. Percikan api membuatnya berkedip, dia segera menoleh saat mendengar ketukan lirih di pintu kamarnya."Masuklah."Pelayan pribadinya masuk dengan badan menggigil kedinginan, dia segera merapat menuju perapian untuk menghangatkan diri. "Yang Mulia, maaf menganggu di jam malam seperti ini. Tapi ada hal mendesak."Sach memang belum resmi diangkat sebagai Raja baru Adena, namun para pelayan dan perajurit istana sudah memperlakukannya dengan sangat hormat, layaknya pemimpin Adena yang sah."Katakan.""Ada surat dari kerajaan timur." Pelayan itu mengelurkan sebuah surat yang digulung dengan lilin dan cap kerajaan timur.Sach segera meraih surat itu dan membacanya. Raut wajahnya berubah, sorot matanya terlihat marah. Dia segera melempar surat itu ke dalam kobaran api dan menatapnya hingga melebur."Siapa yang mengantar surat ini?""Pria yang sama, saat surat pertama d

  • Dibawah Lengan Serigala Putih   Mengenal Lebih Jauh

    Anneth mengetuk pintu tinggi itu dengan kening yang mengernyit dalam. Ternyata pintu itu terbuat dari kayu yang sangat tebal, sehingga suara yang ditimbulkan dari ketukan ringannya hanya terdengar lirih saja. Ketukan kedua, Anneth sedikit memberikan tenaga, sehingga ia yang awalnya gugup, berubah menjadi kesal dan bergulat batin dengan pintu besar itu. Jika saja pintu itu beryawa, Anneth akan menusuknya dengan pedang dari patung baju besi yang terpajang di sudut lorong.Pintu terbuka saat Anneth hendak memukulnya lagi, dia bahkan meringis gemas saat sosok Julius berdiri dihadapannya. Mata Anneth membola, dia kembali mendatarkan ekspresinya dan masuk ke dalam kamar Julius dengan perasaan malu. Julius melihat wajahnya yang geram dan gemas pada pintu, dan itu sedikit memalukan.Pandangan Anneth mengedar ke penjuru ruangan. Kamar Julius cukup normal bagi mata seorang putri kerajaan seperti Anneth. Tidak ada kepala rusa yang terpaku di dinding, atu kulit harimau yang dijadikan karpet. Bahk

  • Dibawah Lengan Serigala Putih   Merangkai Rencana

    Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, namun tangan Anneth dan Julius kembali bergandengan begitu keduanya keluar dari perpustakaan. Terasa sensasi canggung yang mencekik saat tidak ada suara apapun yang terdengar, melainkan hanya langkah kaki yang bergema saat keduanya melewati lorong. Lantai dua benar-benar sunyi, berbeda dengan lantai dasar yang masih riuh karena para perajurit yang sibuk berpesta. Mencoba mengusir kecanggungan, Anneth mengedarkan pandangan dalam cahaya remang. Dia mendapati beberapa lukisan yang tergantung di dinding. "Apakah itu lukisan Raja dan Ratu terdahulu?"Julius menoleh kearah Anneth sejenak, seolah memastikan jika sang istri lah yang mengajaknya berbicara. Lalu ia menatap dinding dan mengangguk. "Kami meyebutnya sebagai pemimpin. Tapi, Ya. Dia pemimpin pertama di tanah avram.""Kami menyebutnya sebagai Raja, jika mereka hanya memimpin satu negara saja. Dan kaisar jika memimpin beberapa negara. Apa kalian tidak pernah menggunakan istilah itu?"Julius m

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status