"Selamat' datang di rumah kami," ucap wanita yang menggunakan bantuan tongkat untuk berjalan yang berdiri di depan Asma dan Wisnu. Senyuman lebar tersungging dari kedua sudut bibir wanita itu.Asma menarik paksa senyuman pada kedua sudut bibirnya. Sementara Wisnu yang berdiri di sampingnya terdiam untuk sesaat."Kenalkan namanya adalah Nada," ucap Wisnu. Ia menatap pada Asma dan wanita berparas cantik dengan rambut sebahu yang berdiri di ambang pintu secara bergantian."Asma!" balas Asma menyambut uluran tangan gadis itu dengan senyuman hangat."Senang sekali bisa bertemu dengan anda," ucap Nada. Asma membalas ucapan itu dengan senyuman kecil. Di dalam hati, Asma berdecak kagum pada kecantikan wanita bernama Nada yang tinggal di rumah Tuan Sangir."Apakah dia juga saudara kamu?" tanya Asma mengacungkan sedikit jari telunjuknya ke arah wanita cantik yang berdiri di depannya.Wisnu terlihat gugup, "Iya, dia adalah keponakanku," jawab Wisnu cepat. Menatap penuh keyakinan pada Asma."Oh .
"Apa?" celetuk Wisnu terlihat gugup. Ia membenarkan posisinya."Iya, siapa wanita yang Ayah Sangir maksud?" Asma mengulangi pertanyaannya. Netranya menatap penasaran pada lelaki yang berbaring di sampingnya."Ehm ...!" Sepersekian detik Wisnu hanya terdiam dengan wajah berpikir. Ia nampak gugup dengan wajah bingung."Apakah maksud Ayah Sangir itu adalah Mbak Nada?" tebak Asma. "Bukankah yang ada di rumah ini hanya Mbak Nada dan Abang?" Wanita lugu itu menaikan kedua alisnya."I-iya, As, sepertinya maksud Ayah memang Nada," ucap Wisnu cepat. "Nada memang sudah Ayah anggap seperti anak kandungnya sendiri," jelas Wisnu dengan wajah lega."Oh," Asma membulatkan mulutnya hingga membentuk huruf O. Sejenak ia membuang tatapannya ke arah lain, lalu menjatuhkan tatapan akhir pada Wisnu kembali."Memangnya sebenarnya Mbak Nada itu saudara Abang atau bukan sih?" celetuk Asma dengan wajah penuh tanya."Iyalah, saudara Abang. Dia adalah keponakan Abang jauh. Orang tuanya tinggal di Belanda. Semen
Wanita berambut sebahu itu seketika menoleh pada Asma. "Suami?" ucapnya dengan nada terbata. Ia tampak sangat terkejut sekali."Iya Suami." Asma mengulangi kalimatnya seraya menaikan kedua alisnya. Wanita itu menatap heran pada Nada."Punya As, Nada punya suami," celetuk Wisnu yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. Seketika Asma dan wanita berambut sebahu itupun menoleh ke arah Wisnu."Mas!" lirih Nada, bibir mungilnya tiba-tiba memanggilan lelaki itu."Abang!" ucap Asma.Seketika Asma dan Nada saling bersitatap untuk sesaat. Wajah Nada mendadak tegang, tapi tidak dengan Asma. Wanita yang usianya jauh di bawah Nada itu justru melemparkan senyuman hangat pada Nada. Ia merasa lucu saat memanggil Wisnu bersamaan dengan panggilan yang berbeda."Maaf, aku hanya terkejut saja melihat Mas Wisnu ada di sana," sela Nada memaksakan senyuman.Asma melebarkan senyumnya. "Sama, aku juga terkejut," ucapnya sekilas menatap pada Wisnu dan Nada secara bergantian. Wisnu tersenyum hangat, melangkahkan
"Nyonya Asma, apa yang sedang anda lakukan?" celetuk Bik Tum mengangetkan Asma. Seketika gerakan tangan yang hendak mengetuk pintu itupun terhenti. Begitu juga dengan tangisan yang berasal dari dalam kamar yang seketika itu juga terhenti."Bik Tum," celetuk Asma terkejut, ia mengalihkan tatapannya kepada Bik Tum yang berjalan ke arahnya."Apa yang sedang Nyonya Asma lakukan di sini?" tanya Bibik."Tadi aku mendengar suara orang menangis dari dalam kamar ini, Bik," jelas Asma."Menangis?" Bibik menaikkan kedua alis. "Bagaimana mungkin?" Bibik mengeryitkan dahi. "Itu kan gudang Nyonya, Jadi tidak mungkin ada orang menangis di dalam ruangan itu," jelas Bik Tum.Asma tercekat. Ia yakin sekali dengan Indra pendengarnya. Jika beberapa saat yang lalu ada seseorang yang menangis di dalam kamar itu dan suara tangisannya hampir mirip sekali dengan suara Nada."Tapi aku tidak bohong, Bik," tegas Asma dengan wajah penuh keyakinan. "Suaranya hampir mirip sekali dengan suara Mbak Nada," jelas Asma.
Dengan cepat Nada menepis tangan Wisnu yang berada di pipinya saat melihat kehadiran Asma di ambang pintu belakang rumah yang sedang melihat ke arahnya."Neng Asma," ucap Wisnu dengan wajah terkejut. Ia segera membenarkan posisinya."Maaf As, tadi Mas Wisnu hanya mengusap mataku saja. Tadi aku kelilipan," jelas Nada gugup. "Jadi kamu jangan salah paham, As." Nada berusaha untuk menyakinkan wanita yang berdiri di depannya. "Iya Mbak tidak apa-apa," jawab Asma dengan wajah bingung untuk sesaat. "Mbak Nada tidak perlu menjelaskan semuanya seperti itu padaku, aku percaya kok," imbuh Asma kemudian, seraya menyunggingkan senyuman hangat. Nada terdiam untuk sesaat, lalu menghela nafas lega dan menyungingkan senyuman paksa pada bibirnya."Neng, kenapa?" sela Wisnu berusaha untuk mencairkan suasana. Asma seketika mengalihkan tatapannya pada Wisnu yang berjalan ke arahnya."Tidak, aku hanya mencari Abang. Aku sudah menyiapkan semuanya, apakah kita jadi berangkat sekarang?" tanya Asma saat Wi
Wanita bertubuh subur itu berjalan masuk ke dalam rumah. Sedikitpun ia tidak menatap pada Rani yang masih berbincang dengan Ibu Fatimah. Ia terlihat kesal, karena Rani telah membohonginya. Jika ia tau Rani memiliki uang, maka ia tidak akan mungkin meminjam pada Ustaz Azhar."Terimakasih Ran, ibu minta maaf karena hampir saja marah-marah sama Umi kamu." Suara dari luar rumah terdengar hingga di ruang makan rumah Umi. Rupanya segelas air putih yang sudah Umi teguk hingga tandas tidak cukup untuk melegakan kerongkongannya yang terasa begitu sesak. Beberapa saat kemudian terdengar suara derap langkah kaki Rani yang berjalan masuk ke dapur. Setelah suara derit pintu rumah yang terdengar tertutup."Umi, rupanya Umi di sini?" ucap Rani menyunggingkan senyuman saat menemukan wanita bertubuh subur itu berada di ruangan makan.Dengan wajah senang Rani berjalan menghampiri Umi. Sedikitpun Umi tidak menatap pada gadis bertubuh kurus tinggi itu. Ia memilih untuk membuang tatapannya ke arah lain.
Senja telah menguning di ufuk barat. Beberapa saat lagi, cahaya jingga itu akan berganti dengan pekatnya malam yang mencekam. Rani semakin gusar, kantor tempatnya berkerja telah sepi karyawan sejak satu jam yang lalu. Tapi lelaki yang berjanji akan menjemputnya tidak kunjung juga datang menjemput.Perlahan gerimis jatuh membahasi bumi, butirannya begitu lembut membasahi lantai paving yang berada di depan kantor tempat Rani bekerja. Bahkan kini suara merdu pemanggil sholat pun telah berkumandang di seluruh penjuru saling bersahutan."Kenapa sih, Bang Azhar? Kalau tidak berniat menjemput harusnya dia tidak berjanji," gerutu Rani semakin kesal. Beberapa kali ia menghentakkan kakinya kesal pada lantai. Netranya menatap ke arah jalanan besar yang berada di depan kantor. Kendaraan berlalu lalang di jalanan besar itu."Jika tau begini, lebih baik aku naik angkutan umum saja," desah Rani dengan bibir mengerucut. Tidak hanya kesal pada Ustaz Azhar, ia juga kesal pada dirinya sendiri yang terla
Sekuat tenaga Rani menendang dada bidang lelaki yang berada di atas tubuhnya. Tubuh lelaki itupun menjauh setelah terdengar suara cukup keras. Tubuh Bagas terpental mengenai atap mobil miliknya."Aduh ... !" Bagas mengaduh. Rani mengambil kesempatan itu untuk membukakan pintu mobil, tapi usahanya sia-sia. Bagas sudah mengunci pintu mobil itu sebelum ia menjalankan aksinya.BRUAK! BRUAK!Seseorang memukuli jendala kaca belakang mobil dari luar. Sosok lelaki itu seketika membuat Rani lega."Bang, tolong aku Bang!" teriak Rani pada lelaki yang berusaha untuk membuka pintu mobil dari luar."Sialan!" hardik Bagas kesal saat melihat Ustaz Azhar di luar mobilnya.Lelaki itu bergegas turun dari dalam mobil dengan bertelanjang dada. Menghampirinya Ustaz Azhar yang sudah mengganggu rencananya."Dasar manusia tidak beradab! Apa yang akan kamu lakukan pada Rani!" sentak Ustaz Azhar pada Bagas yang berjalan ke arahnya. Wajah lelaki merah menyala, penuh amarah."Apa yang sedang kamu lakukan, manus