Matanya mengerjap saat merasakan kekeringan di tenggorokannya. Begitu membuka mata, rasa sakit di perut dan sekujur tubuhnya membuat Anneth meringis kesakitan. Pandangannya mengedar, menatap sekelilinginya, atap dan dinding, serta alas yang dia tiduri, semua berasal dari kain yang tebal, yang dapat diartikan jika kini dia sedang berada di dalam sebuah tenda.
Anneth bangkit untuk duduk dengan ringisan, dia hanya mengenakan kain yang membalut dada dan bagian bawah pinggang, dengan perut terbuka yang ditempeli oleh ramuan dari daun-daunan. Aromanya terasa alami, namun menyengat hingga membuatnya mengernyit getir.
Anneth kembali memandangi sekeliling, ruangan ini sangat sederhana dan kosong, sebuah ruangan kecil yang hanya dibuat untuk dijadikan sebagai tempat tidur. Dia mulai mengingat-ingat kejadian yang dia alami, di mana dia mengendari kuda dan jatuh terguling ke dalam semak-semak yang berakhir membentur batu, lalu dia dibawa pergi dengan tidak manusiawi.
Anneth mengepalkan kedua tangannya, dia bahkan baru beberapa saat saja bersama dengan suku aneh itu, namun kemalangan sudah menyiksanya dengan keji. Memandangi luka sayat di sekujur tubuhnya, Anneth menekan pelipis dengan geram. Selama ini dia merawat tubuhnya dengan baik, namun usahanya hancur dalam waktu satu hari.
Suara tawa yang terdengar besar, bersamaan dengan pintu kain yang terbuka, membuat Anneth menaikkan pandangan. Sosok yang beru saja terdengar tertawa puas itu, kini mendatarkan raut wajahnya, seolah baru saja melihat makhluk yang paling dia benci di seluruh jagat raya.
"Esna al zaude?"
*Kau sudah bangun?
Demi dewa Zeus dan seluruh istrinya, Anneth sangat kesal dengan keadaan yang sedang dia alami. Bahkan, bagian paling membuatnya kesal, adalah karena tidak bisa memahami bahas yang pria itu gunakan. Namun, mengira-ngira dengan akal sehat, Anneth mengangguk seolah paham maksud dari pria itu.
"Arion!"
Anneth tersentak saat dengan tiba-tiba pria itu meneriakkan sebuah nama, dan tak lama setelahnya seorang pria penerjemah masuk ke dalam tenda dengan raut wajah panik. Anneth sempat bersitatap dengan manik pria itu, yang segera merunduk dan mendekat seraya bersimpuh.
"Maafkan saya, seharusnya saya tidak memberikan kuda yang biasa ditunggai untuk perang kepada pemula seperti anda. Dia memiliki insting peperangan yang kuat, maka melaju dengan sangat cepat dan membahayakan anda."
Mendengar penjelasan itu, Anneth meremas kain yang membalut pinggangnya, dia beralih menatap pria tinggi besar yang masih berdiri memandanginya. Pria itu bersuara, yang lagi-lagi tidak bisa Anneth pahami. Namun, melihat wajah terkrjut Arion, Anneth menjadi khawatir.
"Ketua mengatakan, dia tidak akan membiarkan anda menghukum saya dengan berat, karena Arion adalah orang kepercayaan ketua. Ketua hanya ingin melihat saya meminta maaf dengan tulus kepada anda, Nyonya." Nada Canggung terdengar dipaksakan saat Arion menyebut kata Nyonya.
Anneth segera melayangkan tatapan membunuh pada pria gila itu, hingga akhir, meski Annteh terluka, pria itu tetap tidak memilki hati. Bahkan tak ada rasa iba sedikitpun. Dengan raut wajah datarnya, pria itu berbalik dan memilih keluar dari tenda, menyisakan Arion yang terus merunduk.
"Aku memaafkanmu. Siapa namamu, tadi? Arion?"
