Share

5. PEWARIS UTAMA

Sungguh di luar dugaan, reaksi paman Danny membuat Danny bertanya-tanya, lelaki parauh baya tersebut seakan tidak rela bila perusahaannya jatuh ke tangannya ataupun ayahnya. Mungkinkah … ah, tidak mungkin. Mana ada saudara membunuh saudaranya sendiri demi harta?

“Cucuku, jangan hiraukan pamanmu. Kakek percaya, kamu adalah pewaris yang tepat,” kata sang kakek setelah Paman Ibra pergi dari rumah lantaran kesal dengan keputusan sang kakek.

“Aku jadi merasa tidak enak, Kek.”

“Tidak, Dan. Sudah lama Kakek memikirkan hal ini. Kakek mencari ayahmu karena Kakek yakin bahwa dialah pewaris yang terbaik bagi keturunan Kakek, tetapi takdir berkata lain. Ayahmu sudah tiada dan Kakek sangat berharap kamu adalah orang yang tepat memegang semua kekayaan kakek,” tutur Kakek Willam.

Danny hanya bisa terdiam, ia pun dibawa ke kamarnya yang sangat luas dan megah. Sebenarnya, itu bukan kamarnya, melainkan kamar mendiang almarhum ayahnya yang kini sudah tiada. Sungguh, Danny tidak menyangka ayahnya bisa hidup sederhana bersama sang ibu, padahal beliau sebenarnya orang yang sangat berada.

Danny membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur yang 5kali lebih empuk dari kasur di rumahnya. Pandangannya menerawang jauh ke awang-awang. Membayangkan kebahagiaan saat bersama kedua orangtuanya, juga kondisi di rumah ini yang terasa misterius.

Keajaiban demi keajaiban datang menghampirinya, padahal baru kemarin-kemarin ia ditimpa sial oleh sebuah takdir.

Pertama, ia diselingkuhi oleh kekasih yang sangat ia cintai, dan di hari yang sama ia melihat jasad kedua orangtuanya di depan mata dengan kondisi mengerikan. Ya Tuhan, apa maksud takdir hidupnya ini? mungkinkah dengan keajaiban ini ia bisa melakukan dendam kepada mereka yang sering menghina dan melempar luka di hatinya?

Keesokan harinya …

Ia benar-benar diajak ke perusahaan oleh sang kakek tanpa pamannya yang entah pergi kemana, semenjak kejadian kemarin, lelaki paruh baya tersebut tidak menampakan batang hidungnya, atau mungkin beliau sudah ada di sana.

“Apa semalam Ibra pulang, Gard?” tanya sang kakek kepada asisten sekaligus supir mobil yang mereka tumpangi.

“Tidak, Tuan besar!” jawab Egard tegas.

“Apa dia ke tempat biasa?”

“Iya.”

Danny tidak tahu tempat biasa apa yang dimaksud sang kakek dan asistennya itu, mau bertanya pun ia segan karena masih merasa menjadi orang asing.

“Dasar tidak berguna, kerjaannya mabuk-mabukan dan main perempuan, tapi minta menjadi pewaris!” umpat sang kakek sedikit membuka rasa penasaran yang sejak tadi menggema dalam pikirannya.

Mungkin itu alasannya kenapa sang kakek tidak mewariskan kekayaannya kepada sang paman, meski begitu Danny tetap diam, biar waktu yang akan menjawabnya.

Sesampainya di sana, ia dan sang kakek turun setelah pintu mobil dibuka oleh Egard. Lelaki berbadan tegap itu dengan sigap mengawal sang kakek dan dirinya menuju aula kantor di mana sudah banyak orang di sana.

Danny menghirup udara bebas dengan rakus, jantungnya mendadak berdegup kencang. Ia tidak menyangka sama sekali takdir baik menghampirinya.

“Mohon perhatiannya!” seru sang kakek setelah berada di tengah-tengah para karyawan kantor. Sang kakek berdiri di sebuah panggung bulat kecil, hanya cukup untuk satu orang.

“Saya akan memperkenalkan director baru perusahaan ini kepada kalian, saya harap kalian bisa menghormatinya seperti kalian menghormati saya. Karena orang yang akan saya tunjuk ini kelak akan menjadi pemimpin seluruh perusahaan saya,” tutur sang kakek membuat hati Danny bergetar. Apa dirinya ini sedang bermimpi?

“Dia adalah cucuku yang sudah lama tidak bertemu,” sambung sang kakek dengan suara sedikit serak, sepertinya beliau ingin menangis.

Sang kakek menatap kearahnya lalu menganggukan kepala kepadanya, mengisyaratkan dirinya agar segera naik ke podium, sedangkan beliau segera turun mempersilahkan dirinya naik.

Jujur, ia sangat gugup dan gemetar, sebab ini seperti mimpi baginya, meski begitu ia tetap berusaha setenang mungkin dan menyampaikan tutur kata yang baik kepada karyawan sang kakek.

Pertama-tama Danny memperkenalkan diri dan perasaannya bisa ditunjuk sebagai kuasa di perusahaan sang kakek.

“Mohon kerjasamanya!” Danny menunduk memberikan hormat kepada mereka semua setelah selesai berbicara.

Suara riuh tepuk tangan pun menggema di aula tersebut, bibir sang kakek juga sejak tadi tersenyum tipis mendengar setiap penuturannya.

“Dia persis sekali seperti Fandy,” bisiknya kepada asisten pribadinya.

“Iya, Tuan besar.” Elgard mengiyakan pernyataan sang kakek.

Setelah selesai diperkenalkan di depan umum, Danny diantar ke ruangannya yang berada di lantai paling atas oleh sang kakek dan sang asisten.

“Sekarang, ini ruanganmu, cucuku,” ujarnya.

