Setelah diiming-imingi uang yang cukup besar serta investasi di perusahaan ayahnya, Alicia menerima perjodohan itu dengan catatan dia harus menaklukkan hati River dan mengandung anaknya. Ia berpikir semua akan berjalan mudah. Namun, ia salah besar. River bukan sekadar pria dewasa—ia adalah sosok dingin yang tak tersentuh. "Jangan pernah berani menyentuhku, atau kau akan menyesal." Penolakan terus-menerus dari River justru membangkitkan rasa penasaran Alicia. Dalam usahanya mengungkap misteri di balik sikap dingin River, sebuah fakta mengejutkan terkuak. Fakta apakah yang ditemukan Alicia? Dan akankah ia memilih untuk melanjutkan pernikahan ini, atau mundur sebelum terlambat?
View More"Aku rasa ini mimpi buruk."
Alicia berdiri kaku di depan cermin rias berukir emas mengenakan gaun pengantin putih yang terlalu mewah untuk pernikahan yang bahkan tak pernah ia impikan sebelumnya.
Gaun itu bukan pilihannya. Riasan wajah ini pun bukan keinginannya. Bahkan suaminya—pria yang kini menyandang status pasangan sah di atas kertas—bukan seseorang yang dia kenal lebih dari sepuluh menit.
River Arthur Louis. Berusia 33 tahun, seorang konglomerat dingin, sukses, dan sama sekali tidak menyenangkan.
Pernikahan mereka dilangsungkan di sebuah ballroom hotel bintang lima sore tadi. Tidak ada yang special ketika pernikahan itu berlangsung. Hanya tanda tangan di atas selembar surat nikah, lalu sambutan dingin dari pria yang bahkan tidak menatap matanya saat mengucap, “Selamat datang di neraka.”
Alicia tertawa getir saat mengingatnya. Apa ini hidupnya sekarang? Seorang istri pesanan?
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam ketika dia akhirnya dipersilakan memasuki kamar utama mansion keluarga Louis—kamar yang konon hanya boleh dimasuki oleh istri sah River.
Tapi kini, tempat tidur besar itu hanya menjadi saksi bisu kegugupan yang tak berujung. Alicia duduk di tepi ranjang seraya menggenggam ujung rok gaunnya, menunggu sesuatu yang tak pasti.
"Kenapa dia belum datang juga?" gumamnya dengan pelan.
Namun, tak lama kemudian pintu kamar terbuka dan membuat Alicia tersentak. Di ambang pintu, berdiri sosok tinggi berbalut setelan hitam. Dasi telah dilepas, kancing kemeja bagian atas terbuka, menampilkan leher jenjang dan kulit yang bersih. Rambutnya sedikit berantakan, dan matanya tajam seperti biasa—dingin dan tak terbaca.
River masuk tanpa berkata sepatah kata. Ia tidak menatap Alicia. Tidak menanyakan kabar. Tidak memuji penampilannya. Hanya berjalan melewatinya seperti angin dingin musim gugur.
"Selamat malam." Alicia memberanikan diri untuk menyapa pria yang kini telah berstatus menjadi suaminya.
River tak menjawab. Dia hanya menaruh jam tangan di meja nakas, membuka coat-nya perlahan, lalu berjalan ke arah balkon. Alicia bangkit berdiri sebab bingung harus berbuat apa. Bukankah ini malam pengantin? Haruskah ia mencoba berbicara?
“River?” panggilnya dengan nada hati-hati.
Pria itu berhenti kemudian membalikkan badan perlahan, dan untuk pertama kalinya malam itu, mata mereka bertemu. Ada kilatan dingin di sana. Sesuatu yang menusuk dan membuat Alicia kehilangan kata-kata.
Lalu dia berjalan ke arahnya. Langkahnya yang berat seperti pemangsa yang mendekati mangsanya. Seketika itu jantung Alicia berdetak cepat.
River berhenti tepat di hadapannya. Hanya berjarak satu tarikan napas. Tatapan itu terlalu dekat, terlalu tajam dan terlalu dalam. Alicia menelan ludah, tidak tahu harus berbuat apa. Tapi sebelum sempat berpikir lebih jauh, tubuhnya terangkat begitu saja.
"A—Apa?!"
River mengangkatnya ke dalam gendongannya, tangan kirinya menopang punggung, tangan kanan menyelip di bawah pahanya. Alicia memekik pelan melihatnya. Napasnya tercekat dengan wajah yang memerah padam.