"Iya, nyonya." Lirih Arion dengan sopan, sangat berbeda dengan perangai dia sebelumnya.
"Bisakah kau berhenti memanggilku Nyonya? Aku bahkan belum menikah." Protes Anneth, seraya menaikkan kain dipangkuannya untuk menutupi tubuhnya yang sedikit terbuka.
"Apa maksud Nyonya? Anda sudah melangsungkan pernikahan semalam, saat anda tidak sadarkan diri. Dan kini anda sudah resmi menjadi istri dari ketua."
Mata Anneth membelalak, sungguh dia tidak memahami adat pernikahan macam apa yang suku ini anut. Bahkan, meski dalam keadaan tidak sadarkan diri, mereka tetap melangsungkan pernikahan?
"Sejak awal anda sudah menerima perniakhan ini, dan karena semalam adalah waktu terbaik untuk pernikahan terjalin, maka semua dilangsungkan dengan cepat dan mendadak, Nyonya." Terang Arion, seolah paham pada keresahan Anneth.
Pria itu menunjuk pergelangan tangan kiri Anneth, dan dengan penasaran dia menatapnya. Sebuah tato kecil berbentuk aneh terukir dipergelangan tangannya, dengan syok Anneth segera menatap Arion, meminta penjelasan untul hal gila yang dia alami. Bagaimana bisa seorang putri memiliki tato?
"Itu adalah tanda, jika anda sudah menikah, Nyonya. Dan Ketua juga memiliki tanda yang sama seperti milik Nyonya. Menandakan jika kalian adalah-"
"Cukup!" Potong Anneth, seraya memijat keningnya yang berdenyut.
Ini terlalu gila, tidak masuk akal dan terlalu jauh melampaui karakter Anneth. Dia adalah seorang putri kerajaan Adena, yang dipuja dan hidup dengan kesempurnaan. Lalu, bagaimana bisa dia diperlakukan seperti tidak berharga di antara suku ini?
"Nyonya, apa anda baik-baik saja?"
Terlihat raut khawatir dari Arion, namun pria itu tetap menjaga jarak seolah tak diperbolehkan mendekat lewat dari jarak satu meter. Belum sempat menjawab, pintu kain kembali terbuka, dan beberapa wanita berbalut pakaian kain minimalis, masuk dan memenuhi kamar yang Anneth tempati. Terhitung ada 6 orang, yang kini memandang Anneth dengan penuh minat.
"Nyonya, karena anda sudah sadar, mari segera membersihkan diri. Sebelum ketua datang kembali." Ucap salah seorang wanita yang tersenyum cerah kearahnya.
Meski ketakutan, namun Anneth merasa lega, karena ada satu orang wanita yang bisa berbicara dengan bahasa yang Anneth gunakan.
Aron bangkit, lalu merunduk dengan sopan. "Silakan membersihkan diri anda, Nyonya. Untuk kedepannya, Lyra yang akan membantu mengurus kebutuhan anda. Saya pamit undur diri."
Setelah kepergian tergesa Aron, para wanita segera mengerubungi Anneth. Wanita yang sedari tadi tersenyum cerah, pun mulai menyisir rambut terurai Anneth dengan jemarinya. "Rambut blonde yang indah, Nyonya. Saya Lyra."
Anneth meringis canggung, lalu beralih menatap wanita lain yang mulai mencoba melucuti pakaian yang Anneth kenakan.
"Hey, apa yang kalian lakukan!" Sentak Anneth tak terima.
Meski sepanjang hidupnya Anneth selalu dibantu oleh pelayan untuk mengurus diri, namun dia tak bisa bersikap normal ketika wanita suku inilah yang menyentuhnya. Dengan raut terkejut dan panik, Anneth menatap Lyra yang tersenyum ramah.
"Mereka akan membantu anda membersihkan diri, Nyonya. Anda harus bersih, sebelum menyambut ketua."
"Tunggu!" Anneth mencekal salah satu wanita yang berniat melepas kain yang melilit dadanya, lalu menatap Lyra dengan tajam. "Tapi untuk apa aku harus bersiap menyamutnya?"
