Share

Terjadi Lagi

Penulis: Suhaida
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-09 13:35:26

Besok aja, ya Pah, Mamah cape,” tolak Vida sambil menyingkirkan tangan Bima dari pinggangnya. Bima mencelos, dia berbalik dengan hela napas berat. Entah sudah berapa kali Vida menolaknya dengan berbagai alasan. Padahal dirinya masih butuh, walaupun usia sudah tidak muda lagi. 

Dua tahun lagi dirinya memang berusia 50 tahun sedang istrinya tiga tahun di bawahnya. Anak mereka sudah besar. Yang sulung sudah selesai sekolahnya, baru tiga bulan lalu di ambil sumpah profesi sebagai dokter dan sekarang bekerja di rumah sakit swasta. Yang kedua masih kuliah semester 4 dan si bungsu SMA.

Apakah memang dengan usia dan kondisi seperti ini tidak memungkinkan lagi untuk mereka melakukan itu? Apa yang salah? Mengapa istrinya selalu menolak?

“Kita sudah tua, lo, Pah. Anak-anak udah gede,” tolaknya, atau pada lain waktu,

“Mamah besok mau berangkat pagi, Pah takut kesiangan.” Lagi dan lagi, Bima harus menelan kecewa karena penolakan itu. Dirinya juga sudah lupa kapan terakhir mereka bersama. 

Lelaki yang masih terlihat tampan itu bangkit meninggalkan istrinya yang telah pulas, mencari angin di luar mungkin bisa meredakan keinginan yang menyiksa.

Sepi sekali, mereka memang hanya tinggal bertiga. Otomatis saat Vida pergi, dia hanya berdua dengan Evi. Mengingat Evi, Bima kembali mengingat malam itu. Dirinya sangat menyesali kejadian itu. Namun tidak dapat dipungkiri jika malam itu, dahaganya terobati.

 Bima menghempaskan diri di sofa. Jari-jemari nya mengutak-atik remote televisi mencari acara yang mungkin bisa menghibur diri. Namun hasrat dalam diri benar-benar membuat dirinya resah. Bima bangkit, mengetuk pintu kamar Evi yang terletak di belakang dekat dapur. Dia ingin meminta di buatkan kopi atau camilan untuk menemani malam.

Evi membuka pintu kamarnya dengan wajah mengantuk, melihat Bima berdiri di depan kamarnya membuat Evi gemetar takut. Dia berniat menutup kembali pintu kamarnya, tetapi kaki Bima sigap menahan. Dirinya hanya ingin dibuatkan kopi, mengapa Evi seperti ketakutan?

Bima sudah biasa mengetuk pintu kamarnya bila ingin dibuatkan kopi malam-malam. Namun sejak kejadian di malam itu Evi selalu takut dan benci berdekatan dengannya. Selalu berusaha untuk menghindar. Perempuan muda itu selalu was-was, takut kejadian itu terulang lagi.

Evi yang sedang berada dalam balutan baju tidur entah mengapa justru membuat Bima terpana.  Baju tidurnya biasa tidak seksi tetapi karena Bima sedang ingin, tetap saja membuat sensasi sendiri untuknya. Sejak malam kejadian itu, bayangan Evi memang selalu hadir di benaknya,

Niat Bima yang hanya ingin dibuatkan kopi, jadi berbelok. Dia menginginkan yang lain.

Bima mendorong Evi masuk dalam kamarnya lalu menutup pintu dengan cepat. Evi tentu saja terkejut, matanya membelalak antara takut dan tidak percaya, Bima senekat ini. Bukankah istrinya ada. Sebelum Evi sempat protes, Bima sudah mendorongnya ke tempat tidur dan membekap mulutnya.

Jarak kamar Evi dan kamarnya memang cukup jauh Kamar Evi berada di belakang dekat dapur. Terpisah oleh ruang makan dan ruang tengah yang cukup lebar.  Keadaan ini cukup menguntungkan untuk Bima. Dia bisa memaksa Evi tanpa khawatir istrinya terbangun.

Sekali lagi Bima melakukan aksinya. Tidak peduli pemberontakan dan tangis Evi yang menghiba. Bima gelap mata, keinginan yang tidak terpenuhi pada yang seharusnya membuat akal sehatnya menghilang. Tidak terpikir akibatnya ke depan. Tidak terpikir bagaimana nasib Evi setelah ini. Padahal saat melakukan aksinya yang pertama, dirinya telah berjanji jika tidak akan terulang lagi. Malam ini dia mengingkarinya.

