Share

Predator Penganggu

Author: Sloane
last update Huling Na-update: 2024-08-05 12:54:56

Kedua pahanya terasa kaku dan kebas, sementara kuda yang ditunggangi, seperti kesetanan yang tidak hentinya berlari. Kehangatan dada dari pria yang sekeras baja dibelakangnya, serta teriakan yang sesekali diucap untuk memacu kuda, masih terus membuat Anneth tersentak.

Dia sudah tidak tahan lagi!

Langit sudah gelap, suara binatang malam mulai terdengar, namun tidak ada tanda-tanda jika rombongan kuda akan berhenti untuk beristirahat. Anneth yang kelelahan dan merasakan kebas di bagian pinggang hingga tubuh bawahnya, menggeliat tak nyaman. Namun dia segera berjengit saat mendengar geraman dari balik punggungnya.

Suara itu terdengar dekat, dengan kehangatan yang merambati tengkuk dan telinganya. Anneth meremas rambut kuda dengan berdebar, dia takut jika sosok pria menyeramkan itu akan kesal dan berakhir melempar badannya hingga diinjak oleh kuda. Namun, rasa tidak nyaman karena kelelahan, terus membuat Anneth bergerak mencari posisi ternyaman.

"Akh!" 

Anneth berteriak kancang saat dua kaki kuda terangkat tinggi, matanya terpejam karena ketakutan serta guncangan-guncangan mendadak yang mengejutkan. Kuda itu berhenti, lalu tangan kasar itu meremas rahang Anneth untuk memaksanya menoleh.

Wajah Anneth memerah saat mendapati seberapa dekat wajah keduanya. Pria tak berhati itu, menatap dengan tajam, tergambar jelas dari cahaya rembulan yang sangat terang, sisa dari mendung yang sudah hilang.

"Ez mugitu! Bidaia oztopatzen ari zara."

*Jangan bergerak! Kau menghambat perjalanan.

Aroma termbakau yang pekat, menguar dari nafas pria menyeramkan itu, Anneth yang ketakutan, segera melepas cengkraman pada rahangnya dan mengusapnya dengan kesal. Dia bahkan tidak paham dengan apa yang pria itu ucapkan, dan bagian paling menyebalkan, mengapa dia dipaksa naik bersama pria ini? Meski Anneth tidak bisa mengendarai kuda, namun dia ingin sebuah kereta yang bisa membawanya dengan lebih nyaman.

Seekor kuda lain mendekat, bersama dengan seorang penerjemah yang menungganginya.

"Galdetu, zer nahi du?"

*Tanyakan, apa yang dia inginkan?

Pria penerjemah itu mengangguk, lalu menatap Anneth dengan sengit. "Apa yang kau mau?!"

Anneth meringkukkan tubuhnya saat kehangatan nafas si predator itu menyapu telinganya, dada hangat itu menekan punggung Anneth, yang terasa begitu mengintimidasi. Dengan meraba-raba situasi, Anneth dapat menyimpulkan jika sosok itu sedang merapatkan diri padanya. Udara semakin dingin, namun pria itu hanya mengenakan mantel bulu dengan bertelanjang dada, seolah memamerkan seberapa kuat dirinya yang perkasa.

"Aku mau istirahat dan sebuah kereta kuda."

Si penerjemah itu tergelak, namun segera berhenti begitu Anneth hendak menatapnya. Berdehem beberapa kali, pria itu mengucapkan bahasa asing lagi, lalu undur diri dan membawa kudannya untuk berbalik arah. Anneth menoleh untuk menatap kepergian kuda itu dalam gelap, namun sosok pria dibelakngnya segera melompat dari atas kuda, dan membuat Anneth kembali memekik terkejut.

"Apa yang kau lakukan tanpa aba-aba?!" Kesal Anneth, dengan remasan pada rambut kuda yang semakin erat.

Kuda mulai bergerak tak tenang, Anneth membelalakkan matanya saat kedua tangannya dipaksa untuk melepas remasan pada rambut kuda. Lalu, pria berwajah datar itu mengulurkan kedua lengannya, mengarahkannya pada ketiak Anneth dan segera mengangkatnya dengan mudah.

"Hey, lepaskan aku!"

Anneth memberontak keras, menendangkan kakinya pada udara dengan rengekan, dan baru berhenti saat kedua kakinya menapak tanah. Pria itu menaikkan sudut bibirnya, mengamati wajah memerah Anneth yang kesal, lalu mengusap satu pipi Anneth dengan punggung tangannya.

"Hemen atseden hartuko dugu."

*Kami akan beristirahat di sini.

Anneth memijat kedua alisnya dengan desahaan kesal, komunikasi adalah kunci utama dari segala hal. Sedang, dia bahkan tidak memahami bahasa aneh dari pria itu. Namun, melihat punggungnya yang bergerak menjauh, Anneth seolah tersadar dari dunianya, lalu berjangkit. Dia berbalik, berancang-ancang untuk menaiki kuda yang tidak diikat itu, setidaknya dia bisa mengendarainya untuk kabur.

"Hey, lepaskan aku!"

Badannya melayang, digendong laksana karung beras hingga perutnya berbenturan dengan pundak keras dan tebal yang hangat. Dengan kepalanya yang terbalik menghadap punggung kekar, Anneth manetap mantel bulu yang terjatuh di tanah, lalu badannya dibawa melangkah menuju dalam hutan. Tidak sampai di situ, badannya yang dibawa terombang-ambing, dilempar dengan kasar ke atas tanah, hingga punggungnya terhantuk pohon.

Pria itu menatap dengan alis bertaut, merunduk mendekat hingga membuat Anneth memundurkan badannya dengan mata terpejam. Tidak ada apapun yang terjadi, Anneth hanya mendengar suara deru nafas hangat yang menyapu wajahnya. Saat membuka mata, sosok itu menyeringai dengan desisan lirih.

"Jostailu interesgarria."

*Mainan yang menarik.

Lalu pria itu berdiri, melepas satu-satunya kain tersisa yang melingkari pinggangnya. Dengan mata membelalak lebar, dan segera ditutup dengan telapak tangan, Anneth menyembunyikan pandangan, saat harus dipaksa menatap tubuh polos pria dewasa tepat dihadapannya.

Jantungnya mulai berdebar-debar, ketakutan mulai merambati hati dan kesadarannya. Dia tahu jika dia akan segera menikah dengan pria itu, atau mungkin tidak ada adat pernikahan pada suku pedalaman itu. Namun, Anneth tidak mau melakukan hubungan seksualitas pertamanya di sebuah hutan, tanpa sebuah penutup dan bisa saja disaksikan oleh pengawal lain yang mengikuti mereka di belakang.

Panas diwajah dan matanya, membuat Anneth tak bisa menahan amarah. Meski dia menolak, apakah pria itu akan mengerti maksud dari ucapan yang akan Anneth katakan?

"Aku tahu kau adalah seorang binatang buas, tapi aku tidak mau melakukannya di hutan terbuka seperti ini. Kau boleh menjadi seekor binatang, tapi aku akan tetap menjadi manusia normal."

Suasana masih hening saat Anneth mengutarakan perasaannya, seharusnya dia sadar betul jika si binatang buas itu tidak akan pernah memahami ucapannya. Namun, suara percikan air yang cukup keras, seolah sebuah batu sebesar domba dilemparkan pada genangan air, mencuri perhatiannya. Anneth segera menjauhkan telapak tangannya, dan mendapati kekosongan di hadapannya.

Dia segera mengedar, mencari keberadaan sosok pria itu, yang ternyata kini sedang berendam di dalam danau. Dengan takjub dan terperangah, Anneth bangkit dari duduknya, memandangi kegelapan air danau yang mendapat percikan cahaya dari bulan, sangat indah. Beberapa kunang-kunang berterbangan, mendekati air namun tak berani menyentuhnya. Saat itulah Anneth menjatuhkan pandangan pada punggung kekar yang membelakanginya seraya menyugar rambut panjang yang hitam legam.

Anneth memilih untuk mendekat, menjulurkan tangannya untuk menggapai dinginnya air danau yang menusuk jemarinya. Dalam hati dia terperangah, bagaimana bisa pria itu berenang dengan air sedingin ini?