Lyra terkikik pelan, dengan senyuman malu-malu. "Kalian akan melakukan inti dari ritual penikahan, Nyonya. Malam ini, anda akan menjadi wanita seutuhnya."
Tubuh Anneth mendadak kaku, dia merasa seperti diangkat dan diceburkan pada danau musim dingin yang terletak di kerajaan utara yang siap membaku. Ini adalah bagian yang paling dia takutkan, menghabiskan malam dengan pria buas yang tidak memiliki rasa iba itu.
Menyadari ketakutan Anneth, Lyra mengenggam tangannya. "Tidak apa, Nyonya. Ketua adalah seorang pria sejati, dia akan memberikan pengalaman pertama yang bisa membuat anda terkesan."
Lapangan berlatih kerajaan barat yang biasanya kering dan memiliki rumput yang subur, kini menjadi dipenuhi dengan lumpur dan membekas jejak ribuan tapak sepatu yang menghilangkan warna hijau nan segar. Di bawah sana, ratusan pasukan mulai berlatih dengan saling berpasangan, memantapkan kekuatan dan mental untuk menyambut perang besar yang akan segera dihadapai.Rintik hujan bukan menjadi penghalang, udara dingin yang sebentar lagi akan menurunkan bulir salju, sama sekali tidak menyurutkan para perajurit yang mencintai kerajaan dengan segenap jiwa raga. Mati dalam peperangan, jelas lebih membanggakan dibanding kelaparan ataupun mengiggil di gubuk dengan perut kosong.Kerajaan Barat dengan keras menempa perajuritnya, bahkan anak-anak kecil sekalipun memiliki cita-cita menjadi bagian dari pasukan utama. Terasa jelas kekompakan dan dedikasi warga yang besar kepada kerajaan. Karena sebab itulah, kerajaan Barat terkenal dengan kekuatan militer yang jelas ditakuti oleh tiga kerajaan lain di
Matanya mengerjap saat merasakan kekeringan di tenggorokannya. Begitu membuka mata, rasa sakit di perut dan sekujur tubuhnya membuat Anneth meringis kesakitan. Pandangannya mengedar, menatap sekelilinginya, atap dan dinding, serta alas yang dia tiduri, semua berasal dari kain yang tebal, yang dapat diartikan jika kini dia sedang berada di dalam sebuah tenda.Anneth bangkit untuk duduk dengan ringisan, dia hanya mengenakan kain yang membalut dada dan bagian bawah pinggang, dengan perut terbuka yang ditempeli oleh ramuan dari daun-daunan. Aromanya terasa alami, namun menyengat hingga membuatnya mengernyit getir.Anneth kembali memandangi sekeliling, ruangan ini sangat sederhana dan kosong, sebuah ruangan kecil yang hanya dibuat untuk dijadikan sebagai tempat tidur. Dia mulai mengingat-ingat kejadian yang dia alami, di mana dia mengendari kuda dan jatuh terguling ke dalam semak-semak yang berakhir membentur batu, lalu dia dibawa pergi dengan tidak manusiawi.Anneth mengepalkan kedua tang
Kedua pahanya terasa kaku dan kebas, sementara kuda yang ditunggangi, seperti kesetanan yang tidak hentinya berlari. Kehangatan dada dari pria yang sekeras baja dibelakangnya, serta teriakan yang sesekali diucap untuk memacu kuda, masih terus membuat Anneth tersentak.Dia sudah tidak tahan lagi!Langit sudah gelap, suara binatang malam mulai terdengar, namun tidak ada tanda-tanda jika rombongan kuda akan berhenti untuk beristirahat. Anneth yang kelelahan dan merasakan kebas di bagian pinggang hingga tubuh bawahnya, menggeliat tak nyaman. Namun dia segera berjengit saat mendengar geraman dari balik punggungnya.Suara itu terdengar dekat, dengan kehangatan yang merambati tengkuk dan telinganya. Anneth meremas rambut kuda dengan berdebar, dia takut jika sosok pria menyeramkan itu akan kesal dan berakhir melempar badannya hingga diinjak oleh kuda. Namun, rasa tidak nyaman karena kelelahan, terus membuat Anneth bergerak mencari posisi ternyaman."Akh!" Anneth berteriak kancang saat dua ka
"Putri, Anneth. Ada sebuah surat untuk anda."Seorang pelayan masuk ke dalam kamar Anneth dengan nampan emas berisi surat yang di cap khusus dengan tanda kerajaan barat. Anneth yang sibuk mengawasi persiapan keberangkatannya menuju perbatasan dari balik jendela kamarnya, mengulurkan tangan untuk meraih surat itu.Pelayan memilih undur diri, lalu Anneth mulai membuka surat yang berasal dari Valter, dengan sebuah tanda tangan di sudut kiri dari kertas beraroma mawar.Dari isi suratnya, Valter meminta untuk bertemu di perbatasan kerajaan utara dan barat, dia terus mengulang kata cinta yang kini mulai membuat Anneth menyeringai. Selama menjalin pertunangan sejak 4 tahun lalu, Valter bahkan tidak pernah mengucapkan kata menjijikkan itu, bahkan Anneth pun tidak pernah mengharapkan itu terucap. Hubungannya dan Valter hanyalah sebuah ikatan politik yang mewajibkan Anneth untuk terus tersenyum dan menatap pria menyebalkan dan manja itu dengan pandangan penuh cinta. Selebihnya, Anneth bahkan l
"Kamu tidak akan kembali ke istana barat dalam waktu dekat."Meja makan panjang dengan 12 kursi itu, dipenuhi dengan olahan masakan, mulai dari daging asap yang sudah mulai diracik untuk menyambut musim dingin, atau daging domba panggang yang merupakan makanan kesukaan Raja Ted.Namun, Raja Ted dengan perut buncitnya, mengabaikan sarapan di hadapannya dan berulang kali membanjiri tenggorokan dengan alkohol yang berasal dari fermentasi serealia. Ucapannya masih sama, meski Anneth terus mengulang pertanyaan kapan dirinya akan kembali ke kerajaan barat. Anneth tidak akan kembali, dan tak ada alasan jelas dibalik perintah itu."Pertunangan kalian batal! Dan cepat makan makananmu." Eleneor yang duduk di samping Anneth, ikut bersuara dengan dagu menunjuk piring milik Anneth dengan punggung tegapnya.Wanita itu sedang memamerkan kesempurnaan etikanya begitu duduk di kursi meja makan. Dari lirikan tajamnya, serta gaya menyayat daging yang perlahan, jelas wanita itu sedang menyindir Anneth yan
"Nona, Nona Anneth, bangun!"Tepukan yang samar-samar mulai terasa di pipinya, membuat kelopak matanya berangsur terbuka. Dalam cahaya remang, dan kelembaban di telapak tangan kanannya, Anneth melirik dan mendapati ramuan yang membalut telapak tangannya.Pelayannya kembali tidak patuh, mereka pasti sempat membalut memar di telapak tangannya dengan ramuan."Nona, kita harus bergegas!"Kesadaran belum sepenuhnya menyatu, Anneth bangkit duduk dengan pandangan berpendar ke penjuru kamar yang sepi. Dengan terburu-buru, Betty mengemasi pakaian dan memasukkannya ke dalam peti, lalu memasangkan mantel bulu ke badan Anneth tanpa sepatah katapun."Betty, apa yang terjadi?"Bola mata Betty bergetar ketakutan, bibirnya berkomat-kamit tanpa suara, lalu dengan cengkraman erat, dia memaksa Anneth untuk bangkit. "Tidak ada waktu, kita harus pergi dari sini, Nona!"Anneth bahkan tidak sempat memberontak, atau melawan Betty yang dengan berani menyeretnya pergi. Satu yang dia yakini, jika keadaan saat