Evi menangis setelah Bima pergi meninggalkan kamarnya. Tidak pernah diduga Bima akan kembali mengulang perbuatannya padahal istrinya ada di rumah. Tidak cukupkah dia mendapatkan itu dari istrinya, mengapa harus menyasar padanya? Mengapa melampiaskan padanya?

Sepertinya dirinya harus berhenti. Dia tidak bisa lagi di sini. Jika ada istrinya saja Bima berani bagaimana kalau majikannya itu pergi nanti. Mereka berdua saja seperti kemarin, bisa-bisa Bima akan terus mengulang perbuatannya.

Evi makin sesengukan meratap. Mengapa Bima kini tega sekali padanya. Tega menghancurkan hidupnya. Akan bagaimana setelah ini? Entah apa yang menyebabkan Bima seperti ini. Sebelumnya Bima baik-baik saja walaupun ditinggalkan. Apa pun keperluan Bima memang dirinya yang mengurus. Vida istrinya hanya memberi intruksi saja dan mengingatkannya.

Bima tidak pernah menggoda atau berbuat tidak senonoh padanya. Itu juga yang membuat dirinya betah hingga tiga tahun bekerja di sini. Dirinya hanya sesekali pulang, lebih rutin nya dua minggu sekali untuk menengok anaknya. Sekarang mengapa seperti ini?

***

“Bu, maaf saya mau minta izin pulang, Bu,” lirih Evi sambil menunduk, keputusan Evi sudah bulat setelah dia memikirkan berulang kali. Walaupun dia belum tahu setelah ini akan bekerja apa. Vida yang baru menyelesaikan sarapan mendongak menatapnya. Bima ikut tertegun. Dia menghentikan gerakannya untuk minum.

“Kenapa mendadak, Vi lagian ini bukan hari sabtu?” protes Vida, dia menggeleng .

“Nggak bisa, Vi, saya sudah rencana mau ikut acara jalan-jalan ibu-ibu komplek tiga hari. kamu nggak bisa pergi," lanjutnya sambil terus menggeleng. Evi menegang mendengar rencana itu. Wajahnya pias seketika.

“Minggu depan aja kamu  pulangnya,” putusnya.

Alasan Vida membuat Bima menoleh seketika, istrinya itu sama sekali belum mebicarakan rencana itu padanya.

“Mama juga belum izin Papa, lho,” protes Bima tidak setuju, tetapi Vida justru bergayut manja padanya.

“Belum sempet, Pa. Rencana baru hari ini mau ngomong, boleh ya Pa, please!” rayunya. Bima mendengkus selalu seperti ini, dirinya tidak pernah bisa melarang istrinya. Percuma, dia akan merajuk dan mengabaikannya bila dilarang dan Bima tidak tahan diperlakukan begitu..

“Jika Evi tidak pulang, Mama boleh berangkat. Jika tidak di rumah saja,” tandas Bima sambil beranjak.

Evi menggeleng seketika, sungguh dirinya tidak ingin lagi di sini, Dia takut Bima  akan mengulang lagi perbuatannya. Apa lagi Vida akan pergi, tiga hari, lama sekali itu.

Dia tidak ingin dituduh telah mengkhianati Vida. Walaupun Vida sedikit cerewet tetapi dia baik padanya. Dia takut perbuatan Bima akan terus berulang, dia takut jika nanti disalahkan dan dituduh pelakor. Apa kata Vida bila tahu? Juga Anak-anak Bima, mereka sudah besar-besar. Mereka akan membencinya.

“Pa, Mama bisa mati bosan sendirian di rumah,” sungut Vida, Bima mengangkat bahu, memeriksa kembali tas yang akan dibawanya.

“Kamu dengar, rencana saya bisa batal kalau kamu pulang, nanti saja kamu pulangnya setelah saya pulang,” putus Vida, Evi menggeleng kuat, dia mengangkat wajah menatap Vida.  Vida baru menyadari wajah Evi seperti habis menangis, matanya merah dan wajahnya sembab.

“Kamu dari nangis? Ada apa sebenarnya, mengapa ingin pulang?” tanya Vida tidak mengerti. Perasaannya menjadi tidak enak. Menebak-nebak apa yang terjadi. Bima yang berada di ruang TV tidak jauh dari meja makan menegang seketika. Gerakan memakai kaos kaki terhenti. Dadanya berdebar kencang, takut Evi mengadu tentang perlakuan nya semalam.

“Kenapa Evi?” desak Vida.

Evi memalingkan wajah, mencoba mencari jawaban masuk akal untuk pertanyaan itu. Andai dirinya mengadu apakah Vida akan percaya? Sementara Vida menunggu, Bima menatap Evi dengan dada berdebar. Was-was dengan alasan yang akan dinyatakan Evi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dikira Pelakor, Ternyata Dinodai Majikan   Tekad Reina

    Reina tidak pernah tahu cerita yang sebenarnya. Dia sangat membenci Anjas karena meninggalkannya pada saat dirinya bertarung di antara hidup dan mati. Anjas juga membiarkannya terpuruk sendiri. Pernah sekali saat dia diam-diam menemui Anjas karena ingin bertanya mengapa Anjas berubah, kenapa dia meninggalkannya. Anjas mengatakan.“Antara kita sudah selesai Reina, Aku memang hanya ingin bertanggung jawab karena kamu hamil,, selanjutnya kita cukup sampai di sini," jawab Anjas sambil memalingkan wajah. Tidak ingin melihat kekecewaan dan rasa sakit di mata Reina.“Nggak mungkin, Mas, kamu bohong kan?” tolak Reina, Anjas diam.“Lihat aku, Mas katakan kalau sebenarnya kamu bohong, katakan kalau kau nggak mungkin nyakitin aku seperti ini,” desak Reina dengan intonasi yang mulai naik. Air mata mulai mengalir di pipinya.“Sayangnya itu memang kenyataannya Rei, aku sudah tidak mencintaimu lagi, Rasa itu berubah.” Anjas menegarkan diri mengucapkan itu. Membekukan hati agar tidak terpengaruh oleh

  • Dikira Pelakor, Ternyata Dinodai Majikan   Kisah Reina 2

    Flsh back sebelum Reina melahirkan.“Kami butuh persetujuan untuk operasi, istri Bapak mengalami preeklamsi berat, keadaaan ini bisa mengancam nyawa ibu dan bayinya. Saat ini kami sedang melakukan perawatan untuk membuat kondisinya stabil.”“Tidak ada jalan lain selain operasi, Dokter?” tanya Anjas dengan hati nyeri. Dia sungguh bukan tidak ingin memberi yang terbaik untuk Reina untuk anaknya tetapi uang yang dirinya kumpulkan hanya cukup untuk persalinan normal di puskesmas. Jika harus operasi dari mana biayanya. Apalagi di rumah sakit besar seperti ini. Reina dirujuk ke rumah sakit karena tensi darah yang tinggi.Dokter menggeleng mematahkan harapan Anjas. Anjas menghembuskan napas panjang, tangannya bergerak menandatangani persetujuan operasi dengan pikiran kalut. Tidak tahu harus kemana mencari tambahan dana untuk biaya Reina. Namun nyawa Reina tetap harus diselamatkan, Anjas tidak ingin terjadi apa-apa dengannya. Usai menandatangani persetujuan, seorang perawat menggiringnya menu

  • Dikira Pelakor, Ternyata Dinodai Majikan   Kisah Reina

    “Kita pulang saja nanti kamu bisa menenangkan diri,” ajak Evi, Anjas mengangguk dan beranjak mengajak Evi mengikutinya ke mobil. Sampai di mobil Anjas mengingat jika Evi belum pernah tahu kehadiran ibunya. Anjas belum memberi tahunya.“Vi, dalam dua hari ini kamu sudah telpon Ibu?” tanya Anjas sambil mulai melajukan mobilnya.Evi menoleh dan menggeleng“Berapa kali Ibu ku telpon nggak ngangkat terakhir telpon, Ibu menolak video call hanya telpon biasa, Ibu bilang sedang di pasar,” jawabnya.“Kalau gitu kita ke rumah dulu ya, ada kejutan di rumah,” senyum Anjas, Evi menatapnya penuh tanya tetapi Anjas sudah kembali fokus ke jalan. Evi pun diam tidak jadi bertanya, percuma pikirnya jika Anjas sudah bilang kejutan dia tidak akan menjawab.Mobil melaju tenang membelah keramaian kota, hingga saat mobil berbelok di halaman rumah Anjas, pandangan Evi terpaku ke teras rumah. Tertegun tidak percaya.Evi masih diam saat Anjas telah menghentikan mobilnya dan mengajak turun. Di teras rumah itu Ev

  • Dikira Pelakor, Ternyata Dinodai Majikan   Tiga Hari Menjelang Akad

    “Evi ....” tegur seseorang dari belakang dengan suara yang tidak yakin. Evi berbalik menemukan Aila yang mendekatinya.“Ya ampun Evi, jadi beneran kamu mau nikah sama Pak Anjas?” tanyanya antusias setelah dekat. Evi tersenyum menyambutnya tanpa mengangguk atau menggeleng, Evi yakin Ibu satu anak di hadapannnya sudah tahu jawabannya.“Aku emang dah nyangka kalau kalian ada apa-apa. Pak Anjas hampir tidak pernah merekomendasikan orang, apalagi sampai menahan saat ingin resign ternyata memang ya,…” sambungnya sambil tertawa. Mantan atasannya itu mengelengkan kepala dengan sisa tawa yang belum hilang. Evi jadi mengerti berarti beberapa keringanan yang di terimanya selama bekerja memang atas campur tangan Anjas.Evi mengajak Aila untuk duduk tetapi dia menolak, katanya masih banyak pekerjaan yang harus dia lakukan, restoran memang tutup tetapi karyawan tetap diberdayakan untuk persiapan pesta. Selain tetap menerima gaji mereka juga dibayar .Hari ini Anjas memang mengajak Evi untuk melihat

  • Dikira Pelakor, Ternyata Dinodai Majikan   Pertengkaran

    Anjas menyambut kehadiran calon mertuanya dengan suka cita, mengambil alih anak yang berada dalam gendongan calon mertuanya. Anak lelaki itu nyaris seumur dengan Chesa tetapi badannya terlihat lebih kecil, mungkin karena ekonomi yang sulit dan dalam asuhan neneknya yang tidak seharusnya mengasuh anak kecil lagi. Chesa di sisinya ikut bertanya siapa dia tampak antusias sekali ingin menyentuh pipi anak yang tertidur pulas situ. Mereka datang bersama adiknya Faris yang memang dia minta untuk menjemput. Selain bersama ibunya Tati, faris juga datang bersama istri dan kedua anaknya yang masih berusia 3 tahun dan 1 tahun. Juga Fahri adik bungsunya yang masih kuliah. “Nak Anjas sungguh-sungguh berniat meminang Evi? Saya sungguh terkejut sekali saat tiba-tiba di jemput saya pikir saya akan diculik, ingin menelpon Evi tapi dilarang mereka bilang ini kejutan buat Evi, saya sudah banyak menduga-duga, tapi setelah saya pikir lagi tidak mungkin juga penculik membawa dua balita yang memanggilnya

  • Dikira Pelakor, Ternyata Dinodai Majikan   Cerita Tentang Dia

    Anjas menyambut Arinda turun dari mobil.“beres senua, Ma?” tanya Anjas sambil melirik barang belanjaan yang tampak memenuhi mobil bagian belakang. Anjas memanggil semua pekerjanya untuk menurunkan barang-barang itu. “Cape banget Uma, tugasmu malam ini buat pijit kaki Uma.”“Tugas Abak, itu Uma kan Abak yang minta pernikahan buru-buru,” elak Anjas. Mendengar namanya disebut Yasir menoleh lalu mencibir.“Ya kalau kamu nggak mau gampang kok tinggal dibatalkan saja.”“Eh, nggak ya Abak, semua udah bergerak kok mau dibatalkan,” gerutu Anjas, Arinda dan Yasir menahan senyum sambil menggelengkan kepalanya.*** “Kamu selama di sini nggak pernah ketemu Reina, Njas?” tanya Arinda saat mereka selesai makan malam. Anjas sudah tidak mengunyah ataupun minum. Sepeti kedua orang tuanya, Anjas pun sudah selesai makan beberapa menit lalu. Namun pertanyaan itu membautnya nayris tersedak.Dua kali sudah Anjas mendengar nama itu dihubungka padanya. Ada apa sebenarnya.“Kok Uma nanyain lagi, dia Cuma mas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status