Namun, rasa penasaran lain menyelimutinya. Satu hal yang bisa dia simpulkan, di mana pria berpundak lebar itu adalah sang kepala suku, atau penguasa dan Raja dari tanah Avram. Maka, dia lah yang akan menjadi suami Anneth kelak. Rencana awalnya bahkan gagal, Anneth jelas tidak mungkin bisa menikam sosok itu dengan mudah, karena sebelum dia mendekatkan bilah pisaunya, pasti dia sudah terlebih dahulu menangis sekarat karena mengalami patah tangan.

Anneth menghela nafas panjang, dengan pandangan kosong menatap air danau yang berkilauan. Dia mendadak ingat pada pesan dari pangeran Valter yang untuk pertama kalinya mengungkapkan cinta, lalu mengajak bertemu di perbatasan. Dia yang sudah memahami sifat Valter, tentu tidak bisa menganggap pesan itu hanyalah sebuah surat kesedihan dari seorang sepasang kekasih yang gagal menikah.

"Pasti ada maksud lain dibalik surat itu." Gumamnya.

Pesan itu datang setelah Anneth meninggalkan kerajaan barat dengan sembunyi-sembunyi, bahkan saat kerajaan barat memutuskan untuk memulai peperangan. Maka, keputusannya untuk membakar surat dan memilih menyerahkan diri pada penguasa tanah Avram dan kerajaan Amogha, sudah dipastikan adalah kebenaran.

Anneth segera mengerjap dengan pekikan kecil saat merasakan air dingin yang memercik di wajahnya. Seringaian mengerikan itu kembali terlihat, pria aneh itu sudah berada tepat di hadapannya dengan separuh badan yang terbenam dalam air danau. Anneth mengamati mata tajam itu dengan seksama, merasa seolah pernah disihir dengan tatapan itu sebelumnya, entah di mana. Satu yang pasti, pria itu terasa dingin dan panas secara bersamaan. Tatapannya sangat dingin, namun hawa yang melingkupi tubuhnya terasa panas dan menyengat, hingga tak ingin untuk mendekat.

"Berriro ihes egitea pentsatzen?"

*Berfikir untuk melarikan diri lagi?

Karena tidak mengetahui maksud dari ucapan pria itu, Anneth hanya bergeming, lalu kembali meraih air danau dan hendak membasuh wajahnya yang terasa kotor dan lengket. Namun lengannya dicekal oleh sebuah remasan tangan yang terasa menyakitkan, Anneth melirih dengan ringisan, menatap pria itu dengan keheranan. Kali ini, apa lagi yang salah?

"Inor ez zen ausartzen ni baztertzen. Baina zu?"

*Tidak ada yang berani mengabaikanku. Tapi kau?

Pria itu menggeram seperti binatang, seraya mendekatkan wajahnya hingga membuat Anneth terus mundur dan menjatuhkan diri ke tanah. Setelahnya pria itu menyeringai, lalu bangkit berdiri dari danau, menampakkan siluet tubuh telanjangnya yang terpantul sinar bulan di atas air, kemudian melangkah melewati Anneth yang terpaku dengan ketakutan.

"Goazen Amogha-ra."

*Ayo kembali ke Amogha.

Dia bahkan tidak memahami apa yang pria itu ucapkan, namun dari nada suaranya, terdengar syarat akan amarah. Lalu, jangan lupakan suara besarnya yang mengintimidasi pendengaran.

Begitu menoleh, Anneth segera memekik terkejut, karena kini pria itu sudah berpakaian dan berjalan mendekati kuda untuk ditunggangi. Seharunya dia dilarang berlari karena etika, namun karena rasa takut ditinggalkan seorang diri di hutan belantara ini, akhirnya Anneth memilih berlari dan mendongak memandangi pria itu begitu mencapai kuda.

Alih-alih membantu Anneth untuk menaiki kuda, pria itu malah menarik tali kendali, dan memberikan aba-aba hingga membuat kuda itu meringkik dan mulai berlari.

"Hey, kau melupakanku!" Teriak Anneth seraya berlari mengejar kuda, yang tentu hanya sebuah kesia-siaan belaka. Karena kini punggung berbalut mantel bulu itu semakin jauh dan hilang dimakan kegelapan.

Anneth menjatuhkan lututnya ke tanah, terenggah-enggah karena rasa lelah dan amarah. "Pria gila!" Pekiknya.

Dia mendongak, memandangi rimbunnya pepohonan yang hampir menutupi kegelapan langit. Saat ini, dia sedang ditinggalkan oleh calon suaminya, di sebuah hutan belantara yang bahkan tidak dia ketahui siapa saja penghuninya, kecuali serigala putih yang menjadi legenda.

Tak lama, terdengar langkah kuda yang mendekat, suaranya terdengar ramai, dan begitu menoleh, rombongan suku Amogha yang sedari tadi mengikuti di belakang, dengan salah satunya berisi penerjemah, berhenti disekeliling Anneth.

"Naiklah, kau akan menunggang kudamu sendiri, nona."

"Menunggang kuda?" Gumamnya.

Selama di kerajaan Adena, Anneth bahkan tidak pernah dibiarkan mendekati kuda karena tak ingin terjadi kecelakaan yang akan membahayakan tubuhnya. Dia dibesarkan untuk tumbuh menjadi seorang Ratu yang tanpa cacat, luka gores bahkan tidak Anneth miliki. Seketika dia sadar, jika saat ini dia tidak lagi dipersiapkan untuk menjadi Ratu dari kerajaan barat yang berkuasa itu. Melainkan, menjadi istri dari penguasa hutan yang tidak berperasaan.

"Tapi aku belum pernah menunggang kuda sebelumnya." Lirihnya, masih dengan wajah mendongak percaya diri.

Anneth dilatih untuk tidak menundukkan pandangan, pada siapapun lawan bicaranya. Begitulah dia tumbuh menjadi Ratu yang nantinya akan memiliki jiwa yang kuat dan tidak mudah kalah pada lawannya.

Penerjemah itu mengucapkan bahasa asing lagi, lalu beberapa penunggang kuda lain mulai terkekeh seolah menertawakannya. "Mau tidak mau kau harus memilih. Menunggang kuda atau berjalan kaki. Karena kami tidak pernah menggunakan kereta kuda."

Seorang pria mendekatkan seekor kuda pada Anneth, lalu pergi untuk menunggang kudanya sendiri. Tanpa memberikan instruksi apapun tentang bagaimana cara menunggang kuda, mereka dengan acuh mendahului Anneth dengan kuda yang dilajukan dengan cukup cepat.

Anneth sudah bersiap membuka mulut untuk mengamuk, namun ketakutan akan kesendiran, lebih dia prioritaskan. Maka dia segera menaiki kuda dengan susah payah, dan begitu berhasil, Anneth menghela nafas dengan panjang. Dia mengingat-ingat bagaimana pria itu mengendalikan kuda selama perjalanan panjang mereka tadi, dengan sekali hentakan dan seruan lirih yang bergetar karena ketakutan, kuda itu berhasil melaju dengan sangat kencang.

Matanya membola lebar, dengan teriakan yang terus keluar dari mulutnya tanpa henti. Anneth bahkan melewati gerombolan berkuda yang sempat mendahuluinya, dia tak sempat berseru meminta tolong ataupun mengendalikan keadaan. Karena satu-satunya yang dia teriakkan, hanya kata, "Ibu!" Yang terus diucapkan berulang-ulang. 

Diujung pandangan yang samar, mulai terlihat mantel berbulu yang terkibar karena angin, terlihat melayang karena kuda berwarna hitam yang seakan berkamuflase dengan kegelapan malam. Kuda yang Anneth naiki bahkan melewati kuda pria itu, Anneth hanya terus berteriak ketakutan, hingga kudanya melaju dibarisan paling pertama. Dia bahkan tidak tahu kemana arah yang harus dituju, kuda itu terus melaju seolah mengetahui arah jalan pulang.

Kuda itu melewati hutan dengan semak belukar yang tinggi, karena panik dan kesakitan, Anneth dengan reflek menarik tali kendali kuda, hingga membuat kuda itu berhenti mendadak dan membuat badan Anneth terjatuh dan berguling-guling di tanah dengan keras. Dia baru berhenti saat badannya menghantuk batu, yang membuat sebuah geraman kesakitan dengan rintihan. Perutnya lah yang pertama menabrak batu, terasa menyakitkan seolah organ dalamnya dipukuli dengan membabi buta.

"Ouch!" Rintihnya kesakitan.

Tak lama terdengar langkah kuda mendekat, lalu sosok pria melompat dan berlari kearah Anneth dengan gesit. Badannya direngkuh seolah hanya sebatang dahan pohon pisang muda yang sudah membusuk. Tanpa berkata apapun, pria pemilik aroma maskulin itu mendudukkan Anneth di atas kuda, lalu dengan gesit dia ikut menaiki kuda itu.

Sebuah pelukan erat diperutnya yang terasa sakit akibat benturan, terus membuat Anneth meringis seraya memejamkan matanya erat-erat. Mengapa hidupnya sekonyol ini?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dibawah Lengan Serigala Putih   Mainan Yang Lenyap

    Lapangan berlatih kerajaan barat yang biasanya kering dan memiliki rumput yang subur, kini menjadi dipenuhi dengan lumpur dan membekas jejak ribuan tapak sepatu yang menghilangkan warna hijau nan segar. Di bawah sana, ratusan pasukan mulai berlatih dengan saling berpasangan, memantapkan kekuatan dan mental untuk menyambut perang besar yang akan segera dihadapai.Rintik hujan bukan menjadi penghalang, udara dingin yang sebentar lagi akan menurunkan bulir salju, sama sekali tidak menyurutkan para perajurit yang mencintai kerajaan dengan segenap jiwa raga. Mati dalam peperangan, jelas lebih membanggakan dibanding kelaparan ataupun mengiggil di gubuk dengan perut kosong.Kerajaan Barat dengan keras menempa perajuritnya, bahkan anak-anak kecil sekalipun memiliki cita-cita menjadi bagian dari pasukan utama. Terasa jelas kekompakan dan dedikasi warga yang besar kepada kerajaan. Karena sebab itulah, kerajaan Barat terkenal dengan kekuatan militer yang jelas ditakuti oleh tiga kerajaan lain di

  • Dibawah Lengan Serigala Putih   Menjadi Wanita Seutuhnya?

    Matanya mengerjap saat merasakan kekeringan di tenggorokannya. Begitu membuka mata, rasa sakit di perut dan sekujur tubuhnya membuat Anneth meringis kesakitan. Pandangannya mengedar, menatap sekelilinginya, atap dan dinding, serta alas yang dia tiduri, semua berasal dari kain yang tebal, yang dapat diartikan jika kini dia sedang berada di dalam sebuah tenda.Anneth bangkit untuk duduk dengan ringisan, dia hanya mengenakan kain yang membalut dada dan bagian bawah pinggang, dengan perut terbuka yang ditempeli oleh ramuan dari daun-daunan. Aromanya terasa alami, namun menyengat hingga membuatnya mengernyit getir.Anneth kembali memandangi sekeliling, ruangan ini sangat sederhana dan kosong, sebuah ruangan kecil yang hanya dibuat untuk dijadikan sebagai tempat tidur. Dia mulai mengingat-ingat kejadian yang dia alami, di mana dia mengendari kuda dan jatuh terguling ke dalam semak-semak yang berakhir membentur batu, lalu dia dibawa pergi dengan tidak manusiawi.Anneth mengepalkan kedua tang

  • Dibawah Lengan Serigala Putih   Predator Penganggu

    Kedua pahanya terasa kaku dan kebas, sementara kuda yang ditunggangi, seperti kesetanan yang tidak hentinya berlari. Kehangatan dada dari pria yang sekeras baja dibelakangnya, serta teriakan yang sesekali diucap untuk memacu kuda, masih terus membuat Anneth tersentak.Dia sudah tidak tahan lagi!Langit sudah gelap, suara binatang malam mulai terdengar, namun tidak ada tanda-tanda jika rombongan kuda akan berhenti untuk beristirahat. Anneth yang kelelahan dan merasakan kebas di bagian pinggang hingga tubuh bawahnya, menggeliat tak nyaman. Namun dia segera berjengit saat mendengar geraman dari balik punggungnya.Suara itu terdengar dekat, dengan kehangatan yang merambati tengkuk dan telinganya. Anneth meremas rambut kuda dengan berdebar, dia takut jika sosok pria menyeramkan itu akan kesal dan berakhir melempar badannya hingga diinjak oleh kuda. Namun, rasa tidak nyaman karena kelelahan, terus membuat Anneth bergerak mencari posisi ternyaman."Akh!" Anneth berteriak kancang saat dua ka

  • Dibawah Lengan Serigala Putih   Pria Dengan Aura Yang Mengintimidasi

    "Putri, Anneth. Ada sebuah surat untuk anda."Seorang pelayan masuk ke dalam kamar Anneth dengan nampan emas berisi surat yang di cap khusus dengan tanda kerajaan barat. Anneth yang sibuk mengawasi persiapan keberangkatannya menuju perbatasan dari balik jendela kamarnya, mengulurkan tangan untuk meraih surat itu.Pelayan memilih undur diri, lalu Anneth mulai membuka surat yang berasal dari Valter, dengan sebuah tanda tangan di sudut kiri dari kertas beraroma mawar.Dari isi suratnya, Valter meminta untuk bertemu di perbatasan kerajaan utara dan barat, dia terus mengulang kata cinta yang kini mulai membuat Anneth menyeringai. Selama menjalin pertunangan sejak 4 tahun lalu, Valter bahkan tidak pernah mengucapkan kata menjijikkan itu, bahkan Anneth pun tidak pernah mengharapkan itu terucap. Hubungannya dan Valter hanyalah sebuah ikatan politik yang mewajibkan Anneth untuk terus tersenyum dan menatap pria menyebalkan dan manja itu dengan pandangan penuh cinta. Selebihnya, Anneth bahkan l

  • Dibawah Lengan Serigala Putih   Gadis Yang Ditumbalkan

    "Kamu tidak akan kembali ke istana barat dalam waktu dekat."Meja makan panjang dengan 12 kursi itu, dipenuhi dengan olahan masakan, mulai dari daging asap yang sudah mulai diracik untuk menyambut musim dingin, atau daging domba panggang yang merupakan makanan kesukaan Raja Ted.Namun, Raja Ted dengan perut buncitnya, mengabaikan sarapan di hadapannya dan berulang kali membanjiri tenggorokan dengan alkohol yang berasal dari fermentasi serealia. Ucapannya masih sama, meski Anneth terus mengulang pertanyaan kapan dirinya akan kembali ke kerajaan barat. Anneth tidak akan kembali, dan tak ada alasan jelas dibalik perintah itu."Pertunangan kalian batal! Dan cepat makan makananmu." Eleneor yang duduk di samping Anneth, ikut bersuara dengan dagu menunjuk piring milik Anneth dengan punggung tegapnya.Wanita itu sedang memamerkan kesempurnaan etikanya begitu duduk di kursi meja makan. Dari lirikan tajamnya, serta gaya menyayat daging yang perlahan, jelas wanita itu sedang menyindir Anneth yan

  • Dibawah Lengan Serigala Putih   Penawaran Dengan Binatang Buas

    "Nona, Nona Anneth, bangun!"Tepukan yang samar-samar mulai terasa di pipinya, membuat kelopak matanya berangsur terbuka. Dalam cahaya remang, dan kelembaban di telapak tangan kanannya, Anneth melirik dan mendapati ramuan yang membalut telapak tangannya.Pelayannya kembali tidak patuh, mereka pasti sempat membalut memar di telapak tangannya dengan ramuan."Nona, kita harus bergegas!"Kesadaran belum sepenuhnya menyatu, Anneth bangkit duduk dengan pandangan berpendar ke penjuru kamar yang sepi. Dengan terburu-buru, Betty mengemasi pakaian dan memasukkannya ke dalam peti, lalu memasangkan mantel bulu ke badan Anneth tanpa sepatah katapun."Betty, apa yang terjadi?"Bola mata Betty bergetar ketakutan, bibirnya berkomat-kamit tanpa suara, lalu dengan cengkraman erat, dia memaksa Anneth untuk bangkit. "Tidak ada waktu, kita harus pergi dari sini, Nona!"Anneth bahkan tidak sempat memberontak, atau melawan Betty yang dengan berani menyeretnya pergi. Satu yang dia yakini, jika keadaan saat

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status