"Ke-kenapa kau—"
Namun sebelum sempat melanjutkan protes, River membawanya berjalan menuju tempat tidur. Alicia meneguk ludah. Apakah ini saatnya? Apakah dia akan—
Tapi yang terjadi justru kebalikannya.
Tanpa aba-aba, River melepaskannya. Alicia jatuh ke atas kasur empuk itu, nyaris tak sempat menahan diri. Ia mendesis pelan, tubuhnya sedikit terpantul sebelum akhirnya terbaring dengan gaun pengantin kusut.
Matanya menatap River dengan perasaan bingung yang menjalar. "Apa-apaan ini?" desisnya kemudian.
River menatapnya dari atas tanpa bersuara sedikit pun. Hanya menatapnya dengan tatapan dingin, penuh intimidasi namun sayangnya terlihat sangat menawan.
“Aku hanya ingin memastikan kau tidak berharap terlalu tinggi,” ucapnya dengan suara rendah tapi terdengar sangat tajam. “Jangan salah paham. Kita memang menikah, tapi bukan karena aku menginginkannya.”
Alicia terdiam. Matanya menatap nanar pria di hadapannya itu. Pria itu memang tampak indah, mempesona, tapi juga sangat dingin.
River mundur satu langkah lalu mengambil bantal dari ranjang dan melemparnya ke sofa panjang di pojok ruangan.
“Aku tidur di sana. Kau di sini. Jangan pernah menggangguku sedikit pun!”
Alicia mengerutkan alisnya kemudian duduk perlahan dengan tubuh masih gemetar. Perih? Ya. Tapi bukan karena jatuh. Bukan pula karena kecewa. Lebih kepada rasa ditolak yang membekas dalam dadanya.
“Kau tidak perlu bersikap seperti aku ini penyakit menular, River,” gumamnya lirih.
River berhenti di tengah langkahnya. Kemudian menoleh dengan tatapan datar. "Aku punya alasan sendiri. Jangan paksa aku untuk menjelaskan, karena kau tidak akan tahan jika mendengarnya."
“Coba saja,” tantangnya meski suaranya bergetar. Matanya menatap nanar wajah River yang masih menatapnya dengan tatapan dingin.
River hanya tersenyum sinis, lalu berkata dengan nada yang sangat jelas dan menusuk, “Jangan harap aku akan menyentuhmu.”
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui kaca besar yang menghadap ke halaman belakang.Meja makan masih berantakan, bekas dari sesi yang panas dan liar antara River dan Kayla yang baru saja berakhir setengah jam lalu.Gadis itu masih polos tanpa sehelai benang pun menempel di kulitnya, duduk di atas meja marmer dengan napas yang belum sepenuhnya stabil.River duduk bersandar di kursi seberangnya, santai dengan rokok di antara jemarinya dan segelas kopi hitam di tangan lainnya.Dia memandangi tubuh Kayla dengan tatapan puas dan pemangsa, namun juga penuh kepemilikan.Kayla menarik napas dan memberanikan diri bertanya, meskipun nadanya tetap lembut seperti biasanya.“Barang-barang kemarin… yang kau beli itu… kapan kau pakai?” Suaranya pelan, namun jelas dipenuhi rasa penasaran dan, entah kenapa, sedikit antisipasi.River mengangkat alis lalu menyeringai. “Sudah tidak sabar, ya, istri kecilku?”