“Terima kasih, Kek.”

Sang kakek menepuk pundaknya berkali-kali, menerima rasa terima kasihnya dengan senyum lebar.

“Sekarang, Kakek sudah siap pensiun, Kakek sudah tenang karena sudah ada kamu sebagai penerus Kakek,” katanya sembari duduk di sofa hitam mewah.

“Tapi, Kek. Bagaimana dengan Paman Ibra?” Ragu-ragu ia bertanya.

Sang kakek menghela nafas panjang, wajahnya mendadak berubah pias, seakan ada beban tersendiri jika membahasa Paman Ibra.

“Kakek tidak percaya dengannya atau anaknya, Dan. Sebab mereka tidak bisa menjadi pemimpin yang Kakek harapkan. Kerjaan mereka hanya mabuk-mabukan dan main perempuan. Kakek tidak suka itu!” keluhnya penuh penyesalan.

Danny mengangguk, ternyata benar dugaannya kalau itu alasan sang kakek tidak mau mewariskan kekayaannya kepada mereka berdua. Memang benar, kalau tidak semua anak akan menjadi penenang hati orangtuanya, pasti akan ada anak yang pembangkang.

“Kek,” panggil Danny teringat sesuatu.

“Ada apa, cucuku?”

“Apa aku boleh menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu?”

“Apa maksudmu?”

“Aku belum risign dari pekerjaanku kemarin, Kek. Aku ingin ke sana dan memberikan surat pengunduran diri.”

“Oh, tentu saja. Biar diantar Egar ya.”

“Tidak perlu, Kek. Aku bisa ke sana sendiri.”

“Janganlah, mulai sekarang kamu kemana-mana harus sama Egard. Kakek tidak mau terjadi sesuatu denganmu, apalagi kasus pembunuhan orangtuamu belum terungkap, Kakek takut kamu juga menjadi incaran pembunuhan tersebut,” terang sang kakek.

Danny diam lalu mengangguk, mau tidak mau ia menuruti permintaan sang kakek. Ia pergi bersama Egard yang mulai detik ini akan menjadi asisten pribadinya.

Di dalam mobil, ia melepas jas hitamnya, menyisakan kemeja putih. Ia tidak betah berlama-lama memakai jas tebal itu.

Tidak lama kemudian, mobil yang Danny dan Egard tumpangi sampai di sebuah café.

“Tuan bekerja di sini?” tanya Egard sebelum turun.

“Hem, kenapa?”

“Tidak apa-apa, Tuan.”

Saat Danny akan bertanya kembali, tiba-tiba pandangannya tertuju ke sebuah arah dimana seorang perempuan sedang marah-marah kepada seorang lelaki dan perempuan. Sepertinya terjadi sebuah pertikaian akibat perselingkuhan. Tunggu, ia seperti mengenal wajah wanita yang sedang menjadi sasaran amarah.

“Shit!” Danny segera turun lalu menghampiri pertikaian tersebut.

“Dasar wanita murahan, apa kamu tidak bisa mencari lelaki lain selain lelaki orang, ha!” pekik seorang perempuan cantic beramput hitam panjang yang dikuncir kuda.

“Hello, ngaca dong jadi orang! Kamu itu wanita yang dicampakan! Dia sama sekali tidak mencintaimu, paham?”

“Ha?” Wanita tersebut menganga.

“Kalau gak percaya tanya aja sama kekasihmu, dia pilih aku atau wanita udik sepertimu?” tantang wanita yang menjadi pelakor.

Sang wanita yang marah-marah tadi langsung mengarahkan kedua netranya kearah lelaki yang masih santai dengan penggrebekan itu.

“Maaf, Meysa. Aku sudah bosan denganmu,” ucap lelaki itu dengan sangat enteng tanpa memikirkan perasaan wanita yang bernama Meysa.

“Dasar brengsek!” geram Meysa seraya mengangkat satu tangannya, ingin menampar lelaki yang sudah melukainya, namun sayang tangan Meysa ditahan oleh wanita yang berada di samping lelaki tersebut.

“Mulai sekarang, kamu tidak bisa lagi menyentuhnya!” Tangan Mesya pun dihempas seraya didorong dengan sangat kuat hingga tubuhnya terhuyung ke belakang.

Greppppp!

Tubuh Meysa ditangkap oleh tangan kekar milik Danny yang saat itu sengaja menghampiri pertikaian tersebut, karena ia merasa kenal dengan wanita pelakor itu, dan ternyata benar bahwa wanita itu adalah mantan kekasihnya yang kemarin baru saja meminta putus darinya lantaran sudah memiliki kekasih yang lebih mapan darinya.

“Mas Danny?” sapa wanita pelakor yang merebut kekasih Meysa.

Danny segera memperbaiki posisi tubuh Mesya agar berdiri tegap kembali.

“Siapa dia, Sayang?” tanya lelaki yang belum diketahui identitasnya oleh Danny.

“Itu, Sayang. Pacarku yang kemarin aku putusin.”

“Oh, jadi ini mantan pacarmu yang pelayan café itu?” Tatapan lelaki tersebut mengejek Danny.

“Loh, Egard? Kamu ngapain di sini?” Tiba-tiba lelaki bernama Eric melihat Egard dan bertanya kepadanya.

Danny pun akhirnya tahu kalau lelaki di depannya ini anak dari Paman Ibra. Memang tidak salah penilaian sang kakek. Eric suka bermain perempuan.

“Saya tengah mengantar cucu Tuan besar.”

“Apa maksudmu? Bukannya cucunya hanya aku saja?”

“Tidak, Tuan. Masih ada satu cucu Tuan besar yang akan menjadi pewaris utama kekayaan beliau.”

“Apa! Kamu jangan bercanda, Egard!”

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status