Cahaya lilin bergetar lembut di atas meja makan, menciptakan bayangan panjang di dinding kabin yang terbuat dari kayu pinus.Aroma wine merah dan saus krim keju masih menggantung samar di udara. Piring-piring kosong sudah tersisih ke sisi meja, menyisakan hanya dua gelas yang tinggal separuh isi.Alicia duduk di ujung meja, mengenakan gaun tidur satin hitam dengan belahan tinggi, rambutnya digerai, bibirnya masih memerah oleh anggur yang baru saja diteguk.Matanya tajam, namun tak bisa menyembunyikan sinar menggelitik yang menyala tiap kali menatap River."Jadi, apakah makan malamku memuaskan, Tuan Louis?" tanyanya dengan nada menggoda.River menyandarkan diri pada kursinya, menatap istrinya dari atas hingga bawah.Kemeja putihnya terbuka tiga kancing, menggoda dengan cara yang sangat sengaja.“Makanan tadi enak. Tapi bukan itu yang paling menggugah selera malam ini.”Alicia menaikkan satu alis. “Oh ya? Apa it
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi.Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai kamar hotel yang mewah.Alicia terbangun dengan tubuh yang masih dibalut sisa-sisa kelelahan malam sebelumnya.Ketika matanya terbuka perlahan, ia mendapati River sudah duduk di pinggir ranjang, mengenakan kemeja linen putih yang sedikit terbuka di bagian dada.Rambutnya yang acak-acakan justru membuat pria itu tampak semakin menggoda."Bangun, kitten. Kita punya banyak yang harus dibeli hari ini," bisik River sambil mengelus lembut pipinya.Alicia menggeliat pelan dan tersenyum mengantuk. “Belanja? Pagi-pagi begini?”River menyeringai. "Kita butuh perlengkapan. Baju baru untukmu. Dan... beberapa barang khusus."Mata Alicia sedikit membelalak. Tapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Ada sesuatu dalam nada suara River yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.Setelah mandi dan bersiap, mereka turun k
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi.Udara pagi di Pegunungan Rocky terasa menusuk tulang, tapi kabin mewah mereka tetap hangat.Dari jendela besar yang menghadap pegunungan bersalju, sinar matahari menyelinap pelan dan menyapa wajah Alicia yang masih tertidur di dada telanjang River.Lelaki itu sudah terjaga lebih dulu, matanya menatap istrinya dengan intensitas yang tenang namun dalam.Rambut Alicia berantakan dengan cara yang membuatnya terlihat semakin memesona.Di balik selimut bulu angsa itu, tubuh mereka masih telanjang, saling menyatu sejak semalam, tak terpisahkan oleh apapun.River mencium pelipis Alicia dengan lembut. “Pagi, Mrs. Louis,” bisiknya dengan suara serak penuh sisa gairah.Alicia menggumam kecil, lalu mengangkat wajahnya. Bibirnya memerah dan basah, mata cokelatnya masih setengah mengantuk. “Mmm ... pagi. Apa tadi malam nyata? Tubuhku … benar-benar seperti baru saja ditimpa oleh batu
Perjalanan menuju tempat bulan madu mereka dimulai tepat setelah makan malam.Langit Kanada semakin gelap, namun lampu-lampu kota memancarkan kehangatan di balik udara yang mulai menggigit.Alicia duduk di dalam mobil hitam elegan yang membawa mereka menuju lokasi yang belum diberitahu oleh River.Ia sesekali melirik ke arah suaminya yang duduk diam di samping, tampak sibuk dengan ponselnya. Namun di sela-sela kesibukannya, River masih sempat menggenggam tangan Alicia.“Berapa lama lagi kita sampai?” tanya Alicia penasaran.River menoleh dan tersenyum samar. “Sedikit lagi. Bersabarlah.”Alicia hanya bisa mengangguk. Dalam hatinya, ia setengah gugup, setengah bersemangat.Ada bagian dalam dirinya yang ingin percaya ini akan menjadi malam yang berbeda dari malam-malam sebelumnya.Malam di mana River mungkin akan lebih terbuka. Malam di mana jarak mereka perlahan mencair.Sekitar tiga puluh menit kem
Pagi itu, udara Kanada masih menyisakan kesejukan. Salju tipis yang mencair di sepanjang jalan terlihat berkilau tertimpa cahaya matahari.Alicia bangun lebih awal dari biasanya. Ia berdiri di depan cermin, mengenakan gaun krem elegan tanpa lengan yang jatuh rapi hingga mata kaki.Rambutnya digulung rapi ke atas, menyisakan beberapa helai lembut yang menggantung di sisi pipinya. Ia terlihat menawan—dan kali ini, ia benar-benar menyadarinya.River hanya menatapnya sebentar dari balik koran yang dibacanya sambil duduk di sofa.Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kau semakin mirip istri CEO sekarang,” komentarnya.Alicia menoleh dengan alis terangkat. “Jangan-jangan kau baru sadar aku memang istrimu?”River terkekeh pelan. “Oh, aku sadar. Hanya saja baru sekarang kau terlihat seperti akan menggantikan posisi CEO.”“Berlebihan.”“Sedikit.”Mereka berangkat menuju kantor cabang baru River yang berada di jantung kota, tepat di gedung pencakar langit yang menghadap Danau Ontario.Hari ini adal
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments